Oleh: Teguh Estro
Salah satu ciri simbolik dari negara demokrasi adalah adanya Pemilihan Umum (PEMILU) dalam penentuan kepala pemerintahan. Begitupun Indonesia yang memang rutin mengagendakan PEMILU sejak tahun 1955 untuk memilih Presiden, baik secara langsung maupun tidak langsung. Walaupun pesta demokrasi ini masih harus banyak berbenah, setidaknya Indonesia telah belajar dalam banyak kesalahan.
Sejak tahun 2004, negara dengan jumlah etnis terbanyak ini mulai mengenal istilah Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Beberapa bulan ke depan PILKADA inilah yang akan menghiasi layar-layar publik. Hajatan demokrasi ini juga kian menggeliat di berbagai kabupaten provinsi D.I Yogyakarta. Calon-calon pemimpin ada yang terang-terangan tampil, ada juga yang ‘malu-malu kucing’ memproklamirkan dirinya. Baik itu melalui baliho-baliho di jalan umum, via media cetak ataupun kampanye di televisi. Mudah-mudahan visi kinerja mereka secantik dan seganteng parasnya saat di iklan.
Pelajaran terpenting dari berbagai PILKADA di tanah air adalah maraknya berbagai anarkisme, kecurangan suara dan money politic. Sebagai kota pelajar, selayaknya bumi mataram ini ‘berpesta’ dengan cara terpelajar juga. Jangan sampai PILKADA justru lebih mengerikan daripada pertandingan sepakbola derby jogja yang penuh kekerasan. Seharusnya ajang demokrasi ini menjadi pertarungan program kerja yang betul-betul fair. Sehingga singgungan antara simpatisan yang berujung premanisme tidak terjadi lagi. Pun demikian dengan maraknya kecurangan suara. Calo-calo suara seolah menjadi profesi musiman saat agenda pesta rakyat berlangsung. Sungguh budaya tersebut tidak layak terjadi di kota budaya, Yogyakarta.
Lima kabupaten di DIY tengah siap siaga menyambut pesta demokrasi. Terutama daerah Mbantul dan Kota Yogyakarta yang tampak poster-poster calon kuatnya. Sebenarnya perkara menang atau kalah tidaklah begitu penting, hal yang perlu diperhatikan adalah proses demokrasinya. Dengan berjalannya proses PILKADA secara demokratis tentu saja bisa menjadikan masyarakat perlahan melek politik. Siapa calonnya, apa visi besarnya dan bagaimana track recordnya adalah perkara wajib untuk dikonsumsi warga Yogyakarta. Sehingga jargon-jargon ‘aneh’ tak lagi muncul, seperti “…seng penting duite endi…” atau“….nek arep dipiih, aku entuk piro….” Dll.
Komunikasi politik harus sejak dini dilakukan calon-calon pemimpin daerah. Pasalnya selama ini komunikasi politik seolah hanya milik kalangat elit saja. Sedangkan masyarakat bawah sekedar melakukan komunikasi politik pasif, itupun saat PEMILU tiba. Lancarnya pendidikan politik hanya terjadi jika pemimpin dan elit politik mau ‘turun’ langsung dan membaur bersama masyarakat bawah. Tentu saja, bukan hanya saat mendekati PILKADA saja. Tetapi setiap rakyat memiliki masalah, sebenarnya di sanalah peluang para elit politik untuk melakukan pendidikan politik. Bukan sekedar manis di iklan saja, tapi ujung-ujungnya korupsi juga.
Kontinuitas peran partai politik membersamai rakyat akan berdampak pada meningkatnya kesadaran politik. Sehingga pemilih benar-benar melakukan pemilihan, bukan sekedar dipaksa untuk memilih. Setidaknya rakyat tahu siapa yang dipilih, ibarat anak yang tahu persis siapa bapaknya. Bukankah setelah terpilih nanti, para calon akan bertugas menjadi pelayan bagi masyarakat. Bagaimana mungkin terjadi pelayanan jika pemimpin tidak berbaur dengan rakyat, atau sebaliknya rakyat yang cuek terhadap pemimpinnya. Padahal nantinya pemimpin daerah sangatlah membutuhkan pasrtisipasi masyarakat dalam menyukseskan program-programnya. Jika selama ini paradigma rakyat yang selalu butuh uluran pemerintah, maka hal tersebut harus dibalik. Hubungan antara rakyat dan pemerintah adalah partner dalam membangun daerah. Konsep kesetaraan dalam relasi publik inilah yang mempercepat proses pemahaman masyarakat. Dan tentu saja kian mendidik rakyat dalam rangka pembangunan daerah.
Pendidikan politik bukan saja harus diajarkan kepada rakyat. Akan tetapi para aktivis partai politik pun kudu belajar bersama rakyat. Belajar dewasa menerima kekalahan, belajar tertib administrasi, belajar kampanye damai dan belajar memenangkan PILKADA dengan jujur. Haruskah kecurangan yang sama terjadi lagi dan lagi? Akankah ‘cakar-mencakar’ antar partai politik terus dibudayakan? Sebenarnya rakyat pun sudah bosan menonton tingkah elit politik di panggung demokrasi yang acak-acakan. Contoh ringan saja keributan saat konvoi kampanye, pembakarann bendera, penyobekan baliho bahkan tawur antar simpatisan. Kebebasan dalam demokrasi bukan berarti bebas menindas kontestan lainnya.
Yogyakarta bukanlah kota yang baru mengenal demokrasi. Bahkan pakar-pakar demokrasi banyak lahir di sini. Sehingga pemimpin yang akan maju ke pentas demokrasi pun seharusnya para intelektual-intelektual bermoral jebolan kota pelajar. Dan harapannya rakyat tidak begitu sulit menentukan pilihan untuk mencari pemimpin daerah berkualitas. Apapun partainya dan siapapun calonnya tentu harus mengutamakan karepe rakyat. Pasalnya rakyat selalu menjadi korban ulah ‘nakal’ para penguasa. Sudah saatnya wong cilik di Yogyakarta ini merasakan kesejahteraan dari kepala daerah yang adil.
Partisipasi masyarakat tentu menjadi faktor yang paling penting. Saat ini pilihan untuk masyarakat bukan lagi memilih atau tidak. Akan tetapi benar-benar serius memilih antar Calon Pemimpin satu atau yang lainnya. Jika selama ini masyarakat banyak mengeluh dengan kinerja pejabat atas, ya salahnya sendiri. Kenapa pada saat ajang PILKADA tidak serius memilih pemimpinyang paling bagus. Semisal dengan melakukan kontrak politik ataupun sharing program. Bahkan masih ada saja person-person yang justru mengkampanyekan anti PILKADA. Entah karena kekecewaan yang berlebihan terhadap pemimpin yang lalu. Ataupun karena memang niatnya yang busuk untuk menolak demokrasi hingga ke daerah-daerah. Warga Yogyakarta sangat membutuhkan pemerintah yang demokratis. Salah satunya adalah dengan menggalakkan tingkat pastisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah.
Tidak ada komentar