Menu
Teguh Indonesia

Kincir Air

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6nONLuLjndu8kHJZLgDsnfFPxeDuvb1I33B6I67kPuV4z-TjiZwTOvWzCpullgVDh4llrB5W7RoIYeYmelqzht3k1SYMRA0kcBltJ6WkiBlUMNpYNvPatPavePBUttLretYehC-Tvb1g/s1600/008.jpg




Oleh: Teguh Estro
(Cerpen Inspiratif)

"Rik, Erik… Katanya bapakmu mau masuk Te-ve…. Hebaaaaatt!!!”

            Apa yang diteriakkan Jujun barusan bukanlah mimpi. Bapakku terpilih menjadi guru teladan se-Indonesia seleksi dari program Kemendiknas. Lelaki itulah yang mengasuhku sedari kecil seorang diri. Beliau mengajar fisika di SMP terpencil dan mengalami sesak sepi setelah ditinggal isterinya sewaktu melahirkan anak pertama. Itulah diriku putera sulung yang sejak lahir merenggut nyawa orang yang paling disayanginya. 

***
Seharian ini aku sibuk dalam riang. Selepas kelulusan dari SMA dengan nilai yang nggak jelek-jelek amat. Baru kali ini aku terlempar dari tiga besar rangking terbawah, sungguh bahagia. Itu artinya aku tidak layak lagi tersemat sebagai anak nakal dan bodoh. Kini cukuplah menyebutku anak nakal saja, itu saja sudah cukup. Cukup meyusahkan bapak terutama.

Dua hari sebelumnya, Bapak membujuk tapi kudiamkan. Ajakan pergi ke Jakarta bertemu pak menteri ceplosnya. Seperti biasa, apapun keinginan pria berkepala empat itu selalu kutanggapi dengan gelengan kepala. Namun sepulang sekolah kuputuskan untuk main ke kota kediaman paman cuma untuk mencari televisi. Maklum di rumahku belum ada kotak bergambar itu, bahkan belum teraliri setrum PLN. Bersama Jujun sahabat terbaik, kulewati sesemak padang rumput menuju kota. Menyusuri Sungai Lematang begitu indah, inilah sungai paling deras di bumi Sriwijaya. Kami tinggal di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan. Sekitar 4 jam dari kota Palembang. Dan gubuk kami yang hanya dihuni dua pria lajang itu tertancap di lereng Gunung Dempo, tepatnya desa Sandi Jaya. 

Satu jam perjalanan dari kampung mengganduli bis antar kota. Peluh menjadi parfum tubuh ceking ini, terutama Jujun yang lebih langsing dariku. Setibanya di rumah paman, kuceriterakan dengan bangga tentang bapak yang bakal nampang di TV malam ini. Padahal biasanya ia begitu sulit diusik kala asyik di dalam bengkelnya. Saya memanggilnya mang Rahmat.

“Mang, ini kawanku Jujun. Kita berdua masuk ke dalam ya!”

Di dalam rumah ini, aku sudah dianggap anak sendiri. Mang Rahmat teramat sayang padaku, sebab ia sangat mengharap anak laki-laki. Namun ketiga peri kecil di rumah ini semuanya anak perempuan. Mungkin benar kata orang-orang. Jika mau cari tahu kepribadian anak laki-laki, maka lihatlah pamannya. Karena anak laki-laki cenderung mengakrabi pamannya ketimbang sosok tetua di rumahnya, entahlah.

Bintang-gemintang telah menyala hiasi warna malam. Semua berkumpul di depan televisi menunggu-nunggu munculnya sosok guru teladan yang akan bertemu pak menteri. Tak ada satu pun yang berkedip menghayati semua tayangan. Sampai iklan sabunpun disorot juga oleh sekumpulan bola mata yang berposisi tak berjauhan. Dan akhirnya langkah bapak tua yang kukenal muncul dari dalam Televisi. Seisi ruanggan hening mendengarkan apa yang terjadi tanpa rela terlewat satu kata-katapun. Kata dan kalimat yang mengisi dialog antara Pak Zuhri dan pak Menteri di sana.

“ Pak Zuhri, Sekarang apa lagi obsesi anda….?”

“ Saya mau ketemu bang Iwan Fals” Sontak bapakku diiringi tawa lepas pak Menteri. Begitupun kami yang menonton di rumah hanya senyum-senyum. Sesegera aku dan mang Rahmat saling bertatap muka kemudian tertawa lebih lepas. Memoriku mengulang dahulu alkisah dari mang Rahmat perihal bapakku. Beliau kelewat mengidolakan Iwan Fals. Mang Rahmat sampai-sampai menyamakan tipikal bapakku dengan karakter dalam lagu Umar Bakri. Mungkin banyak orang termasuk pak menteri menertawakan itu bak lelucon, namun bagi bapakku lain. Iwan Fals seperti dewa baginya, ya manusia setengah dewa tepatnya.

Terlalu cepat melalui transisi kegelapan menuju cahaya pagi. Sesegera kuawali dunia dengan hirupan embun. Langkahku di depan serambi terhenti seiring pandangan fokus pada bayangan. Sesosok nan sibuk bergiat di dalam bengkel. Dasar mang Rahmat, tak salah bila warga sekitar menjulukinya professor mesin. Tidak ada mesin yang tak bisa diperbaiki kalau ia sudah menanganinya. Aku pun tertular dengan keahliannya itu. Karena mang Rahmat sering mengajakku ‘bedah’ mesin. Mang Rahmat memang hanya jebolan kelas lima SD, namun kini justru ramai sarjana tehnik yang berguru padanya. Berbeda dengan bapakku yang hanya handal dalam teori-teori fisika, namun belum pernah kulihat ia mempraktekan ilmunya.

“Erik, sini bantuin mamang…!” Teriak mang Rahmat.

“Bongkar-bongkar lagi ya mang?”

“eh, kamu bisa perbaiki rantai renggang motor di belakang ya” suruh mang Rahmat sambil abaikan pertanyaanku. Nampaknya suami bik Midah ini mengetahui basa-basiku. Jujur saja, memang bongkar-bongkar motor merupakan spesialisku dalam hal otak-atik mesin. Sebentar kulirik rantai motor yang disebut mang Rahmat. Ternyata memang rentengan besi itu sudah aus. Nampaknya sangat riskan jika harus dikencangkan, sudah selayaknya diganti dengan yang baru. Hampir setengah jam jemariku menghitam terolesi oli motor. Kali ini benar-benar harus kubongkar. Pasalnya antara gear depan dan belakang kurang sejajar, inilah yang menghabiskan banyak waktu. Sesekali mang Rahmat melirik ke arahku, mungkin ia agak heran melihatku yang kian mahir.

begitu asyiknya lengan-lenganku memutar-mutar baut di roda belakang pertanda hampir selesai. Sinar matahari yang mulai menembus alam pagi menyadarkan retinaku akan siluet hadirnya Jujun di sebelah mang Rahmat. Nampaknya terlalu pagi bagi Jujun untuk membuka mata. Terlihat wajah keterpaksaannya menggerak-gerakkan kelopak mata.

“ Jun, kamu minggu ini nggak ikut jemaat kebaktian….?” Tanya mang Rahmat.

“ ah, males mang. Lagian di kampung lagi becek udah dua hari ujan. Pasti jemaat lain juga males-malesan keluar rumah.” Bisa-bisanya si Jujun mencari-cari alasan. Tapi memang benar, di kampung kami tengah dilanda curah hujan tinggi. Sungai Lematang kian menguap memberondong pohon-pohon kecil di bibir sungai.

“ Mang, sudah beres nih motornya. Kayaknya pagi ini aku sama Jujun mau pamit pulang”

“ Ya udah, motor itu kamu bawa pulang aja Rik.” Mang Rahmat menunjuk bebek besi yang barusan kudandani pagi ini. Sebenarnya tidaklah terkejut lagi, karena memang beliau sering memberiku hadiah yang lebih. Maka terjadilah, aku dan Jujun berbonceng ria mengendarai motor yang perawakannya tak jauh beda dengan kami berdua, sangat sederhana. Melintasi jalan raya di antara mobil-mobil truk sungguh menantang, lewati tikungan-tikungan maut. Satu setengah jam perjalanan, lelah dan asyik di perjalanan terhentikan oleh hangatnya secangkir kopi di rumah Jujun. Sengaja kuhampiri rumah sahabatku ini, karena di tempatku pasti kosong ditinggal bapak ke Jakarta. Bermalam di rumah Jujun begitu kental suasana keramaian. Anak kedua itu begitu ceria mencandai adik-adiknya. Hal yang mustahil kudapatkan di rumahku sendiri.

Setelah tiga hari tak menyambangi rumah tempat berpulang, kini kumasuki pintunya yang sudah dihuni bapak di dalam. Rupanya beliau sudah pulang dengan wajah yang tidak berubah, masih ‘dingin’. Ia hanya bicara seperlunya, bahkan menjadikanku segan untuk sekedar mengucap selamat. Namun ia melirik saat mengetahui aku pulang tak sendiri. Ada motor yang terpajang di depan rumah, pemberian mang Rahmat kemarin. Batin ini sangat berharap bapak bersuara, setidaknya mengungkapkan rasa heran di wajahnya itu. Namun ia hanya berujar pelan.

“ Kamu sudah makan belum, tadi bapak masak gulai di dapur”

“ Iya, ntar” Jawabku sedikit saja.

Beginilah kondisi rumah kami, dihuni manusia tetapi justru suara tikus yang jauh lebih ramai. Kusandarkan bahu di kursi depan rumah sembari menikmati gulai pindang kreasi bapakku. Rasa kuahnya standar sih, tapi lumayanlah agak asam yang menjepit-jepit lidah. Sanyup-sanyup telingaku menangkap suara musik dari dalam rumah. Itu suara tape yang mendendangkan lagu Iwan Fals, pasti ulah bapak. Nadanya begitu kencang pertanda telah berganti baterai baru.

Hirup demi hirupan pada kuah gulai pindang tak sesedap awalnya. Lantaran di depan rumahku muncul tiga orang yang mondar-mandir seperti mencari alamat. Mereka berpakaian seperti orang-orang kota. Satu orang berpakaian rapi dan sisanya menggendong kamera film. Sebenarnya aku tak yakin benda-benda berat yang mereka jinjing bakal mampir ke rumahku. Namun langkah mereka kian dekat, kian lunturkan keraguanku. Inilah yang disebut wartawan, selama ini aku hanya tahu profesi tersebut di alam imajinasi saja.

“ Maaf dik, benar ini rumah pak Zuhri?”

“ Pak Zuhri bapakku kan, masuk aja bang…” Jawabku masih terheran-heran.

Apakah bapakku akan menjadi artis? Hampir dua jam ketiga orang asing itu mencengkeramai orang tuaku. Rasa heran ini sesaat berubah menjadi damai. Karena ada satu kejadian langka yang kutemui. Tertawa lepas milik lesung pipi bapak yang sudah lama tak kulihat akhirnya kembali. Sejenak kutinggalkan gulai pindang, menyaksikan mereka bicara memberikan nuansa lain. Sampailah waktu Ashar, memaksa tetamu kami berpamitan perlahan. Mungkin mereka menerka kebiasaan bapak yang taat ibadah.

“ Pak, tadi wartawan ngapain?” Tanyaku dengan sumringah.

“ Rik, tadi dari pihak Televisi mau ngadain konser di kampung kita. Hadiah buat bapak katanya. Kamu nanti ikut bapak ya, kita menemani wartawan tadi ketemu pak KADES  dan PLN. Soalnya mau membincangkan izin pemerintah setempat dan sewa genset jumbo dari PLN. Ayo sholat ashar dulu…!”

Sesembah pada Pemilik Semesta di sore hari. Seperti biasa bapak mengimamiku lagi. Perjalanan kami rupanya menunggangi mobil mewah yang sedari tadi parkir di dekat pos ronda seberang rumahku. Inilah yang dinamakan mobil lapangan untuk liputan. Tidak begitu lama menemukan kediaman pak KADES. Begitupun mudahnya membujuk tanda tangan tetua desa itu. Sedikit amplop dari abang wartawan sudah mendamaikan senyumnya. Seusai menyambangi pak KADES, langit malam bergemuruh tanda kampung ini bakal diguyur hujan. Akan tetapi mobil yang kami tumpangi masih terlalu tangguh untuk melewati rerintik hujan. Perjalanan menuju kantor PLN serasa nyaman dan empuk dari dalam mobil. Dari kampungku menuju kota Pagar Alam sekitar lima belas menit.

Seumur hidup baru kali ini kutemui gedung PLN. Maklum kampung kami sama sekali belum terjamah listrik. Lirikan mataku menyiratkan bahwa diriku memang udik menyorot gedung besar. Sekitar ada tiga gerbang yang membuat kendaraan ini harus berhenti dan bernegosiasi untuk masuk ke dalam. Ketegangan mulai menjalari bulu kuduk. Dua orang satpam mulai merapat ke mobil kami yang hendak parkir di latar depan gedung. Namun tampaknya abang wartawan sudah terlatih untuk bernegosiasi. Muluslah niat hendak menaiki gedung megah ini. Sampai memasuki ruangan yang menyisihkan aku seorang diri di ruang tunggu. Sesekali kulihat dari kaca tembus pandang, mereka berdebat sengit memasang senyum yang dipaksa.

Abang wartawan yang biasanya lihai menaklukan kehendak lawan, kini malah tak berkutik senyap. Entah apa yang diucapkan mereka semua, yang pasti pejabat PLN berkepala botak itu memaksa bapak cemberut. Damai sudah sirna. Memang bapak di rumah kerap berwajah ketus, tapi tidak sesuram ini. Ada apa sih?

Malam itu rupanya awal dari semua petaka. Akhirnya sejak diusir dari gedung listrik, tingkah bapak kian tak bersahabat. Sepulangnya ke rumah kudapati lelaki berusia 45 tahun itu berlagak kekanak-kanakan memasuki kamar lalu mengunci pintu. Aku terdiam di ruang tengah, sampai tengah malam bahkan hingga pagi.

Berhari-hari kutelisik dari berbagai informasi terkait masalah bapak. Salah satunya dari pak KADES yang kini kuhampiri rumahnya. Pak Burhan yang berkata perlahan namun membuat panas pikiranku. Baru kuketahui konser yang dimaksud bapak rupanya hendak mendatangkan Iwan Fals. Pantaslah dalam sehari membuat wajah guru teladan itu bisa mendadak ceria dan seketika juga bisa berubah mendung. Barulah sejenak kunikmati bahagia merona pada bapak, tapi cepat sekali menghilang. 

Suatu malam Abang wartawan mendatangi rumahku lagi, namun diacuhkan oleh bapak tanpa sambutan. Sang ‘umar bakri’ memasuki kamarnya dengan gegas lalu mengunci kamarnya lagi. Merasa kasihan lalu kupanggil para pekerja televisi itu.

“ Bang, ada keperluan apa lagi dengan bapakku?” awalnya pertanyaanku ini hendak mereka abaikan. Namun ketiga lelaki itu menoleh kembali mendekatiku.

“ Begini dik, kami sangat minta maaf dengan kejadian ini. Pihak televisi sebelumnya tidak memprediksi kalau pak Zuhri begitu emosional. Kemarin dari pihak PLN tidak mengizinkan kami menyewa genset di kantornya. Segera kami kabarkan pada pihak manajemen Bang Iwan Fals mengenai kondisi ini. Mereka akhirnya berpikir ulang untuk menggelar konser di sini. Tapi jangan khawatir, kami akan tetap berusaha mencari pinjaman genset dari kota-kota di dekat sini”

“ Intinya kalian Cuma butuh listrik kan?”

“ Betul dik….” Jawab mereka sembari meninggalkan kartu nama pada tubuh cekingku di halaman rumah sendirian.

Kondisi ini membuat rumah kami kian mencekam. Bayangkan saja sebuah hunian tua  tanpa ada komunikasi antara penghuninya. Untuk kedua kalinya ku hanya diam di ruang tengah, sampai malam bahkan hingga pagi lagi. Sebelum bapak keluar dari pembaringannya, kuputuskan untuk sepagi mungkin keluar dari rumah. Tujuanku hanya satu menemui mang Rahmat.

Embun pagi masih berkeliaran mendinginkan kulitku yang hanya dibalut kaos tipis. Barulah terasa manfaat dari motor pemberian mang Rahmat. Sesampainya di kota kubelokkan laju memasuki pelataran rumah yang sudah ku kenal. Dari depan sudah tertulis papan reklame “Bengkel Mang Rahmat”.  Untungnya beliau ada di rumah, tentunya sedang intim bersama rerongsok mesin di ‘laboratorium’nya.

“ Eh, Erik tumben pagi-pagi sudah ke sini. Si Jujun mana?”

“ Tadi gak sempat ngajak Jujun, tapi ada hal penting yang mau kuceritakan mang!”

“ apa?” Mang Rahmat agak serius menatapku.

“ Soal bapak...!”

Pagi itu kusampaikan semua yang sudah terjadi empat hari terakhir. Badan mang Rahmat mulai menegang diiringi kernyitan dahinya. Kulihat ia gelisah namun bersabar mengikuti kata demi kata dari bibir ini. Sesekali kami berdua saling berpandangan hanya untuk diam. Lirikan matanya member isyarat agar aku melanjutkan cerita yang terpotong. Namun sepertinya mang Rahmat tidak begitu kaget saat kukabarkan kondisi bapak yang tidak mau keluar rumah. Adik kandung dari ibuku ini kembali diam menundukkan kepala. Ia berpikir sangat lama, sepertinya malah lebih serius dariku.

“ Gimana mang, ada ide?”

“ Kali ini agak sulit Rik. Tidak ada cara yang lebih aman untuk mendatangkan listrik kecuali ya dengan genset itu.”

“ Kalo pakai kabel panjang, kita ambil listrik dari kampung sebelah bisa kan mang?”

“ Wah resikonya besar kalau itu. Untuk mengadakan konser kita butuh listrik dengan daya yang besar, mungkin Ratusan Watt. Jadi butuh kabel berdiameter tebal kalau dengan cara itu. Tentu saja ini menjadikan boros listrik karena banyak tegangan yang memakan daya listrik. Kita juga akan membutuhkan banyak transistor untuk menstabilkan tegangan Rik…”

“ Trus gimana mang? Apa kita harus pake batere radio?”

“ Emm, yang jelas sekarang kita coba berpikir mencari sumber listrik”

“ Pakai dinamo gimana mang?”

“ Dinamo ya, kalau itu kita harus membuat rekayasa dinamo dengan ukuran jumbo. Tentu akan banyak memakai kumparan yang sangat tebal. Itupun pembuatannya tidaklah sebentar. kita harus memesan perekayasaannya ke Jawa Rik. Di Sumatera belum tentu ada, kalaupun ada pasti mahal dan lama.”

“ Sudahlah mang, aku pulang saja. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan!” 

Kalau mang Rahmat yang sudah kuanggap Profesor saja sudah putus asa, maka habis sudah. Ada kesal bercampur kecewa mengikuti langkah gontaiku dekati motor butut untuk pulang. Suara khas motor tua ini seolah mengejek kepulanganku. 

Kali ini aku tidak kembali ke rumah. Karena sama saja seperti masuk ke dalam kuburan. Saatnya si Jujun kembali menjadi pelarianku lagi. Benar firasatku, ia sedang ‘menggembala’ adik-adiknya bermain di depan rumah. Belumlah kedua kakiku menginjakkan tanah, Jujun dan pasukannya sudah menyambut dengan teriakan riang. Sikap cuek yang melekatiku membuat Jujun tidak kaget saat langkahku memasuki rumah tanpa permisi. Jujun sudah lama mengenalku, sehingga tidak sulit baginya membaca kegelisahanku. Namun kutelisik lagi isi rumah Jujun agak ramai dari biasanya.

“ Jun, rumahmu ramai banget”

“ iya, hari ini abang saya baru pulang dari kelulusan kuliahnya” jawab Jujun polos.
Jujun mengajakku menemui Abangnya di dalam kamar. Namanya Bang Sabam sarjana tehnik. Orangnya tidak kalah polos dari Jujun, begitulah mereka sekeluarga memang terlahir berwatak polos. Namun tentu saja bang Sabam lebih intelek daripada yang lainnya. Entah kenapa mendengar ia bicara sangatlah renyah. Kalimatnya teratur, humoris dan tidak menggurui. Sampailah saat ia berganti mendengarkan ceritaku. Ia mendengarkan penuh simpatik tentang apa yang kualami, persis seperti yang kuceritakan pada mang Rahmat. Bahkan termasuk usulan-usulan yang kusampaikan pada mang Rahmat. Panjang lebar penuturan akhirnya selesai.

Rik, kamu itu sebenarnya cerdas, teman-teman abang di kampus saja gak ada yang berpikir seperti kamu…”

“ Maksud abang?”

“ ah, sudah lupakan. Begini, kasusmu ini sangat manantang. Selain genset ada dua generator yang bersumber dari tenaga alam. Inipun sering dipakai di pedalaman-pedalaman seluruh Indonesia. Pertama generator dari tenaga angin seperti yang ada di Belanda, namanya kincir angin. Selanjutnya adalah generator tenaga air, sebut sajalah kincir air. Nah melihat kondisi alam di desa Sandi Jaya yang berada di lembah Gunung Dempo ini, kincir angin sangat tidak memungkinkan. Karena angin lembah memiliki tekanan yang tidak menentu.”

“ Kalau begitu kincir air lebih cocok ya bang. Soalnya di tempat kita teraliri Sungai Lematang yang Sangat deras. Cara kerja generator itu gimana ya bang?” Kali ini berbalik wajahku yang terlihat polos.

“ Kamu mulai cerdas Rik, kincir air membutuhkan debit air yang deras. Karena untuk memutar sebuah gear besar membutuhkan gaya yang besar juga. Mungkin puluhan bahkan ratusan Newton Rik. Untuk detailnya abang agak sulit menjelaskan secara lisan.”

“ Trus gimana bang?” Tanyaku terpotong oleh rombongan keluarga Jujun yang memanggil dari ruang tengah. Rupanya mereka hendak berdoa pagi ini. Terpaksa aku berpamitan lebih awal. Namun sebelum aku pulang, bang Sabam meminjamkanku buku yang cukup tebal. Namanya buku Skripsi. Beliau mengatakan mengenai kincir angin sudah dijelaskan di dalam buku itu. Setebal apapun kertas yang kubawa ini akan kupelajari demi bapak. Bersama suara parau motor yang kubawa, kuputuskan untuk pulang.

Setiap kembali ke rumah, seakan hari berubah menjadi penuh perjuangan. Gayaku  sedikit ragu untuk memasuki bangunan berbentuk limas itu. Dari kejauhan terlihat pintu depan terkunci rapat. Sejenak coba mengitari tiap sudut pintu, memastikan ada lubang yang terbuka. Hasilnya nihil, mungkin bapak pergi ke sekolah hari ini. Kuhampiri kursi panjang di halaman samping. Sembari membuka-buka lembaran buku skripsi yang baru saja dipinjamkan bang Sabam. Bola mataku liar mencari penjelasan tenaga kincir air yang dimaksudkan. Lembar demi lembar kian memusingkan kepalaku. Banyak gambar serta angka yang belum pernah kutemukan di sekolah.

Sebuah rekayasa kincir air dengan pemutar tipe rantai. Kuabaikan angka-angka yang tertulis, pandanganku fokus pada gambar demi gambar. Sangat sederhana menggunakan rantai motor yang disambung-sambung sebagai pemutar. Bahkan gear yang dipakai juga empat buah gear motor saja. Sedangkan gaya pendorongnya tentu saja dari tenaga air sungai yang dialirkan ke dalam bak-bak air. Bak air tersebut dijadikan pemberat agar kincir berputar menghasilkan energi mekanik. Energi mekanik yang memutarkan gear itu kemudian disalurkan pada dinamo. Di sini aku mulai bingung, apakah dinamo pada motor bebek bisa diapakai? Lalu kulirik sejenak motor bebek yang kini tersenyum di halaman depan. Mungkin teman baruku itu akan menjadi korban percobaan ini.

Berjam-jam aku berpikir di halaman rumah. Sampai siang begitu terik menerangi pikiranku yang kian berimajinasi. Kelihatannya bapak tak akan pulang sesiang ini. Kebosanan mulai menghinggapi mataku. Tak kuasa kulawan kepenatan ini hingga karpet di depan pintu menjadi alas yang terlalu empuk untuk melelapkan kelopak mata.
***
            “ Rik, Erik… bangun Rik, buka matamu, kamu sudah siuman Rik?” Itu suara Jujun.

            “ Jujun? Kok kamu di rumahku, kok jadi ramai begini?” kupandangi sekitar ada Bapak, mang Rahmat, bik Midah serta Jujun kini memenuhi ruang tengah. Mereka semua memandangi bangkitnya badanku dari kursi panjang tempat yang biasa kutiduri.

            “ Santai Rik, Kamu Minum Air Putih Dulu Sana…”

            Kureguk beningnya air dari teko tua di dekat pembaringan. Akhirnya Jujun bercerita bahwa sudah hampir dua hari aku tertidur seperti orang pingsan. Tentu saja awalnya aku tak langsung mempercayai. Namun karena semua menceritakan hal serupa, terpaksa aku mempercayainya. Kutarik lengan Jujun agar daun telinganya mendekat. Kutanyakan perihal bang Sabam dengan penuh keseriusan. Namun kabar yang hampir membuatku kembali pingsan disampaikan oleh sahabatku ini. Pemilik buku Skripsi itu telah kembali ke kampusnya untuk mengurus ijazah wisuda. Kemungkinan dua pekan lagi baru kembali lagi. Lantas, kepada siapa aku harus bertanya untuk memulai proyek kincir air ini. Satu per satu manusia di rumah kuperhatikan. Nampaknya semua bisa dijadikan rekan kerjasama, selain bapak tentunya. Ya selain bapak, dia tidak akan membolehkanku pastinya.

            Keesokan paginya, Aku dan Jujun sudah berdiskusi dengan mang Rahmat di dalam bengkel. Kuhamparkan buku Skripsi yang dibawa dari bang Sabam, kami baca berulang-ulang. Sampailah pada kesimpulan bahwa proyek ini butuh tenaga yang banyak dalam menyelesaikannya. Satu kincir angin bisa jadi selesai sampai satu minggu lamanya. Sedangkan bila dihitung-hitung satu kincir bisa menghasilkan 7000 Watt. Asalkan debit air bisa menghasilkan 1.200 putaran per menitnya ( Rotation per minute / RPM). Untuk sebuah konser setidaknya kami harus menyelesaikan 3 kincir angin. Akankah hal tersebut bisa selesai dalam waktu dua minggu saja? Sebenarnya aku ragu, tapi melihat keoptimisan mang Rahmat mampu meyakinkanku lagi.

            Hanya butuh tiga hari saja aku mampu mengumpulkan bocah-bocah nakal di SMA-ku. Termasuk adik-adik kelas calon siswa nakal yang sudah lama kudidik. Ada lima belas orang yang kini memenuhi bengkel mang Rahmat. Kuawali dari cerita panjang kepada semua ‘anak buahku’ itu. Selanjutnya giliran mang Rahmat menjelaskan pembagian peran masing-masing. Sedangkan lokasi sungai yang dijadikan titik percobaan sudah didapatkan tiga titik oleh Jujun.

            Perjuanganku kian memanas, semua saling menyemangati. Hari demi hari kami pijak dengan keoptimisan adanya perubahan di kampung ini. Bukan Cuma listrik untuk konser Iwan Fals, tapi untuk peningkatan kualitas hidup semua warga. Mulai dari menghampiri pemuka-pemuka desa untuk sekedar memnta izin. Kemudian bergiliran tugas jaga malam di lokasi pemasangan kincir. Sungguh tidak terpikirkan sebelumnya kalau pembuatan kincir air menghabiskan waktu panjang. Hampir satu purnama terlewati hanya untuk membuat dua kincir air saja. Padahal kami merencanakan tiga buah generator untuk mencukupi daya listrik sebuah konser.

            Suatu malam pada kincir yang terakhir terjadi kemiringan pada poros gear. Sehingga teman-teman yang sudah kelelahan memutuskan untuk berhenti sejenak. Malam itu aku mendapat giliran jaga. Di pos jaga kutatapi siluet bayangan hitam kian mendekat. Dari lenggok tubuhnya mataku sudah hafal dengan sosok ini. Emm, tidak salah lagi Jujun malam-malam begini selalu mengenakan jaket andalannya. Jaket hitam berlapis kulit klimis. Kian larut berkabut menghantarkan dewi malam menaiki langit. Mulanya asyik berbincang akrab bersama, kini Jujun telah terlelap.

            Kutinggalkan sahabatku itu sendiri di pos, sedang aku melanjut langkah dekati kincir air. Rasa penasaranku masih menggelayut hendak menyelidiki bagian dalam badan kincir air tersebut. Kaki lentik kuangkat menanjaki kayu-kayu penyangga melihat kerusakan lebih dekat. Walaupun sebenarnya kekhawatiran akan kayu yang rapuh sebentar mulai terlintas. Namun arah kepalaku tetap bergerak ke atas badan kincir. Ternyata gear atas dan bawah tidak sejajar, ini menyebabkan rantai sulit berputar sempurna. Bahkan bila didorong dengan gaya yang besar bisa menyebabkan putaran macet. Mur dan baut begitu rekat di atas sini sehingga sulit untuk melepasnya. Dengan tenaga yang seadanya kutarik agak paksa supaya gear tersebut bergoyang.

            “krek krek….” Suara kayu patah dari arah bawah.

            Kedua kakiku kehilangan tempat berpijak. Badanku berguncang tidak stabil. Beberapa detik sebelum gravitasi bumi menyedot ragaku, kusempatkan meraba apapun yang bisa diraih oleh tangan. Awalnya telapak tanganku membelit rantai supaya bisa menjadi tempat berpegangan. Ternyata badan cekingku menjadi lumayan berisi jika diapakai untuk membelah kayu yang rapuh penuh rayap. Kini telapak kaki ini tak punya lagi tempat berpijak, tubuhku menggelantung. Terus kutarik rantai yang tertahan di antara gear dan kayu pengganjal. Namun cepat sekali kayu itu ambruk membuatku tersungkur ke bawah tanpa pijakan. Seketika mulut ini berteriak sekencangnya.

            “ Aaaaaaah, Aaaaduhh, tolong!” 

            Bukan Cuma tubuhku yang jatuh, ternyata dua buah gear pun ikut terbawa gravitasi bumi. Jeruji tajamnya mengalirkan darah di ujung tungkai kakiku. Sangat tajam terasa meremukkan tulang, aku takut teriakanku ini mengusik cumbuan rembulan dan bintang. Mencoba memberanikan diri melihat luka robek yang sangat parah. benar-benar parah, seperti daging ayam yang tercincang di pasar. Keringat dingin menjalar hingga ke ubun-ubun, lemas rasanya. Badanku roboh namun tak sampai ke tanah. Ada manusia lain di belakangku yang datang tidak tepat waktu. Siapapun ini, tolong selamatkan kondisiku. Entah berapa orang yang menyeret bahu ini menuju semak yang lebih datar. Sepertinya aku pingsan namun kesadaranku masih mendengarkan jejak kaki yang kian ramai. Aku terus berjuang untuk tetap siuman jangan sampai terlelap panjang. Walau sebenarnya aku tak bisa membedakan lagi ini alam sadar atau bukan. Sepertinya semua rombongan masing-masing memanggul tubuhku, mereka melayang melewati pepohonan. Kuintip di bawah sana, tubuhku terbang melintasi rumahku menuju sungai Lematang. Rambut tipisku berterbangan terhembus angin kala menyusuri perkotaan Pagar Alam. Kian melambung menuju langit gelap, sangat pekat, menyesakkan nafas. Mungkin di atas langit sudah tak ada oksigen lagi. Paru-paru ini sudah tak tahan mencari sehirup udara seperti di bumi.

            “ Ahhh, Mana Oksigen……!” Akhirnya berhasil memberontak demi udara lepas.

            “ Woooooooi, Erik sudah sadar.” Dari arah belakang ada yang berteriak lebih lantang. Firasatku benar, itu suara Jujun. Sepintas kuamati kondisi ruangan yang berbeda. Kemilau putih bersih mengelilingi corak segala perabotan. Suara rombongan itu kembali datang berduyun mendekatiku. Ada bang Sabam, mang Rahmat juga bapakku. Firasatku mengatakan kalau ini rumah sakit.

            “Jun, bagaimana listriknya, konsernya?”

            “Sudahlah rik, kamu istirahat aja dulu” jawab Jujun dengan senyum sangat lebar. Semua yang hadir pun berlomba-lomba menghadiahiku senyum indah. Termasuk bapak dan pipi lesungnya terlihat lagi. Apa yang barusan mereka kerjakan sih?

            “ Aku serius Jun, bagaimana kincirnya, listriknya trus konsernya” Tanyaku lagi.
            Bapakku dari kejauhan mendekati pundakku. Belum pernah matanya berkaca-kaca seperti ini.

            “ Rik, terima kasih ya. Ternyata kamu sangat sayang sama bapak. Soal kincir kamu, semua sudah kami bereskan, ada mang Rahmat dengan kejeniusannya mampu mengatasi masalah ini. Ditambah lagi kemarin bang sabam yang lulusan tehnik mesin menunjukkan kemampuan sesungguhnya. Demi listrik di kampung kita nak, demi konser yang kamu perjuangkan” air mata bapak menetes deras membasahi kancing bajuku.

            “ Dan kalau kamu tahu, kemarin pak Zuhri sudah mengeluarkan rumus-rumus fisikanya untuk mengalirkan listrik menjadi tenaga yang efisien ke setiap Travo di desa. Sayang kamu tidak melihat aksi guru teladan se Indonesia ini beraksi memimpin proyek kita” Celetuk bang Sabam dari belakang. Membuatku bangga memiliki bapak seorang guru teladan.

            “ Trus, konsernya kapan, bang Iwan bisa datang kan?” Saat pertanyaan itu kulontarkan mereka hanya diam. Kecuali si Jujun dia mengambil sebuah kumpulan foto di meja untuk dihadapkan pada sahabatnya ini.

            “ Rik, pas kamu masih belum sadar. Dua hari yang lalu konsernya sudah terselenggara. Ini foto-fotonya kalau kamu nggak percaya”

            Kuamati satu per satu. Dan foto pertama yang kulihat adalah kondisi diriku yang terbaring sakit tapi di sebelahnya ada bang Iwan Fals sedang memegang gitar seolah menyanyikan lagu untukku. Foto berikutnya ada bapak yang tersenyum indah sekali bersama Bang Iwan di belakang panggung. Lalu ada foto Jujun yang tertawa lepas dirangkul abang wartawan. Kualihkan tatapanku ke arah Jujun.

            “ Nggak apa-apa kok Jun. Ngomong-ngomong bang Iwan bawain lagu apa aja Jun”

            “ ada Bento, Wakil Rakyat, Galang Rambu Anarki, Pesawat Tempur wah banyak” setiap judul lagu yang disebutkan Jujun membuat buliran air mataku tak tahan hendak keluar. Akhirnya lagu yang hanya bisa didengar bapak lewan tape baterai menjadi kenyataan.

            “ Ada lagu Umar Bakri juga lo Rik….!” Celethuk mang Rahmat diiringi tertawa lepas semua ruangan. 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6nONLuLjndu8kHJZLgDsnfFPxeDuvb1I33B6I67kPuV4z-TjiZwTOvWzCpullgVDh4llrB5W7RoIY...
Teguh Estro Selasa, 18 Juni 2013
Teguh Indonesia

Phobia

http://site.icanvasart.com/buy_paintings/Dorothy_Police_Search_Banksy_Painting.jpg
Oleh: Teguh Estro
(Cerpen Inspiratif)


            “ Ma, maafin papa ya. Tadi bukannya gak mau angkat telpon. Tapi bener-bener gak sempet…” ujarku memecah kesunyian pada Wina, Isteri tercinta.

            Hampir dua jam cemberut di wajah Wina buatku tak fokus menyetir mobil. Sesekali kusentuh mesra dagu Wina mengharap senyum manisnya barang sebentar. namun wanita kelahiran Bandung itu tak jua merubah rona mukanya seceria awan siang.

            “Mama kenapa sih, cerita dong biar papa nggak kayak orang bego’ gini….” Sapaanku mulai ketus. 

Wina memalingkan wajah manisnya abaikan ucapan suaminya ini. Dari kejauhan, matahari siang juga tak mau peduli menyemburat panasnya menembus kaca mobil silaukan bola mata. Bahkan AC mobil tak cukup mendinginkan kegerahan suasana. Pun demikian tingkah si kecil Lia di bangku belakang. Putri pertama kami itu hanya terdiam menyimak kelakuan aneh kedua orang tuanya ini. Lia asyik bermain seorang diri sembari menggoyangkan kipas cilik di sela-sela lehernya.

            “ Pa, sepenting apa sih kerjaan papa. Biasanya juga bisa jemput, kan mama jadinya ditinggal sama tiga pelanggan sekaligus….” Seketika Wina menyolot dengan pertanyaannya yang sinis.

            “Oke baik, Papa minta maaf ya….” Ujarku sembari menatap bola matanya yang bening. Serasa terhembus angin segar. Namun lagi-lagi Wina memalingkan muka, membuat batinku penasaran akan apa maunya. Beginilah kaum hawa, mereka begitu sulit lupakan khilaf bilamana sudah masuk ke relung hatinya. Berucap maaf saja tak cukup.

            Perjalanan nan membosankan kulalui. Suasana macet ibu kota kian menjalari alam kekesalan siang ini. Mengendarai mobil mulai tak terkendali sebab pikiran membuncah tersendat emosi batin. Rasa malu pada puteri kecilku yang masih bau kencur, kini menjadi penonton adegan tak mendidik. Di tengah kecamuk perasaan ini justru berimbas ketidaksabaranku dalam membawa mobil. Kulaju kencang menerabas lampu lalu lintas yang sedang bertanda merah.

            Gugup, panik, dan pilihanku malah menambah laju tancapan gas. Ternyata benar prediksiku, tindakan gila ini sudah terpantau dua orang polisi yang kini membuntuti. Jujur saja sejak mobil ini dibeli, baru kali ini berurusan dengan polisi. Paras Wina kian bersungut muram bercampur takut setelah menyadari kuda besi kami diikuti petugas. Sepertinya ia hendak marah, namun mobil segera kupercepat agar lolos dari intaian. Namun usaha ini gagal, lantaran teramat sulitnya melaju kencang di jalanan ibu kota. Pasrah sajalah, di tengah kemacetan, dua motor polisi merapatkan diri pada mobil kami dan meminta berjalan ke arah pinggir. Siang ini bak jatuh tertimpa tangga. 

Akhirnya kualami juga berurusan dengan polisi nan bertele-tele. STNK mobilku disita dan menunggu untuk sidang lima hari lagi. Sejak kecil diriku mengalami phobia bilamana menatap polisi. Namun itu belum seberapa. Sesampainya di rumah isteriku berkicau lagi atas masalah yang remeh-temeh. Bagiku lebih baik tertangkap polisi setiap hari daripada harus perang mulut dengan wanita yang masih kusayang ini. Sampai-sampai sore itu Wina pergi lagi dari rumah. Ia berkelana bersama rekan bisnis sampingannya, sahabat kuliahnya dulu. Seperti biasa menyambut datangnya dewi malam hanya ada aku dan Lia di dalam kediaman kami.

            Anugerah terbesar yang diberikkan Tuhan adalah hadirnya malaikat kecilku yang masih berusia 7 tahun. Hanya saja kini Lia kerap termenung seorang diri di sudut kamarnya. Bahkan pernah ia kepergok tengah berdialog sendiri melakonkan pertengkaran orang tuanya. Aku tahu apa yang ia rasa, yakni ketakutan dan merasa bersalah. Dengan malu-malu, Lia mendekatiku yang sedang sendiri di ruang tengah.

            “Pa, kok malem gini mama belum pulang ya….?” Ucap Lia terbata-bata.

            Pertanyaan selugu itu menggetarkan kerasnya hati nan membatu. Memang selama ini gadis kecil kelas 2 SD itu lebih akrab denganku. Maklum akhir-akhir ini mamanya sibuk dengan bisnis sampingannya. Aku tak pernah melarang pekerjaan itu, hanya saja dengan kurangnya komunikasi di antara kami, terkadang jadikan hal-hal sepele bak masalah puting-beliung. Ditambah lagi mulai kurangnya waktu kumpul keluarga antara kami berdua.

            “Papa!, kok ditanyain diem aja. Aku salah ya….?” Niatku hendak menjawab, namun suara pintu rumah menggedor segera membungkam bibir ini. Dengan tergesa kubuka pintu dari dalam. Prasangkaku ternyata benar, lagi-lagi Wina pulang larut malam. Dengan wajahnya yang hambar, ia bergegas masuk ke kamar. Sejak kukenal kuliah dulu, si pipi lesung ini memang orang yang jutek. Sampai pernikahan kami menginjak 8 tahun, sifat itu belum juga mampu kuredam.

            Wina kini tengah sendiri di kamarnya, kamar kami berdua. Ia menatap cermin rias dengan pandangan kosong. Perlahan langkahku mendekati wanita yang dulu kunikahi tepat di hari ulangtahunnya.

            “ Mama mabuk lagi ya?” tanyaku singkat.

            “ Sudahlah pa, mama capek” jawabnya singkat.

            Mendengar itu kian menambah geram emosi yang menumpuk di kepala. Apa boleh buat, malam ini kucoba pisah ranjang lagi dengannya. Mengalah di saat yang tidak tepat memang butuh keberanian. Setidaknya dinginnya angin malam akan kuhabiskan dengan menemani Lia di kamarnya. Masih banyak cerita pengantar tidur yang tertunda untuk kuhabiskan bersamanya. Entahlah, saat memasuki kamar malaikat kecilku ini, terasa kedamaian yang menentramkan. Tetapi tak kudapati puteriku di ruangannya. Biasanya Lia sering tertidur di ruang tengah karena kelelahan tugas-tugas sekolahnya. Dorongan mataku mulai melirik ke luar kamar menuju ruang paling besar di rumah kami. Kali ini firasatku salah, tak jua pandanganku menemukan sosok yang dicari. Rumahku memang luas, namun dalam waktu singkat kudatangi satu-persatu untuk memastikan keberadaan Lia Fransiska. Jantungku berdegub tak beraturan memaksa keringat dingin keluar dari kulit yang mulai khwatir ini.

            Kemana Lia?

            “Lia…..! Kamu dimana nak?” Teriakku ke semua penjuru ruangan.

            “ Pa, Lia kenapa….?” Suara Wina dari lantai bawah terdengar tercekat-cekat panik.

         Malam yang menegangkan. Aku dan Wina tanpa ba-bi-bu berlarian keluar mengelilingi perumahan komplek satu per satu. Sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul 00:45 kemuncak bulu kuduk menggigil. Saat langkah gontaiku memasuki pagar rumah bercorak timur tengah milik kami, kudapati Wina sudah  terduduk lesu memasang wajah pucatnya. Ia melihat kehadiran suaminya ini, lalu bangkit dan berjalan mendekat dengan pandangan berkaca-kaca. Anak perempuan salah satu dosen kuliahku itu lantas memelukku dengan erat mengagetkan insting lelaki yang sudah jarang tersentuh wanita. Walau agak ragu, kuusap bahunya untuk menenangkan suasana. Suasana kecemasan berirama jangkrik tanpa jeda.

            “ Pa, Mama takut. Lia kemana?” Suaranya agak parau terdengar.

            “ Besok kita urus semuanya, malam ini kita istirahat dulu ya ma….” Aku dan Wina akhirnya istirahat dalam satu kamar, namun dengan suasana yang tidak tepat.

***

Esok pagi,

            Sudah kuputuskan hari ini tidak akan masuk kerja. Saat terbangun dari pembaringan kutatap wanita berpakaian rapi dengan rambut masih basah mengepalkan kedua tangan pertanda cemas. Wina tak kunyangka menghadapi dunia lebih pagi dari biasanya. Ia menggerak-gerakkan jemari kaki ini meminta bergegas menjauhi ranjang yang pernah menyimpan memoar cinta. Sungguh heran seperti bukan Wina biasanya, apalagi kulihat kala melintasi dapur yang sudah terhidang sarapan. Sudahlah, kuselesaikan aktivitas pagi untuk menyelesaikan prahara puteri kecil kami.

            “Pa, sebaiknya kita pasang berita kehilangan anak di koran…” Wina memulai percakapan pagi ini. 

Sejak semalam saya hanya berpikir satu-satunya solusi yang teraman hanyalah melapor pada polisi. Namun phobia dalam otakku mencegah ide tersebut. Nampaknya Wina memahami ketakutanku ini sampai ia tak berani menawarkan usulan yang berkaitan dengan polisi.

            Seharian kami berputar kota Jakarta dari satu kantor berita ke gedung lainnya. Kemacetan di larut malam memaksa kami berdiam berdua saja di bangku depan mobil anyar ini. Salah tingkah, aku belum terbiasa dengan watak Wina yang tiba-tiba baik, senyum yang menyejukkan bahkan ia selalu mengalah dalam berdiskusi. Sesekali bola mata ini mencuri-curi pandangan yang sebenarnya sudah disadari oleh Istriku itu. Tapi yang kutahu, sembab merah kedua matanya terus teraliri buliran air mata. Kian mendekati rumah, semakin sering ia menghabiskan tissue.

            Rumah kami bak Istana namun tiada bernilai apapun tanpa tangsi tawa malaikat kecil. Wina berjalan melambat di belakangku seolah hendak memintaku membuka pintu rumah lebih dahulu.  Ia tak sanggup memasuki rumah yang tiada lagi berbekas kebahagiaan. Prasangkaku benar, ia berhenti di serambi melenturkan badannya di kursi asli buatan Jepara. Aku menemani sang Isteri di lantai depan rumah mengingatkan pada awal-awal pernikahan dulu. Dua insan bergurau malu disini bersama kursi-kursi bisu. Kini ia termangu, semacam ada penyesalan yang hendak diutarakan di setiap isakan tangis.

            “ Papa boleh kok ceraikan mama kalau mau….!”

            “ Mama ngomong apa sih? Jangan berpikir kelewatan ma!” Lontarku sangat terkejut. Tidak terpintas sedikitpun dalam otakku kalau Wina sampai menyuruh cerai.

            “ Pa, semuanya karena salah mama. Andai dulu lebih nurut sama omongan papa. Mungkin kejadiannya gak bakal begini. Sekarang pasti Lia sedang kecewa dengan mamanya yang tak tau diri ini. Lia pergi karena tak sanggup hidup dengan keluarga seperti ini. Mama janji pa, kalaupun nanti Lia kembali. Mama tak akan pernah berkata kasar di hadapannya pa. Maafin mama ya pa....!” Wina menutupi wajahnya dengan kedua telapak mungilnya sembari sesegukkan nafasnya. Ada ketakutan menyelimuti bidadari di hadapanku ini, sampai-sampai ia sealu menghindari kontak mata. Lama sekali kami berdua terdiam, menyudahi isak demi isak tetangis sang jelita. Berjam-jam kutemani satu per satu air mata mengering di pipinya. Aku tak akan mengusik keheningan ini kendati itu hanya sesaat.

            “ Dug Dug Dug….. ting tong….” Suara itu terdengar dari gerbang rumah kami. Aku dan Wina kembali tersadarkan atas masalah yang belum terpecahkan. Bergegas kuraih pengunci gerbang untuk menyawang siapa gerangan di luar sana. Pandanganku seketika mengalami kontraksi saat tahu bahwa sosok tersebut adalah polisi. Ya, persis sekali polisi yang dulu berurusan dengan mobilku di lampu lalu lintas. Coba kuurungkan niat melepas pengait kunci gerbang. Karena harus kusudahi dulu mengatasi wajahku yang mulai pucat. Seragam itu yang dulu pernah menginjak-injak rumah orang tuaku. Seragam itu yang mebuat ibuku berteriak seperti orang kesurupan mengharap dihentikannya penggusuran rumah.

            Belum sempat badanku berbalik, nampak Wina sudah membuka gerbang dengan gegas. Sembari mengusap hidung kemerahannya, ia sambut senyum petugas tersebut.

            “ Maaf, benar ini rumah bapak Dharma Tri Wicaksana….”

            “ Iya benar, saya isterinya” Jawab Wina singkat.

            “ Saya ke rumah ini hendak mengantar pulang puteri anda dan….” Belum selesai polisi itu melanjutkan basa-basinya. Dari pintu mobil itu muncul mahluk mungil yang seharian membuat semua khawatir. Aku dan Wina seketika mengabaikan kehadiran polisi itu dan menjemput Lia yang tengah sumringah. Kugendong dengan pelukan paling manja diiringi Wina yang melingkari bahuku.

            “ Maaf, mungkin sudah saatnya saya kembali ke pos polisi” Ujar petugas tanpa ada yang mendengarkan. Bukan aku tak mau menegurnya, namun aku tak sanggup menatap matanya. Apalagi saat ini memeluk Lia adalah karunia yang melegakan ditambah senyum cantik Wina kulihat lagi. Senyum yang membuatku tertarik padanya sepuluh tahun lalu. Kalaupun hari ini nyawaku dicabut, aku rela. Karena melihat senyum ceria anak dan isteri adalah akhir hidup yang terindah.

            “ Pak polisi sebentar….” Panggil Wina diikuti tolehan perlahan dari pria berseragam itu. 

            “ Pak polisi tahu rumah kami di sini dari siapa, bukannya Lia belum hafal jalan Jakarta?” Tanya Wina tanpa kumengerti maksudnya. Sepertinya ada suatu hal yang ia curigai dari polisi ini.

            “ Oh kalau itu, saya temukan alamat anda di STNK mobil suami anda yang masih tersita di kantor. Em, sekalian mengingatkan dua hari lagi sidang atas pelanggaran tiga hari lalu….” Ujar polisi tersebut agak panjang lebar.

            “ Pa, tadi om polisi itu yang menolong aku. Mereka baik sekali, kalau aku besar nanti mau jadi kayak mereka. Aku mau jadi polisi pa….” Celetukan Lia barusan membuatku kaget. Dan diiringi tawa kecil dari Wina di sampingku. Mungkin malaikat kecilku ini belum tahu, kalau papanya ini phobia terhadap polisi. Aku tak akan rela puteriku menjadi polisi, tak rela!

            Semakin lega pikiranku malam ini teriring kian menjauh penampakkan mobil polisi dari depan rumah. Lia tetap sumringah dalam dekapanku dan kuhantar dirinya menuju kamarnya. setelah kupastikan Lia nyaman di kamarnya, aku dan Wina lekas meninggalkan Lia bersama selimut kesayangannya. Lalu tanpa komando, aku dan Wina lekas menuju kamar kami berdua. Inilah malam yang kutunggu-tunggu kembali satu ranjang dengan Isteriku. Dengan suasana yang berbeda, lebih romantis, penuh kasih sayang, senyum indah itu memaksaku menarik pergelangan tangannya. Tepat didepan pintu kamar sengaja kudahului dengan membukakan pintu kamar bak pangeran memperlakukan puteri raja. Ia hanya tertawa kecil untuk kesekian kalinya, serasa bulan madu kembali.

            “ Papa, Mama, boleh nggak aku malam ini tidur bareng papa sama mama juga. Soalnya Lia takut nanti Papa sama mama bertengkar lagi….” Suara kecil itu kali ini menjengkelkanku. Belumlah dia menjadi polisi sudah membuatku phobia lagi.

http://site.icanvasart.com/buy_paintings/Dorothy_Police_Search_Banksy_Painting.jpg Oleh: Teguh Estro (Cerpen Inspiratif)   ...
Teguh Estro Rabu, 12 Juni 2013