Menu
Teguh Indonesia

Modal Sosial Dalam Pembangunan


Oleh: Teguh Estro
Direktur Riset Lembaga RESEI
(Research and Social Empowerment Institute)

Banyak daerah kabupaten/kota yang latah mengadopsi tren smart city. Seolah suatu wilayah otomatis menjadi cerdas hanya dengan aksesoris teknologi. Saat ini semua pembangunan serba sensor, aplikasi sampai perkakas robotik ditanam di sudut-sudut kota. Kita sibuk mencerdaskan perangkat-perangkat pelayanan namun lupa mencerdaskan masyarakatnya. Padahal kualitas sumber daya manusia kita masih jauh daripada cukup. Masyarakat kita masih miskin secara mental, gaptek, wawasan yang sempit, kebergantungan pada bantuan serta kurang partisipatif. Di sinilah terjadi kesenjangan antara pelaku pembangunan dan fasilitas pembangunan. Jelas ini tidak efisien, hanya menambah asset dengan biaya perawatan tinggi. Namun tak bisa digunkana sesuai tujuan.

Suatu pembangunan akan berhasil bukan semata didukung oleh infrastruktur dan komponen-komponen fisik saja. Namun ada yang tak kalah penting, yakni modal sosial dalam pembangunan. Dalam Buku EKONOMI PEMBANGUNAN DAERAH Karya Dr. Muammil Sun’an, SE, MP.,M.AP diterangkan bahwa “Modal Sosial memainkan peran penting dalam masyarakat sebagai aset sosial yang memungkinkan individu dan masyarakat berhasil menggalang kepercayaan yang kuat antar anggota, mereka dapat menyelesaikan pekerjaan dengnan modal uang yang lebih sedikit.”. Masyarakat yang cerdas sangat dibutuhkan dalam pembangunan. Mereka yang memiliki kemampuan menjalin komunikasi, mengorganisir tim, mampu menerjemahkan bahasa program pembangunan dalam strategi-strategi teknis. Masyarakat partisipatif seperti ini merupakan modal sosial dalam percepatan pembangunan. Program yang apik jika tidak ditunjang oleh partisipasi masyarakat maka akan memunculkan inefisiensi.

Menurut seorang pakar Robert Putnam, Modal Sosial itu ada tiga ; (1)Jaringan atau networking, (2) kepercayaan dan (3) norma-norma. Masyarakat yang memiliki jaringan maka ia mampu membuka akses terhadap macam keterbatasan. Baik itu jaringan horizontal maupun jaringan vertikal. Jaringan bisa didapatkan melalui komunitas, asosiasi, partai politik, relawan atau organisasi-organisasi kemasyarakatan. Robert Putnam pernah melakukan penelitian di Italia. Peneletian Putnam menunjukkan bahwa wilayah utara Italia lebih maju dari wilayah selatan karena lebih banyak orang di utara terlibat dalam berbagai asosiasi daripada di selatan Itali. Hal ini kemudian menyebabkan pertumbuhan ekonomi di wilayah utara lebih tinggi daripada di selatan. Asosiasi sukarela di wilayah utara menjalin hubungan kerja sama yang intens dengan pemerintah daerah setempat. Selanjutnya Robert Putnam berpendapat dalam artikelnya BOWLING ALONE : PENURUNAN MODAL SOSIAL AMERIKA “….Masyarakat dengan jaringan sosial yang kuat, upaya memajukan sebuah negara telah jauh lebih berhasil dalam berbagai bidang seperti peningkatan kualitas pendidikan, penurunan jumlah pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan Narkoba dan berbagai masalah lain di bidang kesehatan….”

Selanjutnya kepercayaan atau trust merupakan modal sosial yang didapatkan masyarakat karena kecakapan atau kapabilitas serta kejujuran dalam pengelolaan program. Oleh karenanya masyarakat yang sudah mengenal pendidikan dan pelatihan adalah modal sosial yang berharga. Mendorong masyarakat agar mampu memahami alur pembangunan, terlatih mengelola anggaran pembangunan serta memiliki hasrat untuk mengembangkan diri agar memiliki keahlian-keahlian baru. Modal sosial yang terakhir adalah kekuatan norma. Norma agama, norma sosial, norma adat merupakan potensi yang bisa mengontrol masyarakat agar memiliki integritas dalam mengelola pembangunan. Sebagai contoh di Brazil, pemerintah yang bersih (good government) ikut memperlancar semua program sosial ekonomi masyarakat lokal sehingga berjalan dengan baik.

Modal Sosial yang berkualitas sangat dibutuhkan di negeri ini. Terutama melihat tren pembangunan di Indonesia yang bergeser pada penguatan desa melalui komitmen dana desa. Tantangan bagi kita adalah bagaimana mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan modal sosial di desa-desa. Dalam buku THE GREAT SHIFTING Karya Prof. Rhenald Kasali menyatakan “Kemendes (Kementerian Desa) melakukan pendekatan yang mendorong partisipasi aktif masyarakat dengan pendekatan 5K, yaitu Konsensus, Keterpaduan, Kelembagaan, Komunikasi dan Keberlanjutan”. Apabila modal sosial yang dimiliki masyarakat rendah, maka yang terjadi adalah program-program yang tidak efisien.


Rekayasa Sosial untuk Meningkatkan Modal Sosial


Dalam meningkatkan modal sosial sangat butuh campur tangan pemerintah. Caranya adalah dengan melakukan rekayasa sosial (Social Enginering). Paling tidak terdapat tiga hal yang harus dilakukan secara berkelanjutan dalam rekayasa sosial. Yakni, pertama tahap riset, kedua dengan penguatan sistem sosial, dan ketiga kampanye perubahan. Ketiga hal ini harus saling koordinatif satu sama lain. Hasil Riset harus aplikatif sehingga bisa digunakan dalam penguatan institusi sosial. Selanjutnya Institusi yang kuat harus mengkampanyekan perubahan melalui program-program yang berdampak pada peningkatan modal sosial. Dan yang terakhir output sebuah program harus dievaluasi sehingga bisa menjadi bahan assessment dalam melakukan riset kembali. Semua dilakukan secara terintegrasi. Dalam artikel Membangun Bangsa Dari Desa: Mewujudkan Pertumbuhan Berkualitas Karya Prof.Dr. Gunawan Sumodiningrat, M.Ec. Beliau berpendapat ; “Tujuan pembangunan dari desa adalah membangun keluarga-keluarga yang dilakukan secara terintegrasi yaitu ; membangun Jiwa, Membangun Raga, Membangun Keuangan, Membangun Wawasan dan Membangun Partisipasi Pembangunan”

Lantas peran pemerintah dimana? Pemerintah seharusnya melakukan pilot project sebuah desa yang sukses melakukan rekayasa sosial untuk meningkatkan modal sosial pembangunannya. Semisal dalam satu kecamatan terdapat satu desa percontohan yang memiliki alur rekayasa sosial yang mapan. Sehingga desa-desa lain bisa mencontoh secara aplikatif. Hal ini memang tidak mudah, namun harus dicoba agar pembangunan kita tidak jalan di tempat.



Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro Direktur Riset Lembaga RESEI (Research and Social Empowerment Institute) Banyak daerah kabupaten/kota yang l...
Teguh Estro Sabtu, 11 Mei 2019