Menu
Teguh Indonesia

Menakar Peluang Sambut MEA


Oleh: Teguh Estro*

            Segenap segmen masyarakat memiliki ragam respon terhadap pencanangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 kelak. Sebagian optimis melirik terbukanya pasar baru bagi ragam komoditas industri domestik. Sebagian lagi keluhkan kurangnya daya saing Indonesia terhadap produk negara-negara jiran. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, waktu terus berjalan menyongsong MEA yang telah dicetuskan sejak 2003 silam.

            Secara peringkat ekspor-impor kawasan, Indonesia masih tertinggal dengan Singapura dan Malaysia. Singapura berada pada level 31,8%, Malaysia 29% dan Indonesia di peringkat tiga sejumlah 26%. Kondisi ini akan menjadi pesakitan bagi Indonesia bilamana tidak memiliki keunggulan komparatif terhadap produk negara-negara ASEAN. Pasalnya, sampai sejauh ini ‘jualan’ yang ditawarkan masing-masing pihak masih memiliki kesamaan produk. Inilah yang mengkhawatirkan akan munculnya kompetisi dagang tanpa adanya resiprositas.

            Indonesia memiliki pengalaman buruk di era Soekarno dalam hal kerjasama kawasan. Dengan merapatnya bung Karno pada poros Beijing membuat kita terkucil dari pergaulan kawasan. Di sisi lain kedekatan dengan negara-negara sosialis tak lebih dari jargon-jargon semata. Bahkan anggaran negara terkuras sebab kebijakan militer konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura. Oleh karenanya salah satu pertimbangan untuk menyukseskan MEA adalah membangun keharmonisan kawasan. Mengingat banyak kawasan lain yang harus membayar terlalu mahal harga sebuah kondusifitas. Sebut saja Uni Eropa yang sempat mengalami resesi yang berawal dari utang macet di Yunani. Dan parahnya merambat krisis ke negara lainnya. Begitupun kondusifitas di timur tengah yang harus dibayar dengan ongkos minyak dunia kian melonjak. Belajar dari sana, Indonesia yang masih tertatih membangun ekonomi dalam negeri, membutuhkan kondusifitas kawasan. Mengingat konflik antar negara juga kerap menjadi sandungan ekonomi ASEAN.

Singapura dan Malaysia Pesaingkah?
            Daya saing Indonesia, menurut indeks daya saing global pada tahun 2010 pada urutan 75. Jauh berada diatas yakni Singapura berada pada urutan ke-2 di dunia, Malaysia 29, Filiphina 44 dan Vietnam 53. Sehingga kekhawatiran terhadap defisit perdagangan dirasa cukup beralasan. Karena boleh jadi ketika terjadi ‘liberalisasi’ perdagangan justru produsen besar saja lah yang mampu mendominasi. Industri-industri lokal akan bersaing lahan pasar dengan industri luar yang sudah mapan. Hal ini seharusnya dihitung secara matang oleh pengambil kebijakan. Sebagai mana yang diungkapkan oleh Martin Khor dalam bukunya Memperdagangkan Kedaulatan: Free Trade Agreement dan Nasib Bangsa:
            “…Alasan utama adalah liberalisasi yang sedemikian cepat menimbulkan lonjakan impor di banyak negara berkembang, dengan dampak negatif pada sektor industry dan pertanian lokal, serta neraca pembayaran dan situasi hutang…”

            Persiapan menjelang MEA tahun 2015 bukan sekedar mempush kuantitas produksi saja. Akan tetapi kreatifitas produk yang berbeda dari negara lain. Karena bila komoditas primer kita masih tetap sama dengan negara lain pengalaman-pengalaman sebelumnya akan kalah bersaing. Dan akhirnya neraca perdagangan kembali defisit, karena justru Indonesia lebih banyak mengimpor. lihat saja neraca perdagangan Indonesia dengan negara-negara ASEAN yang didominasi defisit anggaran. Perdagangan Indonesia dengan Brunai defisit 281,7 juta dollar AS. Terhadap Malaysia defisit 511,3 juta dollar AS, terhadap Singapura defisit 707,9 juta dollar AS, terhadap Thailand defisit 721,4 juta dollar AS bahkan terhadap Vietnam defisit 157,5 dollar AS. Hal ini tidak akan terjadi apabila dari sekarang Indonesia mampu mengcreate produk yang memiliki nilai komparatif. Dalam artian berbeda dengan komoditas primer dari negara lain. Dan tentu saja harapannya bukan dari sektor migas.

            Dalam buku Reformasi Indonesia karya Widoyo Alfandi mengungkapkan mengenai Singapura di ASEAN;
            “Negara yang paling menikmati organisasi ASEAN di bidang perdagangan adalah Singapura. Di bidang kesejahteraan sosial ekonomi urutan teratas diduduki oleh Singapura, walaupun negara kecil dan tidak memiliki sumber daya alam, tetapi rakyatnya relatif kesejahteraannya lebih terjamin….”

            Singapura memanfaatkan arus transportasi perdagangan ASEAN melalui selat malaka. Dan jasa sebagai negara transit benar-benar keunggulan usaha jasa kelas internasional yang tidak dimiliki negara lain. Inilah yang membuat Singapura benar-benar hidup sebagai kota transit perdagangan. Akan tetapi lain lagi ceritanya apabila di kawasan timur Indonesia memiliki pelabuhan transit yang memotong rute dagang Cina, Jepang, Filiphina menuju Australia. Sehingga akhirnya tidak perlu melalui Singapura lagi. Tentu saja bukan sekedar infrastruktur yang berkelas internasional. Akan tetapi dibutuhkan pula masyarakat yang memiliki habit professional dalam pelayanan.

            Filiphina dulu sempat menjadi pionir beras di ASEAN bahkan Indonesia kerap menjadi langganan importir. Namun akhir-akhir ini antara Indonesia, Vietnam, Thailand dan Filiphina sudah bisa bersaing, karena sama-sama kuat secara ketahanan pangan. Satu hal yang harus diingat, secara produktifitas mungkin Indonesia tengah naik-naiknya saat ini. Namun tetap saja hal tersebut cukup minim bila dibandingkan jumlah ratusan juta perut yang harus jadi pembaginya.

Oleh: Teguh Estro*             Segenap segmen masyarakat memiliki ragam respon terhadap pencanangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2...
Teguh Estro Kamis, 11 April 2013
Teguh Indonesia

Dilema BBM; Antara Fiskal & Inflasi

oleh: Teguh Estro*


     BBM subsidi terus terwacanakan akan naik harga. Secara halus pemerintah mengatakan dengan bahasa ‘penyesuaian harga’ ataupun adjusment. Pasalnya kuota pemakaian yang terus melampaui kuota membuat APBN terus terbebani. Di sisi lain harga minyak dunia selalu fluktuatif karena krisis timur tengah yang belum kunjung reda. Hal ini membuat kondisi fiskal semakin tersudut menanggung beban subsidi.

    Apabila lifting minyak berkisar 982 ribu barel/hari dengan asumsi harga minyak dunia US$
106,34 per barel dan nilai tukar rupiah Rp.9500 per dollar AS. Maka, harga rata-rata minyak bisa mencapai kisaran Rp.9000 per liter. Dan artinya pemerintah menalangi sekitar Rp.4500 per-liternya. Apabila trend ini terus berlangsung maka akan terjadi pembengkakan defisit APBN. Subsidi APBN 2013 sangat fantastis yakni Rp 312,74 Triliun. Naik 29,4 % dari APBN-P 2012 Rp 245,1 Triliun. Dan inipun masih ada perkiraan menambah lagi sekitar 30 Triliun. Pasalnya ada lonjakan konsumsi BBM bersubsidi. Apabila tahun lalu pemakaian kuota berkisar 45 Kiloliter, maka tahun ini pemerintah memperkirakan aka nada tambahan 6 kiloliter lagi. Tentu saja semua pihak tidak menginginkan adanya jebol anggaran yang jor-joran. Entah kenapa kedisiplinan fiskal seolah menjadi hal yang sulit di negeri ini.
 
    Prof. Dr. Anwar Nasution pernah memberikan kata pengantar dalam buku yang ditulis oleh Dr. A.A Baramuli. SH. Judulnya Pemikiran tentang Pembangunan Ekonomi dan Politik Masa Orde Baru. Prof Anwar menyatakan sebagai berikut:

    
“ Salah satu senjata ampuh Pemerintah Orde Baru untuk dapat keluar kemelut ekonomi orde lama adalah dengan menegakkan disiplin fiskal. Tindakan pertama yang dilakukan oleh pemerintah Orde baru adalah untuk mengkonsolidasikan dan mengkoordinir anggaran pendapatan dan belanja berbagai departemen dan instansi pemerintah serta unit-unitnya yang diwarisi dari pemerintah sebelumnya…. Penegakkan disipin fiskal juga dilakukan secara vertical. Semua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) wajib melaporkan kegiatan dan anggarannya pada departemen keuangan yang bertindak sebagai wakil pemegang saham….”

   Sepertinya sejak Kementrian ekonomi ditangani oleh Sri Mulyani, seolah-olah kebijakan ekonomi sangat mendewa-dewakan kebijakan fiskal. Padahal jelas harus ada koordinasi moneter dan khususnya lagi koordinasi pada ekonomi riil. Persoalan BBM tidak bisa diatasi dengan perhitungan matematis belaka. Karena kejadian di lapangan  begitu banyak kendala yang kadang berada jauh diluar perkiraan APBN. Semisal jumlah kuota yang bisa saja bertambah sekian kiloliter lagi karena persoalan konektivitas daerah yang terhambat. Atau ada mafia minyak yang menimbun di kios-kios. Belum lagi ada lonjakan jumlah kendaraan bermotor baik roda dua ataupun roda empat yang berimbas pada pembengkakan penggunaan BBM Subsidi. pun dampak ekonomi global akibat isue perang Korea.

    Sebuah pertanyaan, apakah jebolnya ketahanan fiskal hanya persoalan subsidi BBM saja? Bisa iya, bisa tidak. Kondisi semacam ini memang karena sejak lama ada ketidakberesan manajemen fiskal negara ini. Begitu banyak pemborosan-pemborosan anggaran keuangan. Semisal pembangunan gedung DPR, biaya perjalanan dinas dengan personil yang berlebihan, biaya rapat-rapat yang sangat mahal dlsb.

   Apabila good & clean government menjadi usual di republik ini, maka biaya birokrasi juga bisa dipotong. Tentu saja harus ada kesiapan mental bagi para PNS karena lahan tambahan pendapatan mereka akan dipotong juga. Bila ditilik secara general ternyata persoalannya bukan karena dana subsidi BBM semata. Sehingga disayangkan bila akhir-akhir ini saat kondisi mepet barulah mengarahkan pada opsi-opsi yang ‘mengkambing-hitamkan’ BBM. 

    Terlebih lagi saat ini bangsa kita begitu mengandalkan minyak mentah impor yang tentu saja akan mengikut pada harga minyak dunia. Begitupun bila menilik pengelolaan sumur minyak di dalam negeri bahkan banyak dikelola oleh perusahaan asing jua. Pada era Abdurrahman Wahid saja ada 92% dari pengelola di dalam negeri adalah pihak asing. Memang beberapa perusahaan memberikan kontrak persenan sebanyak 85% untuk Indonesia dan 15 % untuk perusahaan asing. Akan tetapi di luar itu pemerintah juga harus membayar lagi dana recovery kepada perusahaan yang tak kalah mahal tergantung tingkat kesulitan eksplorasi dan ekspoitasi lahan. Tentu saja akan berbeda cerita bilamana sumur-sumur minyak di Indonesia bisa berdaulat. Sebagaimana bung Karno dahulu pernah bilang, “…Kita Simpan di tanah sendiri sampai para insinyur kita mampu menggarap sendiri…”

 
(Bila) BBM Naik, Inflasi Naik
    Indonesia adalah salah satu negara dengan harga energi termurah di dunia setelah Arab Saudi dan Venezuela. Tentu saja wajar kedua negara tersebut menjual harga energi secara terjangkau karena sebagai negara penghasil minyak. Sehingga mereka tidak membayar biaya impor, biaya transportasi bahkan biaya lifting. Karena di Indonesia masih terbatas perusahaan pengilangan yang mampu mengolah minyak mentah menjadi minyak siap pakai.

    Pada saat ini pemerintah mengalami dilemma yang sama-sama sulit. Apabila subsidi BBM dilanjutkan maka akan terjadi jebolnya anggaran. Di sisi lain, bila opsi menaikkan harga maka sudah bisa dipastikan akan terjadi kenaikan inflasi, bahkan bisa tembus hingga 7%. Hal ini belum lagi dikhawatirkan adanya inflasi ganda dikarenakan sebelumnya sudah terjadi inflasi dengan naiknya bahan pangan pokok seperti cabai dan bawang. Pro dan kontra terus terjadi ada yang sepakat ada yang menolaknya.

Seorang dosen Universitas Brawijaya Malang, Fadillah Putra mengatakan dalam bukunya Kebijakan Tidak untuk Publik ! ;

“Bila subsidi BBM terus diberlakukan maka Indonesia akan terancam krisis energi. Mismanajemen subsidi energy yang dilakukan pemerintah saat ini menghadapkan Indonesia pada ancaman krisis energy dalam waktu yang tak lama lagi. Pemerintah hanya mensubsidi BBM, akibatnya sumber energy di luar BBM tidak berkembang karena kalah secara harga…”
 
    Ada suatu wacana berbeda terkait alasan mengurangi subsidi BBM. Suatu kekhawatiran adanya krisis energi yang melanda dikarena kian minimnya cadangan energy minyak. Apabila dalam waktu singkat hendak mengalihkan dari BBM ke BBG (bahan bakar gas) akankah efektif? Mengingat Bahan bakar gas yang kalah bersaing harga dengan BBM. Begitupun secara penggunaan BBG masih kurang praktis. Padahal pengguna energi terbesar adalah kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat. Maka perlu diserius-kan rekayasa teknologi yang mengkonversikan gas menjadi praktis digunakan oleh kendaraan bermotor. Mengutip ucapan Fatih Birol, kepala ekonom International energy Agency, “ kita harus meninggalkan minyak sebelum minyak meninggalkan kita…”

    Dalam sebuah buku Nation in Trap, Ir Effendi Sirajuddin menuliskan mengenai kelangkaan minyak akhir-akhir ini :

    “ Minyak impor tidak tersedia dalam kurun 5 -10 tahun ke depan karena yang diperdagangkan  saat ini berkisar 40 juta barrel per hari dari 90 juta barrel perhari produksi dunia. sepuluh tahun ke depan konsumsi meningkat 20% atau 18 juta barel, produksi juga menurun  20% sehingga kekurangan pasokan dunia sekitar 36 juta barrel. Jadi dapat dikatakan sepuluh tahun ke depan minyak tidak tersedia lagi, namun gejalanya sudah terasa sekarang…”

    Melihat fenomena ini kalaupun harga BBM subsidi dinaikkan, maka salah satu pertimbangan yang terbesar adalah bukan karena kebutuhan keseimbangan neraca APBN an sich melainkan ada keterdesakan energi yang harus dikejar. Yakni kelangkaan minyak yang sudah di depan mata. Apabila rakyat Indonesia terus menerus disuguhi habit  pemborosan minyak maka peluang adanya energi alternatif kian buntu. Karena tentu saja rakyat akan memilih energi yang paling murah, dan BBG ke laut aje.

    Berikutnya inflasi. Tentu saja akan ada spekulasi apabila suatu kebijakan sudah dipastikan dihantui kemungkinan inflasi. Apabila BBM naik maka yang pasti Harga transportasi naik, Sembako melangit dan Listrik ikut merangkak tinggi. Akhirnya inflasi akan naik dan lagi-lagi dibutuhkan stimulus fiskal sebagai solusi jangka pendek. Ini baru pertimbangan level pertama. Berikutnya akan ada kelesuan ekonomi karena konektivitas perdagangan terhambat. Pegiat industri akan mengeluh karena adanya biaya produksi tambahan lantaran BBM naik.  Selanjutnya akan bermunculan demonstrasi dari berbagai pihak, bahkan boleh jadi terjadi PHK di berbagai perusahaan demi efisiensi produksi. Sehingga iklim investasi akan semakin lesu terutama di luar Jawa. Mutlak pemerintah akan bergantung pada program MP3EI (Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) saja dalam pembangunan ekonomi.

    Kesemuanya itu adalah kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dihadapi bilamana BBM benar-benar naik. Maka sedari sekarang biaya subsidi BBM yang mencapai 317,2 Triliun itu sebagian dialihkan untuk biaya kompensasi secara jujur sampai ke bawah. Sampai sekarang tingkat trust rakyat kepada pemerintah sangat kecil jika berhubungan dengan penyaluran dana rakyat. sangat bahaya jika biaya kompensasi ini sampai dikerjakan dengan paradigma proyek. kompensasi tersebut antara lain, kompensasi biaya transportasi agar semua armada tidak menaikkan tariff dan wajib diawasi. Kompensasi sembako bagi warga miskin selama satu tahun sampai inflasi pulih. Kompensasi listrik agar PLN bisa sehat dan tidak menaikkan TDL. Kompensasi pendidikan di daerah-daerah. Kompensasi infrastruktur dalam upaya menemukan memapankan energi gas dan energi alternatif lainnya. Akan tetapi yang dipertanyakan akankah pemerintah bisa menyalurkan secara bersih dan efektif dana kompensasi tersebut?

Ataukah Kepentingan Politik?
    Sudah jamak dimaklumi bahwa issue BBM sudah lekat sebagai komoditas politik. Rumusnya sederhana, bila kepentingan sudah didahulukan maka segala kemungkinan bisa dipertaruhkan. Termasuk salah satunya terkait kebijakan kenaikan harga minyak. Suasana politik yang memanas menjelang PEMILU 2014 membuat langkah menaikkan harga berisiko buat partai pemerintah.

    Partai Demokrat sudah jungkir balik mengalami prahara internalnya. Apabila kebijakan yang kurang populis ini diambil maka citra partai SBY kian merosot. Sepertinya presiden sengaja melempar issue  untuk mengukur partai mana saja yang sekiranya mendukung kebijakan kenaikan BBM dan parpol mana yang menolaknya. Apabila partai-partai besar dan mayoritas mendukung kenaikan BBM maka bisa dipastikan tahun ini akan segera diputuskan. Dan di tahu 2014 adalah masa yang sempurna bagi pemerintah untuk meraup citra atas nama pembagian dana kompensasi BBM kepada rakyat dengan anggaran APBN. Entah bernama BLT kah atau BLSM kah?

    Apabila di tahun ini tak kunjung naik, maka menaikkan harga di tahun 2014 akan sangat beresiko. Karena jeda waktu dengan PEMILU begitu singkat. Begitu juga di tahun 2015, pilihan menaikkan BBM akan menjadi pilihan yang sulit bagi presiden yang baru. Karena ia akan dicibir rakyat, karena baru menjabat sudah menyengsarakan dengan kenaikan BBM. Maka apabila pertimbangannya menggunakan nalar politik maka di tahun 2016 kemungkinan besar baru ada kenaikkan harga.

oleh: Teguh Estro*      BBM subsidi terus terwacanakan akan naik harga. Secara halus pemerintah mengatakan dengan bahasa ‘penyesuaia...
Teguh Estro Senin, 08 April 2013
Teguh Indonesia

Tambal Sulam Program Ekonomi

Oleh: Teguh Estro*



   Indonesia sebagai negara besar seharusnya menjadikan agenda pemerataan kesejahteraan sebagai program mercusuar. Patokannya bukan sekedar pemerataan material lintas pulau namun pemerataan perputaran uang bagi kalangan atas, menengan dan bawah. Hal tersebut akan mudah terjawab apabila konsen pembangunan negara ini semakin memberikan porsi lebih kepada rakyat bawah. Pasalnya pasca krisis moneter 1998 dan badai ekonomi akibat runtuhnya Lehman Brothers di Amerika lalu, seolah perhatian lebih condong pada persoalan ekonomi makro. Alhasil pengayoman konkret pada ekonomi tradisional kian termarginalkan.

      Kebanggaan atas prestasi ekonomi makro seharusnya diselingi dengan kehati-hatian. Tahun 2009 lalu dengan sumringah pemerintah mengkabarkan masuknya Indonesia dalam forum G-20. Bahkan di ASEAN ini barulah Indonesia yang terpilih di sana. Lantas apakah dengan includenya kita dalam ‘mega forum’ ini berdampak pada kesejahteraan 240 juta jiwa penduduk. Ingat, pengangguran masih belum teratasi dan itu harus digenjot dengan program yang menyentuh langsung pada person to person. Signifikansi program KUR (Kredit Usaha Rakyat), PNPM dan sebagainya seharusnya menjadi prioritas untuk dipertanyakan.


Meninggalkan IMF, Muncul MP3EI
    Saat krisis ’98 Indonesia begitu jor-joran menjalankan program-program yang direkomendasikan IMF. Iming-iming kecerahan menghadapi krisis seperti di Korea Selatan, Indonesia malah terpuruk dan berdampak pada kekeruhan politik. Harga sembako melambung menyebabkan perekonomian domestik lumpuh. Entahlah, apakah dalam hal ini IMF menjadi penyebabnya ataukah karena etos pejabat kita yang tidak disiplin terhadap program-program IMF. Karena di Korea Selatan yang mengikut IMF terbilang sukses, sedangkan Malaysia yang menolaknya malah lebih dahulu keluar dari krisis.

Sebagaimana dikatakan Pablo Bustelo dalam bukunya The Asian Financial Crises mengatakan bahwa:
     “….krisis ekonomi yang terjadi di Asia dan lebih khususnya di Indonesia ini tidak sekedar merupakan dampak dari fundamental ekonomi yang lemah yang terkait dengan tanggung jawab fiscal, seperti di Amerika latin pada awal 1980an, atau karena Foreign Financial Panic akibat pertumbuhan ekonomi yang lemah dikarenakan meningkatnya pengangguran seperti di Eropa Barat 1992 – 1993 atau di Meksiko tahun 1994 – 1995, tapi jauh lebih kompleks dari itu semua….”
       Pada 31 Oktober 1997 telah diperoleh kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan IMF secara resmi. Dan ada tiga hal penting yang dianjurkan IMF kepada Soeharto pada saat itu. Pertama, kerangka makro ekonomi yang kuat untuk mencapai penyesuaian dalam external current account. Kedua, Strategi komprehensif dalam merestrukturisasi sektor finansial. Ketiga, tindakan reformasi struktural yang berjangkauan luas untuk meningkatkan pemerintahan, termasuk di dalamnya kebijakan investasi, perdagangan internasional dan privatisasi.

    Ada sebuah kritik terhadap poin kedua mengenai restrukturasi finansial yang pada praktiknya adalah restrukturasi perbankan dan hutang perusahaan. Dalam melikuidasi bank, pemerintah masih menggunakan pisau politik untuk mengeksekusinya. Seperti usaha memerger 4 Bank, BDNI, BDN, BAPINDO dan BANK EXIM menjadi Bank Mandiri. Hal ini sangat kuat motif politiknya karena dianggap untuk menghapus kredit macet yang dilakukan kroni-kroni Soeharto. Dan pada 7 september 2000 Menko Ekuin Dr.Rizal Ramli menyepakati 10 kesepakatan dalam Letter Of Intent (LOI). Dan salah satunya juga disepakati upaya mempercepat restrukturisasi Bank dan perusahaan.

    Kebijakan tersebut mendapat perhatian dari Kwik Kian Gie yang merupakan Menko Ekuin sebelumnya. Ia memberikan catatan yang dianggapnya krusial dalam poin restrukturisasi debitor-debitor macet. Hal tersebut tertulis dalam bukunya Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar:

    “….Kita harus memahami bahwa restrukturisasi ini tidak mudah. Para debitor itu yakin bahwa hampir semua pejabat dapat dibeli. Maka walaupun sudah terang-terangan melanggar banyak ketentuan undang-undang yang terhitung pidana, mereka masih sangat kukuh dan gagah berani dalam sikap pendiriannya. Mengapa? Karena buktinya mereka tidak diapa-apakan…”

     Ini hanyalah sedikit ‘keganjilan’ program IMF yang kurang berhasil diterapkan di Indonesia. Karena sepertinya memang krisis moneter 1997 di Indonesia sudah bercampur aduk dengan akumulasi gejala krisis lainnya, terutama krisis mental manusia. Belumlah lama IMF hendak menjalankan program-programnya ada kasus besar yang sangat mengganggu pada saat itu. Yakni, kasus BLBI yang menyedot dana korupsi triliunan rupiah dan juga Skandal Bank Bali. Bahkan salah satu pengacara Prof Adnan Buyung Nasution yang menangani kasus skandal Bank Bali mengakui sendiri ketidakberesan klien-nya. Prof Adnan Buyung Nasution sang Advokat menceritakan tentang klien-nya Rudy Ramli yang tersandung kasus Bank Bali dalam bukunya Pahit Getir Merintis Demokrasi:

     ….Rudy Ramli ini keterlaluan, membuat langkah-langkah hukum yang ngawur. Dia bikin kronologi yang dibawa ke lawyer lain, disebarluaskan di luar pengetahuan kami, lawyer dia yang resmi….sementara kami sibuk membela dia di Mabes Polri mengenai perkara pelanggaran peraturan perbankan, di tempat lain dia bongkar sebagai perkara korupsi dengan adanya keterlibatan Golkar, BI, BPPN, Menkeu, Ketua DPA, Menteri BUMN, dll. Politis jadinya. Padahal buat saya perkara ini murni soal tagihan piutang Bank Bali….”
     ini salah satu contoh lemahnya mental SDM Indonesia dan terpaksa tertatih-tatih melawan krisis. Padahal sejak era Habibie, Gusdur dan Megawati Indonesia terus membuntut program-program yang ‘katanya hebat’ dari IMF. Barulah pada akhir Agustus 2003 pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengakhiri paket kerjasama khusus dengan IMF, meskipun setelah itu masih tetap menjalankan post-monitoring program.

     Tahun 2004 – 2009, Indonesia mengalami fluktuatif dan masa uji coba yang berlarut-larut. Terdapat pelbagai persoalan yang merupakan buntut dari kondisi ekonomi yang suram di masa sebelumnya. Pertama, memburuknya iklim investasi yang tidak lain adalah imbas dari akumulasi tragedi di tanah air. sebut saja kasus Bank Bali, skandal BLBI, referendum timor leste, bom Bali, tragedi Poso dan rentetan gerakan separatis. Hal itu membuat investor asing berpikir ulang untuk melihat peluang di Indonesia. Kedua, lemahnya kepastian hukum menyebabkan kesimpangsiuran wewenang pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan investasi. Ketiga, Kualitas SDM yang rendah dan kurangnya perhatian pembangunan infrastruktur.

    Dalam hal pemberdayaan UMKM pada masa itu terdapat ketimpangan kuantitas dan kualitas. Secara kuantitas UMKM bisa dikatakan bertumbuh namun secara produktivitasnya tidakah seimbang. Pengusaha lokal tidak memiliki kreativitas dan inovasi produk, mereka lebih mengandalkan proyek-proyek APBN untuk menghidupi perusahaan. Selanjutnya begitu bertele-tele dan panjangnya birokrasi perijinan membuat pengusaha lokal mengalami pembengkakan biaya produksi.

      Berikutnya wajah ketenagakerjaan terus dirundung meningkatnya jumlah pengangguran terbuka. Bahkan sebagian besar pengangguran di usia muda. Banyak pekerja yang bekerja di lahan yang kurang produktif. Pun demikian terkait upah yang masih begitu lebar margin antara pekerja formal dan informal. Oleh karenanya dalam masa ini pemerintah mencoba untuk menarik investasi pada industri-industri yang banyak menyerap tenaga kerja.


     Segala persoalan ini mulai ditarik benang merah terkait gejala-gejalanya. Dan akhirnya pada tahun 2011 Menko Ekonomi Ir Hatta Radjasa mencanangkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Hal tersebut dicanangkan dalam Peraturan Presiden No 32 Tahun 2011 (20 Mei 2011) untuk masa 2011 hingga 2025. Secara garis besar justru program MP3EI lebih menitikberatkan pada pemerataan pembangunan tinimbang pemulihan ekonomi makro.

      Pro kontra mulai muncul dari pihak yang optimis menatap MP3EI dengan serius menerapkannya sampai ke daerah-daerah. Ada yang mencibir dan menganggap program tersebut hanya sekedar wacana tanpa implementasi. Akan tetapi bila ditilik secara anggaran memang sangatlah fantastis, yakni Rp 3.775,9 Triliun. Menurut Tole Sutrisno dalam buku Hatta, Kerja dan Kinerja ia memberikan saran sebagai berikut:

     “…Pengalokasian anggaran yang begitu besar harus digunakan secara linear dan sebanding dengan harapan seluruh lapisan masyarakat. karena itu, dari awal pelaksanaanya, pemerintah pusat harus bersinergi dengan daerah. Jangan sampai Masterplan yang sudah disusun sedemikian rupa akhirnya mentah di jalan hanya karena kurangnya koordinasi antara pusat dan daerah…”
           Mengingat pentingnya koordinasi antara pusat dan daerah mungkin ada benarnya juga jika pemerintah membagi garapannya menjadi 6 koridor. Yakni, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-nusa Tenggara dan Papua-Kepulauan Maluku. Akan tetapi selama tahun 2011 hingga 2012 begitu terasa ketimpangan pembangunan yang masih terpusat di pulau Jawa saja. Sehingga rencananya di tahun 2013 ini pusat perhatian Hatta Radjasa dkk mulai melirik daerah lain. Selain karena memang kurangnya perhatian dari pemerintah pusat, ada dua penyebab lain sehingga koridor di luar jawa tersendat agaknya. Pertama, karena SDM yang belum responsif terhadap akselerasi pembangunan. Maksudnya masih menganggap program ini sebagai ladang untuk bagi-bagi proyek. Kedua, karena belum tertunjangi oleh infrastruktur yang mumpuni.

Persoalan Kunci Pengganjal MP3EI
       Ada berbagai kata kunci dalam program MP3EI ini. Antara lain adanya peluang ekonomi global yang kian cemerlang bagi Indonesia. Adanya peningkatan yang cepat perdagangan south to south, termasuk transaksi antara India-China-Indonesia. Akan tetapi hal ini perlu dikritisi apakah perdagangan Internasional memiliki dampak yang langsung bagi rakyat Indonesia. Mengingat kegiatan ekspor dan Impor hanyalah didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar dan kalangan elite saja. Sedangkan pasar tradisonal belum merasakan effect yang signifikan.

       Program MP3EI hendak memposisikan Indonesia dalam 6 konsentrasi. Yakni, basis ketahanan pangan dunia, pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan, dan sumber daya mineral serta pusat mobilitas logistik global. Dalam hal ini pemerintah masih saja mengandalkan jumlah penduduk yang besar sebagai potensi. Padahal sampai saat ini belum juga ada usaha untuk benar-benar menjadikannya potensi yang menghasikan. Tenaga kerja yang sulit bersaing sehingga berharga sangat murah. Berikutnya sudah sejak lama pemerintah merencanakan adanya ekspor jenis lain selain migas, atau secara umum mengurangi ekspor bahan mentah. Akan tetapi belum juga serius memasok alat-alat produksi yang bisa melakukan efisiensi produksi. Sehingga pengusaha kurang berani melakukan industri pengolahan produk mentah menjadi barang jadi.

    Secara geografis Indonesia merupakan wilayah laut yang paling strategis di dunia. sehingga seharusnya hal ini tidak dipandang remeh dan dikerjakan secara setengah-setengah. Negara ini dikelilingi laut-laut berpotensi ikan terbaik di dunia. sebut saja kawasan laut arafuru, lautan sulu, laut cina selatan, teluk benggala, laut Australia utara dll. Maka sangat diherankan apabila industri perikanan belum didesak untuk melakukan modernisasi. modernisasi berupa Meng-upgride kualitas pelabuhan-pelabuhan strategis serta memasok kapal-kapal besar untuk menambah produktivitas nelayan.

Oleh: Teguh Estro*    Indonesia sebagai negara besar seharusnya menjadikan agenda pemerataan kesejahteraan sebagai program mer...
Teguh Estro Jumat, 05 April 2013
Teguh Indonesia

Gerakan Mahasiswa & Jebakan Sejarah

Oleh: Teguh Estro


    Entahlah, dari mana istilah ‘aktivis’ muncul untuk kali pertamanya. Setidaknya kian hari yang kita terima tinggallah makna konotatifnya saja. Oleh karenanya saya pula mengikut arti konotatif dari aktivis sebagai segolongan orang yang memperjuangkan suatu cita-cita sakral   yang bergerak berdasarkan pada metode dan konsep gerakan dari para perintisnya. Jadi pertanyaannya adakah aktivis yang tanpa tujuan? maka jawabnya tidak ada.

    Dalam literatur sejarah, aktivis di Indonesia kerap disemat sesuai masa ia bergerak. Ada yang menamai aktivis angkatan ‘45, angkatan ’66 sampai pada angkatan ’98. Akan tetapi terlepas dari periodisasi tersebut, ada suatu entitas yang sangat mendominasi hidupnya ruh aktivis di Indonesia, yakni gerakan mahasiswa. Semasa masih ada Belanda, para mahasiswa menginduk pada pemikir-pemikir bangsa di masanya. Sebutlah H.O.S Tjokroaminoto, ia mengilhami Soekarno hingga menjadi aktivis mahasiswa di Bandung (sekarang ITB). Berikutnya Haji Agus Salim yang juga menjadi ‘suhu’ para aktivis mahasiswa, menginspirasi ‘Hatta muda’. Jiwa pergerakan politik yang ada menjadikan para mahasiswa mengalami perpaduan ruang alam. Yakni ruang akademisi di satu sisi dan ruang pergolakan anti penjajah yang lebih mendominasi di sisi lain.

    Berangkatnya para pelajar berkuliah ke Belanda menjadi pemoles kematangan para aktivis mahasiswa menjadi aktivis pergerakan nasional. Berbelas-belas tahun menempa ilmu tentu memanfaatkan hidup di eropa untuk mempeajari bangsa-bangsa di Eropa. Bahkan tidak jarang Mohammad Hatta yang juga menjabat ketua Indistjhe Vereninging mengikuti banyak konferensi sosialis di negara-negara Eropa. Begitupun yang dilakukan Tan Malaka yang kenyang mengelilingi Moskow dan kota-kota besar lainnya. Mereka mengisi otak mereka agar berjiwa besar dan tidak canggung mendebatkan solusi kemerdekaan di hadapan Belanda saat kemudian hari.

    Sebagaimana yang diceritakan Dr. Deliar Noer terkait perjalanan Bung Hatta ke Belanda dalam bukunya Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa:

    “ Kematangan Hatta tambah bertumbuh ketika ia belajar di Belanda dari 1921 sampai 1932. Ia belajar dengan tekun di Handels Hogeschool (Sekolah Tinggi Dagang, kemudia economische Hogeschool, Sekolah Tinggi ekonomi) di Rotterdam, tetapi ia tidak semata-mata menjadi mahasiswa “kutu buku”. Ia juga aktif dalam organisasi Indische Vereniging (Perkumpulan Hindia, berdiri tahun 1908)…”

    Begitupun Bung Karno yang dirinya Mahasiswa tetapi jiwa kritis atas penjajahan selalu hidup dalam dirinya. Berikut kutipan percakapan Soekarno dan seorang professor yang dibukukan oleh Cindy Adams  dalam bukunya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat:

    Pada minggu wisuda aku mendiskusikan hal ini dengan rector magnificus dari Sekolah Teknik Tinggi ini, Profesor Ir. G. Klopper M.E.
    “Mengapa kami dijejali dengan pengetahuan-pengetahuan yang hanya berguna untuk mengekalkan dominasi koonialis terhadap kami?” tanyaku.
    “Sekolah Tenik Tinggi ini,” demikian ia menerangkan, “didirikan terutama untukmemajukan politik Den Haag di Hindia. Agar dapat mengikuti kecepatan ekspansi dan eksploitasi, pemerintah kami merasa perlu untuk mendidik lebih banyak insinyur dan pengawas berpengalaman”
    “Dengan kata lain, alasan kaum pribumi diijinkan memasuki perguruan tinggi ini pertama-tama untuk memungkinkan Belanda mengekalkan politik imperialism di sini?” tanyaku.
    “Ya, itu benar,” dia menjawab.

    Mereka para guru bangsa juga pelajar mahasiswa yang disiplin terhadap akademiknya. Tetapi siapa yang meragukan kecintaan bahkan pengorbanannya pada bangsa ini sejak masih di bangku kuliah. Hanya saja kemudian sejarah menampilkan tawaran model aktivis tidak hanya satu atau dua wajah saja. 


    Kita melihat aktivis tahun 60-an yang memiliki jargon anti PKI beserta derivasi komunisme di Indonesia. Bahkan tak jarang aktivis di masa itu di-cap sebagai perongrong orde lama sekaligus memuluskan jalan Soeharto menjadi pengganti Soekarno. Setidaknya aktivis-aktivis Islam yang berseberangan dengan komunisme mendapatkan tempat lapang dari pemerintah Soeharto.

    Pada cerita yang lain aktivis tahun 70-an yang megalami momentum MALARI. Merupakan masa naiknya popularitas aktivis merah yang menjadikan Ibnu Sutowo sebagai sosok kambing hitam. Dialah sang ‘raja minyak’ yang menikmati perselingkuhan BUMN dengan negara Jepang. Akhirnya di kemudian hari mereka menghadapi reepresivitas pada kemuncaknya saat menolak kunjungan Kaisar Jepang ke Indonesia. Gerakan anti Jepang di mana-mana mengingat berduyun-duyunnya produk otomotif Jepang menyerbu pasaran Indonesia. Akhirnya aktivis MALARI banyak yang menjadi korban pihak militer.

    Lain lagi jika membincangkan aktivis ’98 dengan setting peristiwa besar krisis global yang menhancurkan ekonomi di Asia. Kegelisahan terhadap represivitas Soharto kian memuncak bagi banyak kalangan. Dan pada detik-detik yang menentukan, Soeharto memutuskan mengundurkan diri sebagai presiden. Maka kerja-kerja gerakan mahasiswa seolah memiliki tema besar yakni Reformasi, What’s The Next?.

    Benang Merah Gerakan Mahasiswa
    Pada tanggal 22 Februari 2012 saya pada saat itu masih sebagai Kadep Kebijakan Publik KAMMI Daerah Kota Yogyakarta. Berkunjung ke LBH Yogyakarta yang disambut oleh ketuanya langsung Bang Irsyad Thamrin. Awalnya hendak membincangkan advokasi terhadap PKL di jalan Malioboro yang hendak terkena penertiban oleh pemerintah. Akan tetapi beliau justru memberikan wejangan yang masih terngiang hingga saat ini. Bahwasannya suatu Gerakan Mahasiswa jangan sampai terjebak pada rutinitas aktivisme saja. Mereka harus memiliki komitmen. Dan gerakan mahasiswa harus memiliki ‘konstituen’ gerakan yang jelas. Dan seharusnya rakyatah yang menjadi konstituen dari gerakan mahasiswa.

    Kita harus menemukan jati diri seorang aktivis tanpa harus terjebak pada wajah para aktivis masa lalu dari tahun ke tahun. Pertama aktivis harus meyakini kebenaran dari cita-cita luhurnya. Semisal aktivis Islam yang harus memiliki pandangan yang jelas terkait bagaimana Islam mampu menjadi solusi bagi semesta alam. Aktivis kiri yang kekeuh dengan masyarakat sosialis kendatipun itu utopis dan juga gerakan-gerakan lainnya.
     

   Kedua, Suatu gerakan mahasiswa harus memiliki konsep dan metode dalam melakukan pergerakannya. Atau dalam istilah dakwah Islam sering dinamakan manhaj. Dan dengan mengikuti tahap-demi tahap metode itu merupakan bentuk loyalitasnya pada gerakan dan cita-cita luhur yang hendak dibangunnya.
     

   Ketiga, Idealisme akan tetap ada biamana mewujud dalam diri pelakunya.

Oleh: Teguh Estro     Entahlah, dari mana istilah ‘aktivis’ muncul untuk kali pertamanya. Setidaknya kian hari yang kita terim...
Teguh Estro Kamis, 04 April 2013