Menu
Teguh Indonesia

Petani dan ‘Hama Pemerintah’


Oleh: Teguh Estro*

    Petani saat ini kian ‘galau’ meratapi nasib mereka. SK Menteri Pertanian nomor 87 akhir tahun kemarin menjadi musababnya. Disana tertera Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk urea naik 12,5% dari Rp.1.600 menjadi Rp.1.800 dimulai sejak 1 Januari 2012. Mbelgedez, tentu saja saat ini para petani kudu merogoh kocek lebih dalam lagi. Terutama bagi mereka yang sedang memasuki musim tanam. Jangan-jangan kebijakan ini sekedar ‘latah’ ikut-ikutan naik karena kebutuhan pokok juga naik. Konsekuensinya pemerintah dituntut berani membeli gabah petani dengan harga tinggi. Pasalnya melambungnya harga pupuk bersubsidi ini turut mempengaruhi bertambahnya ongkos produksi tanam.

    Persoalan bertambah pelik saat distribusi pupuk bersubsidi itu macet tanpa kontrol. Termasuk pengawasan terhadap agen-agen pengecer yang kerap ‘usil’. Pertama, kontrol HET pupuk yang mengalami penambahan harga saat di tangan pengecer. Mereka sengaja memanfaatkan masa-masa tanam untuk menaikkan harga pupuk yang telah lama ditimbun. Kedua, keberadaan pupuk itu sendiri tidak sampai secara merata ke tangan petani. Setidaknya ada upaya pemerintah mengawasi distribusi ini. Segera tangkap instansi-instansi yang ‘nakal’ dan memanfaatkan situasi keruh. Ketiga, pembagian jumlah kuota pupuk bersubsidi di setiap daerah yang masih terasa kurang. Sungguh tidak adil jika petani dituntut melakukan peningkatan produksi tetapi terus terbebani oleh kelangkaaan serta melambungnya harga pupuk bersubsidi. Padahal pupuk urea merupakan jenis yang paling banyak dibutuhkan petani untuk tanaman padi. Bayangkan saja jika dalam satu kali masa tanam dibutuhkan 3 sampai 4 kali pemupukan, maka berapa biaya yang harus dihabiskan? Sehingga tidak heran di beberapa daerah, para petani harus rela ‘mengalihkan’ anggaran rumah tangganya untuk pembelian pupuk. Padahal kebanyakan di Indonesia adalah petani gurem serta buruh tani yang harus membayar lagi uang sewa kepada ‘juragan‘ lahan sawah.

    Sekarang petani berhadapan dengan hama paling berbahaya. Yakni, ‘hama pemerintah’ yang seenaknya sendiri menaikkan harga pupuk bersubsidi. Jikalau hama wereng ataupun hama ulat diberantas dengan racun, maka untuk ‘hama pemerintah’ begitu sulit dilawan. Apalagi kondisi petani yang memiliki posisi tawar lemah di hadapan stakeholders. Lihat saja, bagaimana jerih payah petani lokal malah dijawab oleh pemerintah dengan kebijakan impor beras. Alasan klasik, impor tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan beras nasional. Padahal pilihan impor beras karena hanya memakan biaya minim tinimbang memajukan petani lokal yang butuh perencanaan matang serta ongkos tinggi. Sehingga wajar saja jika pemerintah melaporkan kondisi nasional surplus beras, tentu karena banyak beras impornya.

Jalan Panjang Kedaulatan Pangan
    Ketahanan pangan saja tidaklah cukup, kita mebutuhkan kedaulatan pangan. Maksudnya jika sekedar bertahan maka hal tersebut bisa dicukupi meskipun dengan mengimpor. Akan tetapi yang dibutuhkan adalah ketahan pangan dengan perspektif kedaulatan pangan. petinggi stakeholder harus kembali pada track awal ketahanan pangan melalui produksi domestik. Bangsa ini harus optimis bisa memenuhi kebutuhan pangan di negerinya sendiri. Termasuk mau mengharagai serendah apapun kualitas pangan petani kita. Itulah beras, jagung, sagu atau ketela yang ditanam di tanah air kita sendiri. Tentu saja kudu dibarengi dengan dukungan pemerintah meningkatkan produktifitas petani lokal. Dan salah satu jalannya adalah terjangkaunya harga pupuk menjadi harga mati. Pasalnya petani akan kian produktif jika mampu mereduksi biaya produksi per kuintal gabah.

    Ada tiga jalan yang perlu ditempuh dalam rangka mengembalikan Indonesia menjadi ‘lumbung padi’ Asia Tenggara. Pertama, percepatan pembenahan infrastruktur penunjang pertanian. Semisal perbaikan jalan raya, lampu jalan, pembangunan jembatan dan sebagainya. Termasuk juga di sini teknologi pertanian yang perlu terobosan baru. Semisal melakukan riset menemukan benih baru yang lebih unggul menghadapi perubahan iklim saat ini. Kedua, memperhatikan kesejahteraan petani. Antara lain dengan membantu mengurangi ongkos produksi tanam. Termasuk juga berani membeli gabah dengan harga yang tinggi jika terjadi penyusutan gabah di masa panen. Begitupun para petani setidaknya memiliki tumpuan ekonomi lain selain bercocok-tanam di sawah. Dan itulah tugas pemerintah dengan program-program lapangannya. Ketiga, adanya lembaga advokasi bagi petani yang kerap ditindas. Melakukan pendampingan saat diperlakukan sulit oleh tengkulak, agen distributor pupuk maupun oleh pemerintah sendiri .

*Penulis adalah Pegiat LPM Lensa Kalijaga
 Teguh Indonesia

Tidak ada komentar