Menu
Teguh Indonesia

Jalan Jogja Ambles, Pertanda?


Oleh: Teguh Estro*


    Dasar manusia, dulu bertanya-tanya kenapa tak pernah turun hujan. Sekarang hujan sudah turun malah marah-marah. Intinya anak-cucu Adam ini memang perlu introspeksi agar terus bersyukur. Dan saat ini kota Yogyakarta pun tengah disiram hujan seperti yang mereka minta sebelum-sebelumnya. Akan tetapi intensitas curah hujan di kota pelajar ini mulai disorot oleh warga. Pasalnya di beberapa lokasi sudah banyak jalan yang ambles setelah diguyur hujan.

    Banyak yang beralasan kerusakan jalan yang terjadi sebab tingginya curah hujan sejak 2 November lalu. Setidaknya sudah Sembilan jalan di kota gudeg ini yang ambles, termasuk beberapa jalan protokol. Salah satunya adalah Jalan Kusumanegara dan Jalan Adisucipto  yang termasuk jalur vital di Yogyakarta. Bahkan Jalan Kenari yang terletak persis di depan kantor walikota Yogyakarta juga terlihat parah. Gerusan air hujan yang deras sudah tidak bisa lagi ditahan oleh drainase jalan yang sudah tua. Apalagi dalam sepuluh tahun terakhir, rusaknya jalan tahun ini adalah yang terparah. Diprediksikan kerusakan bakal terus bertambah, mengingat musim hujan belum sampai pada kemuncaknya.

    Rusaknya drainase jalan, Meluapnya air sungai dan sederet peristiwa lain sejatinya hanyalah fenomena. Dan tampaknya melalui fenomena tersebut menjadi pertanda kota Yogyakarta ini hendak menyampaikan pesan kepada warganya. Bahwa ‘dia’ kepingin diperhatikan, bukan melului dikomersialkan. Sudahlah diakui saja, kota ini sudah tua dalam usianya yang ke 255 tahun. Kenapa gorong-gorong  yang sudah berumur, barulah diperhatikan ketika ia sudah rusak. Begitupun kali Code, Gajah Wong, Winongo dan lain-lainnya mereka kepingin ‘diasuh’ dengan kasih-sayang.

    Perhatian serius warga Yogyakarta terhadap lingkugan kudu digalakkan lagi. Termasuk pemerintah walikota yang memiliki perangkat untuk memoles beberapa kerusakan akhir-akhir ini. Salah satunya Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (KIMPRASWIL) sebagai Leading Sectornya. Bukankah pak Walikota Herry Zudianto sudah menetapkan kejadian belakangan ini dalam status tanggap darurat. Maksudnya kondisi yang harus dituntaskan segera lantaran sifatnya mendesak.
    Salah satu hal yang urgen adalah antisipasi kemungkinan adanya jalan yang ambles di jalur lainnya. Sehingga perlu dilakukan pemetaan usia jalan raya berdasarkan data-data lapangan. Termasuk drainase-drainase di semua kota kudu  dipetakan juga berdasarkan usianya. Terutama daerah-daerah yang bertalian dengan sektor pariwisata, pendidikan dan keramaian.

Kota Yogyakarta sebagian besar kehidupannya sudah bergantung pada jalan raya. Semisal sektor pariwisata yang tentu sangat bergantung pada mulusnya arus transportasi. Jangan sampai kejadian terulang seperti bus pariwisata yang terjeblos di jalan ambles seperti di Kota Gede kemarin. Sehingga bumi mataram ini bukan sekedar orang-orangnya saja yang dianggap  berhati nyaman, akan tetapi sarana dan prasarananya pun harus dibuat nyaman.

Sektor pendidikan juga demikian, tidak sedikit sekolah-sekolah atau kampus yang melewati jalan raya. Setidaknya lalu-lalang pelajar dan mahasiswa memang sudah kesehariannya berjumpa dengan jalur transportasi darat ini. Daerah yang tidak kalah pentingnya yakni di pusat-pusat keramaian. Semisal di sekitar pasar, pusat industri kerajinan dan lain-lain. Adapun terkait dana pembenahan, KIMPRASWIL bisa menggunakan dana sisa anggaran kebencanaan sebesar satu milyar di pemerintahan. Kalaupun masih terasa kurang, bisa mengajukan dana ke Provinsi. Karena kenyamanan lalu lintas menjadi prioritas untuk diwujudkan.

Akhirnya perhatian warga dan pemerintah terhadap lingkungan menjadi harus menjadi ‘amalan’ nomor wahid di kota Yogyakarta ini. Selanjutnya bukan hanya jalan, akan tetapi sampah-sampah yang bertumpuk di saluran irigasi segera dibersihkan. Jangan sampai menunggu bencana datang barulah warga sibuk bergotong-royong. Alangkah lebih baik jika jauh-jauh sebelum puncak musim hujan tiba, kita telah menyambutnya dengan saluran air yang baik. Sehingga kota Yogyakarta benar-benar layak disebut ‘Kota Berhati Nyaman’.

Oleh: Teguh Estro*     Dasar manusia, dulu bertanya-tanya kenapa tak pernah turun hujan. Sekarang hujan sudah turun malah marah-marah. In...
Teguh Estro Senin, 21 November 2011
Teguh Indonesia

Orangutan Terancam Deforestasi

Oleh: Teguh Estro*


    Orangutan diambang kepunahan. Menurut para ahli seperti dilansir dari BBC pada Jumat (28/10/2011), hewan ini terancam punah pada tahun 2023. Populasi kera besar ini terus berkurang 3000-5000 spesies pertahunnya. Padahal saat ini hanya tersisa 25.000 orang utan di seluruh dunia. selanjutnya hewan langka warisan hutan nusantara ini tinggal menghitung masa kepunahannya.

    Habitat orangutan mulai terdesak oleh deforestasi yang dilakukan manusia. Kegiatan logging baik yang ilegal maupun legal, perluasan wilayah perkebunan, kebakaran hutan dan perburuan liar menjadi pasalnya. Bahkan beberapa waktu lalu begitu menyedihkan setelah terungkap pembantaian sekitar 1.200 orangutan di Kotawaringin, Kalimantan Timur. Terduga genocide ini terjadi berkisar tahun 2009-2010 yang dilakukan oknum-oknum di areal perkebunan kelapa sawit. Wajar saja karena pemerintah begitu mudah memberikan izin perkebunan atau penambangan yang sudah mencapai ratusan per kabupaten di pulau Borneo ini.

Dilematis Konservasi Orangutan

    Penanganan pemeliharaan orangutan sungguh dilematis di sana-sini. Di satu sisi jika mereka dipelihara oleh pihak konservator, tentu terkendala biaya pemeliharaan. Bahkan di daerah ragunan, beberapa spesies ‘dikandang’ ditempat yang tidak ‘berprikehewanan’. Untuk makan saja, mereka bergantung pada makanan yang dilemparkan oleh anak-anak saat berkunjung. Sehingga hewan yang sangat lambat bereproduksi ini mengalami ‘depresi’ berat jika harus ‘dikandang’. Dan memang selayaknya ia hidup bebas sebagai hewan sejati. Akan tetapi di sisi lain jika orangutan dilepas-liarkan maka akan berhadapan dengan predator berbahaya, Manusia…! bahkan saat ini hampir 70% dari satwa omnivora ini sudah hidup diluar kawasan konservasi. Dan bahayanya mereka harus berjuang menghadapi para pemburu yang tidak berbelaskasihan.

    Penuntasan problem ini memang harus disupport oleh berbagai pihak. Dan tentu saja pihak yang paling bertanggung jawab yakni mereka para perusak hutan. Selama 20 tahun terakhir, habitat orangutan telah berkurang 80%. Sehingga wajar jika fauna langka ini masuk ke areal perkebunan dan penambangan. Karena ‘dulu’nya areal tersebut merupakan ‘tanah air’ mereka. Selanjutnya dari pihak pemerintah harus menindak tegas para pembantai orangutan dengan hukuman yang berefek jera. Begitupun dengan izin perkebunan dan penambangan harus segera dikurangi bahkan diawasi secara ketat. Bagaimana mungkin di sebuah kabupaten terdapat 140 izin pertambangan yang diterbitkan pemerintah.

Selanjutnya bagi pihak pengasuh di taman hutan konservasi kudu memperhatikan kondisi kejiwaan orangutan. Konon, orangutan yang hidup bahagia lebih lama hidup tinimbang yang hidup stress di dalam kandang tak diurus. Begitu juga perhatian terhadap para ‘betina’. Pasalnya orangutan betina cenderung lebih pasrah bila bertemu bahaya. Jika terjadi kebakaran, pembantaian atau tertangkap predator, mereka hanya diam. Hal ini tidak lain karena mereka labih memilih mengorbankan diri agar anak-anak bisa berlari jauh dari predator. Padahal jika jumlah betina menurun maka kepunahan akan kian cepat terjadi. Pasalnya mereka hanya mampu melahirkan maksimal 3 sampai 4 anak seumur hidupnya.

    Menyedihkan, kelak anak-cucu bangsa ini hanya bisa mendengar kisah orangutan sebagai satwa yang pernah ada di Indonesia. Mereka bercerita tentang bagaimana ‘bapak-ibu’ nya yang menewaskan primata imut tersebut.

*Penulis menghayati tulisannya

Oleh: Teguh Estro*     Orangutan diambang kepunahan. Menurut para ahli seperti dilansir dari BBC pada Jumat (28/10/2011), hewan ini tera...
Teguh Estro Sabtu, 05 November 2011
Teguh Indonesia

'Masih' Ekspor Bahan Mentah

Oleh: Teguh Estro*


            Nilai ekspor industri Indonesia sempat jeblok pada tahun 2009 yang hanya berkisar US $ 62 miliar. Lalu melonjak sampai US$ 82 miliar pada tahun 2010. Dan diprediksi di tahun 2011 ini akan terus meninggi hingga US$ 97 miliar. Meningkatnya nilai ekspor ini menjadi angin segar di dunia perdagangan dalam negeri. Dan harapannya para pegiat industri lokal terus menemukan kreatiftas baru. Terutama mengubah tradisi ekspor bahan mentah menuju ekspor bahan olahan bahkan berbentuk barang jadi.
            Sejak masa kerajaan-kerajaan nusantara bahkan, tradisi ekspor bahan mentah sudah terjadi. Sebut saja kerajaan Ternate dan Tidore yang menjadi lumbung Cengkih. Bahkan awalnya nenek moyang kita tidak mengetahui nilai mahal cengkih yang tumbuh liar di tanah surga ini. Barulah setelah bangsa Portugis datang, mereka terkejut ternyata cengkih menjadi dagangan mahal di Eropa. Begitupun kerajaan Sriwijaya yang sukses dengan komoditi Lada. Bahkan puncaknya pada tahun 1670 telah memproduksi Lada hingga 8000 ton.
            Di era sekarang ini, Indonesia ternyata masih mewarisi tradisi ekspor bahan mentah. Komoditi andalan negeri ini adalah minyak dan gas (migas). Selebihnya di dominasi oleh kelapa sawit, karet sampai komoditi dari hutan baik kayu maupun non kayu. Hampir sebagian besar barang jualan bangsa ini berupa bahan mentah. Dan tentu saja Indonesia menjadi incaran menggiurkan bagi negara-negara industri yang haus akan bahan baku.
            Hutan khatulistiwa ini telah menghasilkan karet yang melimpah. Akan tetapi ban mobil saja kita masih sering impor dengan harga berlipat-lipat. Begitupun dengan persenjataan militer, yang harus membeli dari luar negeri. Padahal jika mau, Indonesia bisa saja membuat sendiri senjata berbahan emas sekalipun.

Wajah Buram Industri Lokal
            Kegemaran ekspor bahan mentah, setidaknya memiliki ragam alasan yang kudu dikupas. Mulai dari persoalan hulu hingga ke hilirnya pasti ada celah masalah. Semisal matinya industri lokal karena minimnya mesin-mesin produksi pengolah bahan mentah. Selanjutnya lemahnya pemahaman terkait promosi produk kepada negara lain. Dan yang tidak kalah pentingnya yakni terganjalnya komunikasi efektif antar eksportir dengan negara pemesan. Harus ada posisi tawar yang kuat dari Indonesia kepada negara tujuan. Semisal sempat terjadi penolakan barang mebel Dari Jawa Tengah ke beberapa negara Eropa. Begitupun dengan tuduhan Indonesia melakukan dumping terhadap ekspor produk kaca ke Australia.
            Berkembangnya dunia ekspor Indonesia harus terus di dukung oleh semua pihak. Dari pemerintah sendiri bisa bekerjasama dengan KADIN untuk memuluskan industri-industri barang jadi. Begitupun dengan pengawalan sampai menembus kebijakan dalam negeri di negara lain. Selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah negara tujuan ekspor seperti Eropa dan Amerika yang tengah mengalami penurunan daya beli dikarenakan terpuruknya ekonomi global. Sehingga harus terus melakukan penetrasi ke kawasan-kawasan alternatif. Semisal Afrika, Timur Tengah, bahkan Amerika Selatan yang belum banyak terjamah eksportir-eksportir Indonesia.

*        Penulis Sedikit [-sedikit] menulis.

Oleh: Teguh Estro*             Nilai ekspor industri Indonesia sempat jeblok pada tahun 2009 yang hanya berkisar US $ 62 miliar. Lalu me...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

PAPUA, Referendum Bukan Solusi

Oleh: Teguh Estro*


            Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 telah berlalu dengan sekian kontroversinya. Bagi rakyat papua pro-NKRI, hasil plebisit itu sudah sah sebagai tindak lanjut dari New York Agreement. Bahkan telah ditandatangani oleh pihak Indonesia, Belanda dan PBB. Sehingga hasil PEPERA yang memenangkan NKRI dianggap sudah final. Akan tetapi hal lain juga berhembus. Bahwasannya referendum tersebut hanya akal-akalan TNI saja yang sudah membungkam rakyat Papua dengan senjata. Sampai saat ini berbagai pihak masih saling mengklaim mengenai kebenaran sejarah PEPERA 1969.

            Hal yang sangat disayangkan, yakni tidak dimaksimalkannya peran Dewan Papua dalam New York Agreement tahun 1962 lalu. Sehingga pemaknaan kata Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) dalam Agreement tersebut dimaknai sepihak. Dan akhirnya sekarang kita mengenalnya dengan istilah PEPERA. Celah-celah seperti inilah yang digunakan secara politis oleh pihak-pihak separatis untuk memprovokasi rakyat papua. Para separatis bersikukuh bahwa aneksasi yang dilakukan RI merupakan penjajahan terhadap negeri cenderawasih.

            Konflik di Indonesia paling timur ini cermin dari penanganan yang tak pernah tuntas. Jika hendak diruntut pasca diserahkan Papua dari pihak UNTEA ke NKRI selalu ditangani ‘setengah-setengah’. Dan tidak jarang selalu menggunakan pendekatan militer. malah kelihatannya pasukan keamanan justru tidak memunculkan rasa aman. Bahkan boleh jadi selama ini kelompok separatis sengaja memancing terjadinya baku tembak senjata. Lantaran mereka akan menggunakannya sebagai isu pelanggaran HAM oleh TNI dikemudian hari.

Sila ke-5 Segera Diterapkan
            Terkait ‘kue kesejahteraan’ di provinsi yang dulu bernama Irian Jaya ini memang terabaikan. Masih ingat saat dua tahun sebelum PEPERA, Indonesia telah tanda tangan kontrak karya pertama kalinya dengan Amerika Serikat atas PT.Freeport. Sehingga wajar saja jika banyak pihak yang menyangka proyek tambang tersebut merupakan ‘suap pelicin’ dari Jakarta untuk Amerika agar memuluskan referendum. Dan tentu saja, Freeport adalah hak kesejahteraan rakyat papua yang tidak mereka cicip.

            Pemerintah harus benar-benar melek agar tidak menjadikan Papua sebagai sapi perah. Karena salah-satu ‘janji’ yang diobral oleh OPM terhadap rakyat papua adalah diberikan rumah secara gratis bagi masyarakat. Sehingga benar-benar faktor kesenjangan sosial kudu diperhatikan. Dan Alhamdulillah syukur beberapa bulan yang lalu TNI sudah memulai itu dengan program Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD). Di sana para tentara tanpa banyak janji membangun rumah untuk warga. Dan sukses merebut hati rakyat di daerah-daerah basis pemberontak. Sehingga tidak jarang TNI yang tewas tertembak, karena separatis tidak menyukai program TMMD itu.

            Kendatipun telah diberlakukan otonomi khusus di Papua, tetap saja belum menuai hasil memuaskan. Hal itu tidak lain lantaran tidak menyentuh kebutuhan yang paling mendasar, yakni peningkatan kesejahteraan warga. Begitupun dengan peran pihak intelijen yang belum maksimal mengawasi gerak-gerik para separatis disana. Sehingga pemerintah tidak sempat mengantisipasi setiap kejadian berikutnya yang bisa menimbulkan korban. Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah program pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan. Dengan demikian terintegrasinya papua kedalam NKRI bukan seperti Sapi perah yang dibeli tuannya.

*Penulis sedang membaca lalu menulis lagi

Oleh: Teguh Estro*             Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 telah berlalu dengan sekian kontroversinya. Bagi rakyat pap...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Redemarkasi, Menyoal Patokan dan Pasokan

Oleh: Teguh Estro*


Indonesia memiliki 92 pulau yang berbatasan dengan negara-negara jiran. Sehingga tidak heran bila sengketa perbatasan kerap terjadi. Mulai dari persoalan nelayan sampai tarik-menarik kepemilikan pulau. Dan beberapa waktu lalu kejadian tragis di Pontianak, sampai-sampai warga perbatasan mengancam hendak angkat tiang untuk bendera Malaysia. Tidak lain karena melihat rumput tetangga lebih menarik tinimbang lumpur di negeri sendiri.

    Selama ini kita selalu bangga jika melihat luasnya wilayah Indonesia yang memiliki sekitar 17.500 pulau. Karena memang secara deliniasi seolah tidak ada keganjilan. Akan tetapi ketika ditilik secara real, Demarkasi di banyak pulau begitu parah. Miris sekali melihat batas patok negara tak ubahnya ‘makam leluhur’. Dan dengan mudah bisa digeser atau malah bisa saja dibawa pulang oleh para pesinggah alas. Bukan sekedar itu, kesenjangan kesejahteraan antara warga perbatasan dan negara tetangga masih terbilang njomplang.

Kejadian nyata di Desa Mungguk Gelombang, Kecamatan Ketungau Tengah, Kabupaten Sintang beberapa kilometer dari Pontianak. Mereka harus berbagi dan berjuang ekstra untuk mencari pasokan kebutuhan pokok dari kabupaten. Belum lagi jalan yang berupa kubangan lumpur dan tanpa penerangan membuat anak-anak sekolah kesulitan untuk mengakses pendidikan di kabupaten. Dan di malam hari mereka hanya menggunakan genset sekedarnya. Dan bila bensin genset habis, maka kondisi akan bertambah romantis dengan lilin-lilin kecil.

Terbengkalainya daerah perbatasan setidaknya menjadi cermin pembangunan yang hanya tersentral di wilayah-wilayah tertentu saja. Dan sejak berlakunya otonomi daerah, seolah menjadi dalih pemerintah pusat untuk melepas tanggung jawab kesejahteraan pada wilayah perbatasan. Padahal sejatinya setiap daerah yang selama ini tidak pernah tersorot pemerintah merupakan aset-aset yang tertidur. Sehingga bukan sekedar pembenahan patok negara, akan tetapi pasokan kebutuhan juga disuplai ke sana.


Membangun dengan Membangunkan Pulau Indonesia

Bumi pertiwi merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah laut 7.900.000 km, empat kali lebih luas daripada daratannya. Namun anehnya sampai saat ini pembangunan masih berkarakter darat. Sehingga tidak sedikit yang menganggap laut-laut di Indonesia hanyalah pemisah antar pulau. Padahal hakikatnya selat dan laut berperan sebagai penghubung antar pulau. Selanjutnya terkait wawasan kelautan seolah dipendam begitu saja. Bukankah sejarah kerajaan nusantara pada masa lalu adalah sejarah mengenai perdagangan laut dan armada laut. Kini Indonesia sudah tercerabut dari akar sejarahnya. Sehingga wajar saja jika perhatian untuk melakukan pemberdayaan pulau dan perairan masih asal-asalan.

Semisal pelabuhan di Indonesia yang terbengkalai dan tidak memenuhi standar internasional. Padahal banyak pantai di Indonesia yang memiiki pelabuhan dengan penghasilan ikan dalam partai besar. Akan tetapi karena pelabuhannya belum memnuhi standar internasional, mereka belum diperbolehkan melakukan ekspor langsung ke luar negeri. Sehingga tidak jarang para eksportir ikan dibuat jengkel lantaran biaya ekspor harus ditambah dana transit di pelabuhan Singapura. Dan dalam setahun saja, banyak ekspor laut Indonesia menghabiskan uang triliun rupiah hanya untuk membayar upah transit di pelabuhan negara lain.

Berbincang mengenai negara kepulauan, maka tidak pernah lepas dari persoalan pulau itu sendiri. Seperti dikatakan sebelumnya, sejatinya pulau-pulau di Indonesia ialah aset yang tertidur. Dari sekitar 17.500 pulau, tidak sampai 2000 pulau yang telah memiliki nama. Dan yang berpenghuni hanya beberapa ratus saja. Jika hendak memandang jauh ke depan, maka peluang besar ada pada pulau-pulau yang tidak tergarap itu. Sehingga penting dengan adanya pemetaan potensi pulau-pulau di Indonesia. Ada beberapa pulau yang memiliki potensi wisata, potensi perikanan bahkan sampai potensi energi.

*Penulis harus menulis

Oleh: Teguh Estro* Indonesia memiliki 92 pulau yang berbatasan dengan negara-negara jiran. Sehingga tidak heran bila sengketa perbatasan...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Tewaskan Khadafi, AMerika Tambah Musuh

Oleh: Teguh Estro*


Kolonel Khadafi tewas mengenaskan. Setelah 42 tahun berkuasa, akhirnya penguasa tiran ini ‘keok’ juga di kota kelahiranya. Bukan persoalan ia telah mati atau masih hidup. Tuhan Maha Kuasa, bisa saja Khadafi dihidupkan lagi atas kehendakNya. Akan tetapi kematian ‘Raja Afrika’ itu harus dibayar terlalu mahal oleh sekutu. Ibarat perjudian, Amerika masih harus berspekulasi pasca pemerintahan transisi ini. Siapa yang benar-benar bisa dijadikan boneka ‘pinokio’ disana. Belum lagi konsekuensi dari penyerangan itu yang membuat banyak pihak mengecam.

Pasca diputuskannya operasi penangkapan Khadafi oleh Dewan Keamanan PBB, tanpa berlama-lama NATO segera beraksi. Walaupun kenyataannya tidak semua anggota organisasi militer sekutu ini sepakat menyerang. Dari 28 negara anggota NATO hanya 7 negara saja yang ambil bagian. Setidaknya telah sedari lama, konflik internal NATO kian tampak pasca ribut-ribut kepemilikan senjata nuklir beberapa tahun lalu. Akan tetapi keputusan ngotot Menhan Perancis Gerard Longuet untuk memimpin operasi membuat negara lain tak bisa berkata banyak. kendati ada beberapa negara besar yang menolak adanya campur tangan NATO pada urusan dalam negeri Libya. Tercatat semisal Rusia, Jerman, Iran dan China sampai detik ini tetap mengutuk serangan NATO tersebut.

Jauh sebelum penyerangan terhadap Moammar Khadafi, Amerika telah lama melalui keputusan-keputusan dilematis. Ketakutan-ketakutan pemerintah gedung putih bisa terlihat dengan mudah. Masih ingat, bagaimana Amerika begitu bersuara keras terhadap negara yang pemilik senjata pemusnah massal. Lalu United States kembali terpojok dengan guncangan ekonomi hingga ia harus bersitegang dengan negara China. Dan kini gelombang penolakan dari pihak-pihak anti wall street turut membuat gugup Obama. Sejumlah demonstran di beberapa belahan dunia menolak dominasi perbankan karena telah menjadi kepanjangan tangan para kapitalis. Akan tetapi Amerika tetaplah Amerika. Negara yang dipimpin oleh anak menteng itu selalu memiliki senjata terakhir jika terdesak. Apalagi jika bukan atas nama demokrasi, kebebasan HAM dan ancaman militernya.

Sejenak kita kembali kepada Libya yang kini menghadapi transisi kepemimpinan. Meskipun NATO didesak untuk segera keluar dari negerinya Omar Mochtar itu, tetap saja mereka kekeuh menetap sampai kondisi benar-benar ‘aman’. Tentu saja maksudnya aman untuk menanamkan pengaruh mereka pada pemimpin anyar di sana. Hal ini karena negeri paman sam itu tidak akan pernah lupa pada tujuan utamanya, yakni minyak.

Libya negeri yang kaya akan minyak. Bahkan kualitas minyak di sana merupakan kualitas unggul. Sehingga tidak heran hanya bermodalkan ‘emas hitam’ tersebut, Libya mampu memiliki pendapatan perkapita hingga 12.000 US. Dollar. Bandingkan dengan Indonesia yang cuma memiliki pendapatan perkapita seperempatnya saja. Sehingga jelas sumber daya energi Libya tersebut begitu menggiurkan bagi Obama yang sangat butuh cadangan bahan bakar.

Kerakusan Amerika inilah yang bisa menyebabkan banyak spekulasi. Jika United States bertindak gegabah, maka mereka akan menjadi musuh bersama rakyat Libya dalam waktu yang tidak lama. Sehingga dengan adanya demokratisasi paska transisi ini, akan menjadi upaya yang panjang dan melelahkan bagi Amerika untuk menjalankan misi oil powering.


*Penulis sedang menulis

Oleh: Teguh Estro* Kolonel Khadafi tewas mengenaskan. Setelah 42 tahun berkuasa, akhirnya penguasa tiran ini ‘keok’ juga di kota kelahir...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Dalih - Dalih Media

oleh : Teguh Estro


“…Dengan berdalih pada tugas media sebagai penyampai fakta, mereka telah berani melampaui batas etika (mengadu domba umat beragama)…”
Semisal ketika tragedi Monas berbuntut pada ‘cekcok’ antar dua ormas Islam. (FPI dan AKKBB). Pemberitaan yang berlebihan, bahkan videonya pun sengaja diputar berulang-ulang. Hal tersebutlah yang mengawali proses pembentukan persepsi. Tujuannya agar adegan cekcok tersebut di desain seolah meng-amin-i isu perpecahan Islam. Sebut saja tragedi Bom Bali yang menjadi momen tepat bagi media untuk menyudutkan umat Islam. Hingga wajar saja jika umat Islam di Indonesia begitu alergi terhadap syariat Islam. Karena selalu terpampang di layar televisi akan buruknya citra kaum muslimin. Namun mereka (pihak media) tentu memiliki logika-logika –yang sebenarnya tidak masuk logika- untuk menjadi alasan. Salah satunya alasannya untuk menyiarkan fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan.
“… Dengan berdalih pada kebebasan berekspresi mereka telah mengumbar aurat di depan mata jutaan kaum Muslim…”
Sudah tak terhitung jumlah kaum hawa yang numpang pamer aurat di televisi, majalah dan surat kabar. Bahkan parahnya tidak sedikit para remaja puteri yang ‘gandrung’ dalam kompetisi pamer-pameran aurat tersebut. perhatikan saja program acara seperti ‘miss Indonesia’, ‘tiara sunsilk’, ‘wanita rejoice, atau yang sejenisnya. Lebih dari sekedar eksplotasi, media (lagi-lagi) mencoba untuk mempengaruhi persepsi para pemuda yang sedang ‘linglung’ mencari jatidiri. Pun ketika chanel televisi menampilkan sinetron yang hedonis. Generasi muda Islam pasrah disodorkan model pemuda ala barat berikut kulturnya yang cenderung bebas. Ciri konkretnya adalah tatkala aurat bisa dibeli seharga ‘pisang goreng’ oleh media.
“…Dengan berdalih pada indahnya seni, mereka sengaja mendendangkan genderang jahiliyah di banyak telinga generasi muda….”
Sudah berapa banyak para pemuda lugu yang teracuni oleh indahnya soundtrack, video klip atau tayangan musik lainnya. Seolah remaja yang normal adalah remaja yang bertatto, punya pacar banyak, pakar bercinta, rajin ikut konser di barisan depan dan selalu up-date tentang hits teranyar. Hal tersebut perlahan tapi pasti membuat para generasi muda melupakan kewajibannya terhadap agama dan bangsa. Mereka lebih senang menghafal song lyric daripada sekedar juz ‘amma. Mereka lebih tahu tentang kisah perjalanan puluhan kelompok band daripada sirah nabawiyyah ataupun sejarah bangsa Indonesia. Mereka lebih sensitif ketika aliran musik idolanya diejek meski pada saat yang bersamaan ada kabar penghinaan kartun Nabi Saw.
“…Dengan berdalih pada hiburan mereka telah mensosialisasikan budaya ghibah (gossip)….”
Hal inilah yang nantinya kita sebut dengan rekayasa figure perception. Hampir di setiap pagi dan petang -jam tayang khusus ibu-ibu dan remaja puteri- tersuguhkan berbagai program entertaint. Gosip,…! tentu acara ini bukanlah mahluk asing bagi ibu-ibu dan remaja puteri. Hal ini sengaja dimanfaatkan untuk memberikan referensi gaya hidup bagi para remaja puteri. Yaitu gaya hidup para selebritis. Media telah merekayasa isu-siu yang terjadi pada para artis. Baik isu keretakan rumah tangga, punya pacar baru, mau menikah, perceraian dan lainnya. Hal tersebut supaya para penonton merekam dalam memorinya dan menganggap wajar tingkah laku para artis jika ditiru.
Awalnya Hanya Berdagang
Sejarah tanah Banten tak akan terlupa saat pertama kali VOC datang ke kampung mereka dengan maksud berdagang. ‘Ternyata bukan hanya udang yang ada di balik batu’. Eksploitasi besar-besaran baik tenaga maupun sumber daya alam pun dilakukan. Modus serupa dialami oleh serangan pengaruh media barat di Indonesia. Tujuan untamanya hanyalah berdagang (informasi). Namun tetap saja bukan hanya udang yang ada di balik batu. Tapi perang pemikiran umat Islam di Indonesia menjadi incaran utama. Bukanlah suatu hal yang salah jika slogan ‘Bang Napi’ kita gunakan. Waspadalah, waspadalah, waspadalah….!.

oleh : Teguh Estro “…Dengan berdalih pada tugas media sebagai penyampai fakta, mereka telah berani melampaui batas etika (mengadu domba u...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Mahasiswa [K]Udu Bangsa Kera


Oleh: Teguh Estro*

“...Mereka bangga kalau kelompok geng nya adu jotos, menganiaya sampai ‘membakar’ atribut kelompok lain. Na’udzubillahi min dzalik…!”

Manusia berasal dari bangsa kera ! Kesimpulan yang kejam itu tertuang dalam pemikiran kaum Darwinisme ribuan tahun lalu. Mereka berpendapat antara kera dan manusia sama-sama berasal dari jenis phrymata. Manusia merupakan bagian dari proses Evolusi bangsa phrymatha. Hal tersebut ditandai dengan perubahan volume otak, bentuk rahang, tinggi kerangka, hingga perubahan pola hidup. Tentu saja hal tersebut menyulut amarah banyak umat manusia. Siapa sih yang mau disamakan dengan mahluk berekor panjang nan berbulu lebat tersebut. Lihat saja betapa ‘cakep’nya Karim Benzema (bintang Real Madrid FC) tentu saja tidak akan mau disamakan dengan seekor kera.

Salah satu dari sekian banyak kelebihan manusia dibandingkan kera adalah kemampuan Nalar kritis manusia. Masih ingatkah bagaimana ‘cerewet’nya Ibrahim a.s ketika masih kecil. ia bertanya kenapa harus menyembah patung yang dibuat oleh bapaknya sendiri. Ia bertanya-tanya dimana Tuhannya. Dan sampai saat ini belum ada kera semodern apapun yang pernah mempertanyakan siapa Tuhannya. Atau setidaknya mempertanyakan kenapa kera selalu makan pisang. Kalaupun ada mungkin itu hanya ada di Film ataupun Sinetron.

Kaum Filosof sering mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir. Mungkin secara sederhana bisa saja seperti itu. Maksudnya secara fisik manusia dan hewan memiliki beberapa kesamaan. Karena manusia juga memiliki dimensi ke-binatang-an. Yakni hasrat untuk bertahan hidup, mencari makan, sakit, reproduksi dll. Dan sekali lagi hal mendasar yang membedakan antara manusia dan hewan adalah Nalar kritis mereka, kemampuan berpikir brilian. Jadi kemungkinan yang disebut oleh mas Darwin sebagai keturunan kera itu adalah mereka yang kehilangan nalar kritisnya. Karena terkadang manusia justru terjebak dalam rutinitas yang juga merupakan rutinitas yang dilakukan kera. Semisal hidup hanya diisi dengan makan, tidur, berkembang biak dan berkelahi cakar-cakaran. Kera tidak akan pernah mendapat gelar pemikir apalagi cinta akan ilmu pengetahuan.

Mahasiswa, nah sekarang kita membicarakan mahasiswa. Dalam tradisi mahasiswa ada yang disebut dengan mimbar diskusi. Dimana mahasiswa dipersilahkan untuk mengemukakan aspirasinya. Biasanya di dalam kelas mahasiswa diberikan kesempatan untuk berdiskusi ilmiah sebebas-bebasnya. Walaupun masih ada juga beberapa dosen yang masih memaksakan pendapat mereka, menjejali mahasiswa dengan hafalan-hafalan dan teori-teori yang tidak implementatif. Sehingga wajar jika beberapa mahasiswa ada yang ‘gelisah’ (baca: tidak puas) dengan apa yang mereka dapat di kelas. Itulah mahasiswa, ia tidak pernah puas dengan ilmu pengetahuan, selalu ingin tahu dan resah jika ada sesuatu yang mengganjal dari ilmu yang ia pelajari. Inilah yang membedakan Mahasiswa dan kera. Beda banget…!

Adakah mahasiswa yang sekaligus ‘kera jadi-jadian’ ? maksudnya, adakah Mahasiswa tetapi tetap saja melakukan rutinitas yang persis seperti kera. Semisal hidup hanya diisi dengan makan-makan. Mereka hanya asyik hunting jenis makanan dari satu warung ke warung yang lainnya. Atau ada juga mahasiswa yang hobi tawuran keroyokan persis sekali seperti kera kalau berkelahi cakar-cakaran. Mereka bangga kalau kelompok geng nya adu jotos, menganiaya sampai ‘membakar’ atribut kelompok lain. Na’udzubillahi min dzalik…!

Siapapun diantara kita tidak ada satupun yang mau disamakan dengan kera. Siapapun pembaca yang budiman pasti sangat bangga disebut sebagai insan pecinta ilmu pengetahuan. Terutama di dunia kampus yang menjadi gudangnya teori-teori keilmuan. Maka carilah, ikatlah dan ajarkanlah ilmu yang ada. Maka berkoarlah sekencang mungkin di dalam kelas, maka jadilah aktivis handal di Organisasi. Maka berdiskusialah tentang apa saja, maka tanyakanlah tentang kenapa. Maka pintalah kepada Rabb agar bisa menjadi mahasiswa ‘tulen’ yang gila akan ilmu pengetahuan bukan menjadi kera jadi-jadian.

Oleh: Teguh Estro* “...Mereka bangga kalau kelompok geng nya adu jotos, menganiaya sampai ‘membakar’ atribut kelompok lain. Na’udzubil...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

PILKADA dan Pendidikan Politik


Oleh: Teguh Estro
            Salah satu ciri simbolik dari negara demokrasi adalah adanya Pemilihan Umum (PEMILU) dalam penentuan kepala pemerintahan. Begitupun Indonesia yang memang rutin mengagendakan PEMILU sejak tahun 1955 untuk memilih Presiden, baik secara langsung maupun tidak langsung. Walaupun pesta demokrasi ini masih harus banyak berbenah, setidaknya Indonesia telah belajar dalam banyak kesalahan.
Sejak tahun 2004, negara dengan jumlah etnis terbanyak ini mulai mengenal istilah Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Beberapa bulan ke depan PILKADA inilah yang akan menghiasi layar-layar publik. Hajatan demokrasi ini juga kian menggeliat di berbagai kabupaten  provinsi D.I Yogyakarta. Calon-calon pemimpin ada yang terang-terangan tampil, ada juga yang ‘malu-malu kucing’ memproklamirkan dirinya. Baik itu melalui baliho-baliho di jalan umum, via media cetak ataupun kampanye di televisi. Mudah-mudahan visi kinerja mereka secantik dan seganteng parasnya saat di iklan.
Pelajaran terpenting dari berbagai PILKADA di tanah air adalah maraknya berbagai anarkisme, kecurangan suara dan money politic. Sebagai kota pelajar, selayaknya bumi mataram ini ‘berpesta’ dengan cara terpelajar juga. Jangan sampai PILKADA justru lebih mengerikan daripada pertandingan sepakbola derby jogja yang penuh kekerasan. Seharusnya ajang demokrasi ini menjadi pertarungan program kerja yang betul-betul fair. Sehingga singgungan antara simpatisan yang berujung premanisme tidak terjadi lagi. Pun demikian dengan maraknya kecurangan suara. Calo-calo suara seolah menjadi profesi musiman saat agenda pesta rakyat berlangsung. Sungguh budaya tersebut tidak layak terjadi di kota budaya, Yogyakarta.
Lima kabupaten di DIY tengah siap siaga menyambut pesta demokrasi. Terutama daerah Mbantul dan Kota Yogyakarta yang tampak poster-poster calon kuatnya. Sebenarnya perkara menang atau kalah tidaklah begitu penting, hal yang perlu diperhatikan adalah proses demokrasinya. Dengan berjalannya proses PILKADA secara demokratis tentu saja bisa menjadikan masyarakat perlahan melek politik. Siapa calonnya, apa visi besarnya dan bagaimana track recordnya adalah perkara wajib untuk dikonsumsi warga Yogyakarta. Sehingga jargon-jargon ‘aneh’ tak lagi muncul, seperti “…seng penting duite endi…” atau“….nek arep dipiih, aku entuk piro….” Dll.
Komunikasi politik harus sejak dini dilakukan calon-calon pemimpin daerah. Pasalnya selama ini komunikasi politik seolah hanya milik kalangat elit saja. Sedangkan masyarakat bawah sekedar melakukan komunikasi politik pasif, itupun saat PEMILU tiba. Lancarnya pendidikan politik hanya terjadi jika pemimpin dan elit politik mau ‘turun’ langsung dan membaur bersama masyarakat bawah. Tentu saja, bukan hanya saat mendekati PILKADA saja. Tetapi setiap rakyat memiliki masalah, sebenarnya di sanalah peluang para elit politik untuk melakukan pendidikan politik. Bukan sekedar manis di iklan saja, tapi ujung-ujungnya korupsi juga.
Kontinuitas peran partai politik membersamai rakyat akan berdampak pada meningkatnya kesadaran politik. Sehingga pemilih benar-benar melakukan pemilihan, bukan sekedar dipaksa untuk memilih. Setidaknya  rakyat tahu siapa yang dipilih, ibarat anak yang tahu persis siapa bapaknya. Bukankah setelah terpilih nanti, para calon akan bertugas menjadi pelayan bagi masyarakat. Bagaimana mungkin terjadi pelayanan jika pemimpin tidak berbaur dengan rakyat, atau sebaliknya rakyat yang cuek terhadap pemimpinnya. Padahal nantinya pemimpin daerah sangatlah membutuhkan pasrtisipasi masyarakat dalam menyukseskan program-programnya. Jika selama ini paradigma rakyat yang selalu butuh uluran pemerintah, maka hal tersebut harus dibalik. Hubungan antara rakyat dan pemerintah adalah partner dalam membangun daerah. Konsep kesetaraan dalam relasi publik inilah yang mempercepat proses pemahaman masyarakat. Dan tentu saja kian mendidik rakyat dalam rangka pembangunan daerah.
Pendidikan politik bukan saja harus diajarkan kepada rakyat. Akan tetapi para aktivis partai politik pun kudu belajar bersama rakyat. Belajar dewasa menerima kekalahan, belajar tertib administrasi, belajar kampanye damai dan belajar memenangkan PILKADA dengan jujur. Haruskah kecurangan yang sama terjadi lagi dan lagi? Akankah ‘cakar-mencakar’ antar partai politik terus dibudayakan? Sebenarnya rakyat pun sudah bosan menonton tingkah elit politik di panggung demokrasi yang acak-acakan. Contoh ringan saja keributan saat konvoi kampanye, pembakarann bendera, penyobekan baliho bahkan tawur antar simpatisan. Kebebasan dalam demokrasi bukan berarti bebas menindas kontestan lainnya.
Yogyakarta bukanlah kota yang baru mengenal demokrasi. Bahkan pakar-pakar demokrasi banyak lahir di sini. Sehingga pemimpin yang akan maju ke pentas demokrasi pun seharusnya para intelektual-intelektual bermoral jebolan kota pelajar. Dan harapannya rakyat tidak begitu sulit menentukan pilihan untuk mencari pemimpin daerah berkualitas. Apapun partainya dan siapapun calonnya tentu harus mengutamakan karepe rakyat. Pasalnya rakyat selalu menjadi korban ulah ‘nakal’ para penguasa. Sudah saatnya wong cilik di Yogyakarta ini  merasakan kesejahteraan dari kepala daerah yang adil.
Partisipasi masyarakat tentu menjadi faktor yang paling penting. Saat ini pilihan untuk masyarakat bukan lagi memilih atau tidak. Akan tetapi benar-benar serius memilih antar Calon Pemimpin satu atau yang lainnya. Jika selama ini masyarakat banyak mengeluh dengan kinerja pejabat atas, ya salahnya sendiri. Kenapa pada saat ajang PILKADA tidak serius memilih pemimpinyang paling bagus. Semisal dengan melakukan kontrak politik ataupun sharing program. Bahkan masih ada saja person-person yang justru mengkampanyekan anti PILKADA. Entah karena kekecewaan yang berlebihan terhadap pemimpin yang lalu. Ataupun karena memang niatnya yang busuk untuk menolak demokrasi hingga ke daerah-daerah. Warga Yogyakarta sangat membutuhkan pemerintah yang demokratis. Salah satunya adalah dengan menggalakkan tingkat pastisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah.

Oleh: Teguh Estro             Salah satu ciri simbolik dari negara demokrasi adalah adanya Pemilihan Umum (PEMILU) dalam penent...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Kilas Balik Eksistensi Kaum Hedonis


oleh: Teguh Estro

Tentu kita masih ingat kiprah Qarun berikut kekayaannya nan melimpah. Harta yang dimilikinya justru menjadi bomerang bagi datangnya kepongahan. Sungguh tidaklah berlebihan jika ia menjadi ikon bersejarah kaum hedonis. Sosok yang hidup pada masa nabi Musa a.s ini berhasil memperkenalkan eksistensi kaum hedonis di masanya.
Hal serupa dilakukan kaum Munafiqin yang ikut perang uhud dalam barisan kaum muslimin. Sebagian pasukan pemanah terpesona dengan kilauan ghanimah (harta rampasan perang) sehingga meninggalkan pos-pos mereka di atas bukit. Terlepas dari menang atau tidaknya perang uhud, yang pasti perjuangan telah ternodai oleh ruh-ruh hedonisme.

Pada era pertengahan gelombang hedonisme justru datang dari negeri barat. Mulai dari gaya hidup, adat-istiadat, hingga pola pikir tidak terlepas dari sudut pandang keduniaan. Tatanan perilaku barat tersebut cepat atau lambat sampai juga ke dunia timur dan negeri kaum muslimin khususnya. Dan Orang –gila- pertama yang menyebarkan virus hedonis ini adalah para penjajah. Pasca perang dunia, umat Islam benar-benar habis diobok-obok oleh imperium barat. Mulai dari penjajahan fisik, pengerukan alam hingga pemaksaan budaya hedonis di daerah jajahan. Sebut saja di Indonesia

kebanggaan berlebihan terhadap ‘kompeni’ sebenarnya sudah ada seja masa penjajahan. Bukan hanya meniru gaya hedonisnya, akan tetapi sampai rela menjadi penghianat bangsa dan berpihak pada penjajah. Mereka itulah yang rela menjadi mata-mata penjajah hanya karena imbalan satu atau dua keping harta. Sungguh Hedonis….!

Pada masa post-modern ini kaum hedonis mengalami masa keemasannya. Dimana justru bibit pecinta dunia berkembang hebat di kalangan umat Islam sendiri. Anehnya lagi antar satu muslim dengan lainnya kian asyik menumpuk harta. Hingga kemuncaknya adalah keberadaan pengaruh hedonis ini telah diangap wajar dan diterima dengan baik tak ubahnya seorang raja di raja yang sakti mandraguna pengaruhnya.

oleh: Teguh Estro Tentu kita masih ingat kiprah Qarun berikut kekayaannya nan melimpah. Harta yang dimilikinya justru menjadi bomerang...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Revolusi Mesir, Revolusi Rakyat.


Oleh: Teguh Estro*

Husni Mubarok harus turun sekarang juga. Itulah jeritan jutaan rakyat Mesir agar sang diktator hengkang dari tampuk kepemimpinan. Lebih dari 30 tahun berkuasa, mantan jenderal angkatan udara itu hanya menjadi tirani. Korupsi kian merajalela diiringi kemiskinan yang menjadi pesakitan rakyat di bumi para nabi itu. Bahkan kekayaan Husni Mubarok telah mencapai lebih dari 300 T rupiah. Belum lagi kekayaan anaknya Gamal mubarok yang mencapai lebih dari 100 T rupiah. Sebuah angka yang sangat menyakitkan hati jika dibandingkan dengan angka 40% rakyat yang berstatus miskin.

Lapangan Tahrir di Kairo menjadi saksi kebrutalan militer terhadap pejuang revolusi. Begitupun yang terjadi di Nasher City, Alexandria, Suez dan kota-kota besar lainnya. Jutaan masa sejak 25 Januari lalu telah berbulat tekad untuk memakzulkan Husni Mubarok. Masa demonstran yang berasal dari berbagai kalangan berkumpul-riuh mengekspresikan puncak kekesalannya. Berawal dari diblokirnya situs jejaring sosial ‘Facebook’ dan ’Twitter’ oleh pemerintah. Kemarahan warga mulai tersulut. Puncaknya hingga jaringan telekomunikasi dan layanan perbankan juga terputus.

Krisis di Mesir saat ini sebenarnya hanyalah kemuncak dari kekecewaan berbagai kalangan. Ada dua hal penyebab utama terjadinya pergolakan revolusi Mesir saat ini. Sebab pertama adalah alasan permukaan, yakni kemiskinan yang mencapai level terparah namun jajaran penguasa justru asyik bertindak korup. Bagaikan rumput kering yang terkena percikan api, rakyat Mesir mudah sekali terbakar nalurinya untuk memberontak. Karena urusan perut tidak bisa menunggu lama. Hal serupa juga menjadi penyebab utama pergolakan revolusi yang terjadi di Tunisia, Yaman dan Oman.

Penyebab kedua dari pergolakan revolusi Mesir adalah pemerintahan yang tidak demokratis. Berapa banyak para tokoh yang bersuara lantang lalu dipenjara hanya karena mengkritik pemerintah. Bahkan melalui kekuasaannya Husni Mubarok memberangus lawan-lawan politiknya di parlemen dengan menjadi kekuatan politik terbesar. Seolah mewarisi pendahulunya, Presiden yang berkiblat ke barat ini juga melakukan determinasi pada ormas-ormas Islam di sana. Sebut saja kekuatan oposisi besar Ikhwanul Muslimin yang terus mengalami luka di sepanjang sejarah oleh penguasa. Sejak masa ketokohan Hasan al-banna dan Sayyid Quthb, anggota-anggota Ikhwanul Muslimin layaknya hewan buruan yang harus dibunuh dan dipenjara. Begitupun dengan tokoh lainnya bahkan yang bersebrangan ideologi sekalipun. Seperti tokoh-tokoh dari partai sosialis yang sulit berbicara lantang mengkritik penguasa. Sehingga revolusi mesir di awal tahun 2011 ini seolah mendai momentum bagi oposisi pemerintahan untuk bersikap nyata. Apapun ideologinya, mereka bersama turun ke jalan meneriakkan “Mubarok Turun”. Sampai saat ini Husni Mubarok yang telah bertolak ke luar negeri tak kunjung berniat lengser dari kekuasaannya. Bahkan ia baru akan mengundurkan diri pasca PEMILU bulan September 2011. Kian sulit saja perjuangan Revolusi rakyat Mesir. Apalagi Militer Angkatan Udara sangatlah setia pada sang Tiran Mubarok.

Pergolakan konstelasi politik di timur tengah ini kian memicu kekhawatiran dunia. pasalnya selama ini Mesir di bawah kepemimpinan Husni Mubarok begitu dekat dengan negara-negara barat. Bahkan biaya militer di negeri seribu menara itu adalah bantuan dari Washington D.C. Hal ini tentu karena adanya kepentingan negara adidaya tersebut dalam perpolitikan Mesir. Apalah jadinya muka Israel, Amerika dan sekutu-sekutunya jika semenanjung sungai Nil dikuasai oleh oposisi pemerintah. Akankah pasca mubarok akan muncul pemimpin yang berkiblat kepada Amerika ataukah justru menentang kebijakan militer gedung putih.

Israel sebagai salah satu sekutu Mesir betul-betul menjadi negara yang sangat tertekan. Menteri luar negeri Israel mencoba meyakinkan negara-negara Uni Eropa bahwa Mubarok harus tetap berkuasa. Pasalnya selama ini Husni Mubaroklah yang menjadi pendukung kedaulatan Israel saat berkonflik dengan Palestina. Sehingga boleh jadi Israel adalah negara yang paling berkepentingan terhadap misteri masa depan kepemimpinan Mesir. Ada beberapa nama yang muncul selain Gamal Mubarok ‘The Son’ yang telah disiapkan oleh Husni Mubarok. Sebut saja Omar Sulaiman yang selama ini menjadi tangan kanannya ataukah el-Baradai yang menjadi pemimpin gerakan oposisi saat ini. Semua teka-teki ini akan terjawab seiring perjuangan para demonstran yang telah mengeluarkan ultimatum agar Mubarok turun sampai 4 Februari 2011.

Oleh: Teguh Estro* Husni Mubarok harus turun sekarang juga. Itulah jeritan jutaan rakyat Mesir agar sang diktator hengkang dari tampuk...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Reformasi Gerakan Reformasi

Menyoal Konflik Horizontal Antar Gerakan
Oleh: Teguh Estro

Nabiyullah Musa a.s salah satu sosok reformis yang menjadi aktor sentral penggulingan fir’aun. Namun setelah Fir’aun tenggelam problem justru muncul di tengah kaum (itu) sendiri, adalah konflik horizontal di kalangan Bani Israil. Reformasi yang diharapkan terjadi pada bani Israil sungguh jauh panggang daripada api. Ilustrasi ini seolah menjadi de javu bagi bangsa Indonesia.

Reformasi (taghyir) sebagai salah satu ajaran Islam yang belum terpahami secara kontekstual dalam upaya perbaikan umat. Sebelas tahun lalu bangsa Indonesia mencoba reformasi total pemerintah otoriter Soeharto. Namun hingga sang jenderal cendana itu ‘berpulang’, perjuangan reformasi tak kunjung menorehkan hasil. Tuntutan reformasi yang diperjuangkan oleh rakyat ’98 kini sekedar menjadi catatan sejarah. Persoalan supremasi hukum, pemberantasan KKN hingga reformasi di bidang ekonomi dan politik. Semua tuntutan itu kian terlupakan seiring surutnya ghiroh gerakan reformasi dalam satu dekade belakangan ini.

Fenomena aksi pemakzulan Soeharto itu telah menjadi fase sejarah yang begitu penting dan strategis. Namun sayang proses bergulirnya sejarah ‘98 itu tidak diiringi oleh cantiknya desain dalam mengisi kekosongan pasca gerakan reformasi. Parahnya justru berbagai elemen yang tergabung dalam barisan perjuangan sebelas tahun lalu terjebak dalam konflik horizontal. Keretakan ini bukan hanya membuat koruptor bertepuk tangan, namun lebih memberikan efek pada kelesuan gerakan reformasi. Di tengah vacuum moving gerakan –terutama- mahasiswa, beban berat bertambah seiring merebaknya kultur barat dan hedonisme pada kalangan pemuda.

Kompleksitas problem ini menuntut mahasiswa untuk benar-benar teguh, pintar dan kreatif dalam menjaga idealisme gerakannya. Salah satu masalah terbesar bagi gerakan mahasiswa adalah ketika mereka kehilangan sensitivitas atas penyakit-penyakit bangsa. Dimanakah kepekaan mahasiswa ketika ada korupsi triliunan rupiah, namun di tempat lain warga sidoharjo terus menagih uang ganti rugi atas rumah mereka yang terendam lumpur. Anehnya justru gerakan mahasiswa masih terjebak dalam ‘pertarungan’ antar ideologi.

Salah satu jalan untuk mengembalikan darah juang reformasi adalah dengan mereform gerakan reformasi. Mahasiswa harus menjadi transformator spirit gerakan. Mengubah pola gerakan yang bukan hanya aksi jalanan secara kuantitas, namun lebih pada proses pemanjaan nalar sensitif mahasiswa. Mengubah alur reformasi dengan bermula dari arah transenden menuju perbaikan bangsa. Mengubah kultur hedonisme menuju massifitas ruang-ruang dialetika. Mengubah tindakan anarkis menjadi gerakan moderat dan elegan. Inilah mahasiswa yang akan berjuang melakukan reformasi mulai dari dirinya sendiri

Menyoal Konflik Horizontal Antar Gerakan Oleh: Teguh Estro Nabiyullah Musa a.s salah satu sosok reformis yang menjadi aktor sentral peng...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Arab Bergejolak, AMerika Siapkan Boneka

oleh: Teguh Estro*


Tunisia telah mengawali, disusul rakyat Mesir berhasil gulingkan Husni Mubarok. Berikutnya Yaman, Iran, Maroko, Libya dan Oman siap menuntut hal serupa. Kini rakyat arab tengah mengalami kemuncak Euforianya. Tak ayal pemberitaan akan timur-tengah selalu diracik dalam bingkai Revolusi. Namun analisis kita jangan sampai berhenti sampai selugu itu. Bukankah selama ini yang begitu berkepentingan akan gejolak di negeri-negeri kilang minyak adalah Amerika. Mungkin sulit untuk membuktikan kalau Amerika menjadi dalang atas panasnya konstelasi politik di tanah arab. Namun boleh jadi kini Barrack Obama tengah menyiapkan negara boneka pasca termakzulkannya raja-raja arab.
            Media massa mencoba mengarahkan masyarakat dunia pada satu kesimpulan.  Bahwasannya semua kemelut penggulingan pemerintah di tanah arab sengaja dikesankan murni sebagai gerakan rakyat seperti halnya Mesir, padahal tidak....! Coba kita amati keganjilan pada kerusuhan yang terjadi di Iran dan Libya. Alangkah lucunya jika tudingan korupsi ditujukan pada Ahmadinejad. Pun demikian dengan Muammar Qaddafi di Libya aneh jika akan digulingkan lantaran menjadi antek-antek Amerika. Boleh jadi momentum kebangkitan rakyat di Arab tengah dimanfaatkan oleh ‘oposisi bayaran’ untuk menggulingkan Ahmadinejad dan Qaddafi. Pasalnya dua negara tersebut adalah negara yang paling sulit untuk ‘disetir’ oleh pemerintahan gedung putih.
            Salajengipun, masih ada lagi keganjilan dalam skenario revolusi negara-negara Arab. Pertanyaannya, kenapa di Saudi Arabia, Iraq dan Afghanistan adem ayem saja. Jawabannya sederhana, lantaran mereka sudah menjadi negara boneka Amerika. Dan negeri paman sam itu tak mau capek-capek membuat oposisi bayaran lagi. Sekarang Barrack Obama tinggal menambah koleksi negara bonekanya di timur-tengah. Dan saat ini adalah momentum yang tepat untuk menggoyang pemimpin-pemimpin arab, terutama Iran dan Libya.

oleh: Teguh Estro* Tunisia telah mengawali, disusul rakyat Mesir berhasil gulingkan Husni Mubarok. Berikutnya Yaman, Iran, Maroko, Li...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Nurdin Halid Pancen Sakti

oleh: Teguh Estro*


Akhirnya PSSI terbekukan juga oleh Menpora pada 28 Maret lalu. Pasalanya Andi Mallarangeng menilai kongres PSSI di Pekan Baru kurang profesional berbuntut kericuhan. Politisi partai Demokrat ini pun mengancam sanksi dengan memutus anggaran terhadap institusi sepak bola nasional itu. Dan posisi Nurdin Halid sebagai pucuk pimpinan PSSI kian terpojok saat ini. Namun bukan Nurdin Halid namanya jika hanya diam saja. Pria kelahiran Watampone itu mengatakan Andi mallarangeng tidak cakap sebagai menteri sehingga layak untuk dicopot. Kali ini benar-benar Nurdin Halid tengah menjajal kesaktiannya Karena berani menantang Menpora.
            Terseretnya Andi Mallarangeng ke dalam seteru PSSI menambah konflik baru di tubuh PSSI. kali bukan lagi sekedar seteru antar tim sepak bola saja, akan tetapi sudah membawa bendera partai politik. Mau tidak mau posisi Nurdin Halid sebagai mantan politisi Golkar akan berbenturan dengan massa ‘Biru’ yang mendukung Andi Mallarangeng. Hal tersebut menjadi tidak sehat lantaran sepak bola sebagai olahraga telah tersusupi kepentingan politik. Apalagi jelas-jelas telah muncul statemen saling ancam antara kedua belah pihak.
            Kontroversial Nurdin Halid bukan hanya saat ini saja. Sudah banyak pihak yang menginginkan mundurnya ketua PSSI sejak 2003 itu dari pucuk pimpinan. Pasalnya sudah satu dekade terakhir timnas merah putih belum juga memenangkan tropi juara. Sempat dielu-elukan bakal menjuarai piala AFF  akhir tahun 2010 lalu, namun justru harus kandas di final oleh Malaysia. Tentu saja masyarakat pecinta bola segera mengkambing-hitamkan Nurdin Halid sebagai biang keladi kekalahan. Namun pria berusia 52 tahun itu tetap tak mau juga turun dari jabatannya. Bahkan saat demonstrasi dari berbagai penjuru nusantara ramai membakar foto dirinya. Tetap Nurdin Halid bersikukuh tak akan mundur dari pimpinan PSSI.

oleh: Teguh Estro* Akhirnya PSSI terbekukan juga oleh Menpora pada 28 Maret lalu. Pasalanya Andi Mallarangeng menilai kongres PSSI di Peka...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Ibnu KHaldun Angkat 'Wong Deso'

oleh: Teguh Estro*


Dalam bukunya Muqaddimah, Ibn Khaldun mengungkapkan mengenai tradisi hidup Wong Ndeso. Namun dalam redaksinya, bapak Sosiolog Islam ini menggunakan istilah ‘orang Badui’. Yakni, mereka yang bermukim jauh dari kemewahan kota-kota besar. Mereka yang hidup bergantung dan bergelut pada alam (di arab tentu saja hidup di gurun). Ibnu Khaldun menganalisis bahwa penduduk desa adalah basis dari penduduk kota. Artinya tradisi dan peradaban ala Wong Ndeso telah lebih dulu ada tinimbang penduduk kota.

Salah satu catatan dalam buku Muqaddimah mengatakan bahwasannya Wong Ndeso lebih memiliki keberanian alami daripada orang kota. Mereka terbiasa hidup di alam tanpa ada tembok tinggi mengelilingi ‘gubug’nya, tanpa ada body guard yang mengawalnya. Kebiasaan mempertahankan diri dengan kekuatan dan persenjataan sendiri itulah yang memupuk jiwa keberanian secara alami. Sehingga wajar jika ada Wong Ndeso yang terbiasa keluar masuk hutan di tengah malam hanya bermodalkan seonggok parang (pisau panjang) saja. Karena memang sejak kecil, mereka dituntut untuk memenuhi kebutuhan primer dari alam. Dan sebaliknya, Ibn Khaldun mewanti-wanti para penduduk kota agar jangan terlena dengan kemewahan. Pasalanya hidup serba instan yang dijalani masyarakat kota justru perlahan membunuh keteguhan jiwa mereka. Bayangkan saja mulai dari urusan perut, mereka telah menggunakan jasa cathering, langsung santap. Selanjutnya sandang yang dipakai sehari-hari di kerjakan oleh jasa laundry. Hingga dalam urusan keamanan, masyarakat kota khususnya penghuni komplek-komplek dan apartemen, menyerahkannya pada security bayaran untuk menjaga 24 jam. Pramilo tidak heran jika insan perkotaan lebih ‘lembek’ jiwanya dalam menghadapi keganasan hidup.

Ibnu Khaldun juga memaparkan mengenai tabiat alami wong Ndeso. Mereka lebih mudah dalam menerima nasihat kebaikan. Hal tersebut lantaran adanya tradisi ‘nggak neko-neko’ dalam melangkah. Kalau memang masyarakat menganggap baik mengenai suatu urusan, ya sudah jalankan saja. Namun hal yang berbeda jika kita lirik mengenai watak masyarakat perkotaan. Sejak kecil, penduduk kota telah mengenal banyak referensi penyimpangan-penyimpangan sosial. Dan alam bawah sadar mereka cenderung memberikan ‘label kelaziman’ akan banyaknya deviasi sosial. Sehingga mereka sudah tidak begitu menghormati lagi adanya nasihat-nasihat agar berlaku sesuai norma. Apalagi masyarakat kota pun tidak jarang nyambi sebagai pelaku kejahatan. Sebut saja kaum miskin kota, mereka dipaksa memilih jalan hidup antara pengemis, pengamen nyambi sebagai pencopet jalanan. Pun sama halnya orang ‘terlanjur kaya’ di perkotaan. Mereka lebih memiliki kesempatan dan lingkungan yang mendukung untuk mencicipi dunia kejahatan. Lantaran fasilitas untuk perjudian, korupsi hingga prostitusi mampu mereka jangkau dengan pembayaran yang cukup.

oleh: Teguh Estro* Dalam bukunya Muqaddimah , Ibn Khaldun mengungkapkan mengenai tradisi hidup Wong Ndeso . Namun dalam redaksinya, bapak ...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Islam Dalam Persepsi Media Barat

oleh: Teguh Estro*


Paska runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani (ottoman kingdom), seolah pasukan salib dan kaum yahudi tak bosan-bosannya bertepuk tangan. Belum puas dengan itu semua, kini mereka mulai menjajah alam pemikiran umat Islam (ghazwul fikr). Para penegak al-Quran mulai dari tanah Maroko hingga ujung Merauke perlahan mulai terkendalikan oleh barat. Bukan roket atau nuklir, tapi media (massa) telah menjadi senjata tunggangan terhebat mereka. Dengan media, tentu saja mereka bisa begitu lihai mengotak-atik informasi dunia Islam.
Sadar atau tidak…! Sudah berapa banyak pesawat televisi di dunia yang menjelek-jelekkan Islam. Dalam satu kali terbit, berapa surat kabar yang telah melecehkan Nabi Saw. Dalam satu jam sudah berapa content yang termasukkan (upload) di situs internet dengan berbagai penghinaan terhadap al-Quran. Hal tersebut belum termasuk media-media lainnya dengan teknologi tercanggih mereka. Apakah cukup sampai disini…? Ternyata tidak, mereka tidak akan ridho hingga umat Islam mengikuti millah mereka.
Salah satu target utama dari serbuan media barat adalah mencoba mengendalikan persepsi umat Islam terhadap agamanya sendiri. Persepsi adalah cara pandang seseorang terhadap objek berdasarkan informasi kognisi dan sensori sehingga menghasilkan interpretasi. Berita adalah informasi kognisinya, video dan gambar adalah info sensorinya sedangkan umat Islam adalah objeknya. Dan mungkin teroris adalah salah satu tafsirannya (baca: menurut Yahudi).
Dengan banyaknya pemberitaan buruk terhadap Islam harapan mereka (yahudi dan nashrani) tentu adanya kebencian umat Islam terhadap agamanya sendiri. Itulah yang disebut persepsi, namun sayangnya itu adalah persepsi yang buruk atas Islam. Semisal mereka yang giat mempropaganda Islam sebagai teroris paska tragedi 11 september.
Secara umum mereka telah berhasil mempengaruhi alam bawah sadar kaum muslimin bahwasannya Islam memang benar-benar teroris. Walaupun sebenarnya merekalah yang berhak disebut nenek moyangnya terorisme. Pasalnya kaum salibis ini tak segan-segan memusuhi umat Islam melalu bom, peperangan (mis: Irak, Moro dan Afganistan), pembunuhan massal dan lainnya.
Sejarah telah mengajarkan bahwasannya umat Islam tidak pernah diam atas pengrusakan identitas ad-Dien. Bagaimana hebatnya pertempuran badar, sengitnya lemparan tombak para sahabat dalam perang Hunain. Memang secara normal sejarah tidak bisa terulang, namun semangat mereka adalah hak waris terbesar bagi kita yang hidup di akhir zaman. Saatnya kita menyusun agenda besar untuk memperbaiki citra umat Islam. Salah satunya dengan memanfaatkan media barat secara selektif untuk melakukan serangan balik (counter attack).
Mohon maaf jika terasa kasar dan berlebihan. Namun paling tidak kita mampu memahami bahwasannya perlawanan melalui pengelolaan media bukanlah perjuangan yang lebih ringan dari pada perang khondaq. Karena dengan berani menggagas perang media melawan kaum salibis berarti kita menantang nuklirnya barat untuk diadu dengan ketapelnya umat Islam.
Bayangkan saja saat NBC, CNN, CBS, Washington Post, Time ataupun Newyork Times hingga pusat berita Reuters bergerak dengan fokus pada penghancuran mental kaum muslimin. Maka wajib bagi kita untuk waspada. Apakah cukup dilawan dengan beberapa lembar makalah, bulletin dan pamflet…? Jawabannya silahkan saja bagi umat Islam untuk berjuang semampunya. Jika memang hanya bisa dimulai dengan makalah, bulletin ataupun sekedar pamflet, maka pasti Allah akan membantu. Bila perlu diadakan gerakan sadar media melalui 1000 tulisan Islami, video Islami, ataupun blog dan website Islami.

oleh: Teguh Estro* Paska runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani ( ottoman kingdom ), seolah pasukan salib dan kaum yahudi tak bosan-bosanny...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Perjuangan Yang Terlupakan

Perjuangan Yang Terlupakan
Oleh: Teguh ‘Estro’
Sejak Adam menggenggam butiran pasir di bumi berarti sejak itu pula kata perjuangan dikenal. Terpisahnya Adam dan Hawa telah membuat sejarah romantis tersendiri. Kisah perjuangan yang lebih dari kisah Romeo dan Juliet. Perjuangan lelaki menapaki bumi hanya untuk menemukan dimana sang isteri maneteskan air matanya. Perjuangan hamba memohon ampunan dosa kepada Tuhannya. Bahkan perjuangan dalam memahami bagaimana hidup di bumi untuk pertama kalinya. Walau banyak orang yang menghiraukan tapi inilah perjuangan besar. Meskipun sekarang manusia mengagung-agungkan cinta syahwat, tapi Adam dan Hawa menunjukkan perjuangan cinta sebenarnya.
Belajar dari Ibrahim. Berbeda dengan Adam berbeda pula dengan Ibrahim. Beliau mati-matian memperjuangkan tauhid sebagai agama yang hanif. Sebuah perjuangan yang saat ini dirasa sangat berat. Berjuang dari kecaman orang tua, dibakar tubuhnya. Bergerilya menghancurkan kemusyrikan Raja Namruz. Bahkan penuh kesabaran mencintai Isterinya, walau Siti Sarah belum juga berketurunan. Lagi-lagi seorang tokoh menunjukkan perjuangan hakiki itu seperti apa.
Hai manusia, masihkah engkau malu untuk berjuang. Kisah Adam dan Ibrahim menunjukkan pelajaran berharga yang kini tidak dihargai. Begitupun ketika Yusuf berjuang menjaga auratnya. Berjuang menghindari zina yang tinggal di depan mata. perjuangan terberat bagi seorang pemuda kapanpun hingga zaman sekarang. Yusuf rela dipenjara daripada menjadi bahan fitnah. Mencintai Zulaikha bukan karena syahwat dan nafsu, tapi lebih karena Allah. Karena Allah. Tidakkah kita mengambil pelajaran dari keteguhan Yusuf menjauhi zina.
Akankah dengan meraba perjuangan Muhammad kita akan tersadarkan. Muhammad telah memberikan suri tauladan terbaik, The best nomination awards for the best man. Setiap kata, ucapan dan perilakunya sudah cukup menularkan gema dan aura perjuangan. Berjuang merintis Islam menjadi keyakinan yang benar-benar diyakini. Berjuang menjadi seorang Rosul, pemimpin Negara, panglima perang, ayah dari anak-anaknya bahkan menjadi Suami dari Isteri(-isteri) nya.
Perjuangan itu muncul terlepas dari mereka seorang Nabi, tapi lebih karena mereka juga manusia. Sama seperti kita, bahkan beruntungnya kita karena mendapatkan ujian yang jaa….uh lebih ringan daripada mereka.
Mana perjuanganmu wahai orang yang hidup di Akhir Zaman…?
Berjuang untuk mencari Ilmu dan mengamalkannya, berjuang memperbaiki kualitas ibadah. Sholat di awal waktu, berjamaah di masjid. Bertahajud pada sepertiga malam. Berjuang menjemput ma’isyah untuk berbagi walau itu sedikit. Berjuang mengumpulkan bekal untuk pulang ke negeri akhirat. Hidup di akhir zaman memang penuh perjuangan. Bisakah mata tidak bermaksiat di sepanjang jalan umum. Bisakah hati berbaik sangka terhadap manusia apapun bentuknya, mengingat banyak kemunkaran di akhir zaman.
Mungkinkah seperti manusia kebanyakan. Ketika kecil diasuh dalam kemanjaan dan hiburan dunia dengan melupakan pendidikan agama. Begitupun dalam menapaki keremajaan, bergelimang nikmatnya dunia dan hiburan-hiburan syaithon. Hingga dewasa tetap saja mengagung-agungkan dunia yang diraihnya, menumpuk-numpuk harta. Barulah saat usia mulai senja ingat akan ibadah. Tulang keropos sungguh sulit diajak bersujud dan menapaki jalan malam berjamaah maghrib dan Isya’.
Selagi ingat berjuanglah……..!!!

Perjuangan Yang Terlupakan Oleh: Teguh ‘Estro’ Sejak Adam menggenggam butiran pasir di bumi berarti sejak itu pula kata perjuangan dike...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Ledakan atau ‘Ledekan’…?

(tulisan lama)
Oleh: Teguh Estro
Belum sembuh luka korban bom di kawasan Legian, Kuta Bali 2002 silam. Pun belum kering air mata keluarga korban bom Marriott enam tahun lalu. Begitu juga sejumlah ledakan di depan Kedubes Australia beberapa waktu lalu. Juga ledakan-ledakan di Poso, Aceh, Jakarta dan di wilayah Indonesia lainnya. Lebih dari 190 kasus teror peledakan Bom dari berbagai penjuru tanah air telah terjadi. Pelaku teroris pun tak mau ketinggalan zaman. Mereka kian professional saja membuat ‘kejutan’ yang meresahkan warga. Walhasil, daar..! pukul 07.45 pagi terjadi ledakan untuk kedua kalinya di depan hotel JW. Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli Jumat lalu. Tentu saja publik bertanya-tanya ada apa gerangan.? Apakah hanya karena ‘mbah Fergusson’ Cs hendak menginap di Indonesia? Ataukah disebabkan ketidakpuasan terhadap hasil PILPRES 2009…? Ataukah ini ulah iseng para teroris yang terus menebar ancaman?
Para penggemar Manchester United (MU) di tanah air tentu begitu geram. Mimpi ingin bertemu Ronney dkk secara langsung pupus sudah. The Dream Team yang telah disusun PSSI pun pulang kampung. Tiket Stadion Gelora Bung Karno yang habis terjual terpaksa dikembalikan lagi. Kesemuanya ini tentu saja erat kaitannya dengan ledakan bom di Mega Kuningan tersebut. Mungkinkah kedatangan juara Premier League itu cukup berpengaruh bagi Indonesia sehingga harus dihadang dengan bom. Ya, mungkin saja jika nalar yang digunakan adalah MU sebagai klub yang berbau kapitalis. Kedatangan mereka yang dinilai sebagai simbol mulai merapatnya Indonesia pada kepentingan kapitalis. Lantas kenapa sejak dulu Freeport, Exxon, dan Simbol kapitalis lainnya masih aman-aman saja? Padahal perusahaan-perusahaan multinasional tersebut jelas-jelas berbau barat. Anehnya kenapa warga pribumi yang menjadi tumbalnya?
Skenario lain berpendapat bahwa bom mega kuningan ini sebuah ekspresi kekecewaan terhadap hasil Pilpres. Pasalnya seluruh kontestan Pilpres yang masih berbau militer itu bukanlah tokoh yang saling ‘bersahabat’. Dan tentunya mereka bukanlah orang yang asing akan dunia rakit-merakit bom. Apalagi PEMILU kali ini diikuti oleh para mantan jenderal. Lokasi bom yang ada di ibukota pun mengindikasikan setidaknya ada unsur politik di dalamnya. Hal ini mengingat bahwa Jakarta merupakan pusat pemerintahan NKRI dimana segala sesuatunya diukur dengan kacamata politik. Akan tetapi analisis ini dengan mudah dibantah oleh semua kontestan Pilpres. Bahkan tidak ada saling tuduh antar mereka.
Pendapat yang paling masyhur atas tragedi ini adalah adanya pemain lama yang –lagi-lagi- dihubungkan kepada kelompok Jama’ah Islamiyah (JI). Mereka adalah pelaku atas sejumlah aksi teror di tanah air. Sebut saja Nurdin M Top kini kembali populer di kalangan POLRI. Buronan nomor wahid itu tak bosan-bosannya mengusik tidur banyak orang. Dengan berdalih jihad, M. Top berhasil melakukan “Brain Wash” terhadap kader-kader militan untuk melakukan bom bunuh diri. Uniknya, para gembong teroris ini merasa benar sekaligus bangga atas kelakuannya.
Hal yang menyakitkan adalah kian terpojoknya wajah Islam dengan tuduhan sebagai produsen kekacauan umat. tragedi bom ini seolah menutupi bagaimana umat Islam Indonesia baru saja menyelenggarakan hajatan PEMILU damai. Ledakan bom ini sekaligus ledekan bagi bangsa Indonesia yang dulu sempat tersohor sebagai bangsa yang ramah-tamah.
Ceritera yang menggelikan lagi ketika pemerintah Indonesia harus menuntaskan terorisme ini sendirian. Lihat saja bagaimana Amerika Serikat sempat kecolongan pada 11 Sepember 2001 silam. Negeri yang selalu pamer kekuatan militer itu harus bersusah payah menyelesaikan kasus terorisme yang tak kunjung selesai. Apalagi Indonesia yang punya reputasi buruk di bidang pertahanan dalam negeri. Namun akankah bangsa Indonesia hanya pasrah menunggu bom-bom berikutnya. Setidaknya harus ada upaya pencegahan yang serius dan berelanjutan dari POLRI.
Tahap pertama adalah pemulihan Traumatic Shyndrome rakyat Indonesia terhadap lokasi-lokasi keramaian yang selalu menjadi sasaran ledakan. Hal tersebut harus diiringi dengan jaminan keamanan yang betul-betul safe. Tujuannya bukan sekedar terapi psikologi pasca bom semata. Namun lebih pada adanya jaminan keamanan yang bisa menunjang sektor lainnya. Sebut saja sektor pariwisata dan ekonomi yang langsung terkena imbasnya.
Tahap kedua, mulai saat ini POLRI jangan sedikitpun merasa sungkan untuk menggandeng masyarakat menuntaskan tragedi bom Marriot ini. Kini POLRI dan rakyat memiliki musuh bersama. Adalah mereka para pelaku bom apapun motifnya merupakan buronan polisi sekaligus buronan rakyat. Jika masyarakat dan aparat telah satu frame maka nyaris tak ada lubang persembunyian bagi pelaku peledakan untuk melarikan diri. Mungkin masih ingat bagaimana peristiwa G-30S/PKI yang binasa oleh kekuatan TNI (ABRI pada saat itu) yang saling berjibaku bersama rakyat.
Tahap ketiga, eksekusi operasi penuntasan kasus teroris secara total. Mulai dari aspek kognitif, hukum dan keagamaan hingga pada aspek praksis-militeris. Aspek kognitif dengan pembelajaran anti terorisme dalam pelajaran tambahan bagi pelajar. Pun dengan digagasnya UU anti terorisme secara baku. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah memainkan kembali peran agama sebagai sumber ajaran perdamaian. Tahap selanjutnya adalah dengan penindaklanjutan secara kontinu terhadap tragedi bom di Indonesia, terutama JW Marriott dan Ritz Carlton.

(tulisan lama) Oleh: Teguh Estro Belum sembuh luka korban bom di kawasan Legian, Kuta Bali 2002 silam. Pun belum kering air ma...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Transisi Kaum Cendekia

“Dunia Kampus tak Sekedar Peralihan Pendidikan”
Oleh: Teguh Estro*

Bergerak adalah keniscayaan bagi dinamisnya keadaan. Pun bagaimana perjalanan hidup manusia sebagai insan pendidikan yang selalu bergerak. Setidaknya anak-cucu Adam ini harus terus melakukan move-move untuk menjaga dinamisasi dirinya. Pun naik jenjang menuju kampus tiada lain sebagai pernyataan diri sebagai insan yang dinamis. Hal ini salah satu alasan banyak pelajar yang tertarik untuk mencicipi status mahasiswa. Karena status itu bukan sekedar peralihan dari Sekolah menengah/madrasah menuju pendidikan tinggi saja. Ada aura peralihan, perubahan dan perbaikan yang dahsyat di sana.
Sejarah mencatat tidak sedikit perubahan besar dimulai dari peralihan-peralihan keadaan. Sebut saja perjuangan Rasulullah Saw baru terasa ‘nendang’ ketika beliau beralih (baca: hijrah) dari Makkah menuju Madinah. Hal yang luar biasa juga terjadi pada Albert Einstein ketika ia melakukan peralihan dari tanah Europe menuju United States of America, ia menjadi ilmuwan yang tak akan pernah dihapus sejarah. Hal yang mencengangkan juga terjadi pada Jenderal Ahmad Yani saat ia mengikuti akademi militer angkatan darat di negeri Paman Sam. Ahmad Yani muda berhasil menjadi sosok jenderal yang luar biasa setelah peralihan pendidikan tersebut. Singkat kata, hampir tidak ada perubahan besar tanpa didahului peralihan-peralihan yang menentukan.
Dunia kampus, dunianya kaum pendidikan yang terus bergerak, dinamis dan beralih. Peradaban dunia mulai mengalami keemasan tidak lain karena faktor pendidikan menjadi penunjang. Semisal kampus al-Azhar di Mesir, kampus oxford di Eropa, kampus Nizamiyah di Baghdad dan lainnya merupakan kampus bersejarah yang menjadi penentu jalannya peradaban dunia pada masanya. Sulit untuk dibantah bahwa pasang surut kemajuan pendidikan berimbas dengan kualitas peradaban manusia. Itulah pendidikan dan itulah kampus. Namun kita jangan sampai melupakan siapa aktor terpenting di dalam sebuah universitas. Merekalah para mahasiswa yang konsisten bergerak.
Kepada mahasiswa yang dinamis jangan terkejut jika suatu saat menjadi orang besar dalam sejarah. Hal ini karena para mahasiswa telah memasuki zona peralihan yang sangat menentukan bernama kampus. Hal ini pernah terjadi pada guru bangsa kita yang mengalami perubahan besar saat berkenalan dengan dunia kampus. Bukankah Soekarno pernah hijrah dari Surabaya menuju kampus di Bandung, Technische Hoge School (sekarang ITB). Di sana beliau banyak berdialektika dalam dunia idealisme kebangsaan bersama mahasiswa lainnya. Bung Hatta pun belajar hingga ke negeri bule, kampus Handels Hoge School di Rotterdam, Belanda.
Sukarno, Hatta dan Sutan Syahrir adalah manusia biasa, nyaris tak ada beda dengan kita. Dan penting untuk diingat, salah satu langkah hidup mereka adalah berhijrah menuju kampus. Namun sayang mahasiswa kini seolah melupakan proses transisi ini. Tidak sedikit pegiat akademik yang melangkahkan kakinya menuju kampus hanya karena tuntutan trend. Padahal telah dimaklumi akan posisi mahasiswa sebagai agent of change (Agen perubahan). Sebuah sematan yang lebih daripada prestise semata. Agen perubahan adalah amanah mahasiswa terhadap bangsa ini. Hingga tidak heran jika keberadaan mahasiswa sebagai aktor intelektual senantiasa ditunggu-tunggu kontribusinya.
B. Amr bin Luhay Berhijrah Untuk Kesesatan
Pemimpin Bani Khuza’ah yang suka berbuat bajik, rajin bershadaqah, singkat kata dia adalah kiayi nya bangsa arab pada masanya (masa sebelum nabi). Ketika Amr bin Luhay mengadakan perjalanan ke Syam, ia melihat penduduk Syam menyembah berhala sebagai kebiasaan di negeri para Rasul itu. Kesimpulannya ia memutuskan menyembah berhala adalah kebaikan. Parahnya kultur tersebut ditransfer juga ke tanah Mekah. Hingga muncul berhala Hubal, Latta dan Uzza di sekeliling Ka’bah. Masyarakat Mekah pun hanya ‘manut’ saja pada sang kiayi. Sungguh keluguan Amr bin Luhay saat melakukan perjalanan menjadi penyebab malapetaka di Mekkah.
Amr bin Luhay mungkin telah lama tiada, namun keluguannya masih terwarisis di zaman sekarang. Tidak sedikit pelajar dari daerah yang datang ke Yogyakarta membawa keluguannya. Pelajar lugu ini pun melihat hal baru yang berbau modern (baca:pemikiran liberal) sebagai hal yang biasa. Hingga akhirnya kultur tersebut mereka bawa ke kampungnya dan menghipnotis masyarakat menjadi liberal. Tidak sedikit lulusan mahasiswa yang berdebat usil dengan ustadz dan kiayi di kampung hanya karena guru-gurunya tersebut dianggap kolot dan tidak modern. Na’udzubillah…

*Penulis adalah Mahasiswa KPI Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga. Pemuda Rohis asal SUMSEL ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Partai PAS wilayah Fakultas Dakwah.

“Dunia Kampus tak Sekedar Peralihan Pendidikan” Oleh: Teguh Estro* Bergerak adalah keniscayaan bagi dinamisnya keadaan. Pun ba...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Menimbang-nimbang KPK

oleh : Teguh Estro


Indonesia negeri sejuta mitos. Masyarakat nusantara sudah lama terdoktrin dengan legenda-legenda manusia sakti. Seolah-olah problem di dunia ini akan selesai dengan sendirinya seiring munculnya sang pahlawan. Sebut saja legenda Arjuna, sang ‘ratu adil’, bahkan sampai kesaktian ‘si pitung’ yang kebal peluru. Masih banyak lagi sosok ‘manusia langit’ yang dipercaya akan turun menuntaskan kegalauan bangsa ini. Mau bagaimana lagi, inilah watak masyarakat kita. Mereka begitu mudah mendewa-dewakan sosok yang dianggap penyelamat bangsa ini. Dan celakanya hal demikian dilakukan secara membabi-buta dengan ‘pemujaan’ seratus persen. seolah siapapun yang mampu menyelesaikan polemik bangsa, maka ia layak dipuja.

    Salah satu persoalan bangsa yang tak pernah berujung yakni korupsi. Wabah penyakit korupsi kian mengakar di negeri ini. Tak perlu menyalahkan pemerintah, praktek korup kecil-kecilan saja sudah menjadi habit di masyarakat grashroot. Sehingga jangan heran jika munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat masyarakat heran. Seolah ada hal baru yang diluar kebiasaan sehari-hari. Apalagi saat pimpinan KPK dicekel oleh Antasari Azhar, ia meringkus pejabat-pejabat besar tanpa takut. Kejadian tersebut membuat masyarakat kian percaya bahwa institusi yang kini dipimpin pak Busyro adalah harapan. Dan lagi-lagi dukungan yang berlebihan langsung diarahkan pada KPK ‘sang penyelamat’.

Apakah benar KPK adalah sang ratu adil seperti yang dikatakan mitos. Atau jangan-jangan hanyalah institusi yang dirancang untuk menjatuhkan saingan politik para elit. Telah menjadi jumhur aktivis, bahwa oknum yang mengisi tubuh KPK juga tak lain ‘penyamun’. Layakkah institusi ini dipercaya untuk menggebuk maling-maling kelas kakap. Maka dari itu perlu kiranya menggunakan timbangan maslahat dan Mafsadat. Bukanlah dengan pertimbangan manusia sakti atau tidak.

   Dalam kaidah fiqh disebutkan daf’ul mafasidu muqaddamu ‘ala jalbu almashalih. Artinya menolak mafsadat jauh lebih diutamakan tinimbang melakukan maslahat. Dalam hal ini jika dikaitkan dengan fungsi KPK sebagai pemberantas korupsi. Maka ia bisa dikategorikan sebagai daafi’ul mafasid. Apalagi lembaga yang berusia Sembilan tahun ini berani mengungkapkan kasus-kasus besar yang tidak pernah dilakukan oleh institusi lain.

Sedangkan di sisi lain, institusi kepolisian dan kejaksaan yang dianggap gagal kian terkerdilkan. Sehingga sistem ketata-negaraan di negeri ini kian tidak sehat jika kedua institusi tersebut lumpuh. Maka, dengan pembubaran KPK juga memberikan maslahat pada sistem demokrasi bangsa ini. Bukankah sistem demokrasi akan lebih sehat jika pemberantasan korupsi diemban ‘lagi’ oleh institusi kepolisian dan kejaksaan. Apalagi mereka memiliki cabang hingga ke kabupaten-kota. Tentu akan lebih efektif dalam penuntasan korupsi hingga ke akar-akarnya.

Ada dua hal yang harus dipilh dalam hal ini. Antara mendesaknya agenda pemberantasan korupsi di negeri ini. Ataukah mengutamakan kesehatan ketata-negaraan dengan pembubaran KPK. Tentu saja jika kita melihat dua pilihan tersebut, ia sama-sama memiliki kemaslahatan. Sehingga kita bisa melakukan ikhtiyar al-ashlah min al ashlah. Artinya kita mengambil yang lebih bermaslahat besar.

Penulis dalam hal ini lebih memilih mendukung KPK untuk terus memberantas korupsi. Karena perannya yang urgen dalam menegakkan salah satu maqashidu asy-Syari’ah yakni hifzhul mal. Saat ini memang lembaga pimpinan pak busyro ini tengah menjalani hambatan yang rumit. Mulai dari masalah SDM hingga persoalan koordinasi antar institusi penegak hukum yang pelik. Dalam hal ini terdapat kaidah fiqh yang bisa kita ambil. “Ma laa yudroku kulluhu laa yutroku kulluhu.” Artinya apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya.

Akan tetapi bukan berarti kepolisian dan kejaksaan dikerdilkan begitu saja. KPK justru harus berbagi peran terhadap kasus-kasus yang ada. Semisal kasus-kasus kecil diserahkan pada kejaksaan dan kepolisian sedangkan kasus-kasus besar dituntaskan oleh KPK. Skandal Bank Century, wisma atlet atau kasus MENAKERTRANS, tentu saja menjadi tugas utama KPK. Sedangkan kasus-kasus di eselon rendah hingga ke daerah kabupaten-kota diselesaikan oleh kepolisian dan kejaksaan.

KPK, Kepolisian dan Kejaksaan bukanlah saling hantam. Akan tetapi mereka saling bersinergi. Bahkan ketiga lembaga ini kudu disupport oleh APBN. Sebagaimana Umar bin Khatab mengatakan bahwa salah satu orang yang berhak menerima harta adalah ar-rajulu wa ghina’uhu. Yakni siapapun yang karena kegunaannya, ia berhak mendapatkan harta.

*Penulis bukan penulis

oleh : Teguh Estro Indonesia negeri sejuta mitos. Masyarakat nusantara sudah lama terdoktrin dengan legenda-legenda manusia sakti. Seolah...
Teguh Estro