Menu
Teguh Indonesia

Media Agen Politik

Oleh: Teguh Estro*

Keberadaan pers memiliki sejarah yang erat terhadap berlangsungnya kehidupan manusia. Khususnya sejak era Perang dunia hingga masa kejayaan bangsa-bangsa saat ini. Hal ini sebab media berperan sebagai pelipat ganda pesan nan efektif sampai saat ini. Di negara-negara otoritarian, pemerintah memanfaatkan kantor-kantor berita laksana “PR” yang siap memuja-muji kebijakan dan kinerja penguasa. Pada negara libertarian sebaliknya, pers kerap ditunggangi oposan-oposan yang getol mengkritik negara. Sehingga tepat sekali bila mati hidupnya pers atau lancar tidaknya kehidupan pers disuatu negara dipengaruhi bahkan ditentukan oleh sistem politik pemerintahan negara di mana pers situ beroperasi.

Relasi antara pers dan politik kian berkerabat seiring mulai populisnya sistem demokrasi di dunia. Setidaknya secara historis, media cukup signifikan dalam memainkan perannya sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi. Alhasil, Kondisi ini justru mengarahkan pers menghadapi persimpangan nan serius. Satu sisi secara internal meja redaksi kekeuh untuk menjajahkan berita secara professional dan idealis dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Pada sisi lain, secara eksternal lembaga pers mulai ditarik dalam pusaran kuasa dan politik untuk melanggengkan eksistensi lembaga.

Dalam praktiknya, kantor-kantor berita tetap ‘memaksakan’ untuk mengambil keduanya. Tim redaksi menjalankan proses jurnalistik sedangkan tim perusahaan juga terkadang menyantolkan sahamnya pada konglomerat elit politik. Pada dasarnya setiap media memiliki kebebasan memiih bahasa politik dan fakta yang akan dipakai dalam teks yang dibuatnya tergantung pada pertimbangan faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang dimaksud bisa merujuk pada kepentingan pangsa pasar, pemilik modal perusahaan dan pengiklan. Adapun faktor internal erat kaitannya dengan kecenderungan ideologis media serta profesionalisme jurnalistik.

Kedua faktor di atas berperan besar bagi media dalam upaya kontstruksi realitas. Karena membuat berita pada dasarnya adalah mengkonstruksi realitas. Dalam pandangan ‘konvensional-positivistik’ media hanya dilihat sebagai saluran. Media adalah sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator kepada penerima (khalayak). Hal ini nampak berbeda jauh dalam pandangan konstruksionis yang memandang media sebagai subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Ituah alasan kenapa acapkali sebuah pemberitaan mengalami distorsi. Tentu saja lantaran ada pengaruh dominan, baik faktor eksternal ataupun eksternal. 

Dalam situasi transisi pasca reformasi tahun 1999, yang ditengarai dengan hidupnya kembali aliran-aliran politik serta menurunnya kontrol negara terhadap politik dan pers, perhubungan antara keduanya – partai politik dengan ragam aliran dan koran-koran yang memiliki latar belakang sejarah politik- mendorong dibuktikannya satu hipotesis bahwa liputan politik pasca reformasi akan bersifat partisan. Sehingga –setidaknya sampai saat ini- media yang terendus berlaku partisan ini cenderung berpihak saat mengkonstruksi realitas. Ditambah lagi era media partisan ternyata didalangi oleh pemain-pemain konglomerasi media.

Akhir-akhir ini sedang marak pendekatan analisis menggunakan pandangan konstruksionis. Karena dalam membingkai suatu realitas bukanlah sekedar memindahkan peristiwa menjadi berita. Begitupun seorang wartawan yang dipandang bukan sekedar ‘robot’ pemindah fakta di lapangan menjadi berita. Seorang reporter juga memiiki kecenderungan, keberpihakan dan referensi sendiri dalam mengkonstruksi suatu berita.

Pembingkaian Prahara NASDEM
Dalam berita kemunduran Hary Tanoe Sudibyo dari Partai Nasional Demokrat, Nampak jelas perbedaan media dalam membingkai informasi. Ada media yang menayangkannya seolah-olah terjadi perpecahan hebat antara Hary Tanoe dan Surya Paloh. Sampai pada titik paling ekstrem yakni mengarahkan ketidakbecusan partai yang masih seumur jagung ini mengelola internalnya. “Belumlah mengurus negara sudah saling berkelahi” begitulah kesimpulannya. Bahkan ditampilkan nara sumber yang mengarahkan pada kesimpulan tersebut. Mulai dari wawancara mantan ketua DPW Partai NASDEM provinsi Jakarta yang sangat keras dan akhirnya mengundurkan diri menyusul Hary Tanoe. Para awak media menyorot secara detail pengunduran diri ratusan anggota partai di sekretariat pusat. Bahkan angel foto nya diambil dari tengah kerumunan supaya terkesan ramai membludak.

    Perbedaan mencolok bila ditilik dari pers dengan keberpihakan yang berseberangan. Sebagian pers menampilkan seolah-olah perbedaan diantara kader hanyalah hal biasa. Bahkan ditayangkan gambar anggota kongres Partai Nasdem yang tengah tertawa santai, menandakan tidak ada suatu keguncangan internal yang berarti. Selanjutnya selang beberapa hari muncul liputan eksklusif kongres Partai Nasdem menampilkan kehebatan Surya Paloh berorasi. Sebagai penunjangnya diselipkan berita bergabungnya O.C Kaligis sebagai advokat senior ke dalam partai ini. Bahkan dituliskan pula bahwa terdapat ratusan mantan aktivis ’98 memilih satu barisan bersama Partai NASDEM.

    Kedua framing (pembingkaian) yang ditampilkan masing-masing media terlihat begitu terang ketidaksamaanya. Walaupun pada dasarnya informasi dan fakta lapangan yang diliput sama. Inilah kenapa begitu penting dirasa masyarakat memiliki dasar dalam menganalisis bagaimana frame sebuah surat kabar. Setidaknya di era media partisan ini, masyarakat jangan teralu cepat mengambil kesimpulan kebenaran terhadap penampakan muka sebuah surat kabar.

Bahan bacaan:
1.    Analisis Framing karya Eriyanto
2.    Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa karya Ibnu Hammad

3.    Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi karya Onong Uchjana

Oleh: Teguh Estro* Keberadaan pers memiliki sejarah yang erat terhadap berlangsungnya kehidupan manusia. Khususnya sejak era Perang d...
Teguh Estro Selasa, 29 Januari 2013
Teguh Indonesia

‘Mengunyah’ Berita Timur Tengah

Oleh: Teguh Estro*



Krisis Timur Tengah memang tak kunjung berujung. Akhir-akhir ini bergulirnya Arab Spring masih membawa pengaruh psikologis-politis terhadap negara-negara arab. Berawal dari revolusi Tunisia, menjalar ke Libya sampai kepada Mesir yang bergejolak memakzulkan Husni Mubarok. Kondisi perubahan tampuk kepemimpinan itulah yang merubah peta politik kawasan padang pasir ini.

Jatuhnya rezim di negara-negara arab membuat peta geopolitik dan geostrategi sulit tertebak. Termasuk salah satunya di negara Suriah. Belakangan ini perhatian publik terarah pada memanasnya seteru loyalis Bashar al-Assad dan pasukan oposisi. Secara internasional, perang saudara ini tidak terlepas dari perebutan pengaruh Amerika Serikat dan Rusia. Pihak pemerintah yang mendapat pengaruh Rusia, China dan akhir-akhir ini ditambah Iran. Sedangkan pihak oposisi didukung oleh Amerika Serikat dan Perancis.

Konstelasi politik timur-tengah memiliki dampak terhadap dunia internasional. Sebut saja prahara minyak yang masih menjadi barang panglaris di pasar dunia. Perebutan sumur-sumur minyak kerap memicu kegagapan sikap negara-negara besar. Sedangkan ketegangan antar negara merupakan unsur paling dominan yang mempengaruhi harga pasar. Tentu saja pihak yang paling merasa dirugikan yakni mereka dengan konsumsi energi terbesar di muka bumi. Amerika Serikat pada urutan pertama disusul Republik Rakyat China (RRC) yang baru saja awal tahun 2004 mengalami penaikan konsumsi drastis. Sehingga tidak aneh kiranya negara-negara besar terpaksa masuk dalam pusaran konflik timur-tengah.

Semua negara besar memiliki kepentingan masing-masing di setiap konflik negara timur tengah, termasuk krisis Suriah. Sehingga wajar saja bila pelbagai manuver dilakukan baik itu secara politik, militer bahkan strategi media. Dan perang antar media sudah bukan hal baru di kawasan arab. Ada empat media Internasional yang mendominasi pemberitaan selama ini. Yakni, 1) BBC (British Broadcasting Corporation) dari Inggris. 2) Reuters dari London, Inggris.  3) CNN (Cable News Network) dari Amerika Serikat dan 4) Al-Jazeerah dari Qatar. Sudah jamak kiranya kantor berita satu dan lainnya terjadi praktik back campaign. Al-Jazeera misalnya yang kerap tersematkan sebagai corongnya al-Qaeda. Puncaknya tatkala terjadi pengeboman kantor berita mereka di Iraq saat Invasi Amerika terhadap pasukan almarhum Saddam Husein.

Keempat kantor jurnalistik tersebut bukan sekedar meliput berita, tetapi menjadi rujukan dunia sebagai sumber berita. Termasuk dalam hal ini pemberitaan terkait krisis Suriah. Tentu saja terdapat dua kutub mainstream cara media tersebut mebingkai berita. Pertama, bagi media yang berpihak kepada pemerintah akan mengambil sudut pandang adanya pemberontak yang menjadi musabab chaos di negeri yang dulunya bernama Syam itu. Kedua, bagi pers yang menjadi corong oposisi, tentu akan mengambil case pembantaian sipil oleh militer sebagai angelnya.

Penyaduran Berita a la Indonesia.
Sudah jamak diketahui bahwa kabar timur tengah selalu ‘seksi’ untuk dijadikan pendongkrak oplah para awak media. Termasuk media di Indonesia yang tidak mau alpa dalam memberikan asupan info pada warganya. Sebut saja Surat Kabar Harian Republika yang begitu serius memberikan space lebih terhadap pemberitaan timur tengah. Bahkan bidang redaksi menyediakan satu tempat khusus, yakni rubrik ‘Internasional’.

Media yang pendiriannya digawangi oleh Zaim Uchrowi ini selalu menampakkan ketegasannya berpihak pada kepentingan umat Islam. Begitupun kala mengawal fenomena Arab Spring akhir-akhir ini. Sedari revolusi di Tunisia, Libya, Mesir hingga Suriah saat ini, Republika terlihat lebih dominan tinimbang lainnya.

Pangsa pasar Republika di Indonesia terdiri atas varian klasifikasi. Bukan semata para intelektual muslim yang mengkonsumsinya, kalangan masyarakat menengah ke bawah juga menjadi pembaca. Sehingga bisa saja mengalami random dalam penyebaran informasi. Kondisi ini memungkinkan terjadi misperception dalam menerjemahkan maksud berita terutama bagi kalangan yang belum memahami konteks realitasnya. Apalagi bila erat kaitannya dengan berita luar negeri, bahkan bukan bersumber dari liputan primer. Maka warga lokal yang buta kondisi internasional tentu tidak memiliki filter dalam membaca berita.

Selama ini sebagian besar pers di Indonesia dalam memburu berita timur tengah kerap membelinya dari kantor berita Reuters, termasuk Republika. Bahkan dalam peliputan info Suriah, media yang berdiri pada 4 Januari 1993 ini bersumber 100% dari kantor berita Reuters. Maka yang menjadi pertanyaan, bagaimana warga lokal mampu menginterpretasi maksud dari sebuah berita yang sulit mereka konfirmasi kebenarannya. Dengan tegas peneliti menawarkan pentingnya suatu analisis sebagai alat bantu bagi pembaca terhadap berita internasional. Terutama kabar timur tengah nan sarat tarik-menarik kepentingan politik.

Oleh: Teguh Estro* Krisis Timur Tengah memang tak kunjung berujung. Akhir-akhir ini bergulirnya Arab Spring masih membawa pengaruh...
Teguh Estro Kamis, 24 Januari 2013
Teguh Indonesia

Cokro Oh Cokro….!

Oleh: Teguh Estro


16 Agustus, Rengasdengklok
Soekarno bapak kalian diculik atau dipaksa
Tanyakan saja kenapa harus terjadi…
Kasihan mas Guntur kecil ikut mondar-mandir jadinya
Gelap malam Karno menggoreskan coret-coretan
Kemudian hari coretan acak-acakan itu disebut teks proklamasi

Tiada kehebatan waktu 16 Agustus rupanya
Kecuali ada dan kenapa di dalamnya
Madonna penyanyi kesohor terlahir di hari yang sama
Kiranya mereka manusia barat rasa spesial jua

Kebesaran hari 16 Agustus itu karena hidupnya pemuda
Ia pula lahir pada hari itu, tanggal istimewa
Tersebutlah nama Cokro di dunia
Dunia yang kita hidup juga disana
Kota Madiun saksi, desa Bukur saksi pula

Sungguh manusia sanjungan
Tak butuh gelar raden atribut segala bangsawan
Biar bapaknya raden, kakeknya raden, buyutnya sekalian
Bahkan ucapan sok suci ia abaikan
Tiada bahasa kromo, ngoko dan kejawa-jawaan
Manusia bumiputera sama kedudukan

Hidupnya kembang kempis bersama sarekat.
Orasi nada bariton besar, kharismatik serta memikat.
Berkali-kali ia pukau lautan manusia dengan ide-ide nekat
Zelf bestuur, zelf bestuur and zelf bestuur…

Belanda tak nyenyak tidur karena cokro
Pasalnya jejak kakinya menyatukan nusantara seantero
Dari ketegarannya lahir murid hebat Nasionalis Sukarno
Dari pengorbanan muncul juga Semaoen dan Darsono
Ketundukannya menjadilah pengikut macam Kartosuwiryo

Guru bangsaku ini bela tanah rakyat
Di banyak tempat pemogokan bersama buruh dengan hebat
Cita-citanya Indonesia jangan seperti sapi perah tak berdaulat
Bila tiada dikepalai oleh Cokro, tidak bernyawa pergerakan rakyat

Oleh: Teguh Estro 16 Agustus, Rengasdengklok Soekarno bapak kalian diculik atau dipaksa Tanyakan saja kenapa harus terjadi… K...
Teguh Estro Rabu, 16 Januari 2013
Teguh Indonesia

Surat Dari Rakyat

Oleh: Teguh Estro


             Banyak dari kita memaksakan diri. Bahkan menjadi rakyat jelata miskin saja masih mekso. Tapi kalau pucuk pimpinan, tampaknya sudah biasa bertingkah main paksa. Punya harta lebih, ibarat Jenderal Soeharto akhirnya. Ada juga pemimpin dengan lagak John Kei yang menerapkan hukum rimba di tengah kota. Makanya bila merasa dituakan oleh anak buah, kita kudu banyak pengetahun dan rajin membaca. Supaya bisa meng-akal-akali bawahan dengan cara bijak. Tapi tetap hati-hati juga terlalu pintar akhirnya bisa kelewatan. Contohnya seperti kejadian gaya ‘pemimpin’ yang bakal penulis ceritakan.

            Pemimpin daerah, bukan itu! Pemimpin organisasi, juga bukan. Tapi pemimpin sholat di masjid yang hendak dituliskan. Imam masjid yang disamarkan namanya menjadi ustad Paijo. Ini kisah nyata yang terekam dalam sebuah surat kecil, huruf-hurufnya kecil, juga kertasnya tak kalah kecil. Surat ini dibuat oleh teman satu kos saya sebut saja namanya saudara MS. Ia sungguh berbulan-bulan merasa geram dengan ulah ustad Paijo kala menjadi Imam Sholat. “Sholat di Masjid malah bikin saya nggak khusyuk, karena saat sholat hati ini berasa tidak akur dengan imamnya” begitu seloroh saudara MS.

            Ustad Paijo baru saja dua tahun menjadi takmir masjid. Ia juga mahasiswa, sama seperti MS, bahkan mereka dari satu provinsi yang sama di Sumatera hijrah ke Yogyakarta. Dengan bekal ilmu di pondok pesantren, ustad Paijo dipercaya menjadi imam sholat. Begitupun kuliahnya di jurusan Tafsir Hadits menasbihkan dirinya sebagai orang yang faqih. Hanya saja yang membuat MS kurang nyaman adalah bacaan sholat dari sang ustad yang terlalu panjang. Bukan sekedar itu, perkara lain pun masih banyak yang dijadikan pasal kegeraman teman penulis ini. Dan kesemuanya tertuang dalam sebuah surat.

            Lebih lengkapnya penulis akan memindahkan ulang isinya ke dalam blog ini:
            Assalamu’alaikum
            Teruntuk : Ust. Paijo
            Dlm rangka saling menasehati dlm kebenaran.
            (Suara hati Jamaah)

            Seorang imam haruslah yang disenangi oleh makmum begitu kaedah fiqh mengatakannya. Terkait dgn ust Paijo. Banyak hal yg ingin dikoreksi utk bisa segera diperbaiki :

1.      Bacaan al-fatiha dan surat lainnya yg ustad baca, telah melebihi dari batas sebenarnya. Terutama di akhir2 ayat (mad thabi’i)

2.      Ayat yang sdr baca teralu panjang, padahal jamaah di belakang mayoritas org2 tua, terutama jama’ah ibu2. Banyak hadits yg mencela ttg hal ini.

3.      Ketika saudara shalat sunnat, sangat cepat, dan tidak sinkron dgn ketika saudara menjadi imam.

4.      Salam di saat tahiyyat akhir terlalu lama, dan memberatkan jama’ah sehingga ada jama’ah yang mendahulukan tahiyyat akhir dari pada imam, pdhal banyak hadits yg mencela hal ini.

5.      Ketika anda menjadi khatib, bahasa yg digunakan agak vulgar dan kurang syar’I, terutama ketika menceritakan sosok Lady Gaga.

     Sama2 kita berlindung kpd ALLAH, atas segala kekhilafan kita 
    Semoga hati anda terbuka menerima nasehat ini

TTD
Salah satu yg mewakili
Perasaan jamaah


Hamba Allah

Sampai saat ini sayangnya saudara MS tak kunjung menyampaikan surat ini.

Oleh: Teguh Estro                Banyak dari kita memaksakan diri. Bahkan menjadi rakyat jelata miskin saja masih mekso . Tapi kala...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Menilik Transportasi Jogja

Oleh: Teguh Estro

            Dulu, tahun 2006 tiba di Jogjakarta banyak kakak senior kampus berseloroh terkait kian padatnya kendaraan. Dan saat ini 7 tahun sudah hidup di kota pelajar tentu saja limpah-ruah kendaraan pribadi makin menggila. Parkiran kampus yang dulu masih terlihat rata perbandingan antara motor dan sepeda, kini drastis sekali bedanya. Kendaraan motor telah parkir membanjiri setiap lahan kosong di kampus. Tentu saja wajar agaknya, bila security terus bertambah di pos – pos penjagaan.

            Kampus UGM tahun 2010 pernah coba-coba menertibkan kendaraan dengan kebijakan Kartu Identitas Kendaraan (KIK). Siapapun yang masuk lintasan dalam kampus kudu setor rupiah. Bukan mahasiswa sahaja, raider pelancong yang sekedar lewat ditarik uang juga. Untungya, kebijakan itu sekarang sudah dihapus.

            Kian lama fenomena padatnya kendaraan di kota gudeg ini justru menjadi-jadi. Sudah tiga tahun terakhir penulis memperhatikan beberapa titik khususnya di Depok dan Seturan nampak memusingkan pengendara. Jumlah kendaraan bermotor membludak, khususnya motor second yang laris permintaan dari kalangan mahasiswa. Sehingga jangan heran bila tahun 2011 lalu kabupaten Sleman mendapat predikat kota paling tinggi tingkat pencurian kendaraan bermotor (curanmor).

            Contoh ringan, belakangan ini jalan solo (adisucipto) bisa dipastikan padat merayap saat malam minggu. Pasalnya, ada magnet hiburan yakni Ambarukmo Plaza manggone para lajang di sana. Tentu saja andai musim libur tiba, jalan di sekitar jogja banjir dengan iring-iringan mobil serta motor. Sudah dua kali penulis liburan tahun baru, selalu terkendala macet. Bahkan awal tahun baru 2013 lalu rombongan sudah berjalan menuju pantai Indrayanti terpaksa putar balik lantaran macet. Selama 8 jam perjalanan dari 07.00 sampai 15.00, hampir setengahnya habis oleh waktu perjalanan.

            Juru Parkir kong-kali-kong DISHUB
            Baru saja siang tadi, penulis menyempat baca koran harian jogja. Ada info yang mencengangkan, yakni terdapat 600 titik parkir resmi di semua penjuru DIY. Coba kita kalkulasikan sebentar. Anggaplah dalam satu hari ada 50 kendaraan bermotor dengan patokan Rp.1000,- per kendaraan. Maka hasilnya untuk satu tahun, 50 x Rp.1000 x 365 hari x 600 titik parkir. Wow 10,95 Milyar per tahun itu adalah minimal-minimal sekali. Dan jatah setoran ke pemerintah adalah 25% dari itu yakni berkisar 2,74 Milyar. Maka aneh sekali jika pendapatan di tahun 2012 hanya sekitar 1,48 Milyar saja. Dan sisanya 1,3 Milyar diambil siapa?

            Trans Jogja Dirundung Dugaan Korupsi
            “……Kepala Kejaksaan Tinggi Kajati DIJ Suyadi SH menegaskan penyidikan kasus dugaan korupsi [ada PT Jogja Tugu Trans (JTT) terus berlanjut. Kini penyidik masih menunggu hasil audit investigasi yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) DIJ terhadap Biaya Operasional Kendaraan (BOK) Transjogja pada 2008 senilai Rp 11 miliar….” (Radar jogja, 7 Januari 2013).


            Kalau perihal bus hijau ini penulis tidak berminat komentar banyak. Hanya saja sangat disayangkan bila transpotasi masal ini malah ditinggalkan warganya. Justru biaya operasional yang dipersoalkan tersebut apik-nya dialokasikan untuk re-promosi. Pasalnya kendaraan prbadi kian digandrungi saja belakangan ini tinimbang transportasi masal seperti trans jogja.

Oleh: Teguh Estro             Dulu, tahun 2006 tiba di Jogjakarta banyak kakak senior kampus berseloroh terkait kian padatnya kendara...
Teguh Estro Rabu, 09 Januari 2013
Teguh Indonesia

Melompati Titik Nadir


[Tolong Baca Hingga Usai, Agar Tidak Salah Persepsi]
Oleh: Teguh Estro


            Andai menyebut andai mencoba berumpama. Jikalau dihadapkan pada problem yang sama dengan Nabi Adam a.s tentulah sudah lama tubuh ini sakit-sakitan. Hidup menyendiri bertahun-tahun di dunia ‘terkatung-katung’ terpisah dari sang Isteri. Apakah sang suami dari bunda Hawa ini juga pernah mengalami titik nadirnya. Maksud lebih dalam kembali mempertanyakan. Apakah para nabi juga pernah menatap persimpangan keputus-asa-an? Pernahkah utusan langit ini sempat memikirkan berhenti dari tugasnya? Sebuah jawaban yang mungkin ‘kontroversi’, bahwasannya Adam, Idris, Nuh dkk itu sedikit sekali kemungkinan berputus asa, kata kuncinya ada pada ‘fasilitas’ spiritual yang didapat sebagai paket kenabian.

Berangkat dari perasaan ketidak-adil-an, hanya perasaan. Serasa tidak adil manakala para Nabiyullah a.s diberi banyak keistimewaan. Mereka memiliki ‘fasilitas’ spiritual yang berbeda sekali dengan manusia biasa. Menerima wahyu, diberi mukjizat bahkan bisa berkomunikasi dengan Tuhan. Pun seumpama para nabi ini sedikit tergelincir, telah siap malaikat Jibril yang mengingatkan. Melihat sepintasnya saja sungguh terbesit iri hati dengan kemudahan-kemudahan itu.

Ke-iri-dengki hati ini lekas hilang setelah menemukan pertanyaan berikutnya dalam pemaknaan sejarah para Nabi. Sebenarnya penulis ‘agak-agak’ takut juga bila mengkritik para nabi. Tapi bila mengkritik ahli syurga ini justru membuat sadar diri, maka itu lebih baik. Akhirnya terpikirkan sebuah keganjilan yang kedua tentang perjuangan anbiya’ wal mursalin. Yakni, bagaimana metode mereka sehingga bisa menjaga kesabarannya hingga ajal menjemput.

            Ada nabi yang hidup (menjadi hinaan umatnya), derita psikologis bukan satu atau dua tahun, tapi 950 tahun. Juga terceritakan Ibrahim a.s dibakar hidup-hidup, dimusuhi keluarga, terusir dari kampungnya. Ada pula dari mereka mendapat ujian yang tampaknya mustahil bisa dilewati oleh penulis. Adalah Yusuf a.s dihadapkan pada seorang permaisuri cantik yang minta ‘dizinahi’ di dalam ruangan yang tidak ada manusia lain. Pun tidak sedikit Nabi yang dikejar-kejar sampai dbunuh oleh umatnya.

            Barulah terjawab, sungguh terlepas dari keistimewaan yang didapat. Para Nabi telah membayarnya dengan perjuangan yang sulit ditiru. Menurut pendapat subyektif penulis, kesabaran yang mereka lakukan tidak lain juga mukjizat yang tak kalah ‘gila’. Padahal kala itu belum ada profesi motivator bayaran dengan seminar-seminarnya.

            Awalnya penulis bermaksud dengan tulisan ini hendak menceritakan kesedihan-kesedihan yang belakangan ini menumpuk. Namun serasa malu menuliskannya jika disandingkan dengan kisah lara para nabi. dan entah kenapa, selepas pulang dari masjid subuh tadi, begitu pas sekali membaca alQur’an surah Yusuf ayat 87. “Wa la tay asu……” dalam hati kerap bergumam kok bisa pas banget bacaan tilawah pagi ini dengan keresahan hidup setiap harinya.

[Tolong Baca Hingga Usai, Agar Tidak Salah Persepsi] Oleh: Teguh Estro             Andai menyebut andai mencoba berumpama. Jikal...
Teguh Estro Selasa, 08 Januari 2013
Teguh Indonesia

Ada Cerita Akhir Pekan

Oleh: Teguh Estro*

    Dua hari terakhir penulis sibuk mengasyikkan diri ber’safari’. Dari satu kampus ke kampus lainnya sekedar bertukar ide (tepatnya mendengar ide) dari ‘adik-adik’ organisasi.
Sabtu pagi sampai sore terjebak dalam dialektika hebat dengan para aktivis UIN Sunan Kalijaga. Tidak ada kesimpulan dalam forum yg berbungkus Sarasehan itu. Dalam pertemuan tersebut saya sebutkan beberapa nama semisal bang M. Syafa’at, Sekjend KAMDA Riau yg berkuliah di UIN Jogja. Disana pula hadir oleh agitator forum Rifadli Kadir (intelektual muda KAMMI UIN Jogja). Kalaupun hendak disebut juga, telah sempat ikut dalam forum tersebut Jamhari (ketua FSLDK Jogjakarta).

Tentu saja telah diprediksi sedari awal atmosfer ruangan bakal panas. Ternyata benar, kali pertama ketua FSLDK Jogjakarta memberikan sambutan pagi-pagi sudah menyambar kegelisahan peserta lainnya. Kesempatan sambutan kedua penulis diminta angkat bicara. Untuk mencari aman, penulis mengawali dan mengakhiri dengan nada bicara rendah (mendinginkan suasana).

    Satu hal yang penulis sampaikan dalam sambutan tersebut yakni terkait niat diri untuk mengundurkan-diri dari ‘dunia persilatan’ (dunia aktivis kampus). Tentu saja beberapa rekan yang asyik mendengarkan sontak menyambutnya dengan senyum yang tak biasa dari meja nya masing-masing. Dalam forum tersebut lahirlah gagasan dari masing-masing peserta. Jamhari memulai dengan selalu menegaskan urgensi sinergitas aktivis kampus di tiap bidangnya masing-masing. Ada hal yang aneh, berkali-kali ia mengucapkan “saya ini sangat buta dengan politik”, tetapi dari argumen-argumennya terdengar sungguh politis.

    Sarasehan melanjut dalam tempo cepat hingga matahari bergulir ke waktu Ashar. Ada benang merah yang saya ambil, setiap kita sejatinya melakukan fungsi penyadaran kepada sesama dalam kapasitasnya masing-masing.

    Belum tuntas merenungi diskusi hingga sore hari. Pada saat hujan lepas maghrib penulis menyambangi kediaman sekretariat rekan-rekan aktivis di kaliurang (kampus UII). Disana terdapat Mahrus ketua KAMMI UII yang menyambut. Kami berdiskusi terkait desain aktivis KAMMI UII kedepan. Salah satu harapan dalam diskusi malam itu adalah agar kita semua bisa menjadi orang yang memiliki integritas sebagai insan publik. Kapasitas public speaking, Negosiasi, dialektika forum dll. Semoga hasil diskusi malam itu bisa berwujud konkret.

    Keesokan paginya, penulis terburu waktu menghadiri up-gride beberapa rekan aktivis di kampus Universitas Mercubuana Yogyakarta (UMBY). Disana hadir ketua komsatnya Rohmat sahid beserta jajarannya, Nampak pula dalam ruangan Zulfikhar (kaderisasi KAMMI Bantul), di bangku peserta ternyata diisi oleh seorang rekan yang menjabat ketua BEM Psikologi kampus UMBY dan ketua Resimen Mahasiswa (MENWA). Selama 3 jam lebih penulis menangkap alur diskusi terkait kepemimpinan. Mulai dari pemimpin organisasi kampus, Jokowi di Jakarta sampai Presiden Mursi di Mesir.

    Terdapat celetukan menarik dari salah satu peserta. Dia melempar kegelisahan (termasuk sampai kepada penulis). “Dulu Indonesia pernah dipimpin oleh Kiyai besar pernah menjadi ketua PBNU (maksudnya gusdur), dan ketua MPR nya juga intelektual Muslim ternama yang pernah menjabat ketua Muhammaddiyah (Amien Rais), dan ketua DPR nya juga merupakan pernah menjadi ketua PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Tapi kenapa Indonesia tidak juga terlihat Islami di masa itu…?”

    Pada akhir sesi diskusi, penulis dipersilahkan menyampaikan closing statement. Semua yang keluar dari mulut, hanya ada satu statemen rasanya didengar dengan sungguh-sungguh oleh forum. Yakni, sebuah pertanyaan unik yang penulis sampaikan. “kenapa banyak mahasiswa seringkali dimunculkan semangatnya dan kebanggan dengan cerita-cerita tahun ’98. Seolah-olah mahasiswa yang hebat Cuma pada masa itu saja…!” Seharusnya setiap kita bisa memunculkan sejarahnya sendiri. Jangan sampai ketika sebuah perbaikan dalam skala kecil justru tidak dianggap sebuah kebanggaan. Alangkah indahnya dan baiknya bila kita berpikir besar melakukan perubahan-perubahan kecil secara konsisten. Ini begitu Mahal…!

Oleh: Teguh Estro*     Dua hari terakhir penulis sibuk mengasyikkan diri ber’safari’. Dari satu kampus ke kampus lainnya sekedar bertuk...
Teguh Estro Senin, 07 Januari 2013