Menu
Teguh Indonesia

Mumpung Punya Bibir, Tersenyumlah


Oleh: Teguh Estro*

    Wajah merupakan bagian tubuh yang paling mudah diingat oleh orang lain. Seringkali kita terasa sulit mengenali foto yang tidak tampak wajahnya. Ketika seorang teman berdiri membelakangi kita, terkadang ada perasaan ragu untuk menegur. Lagi-lagi karena untuk mengenali seseorang secara pasti memang harus lewat wajahnya. Karenanya penampilan wajah yang menarik, tentu menjadi poin plus dalam dunia pergaulan. Maka dari itu, seharusnya di depan cermin rumah kita tertulis “Sudah Betulkah Muka Anda”.

Persoalan wajah yang menarik bukan persoalan mulus ataupun tidak, mancung atau pesek bahkan tidak mesti juga persoalan putih dan gelap kulitnya. Namun yang terpenting sebetulnya hanya perkara sepele. Yakni “Wajah Yang Bersahabat”. Alangkah senangnya ketika tubuh lelah sehabis pulang kerja, disambut oleh istri dengan wajah tersenyum lebar penuh ketulusan. Karena Sifat dasar manusia adalah ingin merasa nyaman. Mereka tentu akan menghindari apapun yang mengancam dirinya. Termasuk dalam hal ini adalah wajah-wajah yang mengancam. Si cantik dan si tampan sekalipun tidak akan memberikan kenyamanan jika selalu menampakkan muka cemberut, ketus dan sorot mata yang sinis. Oleh karenanya seorang ‘Ngobrolers’ yang handal tentu lihai dalam memamerkan senyum yang paling menarik. Apalagi jika anda bukanlah orang yang berhidung mancung, kulit kasar dan gelap. Maka mau tidak mau bertobatlah, dan berikan senyum yang menarik pada lawan bicara anda.

Alangkah baiknya jika dalam sehari, kita menyempatkan latihan senyum di depan kaca rumah. Tariklah ujung bibir selebar mungkin dan simetris hingga terlihat sedikit gigi bagian depan. Sekali lagi perlu ditekankan kata-kata ‘harus simetris’. Hal ini karena jika panjang ujung bibir yang ditarik bagian kanan atau kiri berbeda sedikit saja, maka akan memunculkan kesan yang buruk. Kesannya melecehkan, merendahkan orang lain, tidak menghargai dan lainnya. Maka dari itu pengertian tehnis senyum nan tulus adalah senyum yang lebar dan simetris. Dan satu lagi ditambah dengan tatapan mata yang rileks.

Kenapa senyum yang tulus harus dilatih? Karena membiasakan wajah untuk bisa tersenyum dengan tulus tidaklah mudah. Apalagi dalam kondisi yang begitu menghimpit. Baik menghimpit emosi maupun menghimpit isi dompet. Semisal seorang karyawan toko yang tengah putus cinta. Padahal ia dituntut untuk selalu keep smile dengan pelanggannya. Dan akan terlihat perbedaan antara bibir yang terbiasa dengan yang terpaksa.

Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro*     Wajah merupakan bagian tubuh yang paling mudah diingat oleh orang lain. Seringkali kita terasa sulit mengenali...
Teguh Estro Selasa, 13 Desember 2011
Teguh Indonesia

Sumpah…! Akulah Pemuda


Oleh: Teguh Estro*


    Hari sumpah pemuda, 28 Oktober merupakan hari raya bagi segenap generasi muda  di Indonesia. 82 Tahun yang lalu terkumpul sekelompok pemuda dari berbagai pelosok nusantara untuk mem’baiat’ dirinya sebagai Pemuda Indonesia. Perjuangan mengusir penjajah memang tidak terlepas dari peran serta pemuda. Terusirnya ‘kompeni’ dari Nusantara adalah harga mati. Dan pemuda di masa lalu telah mengawali tekad bersejarah itu. Belanda memang terlampau licik dalam melancarkan politik adu dombanya. Namun kaum muda tak kehabisan akal dengan itu semua. Mereka bersumpah bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Sumpah tersebut menginspirasi para pejuang di daerah-daerah untuk menyatukan kekuatan dalam mengusir penjajah.

Bangsa ini harus berterima kasih kepada ibu-ibu yang rajin melahirkan. Pasalnya merekalah yang ‘menyuplai’ stok pemuda setiap tahunnya. Konon dahulu bung Karno begitu bangga dengan adanya pemuda di republik ini. Hingga terkenal ucapan beliau “ Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia”. Bahkan juga dalam sejarahnya Umar ibn Khatab justru sering bertanya kepada pemuda jika tengah menghadapi polemik dalam pemerintahan. Contoh lain yang begitu membekas di Indonesia ketika sekumpulan pemuda dari kampus berduyun-duyun menggulingkan Soeharto.

    Secara fisik, masa muda adalah waktu kemuncak untuk semua kemampuan. Saat mudalah seseorang memiliki fisik dalam kondisi yang terbaik. Coba kita melirik perlombaan olahraga. Sangatlah jarang ada atlet olahraga berusia diatas 40 tahun. Lionel Messi bersinar di Barcelona saat ia berusia 22 tahun. Chris John mengalami karier emasnya sebagai petinju dunia di usia muda. Taufik hidayat pun menjadi juara Indonesia terbuka dunia saat ia berusia 18 tahun. Sungguh fantastik, geliat anak manusia di usia muda.

Seorang pemuda biasanya memiliki sifat alamiah yang hanya dimiliki pada masa muda saja. Pertama adalah adanya naluri ‘tidak mau mengalah’ yang menjadikannya berani memulai perjuangan hidup. Ia selalu ingin terlihat lebih hebat, lebih pintar, lebih gagah dan lebih bergaya daripada yang lainnya. Karenanya efek buruknya sering terlihat anak muda ‘bermain’ balap liar di jalanan. Hal tersebut tidak lain karena ia ingin mempertontonkan kehebatannya pada publik. Termasuk dengan banyaknya tawuran-tawuran, nyaris didominasi oleh anak-anak muda. Tentu saja akibat salah kaprah dalam menyalurkan sifat alamiah mereka yang ingin terlihat lebih kuat di mata orang lain. Alangkah bangganya negeri ini jika watak ‘tidak mau mengalah’ tersebut disalurkan untuk mengibarkan sang merah putih di setiap kejuaraan olahraga antar negara. Alangkah hebatnya jika Bambang Pamungkas dkk dalam Timnas sepakbola menjadi tim yang tidak mau mengalah pada tim negara manapun. Walaupun pada kenyataannya kini tim sepakbola Indonesia adalah tim yang paling sering ‘mengalah’ pada negara lain.

Sifat khasnya yang kedua adalah suka untuk mencoba hal-hal yang baru. Karena masa muda adalah peralihan dari kanak-kanak yang seringkali dibatasi oleh keluarga menuju dunia kebebasan memilih. Jika di masa kanak-kanak ia mengenal dan mempelajari sesuatu berdasarkan informasi dari orang tuanya. Namun kini para pemuda bisa mengenal sesuatu yang baru dengan sendirinya, tanpa harus diketahui orang tuanya. Mereka bebas berkenalan dengan apapun dengan usaha mereka sendiri bukan lagi bimbingan ayah dan ibunya. Karena bagi mereka, sesuatu yang baru adalah prestise dan tantangan yang harus ditaklukan. Walaupun dampak negatifnya, karena karakter itulah mereka bisa berkenalan dengan dunia Narkoba dan pergaulan bebas. Bukankah kini penikmat Narkoba dan pelaku seks bebas tidak sedikit dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Padahal sifat alami pemuda ini akan berdampak positif jika diarahkan dengan benar. Jika kaum muda memang gemar mencoba hal-hal yang baru, maka lakukanlah hal tersebut di laboratorium penelitian. Temukan penemuan-penemuan baru yang berguna bagi masyarakat.

Di zaman modern ini bangsa Indonesia masih sangat membutuhkan peran pemuda. Negara yang tengah terpuruk ini sangatlah membutuhkan sosok yang tidak mau mengalah pada persoalan yang melilit tiada akhir. Begitu juga kehadiran manusia yang terobsesi pada tantangan baru sungguh ditunggu-tunggu kemunculannya oleh bangsa ini. Pemberantasan korupsi adalah tantangan baru maka cobalah wahai pemuda. Menuntaskan persoalan kemiskinan adalah tantangan baru maka tuntaskan segera wahai darah muda. Mengatasi lemahnya pendidikan negeri ini juga tantangan baru, maka atasilah wahai anak muda. Hanya pemuda saja….!


Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro*     Hari sumpah pemuda, 28 Oktober merupakan hari raya bagi segenap generasi muda  di Indonesia. 82 Tahun yang la...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Episode DEMOKRASI Dalam Islam


Oleh: Teguh Estro

Wajarlah, sekiranya terdapat polemik dalam menyikapi demokrasi. Pasalnya umat Islam memiliki tradisi ‘hati-hati’ dalam beramal. Sebagaimana sebuah kaidah dalam fiqh awlwiyat (kaidah fiqh prioritas) menyebutkan. “…Al-akhdzu bits-tsiqoti wal-‘amlu bil-ihtiyaathi fii baabil-‘ibaadati awla…” (Mengambil pendapat yang terpercaya dan beramal dengan kehati-hatian dalam bab Ibadah, itulah yang diutamakan). Bahkan Ulama-ulama di zaman baheula sekalipun tetap mendahulukan kehati-hatian dalam berucap, bersikap dan beramal.


Demokrasi, bahwasannya ikhtilafiyah didalamnya hanyalah perdebatan yang terwariskan dari pemikir-pemikir lawas. Tidak ada sesuatu yang baru dalam polemik ini. Dan seringkali justru ‘menjebakkan’ diri untuk membenturkan antara demokrasi dan Islam. Akan tetapi sebagai upaya berhati-hati dalam bersikap, maka tradisi penyerta yang harus dilakukan yakni dengan berupaya membetulkan pemahaman tentang demokrasi.
‘Secara formalitas’ sistem demokrasi memang terlahir dari barat. Sehingga wajar jika sibghah Islam agak ‘terlambat’ menyusup ke dalam sejarah demokrasi. Dan terkesan Islamlah sebagai pihak yang mengadopsi sistem ini. Dan tentu saja beberapa pihak yang ‘masih’ berhati-hati sangat berkeberatan jikalau Islam disejajarkan dengan produk barat itu. Sampai pada titik yang extream merekapun menolak demokrasi mentah-mentah.

Selanjutnya, definisi demokrasi yang terlalu netral membuat siapa saja boleh menafsirkannya. Sehingga literatur yang bertalian dengan sistem kenegaraan ini tidaklah sulit untuk dicari. Namun sayangnya, ilmuwan barat telah terlebih dulu menjadi muassis yang memunculkan teori-teori demokrasi. Begitupun ide-ide liberal mereka kerap kali melekat dalam teori-teori tersebut. Dan parahnya negara-negara barat justru menyalahgunakan demokrasi tesebut untuk memojokkan, menjajah dan merusak umat Islam. Sehingga sebagian umat Islam kian ‘alergi’ saja terhadap demokrasi.

Jika demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi prosedural, tak mengapa ia diklaim sebagai made in Western. Akan tetapi jika yang dimaksud adalah demokrasi substansial, maka Islam tentu memiliki sejarah tersendiri. Beberapa substan dari demokrasi yakni konsep musyawarah, kontrak sosial negara-rakyat, konsep keadilan sosial dll. Dan jika ditilik dari sejarahnya, maka Rosullullah Saw dan khalifah-khalifahnya sejatinya telah mengamalkan demokrasi substansial. Semisal konsep musyawarah yang terwujud dalam piagam madinah. Dan komponen masyarakat Madinah yang majemuk berhasil disatukan Rasulullah melalui sebuah piagam yang fenomenal, yaitu Piagam Madinah. Dalam Piagam itu diatur mekanisme hubungan yang setara dan adl antara pemeluk Islam, Nasrani, Yahudi dan berbagai suku yang ada di Madinah kala itu” (Amin Sudarsono : 2010)

Pasca runtuhnya Ottoman Kingdom, umat Islam sungguh merasa terpukul mengaduh-aduh. Pasalnya di satu sisi sistem kekhalifahan tidaklah mudah didirikan dalam sekejap kilat, dan disisi lain umat Islam belum siap untuk menjajal sistem kenegaraan di ‘luar’ pakem. Sehingga tercerai-berainya umat Islam pada saat itu tentu saja tidak asal berpecah-belah. Akan tetapi masing-masing berupaya keras menyatukan kembali umat Islam dengan aneka macam ijtihad. Dan memunculkan firqah-firqah yang saling ‘berdialektika’ hingga akhir-akhir ini. Namun sisi positif dari runtuhnya Turki Utsmani adalah umat Muhammad Saw ini mulai melirik urgensi seorang Muslim menjadi negarawan. Sehingga firqah-firqah yang –dipaksa sejarah- terlahir untuk berlomba-lomba menata umat. Mulai dari Al-Ikhwan Al-Muslimin, Al-Hizb-atTahrir, Pan-Islamica, Salafiyah, Ahmadiyah, Nahdlatul ‘Ulama, Muhammadiyyah, Jama’ah Tabligh dll.

Akhirnya sampailah kita pada pembahasan mengenai ikhtilafiyyah demokrasi pada internal umat Islam sendiri. Salah satu perselisihan fundamental dalam diskursus ini adalah terkait posisi Islam dalam dasar negara.
Ada yang benar-benar ‘tidak rela’ jika ada sistem lain yang dijadikan patokan dalam berhukum. Mereka bersikeras untuk berhukum hanya dengan hukum Allah Swt bukan sistem lain. Sehingga golongan tersebut memilih untuk membelakangi demokrasi lantaran dianggap bukan sebuah sistem yang bersumber dari Allah –dengan kata lain tidak menjadikan al-Quran dan Hadits sebagai pijakan berhukum. Sebut saja di Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, bukan al-Quran dan Hadits. Ada beberapa pihak yang jelas menolak Pancasila sebagai ideologi tunggal di tanah air. Dan terkadang penolakan yang dilakukan justru dengan melakukan peberontakan destruktif (missal: DI/TII)

Masih ingat bagaimana kekeuhnya Moehammad Natsir memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Respek positif terhadap beliau adalah karena lebih memilih memperjuangkan Islam dari arah dalam. Dengan kata lain masuk ke dalam Konstituante dan berdebat hebat di dalamnya. Walaupun akhirnya beliau mulai ‘melunak’ dengan menuangkan tulisan di majalah mingguan Hikmah terbitan 9 Mei 1954. Artikel tersebut berjudul: “Bertentangankah Pancasila Dengan al-Qur’an?”

Dia bertanya mana mungkin al-Quran yang memancarkan tauhid bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Mana mungkin al-Qur’an yang ajarannya penuh dengan kewajiban enegakkan ‘adalah ijtima’iyah dapat apriori bertentangan dengan sila Keadila Sosial? Mana mungkin al-Quran yang justru memberantas sistem feodalisme dan pemerintahan istibdad (diktator) sewenang-wenang, serta meletakkan dasar musyawarah dalam susunan pemerintah, dapat bertentangan dengan apa yang dinamakan Kedaulatan Rakyat ? mana mungkin al-Quran yang menegakkan islah bainannas (damai antara manusia) dapat apriori bertentengan dengan yang disebut Peri Kemanusiaan? Mana mungkin al-Quran yang mengakui adanya bangsa-bangsa dan meletakkan dasar yang sehat bagi kebangsaan, dapat apriori bertentangan dengan Kebangsaan.

Selain M.Natsir masih banyak sejumlah yang meperjuangkan Islam sebagai Ideologi dan Dasar Negara. Merekaterdiri dari 15 orang berjuang di dalam BPUPKI. Di antara 15 orang golongan Nasionalis Islam tersebut adalah KH.Ahmad Sanusi (PUI), Ki Bagus Hadikusumo, KH.Mas Mansur, KH.Kahar Muzakkir (Ketiganya dari unsur Muhammadiyyah), KH. Masykur dan KH.A.Wachid Hasyim (Keduanya dari NU), Sukiman Wiryosandjoyo (PII), Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Agus Salim (Partai Penyadar) dan KH.Abdul Halim (PUI).

Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro Wajarlah, sekiranya terdapat polemik dalam menyikapi demokrasi. Pasalnya umat Islam memiliki tradisi ‘hati-hati’ dalam b...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Paradigma Definisi Negara Islam yang Ideal.

Oleh: Teguh Estro*


Agama Allah di muka bumi bukanlah ajaran yang asing bagi dunia pemerintahan. Sejak Adam a.s tercipta, ia telah mengalami ‘ujian’ kepemimpinan sebagai khalifatu fil ardl. Dan Nabiyullah Adam a.s yang cerdas itu pun bisa mengakhiri polemik mengenai posisi khalifah-Tuhan-manusia. Kendati salah satu konsekuensinya adalah tergelincirnya manusia pertama itu dari surge ke bumi. Kisah al-anbiya yang paling popular terkait kepemerintahan yakni nabiyullah Yusuf a.s, Sulaiman a.s dan Muhammad saw.

Berbagai model kepemerintahan telah di’model’kan oleh para nabi hingga sahabat bahkan umat Islam di abad pertengahan. Akan tetapi tidak ada sebuah daliil yang menyatakan bahwa suatu model pemerintahan tertentu diaggap ideal. Kenegarawanan yang dicontohkan Nabi Yusuf a.s memang ‘ideal’ di masanya. Begitupun model kerajaan Nabi Sulaiman a.s menjadi legenda pada zamannya. Nabi Muhammad Saw sebagai qudwah umat akhir zaman juga men-contohkan model pemerintahan ideal di zamannya saat menetap di Yatsrib.

Pola yang berbeda juga dilakukan oleh para sahabat semisal Mu’awiyyah bin Abi Sufyan yang meniru kerajaan ala Romawi dan Persia. ‘tradisi’ Mu’awiyyah ini bertahan dan berjaya hingga era Umar bin Abdul Aziz r.a. Sehingga penulis berpendapat, model pemerintahan ideal itu tidaklah sak-klek mengadopsi satu model saja. Akan tetapi model ‘negara Islam’ ideal itu dinamis sedangkan tujuannya untuk menegakkan maqashidu asy-syari’ah itulah yang baku. Sehingga paradigma mengenai ‘negara Islam’ yang ideal harus benar diposisikan sebelum kita mendefinisikannya.

…Dari sekian banyak bentuk pemerintahan, Ibnu Abi Rabi’ memilih Monarki atau kerajaan dibawah pimpinan seorang raja serta penguasa tunggal sebagai bentuk yang terbaik………………………… keyakinannya bahwa dengan banyak kepala, maka politik negara akan terus kacau dan sukar membina persatuan…” (rujukan : al-Ahkam ash-Shulthaniyyah)

Dalam buku yang sama Imam al-Mawardi menyampaikan :
“… Mulai tampak pula bahwa tidak mungkin lagi imperium Islam yang demikian luas wilayahnya harus tunduk kepada seorang kepala negara tunggal…”


Imam Ibnu Taimiyah menyampaikan yang dikutip oleh H.Munawir Sjazali, M.A :
“…Ibnu Taimiyah mendambakan ditegakkannya keadilan sedemikian kuat, sehingga dia cenderung untuk beranggapan bahwa kepala negara yang adil meskipun kafir adalah lebih baik daripada kepala negara yang tidak adil meskipun Islam, dengan menyetujui ungkapan bahwa Allah mendukung negara yang adil meskipun kafir, dan bahwa Allah tidak mendukung negara yang tidak adil sekalipun Islam…

Dari berbagai pendapat ulama diatas, penulis kian menguatkan bahwasannya konsep ‘negara Islam’ nan ideal adalah dinamis. Hanya saja tujuannya untuk menegakkan maqhasidu asy-syari’ah adalah harga mati. Sehingga apapun model pemerintahannya jika ia bisa memberikan peluang lebih besar dalam menegakkan syari’at maka itulah kondisi ideal. Maka dengan kata lain, Negara Islam Ideal adalah negara yang memiliki model pemerintahan yang memungkinkan diimplementasikannya syaria’at Islam.

Sedikit mengulang uraian yang diatas. Bahwa pada masanya, model kerajaan yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman sudah ideal. Karena pada masa itu beliau adalah Ulama’ sekaligus Umara’ sehingga lebih memiliki power dalam mengatur rakyat sesuai syariat allah Swt. Rasulullah Saw tidaklah jauh berbeda, meskipun secara simbolis beliau tidaklah disebut sebagai seorang raja. Model pemerintahan Rasul saw saat hidup di Madinatu al-Munawarah, merupakan salah satu model yang ideal di masanya. Lantas di zaman umat Islam saat ini, model pemerintahan semacam apa yang terasa lebih ideal untuk digunakan…?

Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro* Agama Allah di muka bumi bukanlah ajaran yang asing bagi dunia pemerintahan. Sejak Adam a.s tercipta, ia telah mengalam...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Menimbang-nimbang NKRI Sebagai ‘Negara Islam’

Oleh: Teguh Estro


Mengucap kata NKRI, tentu gambaran luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya budaya adat-istiadat. Wajar saja, pasalnya sejarah yang tersebar mengenai gambaran Indonesia memanglah menceritakan demikian. Akan tetapi selama ini, rakyat Indonesia tidaklah diceritakan mengenai campur tangan Islam dalam membangun NKRI. Andaikan lembaran kisah mengenai Manifesto muslim diceritakan secara jujur, maka kita akan tahu begitu islami-nya proses perjuangan hingga pembentukan NKRI.

Jujur sajalah, siapa yang memperjuangkan negeri ini dari penjajahan yang berkepanjangan. Maka umat Islamlah jawabannya. Kurang gagah berani apalagi Cut Nyak Dhien dalam melawan ‘kompeni’ di ujung Pulau Sumatera. Begitupun, bagaimana sikap Sunan Gunung Djati yang ‘tidak mau mengalah’ dalam mempertahankan kesultanan Banten, Jayakarta dan Cirebon dari ancaman VOC. Belum selesai sampai disitu, mungkin kita masih ingat bagaimana Jenderal Soedirman yang awalnya hanyalah seorang ‘guru ngaji’ di persjarikatan Muchammadijah. Beliau menjelma menjadi seorang jenderal besar mengerikan yang membawa konsep perang gerilya. Sehingga dengan bangga penulis beranggapan bahwa saham terbesar dalam tubuh bangsa ini adalah hasil jerih payah umat Islam di nusantara.

Begitupun dalam perumusan pancasila dan lambang negara lainnya. Mereka para perumus konsep negara Indonesia adalah para ulama. Setelah menerima kritukan dari M.Natsir, Agus Salim dan A.Hassan terkait konsep Nasionalisme, sang proklamator ini menyampaikan maksud nasionalisme yang benar. Ia mengatakan bahwa nasionalisme yang digagas bukanlah bentuk Chauvinism atau bentuk tiruan dari nasionalisme versi barat, melainkan sebuah bentuk nasionalisme yang menjadikan orang-orang Indoensia menjadi hamba Tuhan yang hidup dalam roh tau jiwa agama.

Dalam perkembangannya, model pemerintahan Indonesia belum pernah keluar dari pakem demokrasi. Entah itu demokrasi terpimpin, demokrasi liberal, demokrasi pancasila dan lain-lain. Sehingga sungguh tepat jika kita ajukan pertanyaan, bagaimana posisi syariat Islam dalam model demokrasi di Indonesia selama ini. Jika dalam kelahirannya, NKRI telah sah sesuai khittah keIslaman. Akan tetapi perjalanan pasca lahirnya Negara berpenduduk muslim terbesar ini memang ‘agaknya’ sedikit mereduksi nilai-nilai Islam. Sehingga akhir-akhir ini tidak jarang sebagian kecil gerakan ‘ekstrim’ yang menuduh NKRI sebagai Negara kuffar bahkan menganggap sebagai daru al-harb.

Diagnosa Beberapa ‘Kekeliruan’ NKRI Yang Sudah Ideal

Jikalau hendak mengkoreksi sebuah sistem terlihat baik atau kurang baik, maka yang menjadi pertanyaan adalah siapa korektornya. Pun Indonesia yang berdaulat ini jika ditilik dari sudut pandang demokrasi barat-liberal-sekular, boleh jadi malah menjadi contoh bagi bangsa lain. Akan tetapi mestinya, Indonesia memiliki tanggung jawab terhadap Islam sebagai agama mainstream di nusantara. Maka bagaimana sistem demokrasi ala Indonesia ini apabila dikoreksi dengan menggunakan pisau analisis Islam.

Salah satu ciri khas Islam dalam bernegara, yakni menjadikan hukum/syara’ menjadi panglima dalam menegakkan keadilan. Sebab salah satu fungsi negara adalah menjadi ‘pengadilan’ yang seadil-adilnya terhadap rakyatnya. Dan penegakkan keadilan, merupakan tradisi agama ini di setiap model pemerintahan Islam yang telah tegak di muka bumi. Semangat menegakkan keadilan selalu dinomor-satukan, Entah itu tatkala Umar bin abdul aziz r.a berjaya di masa Bani Umayyah ataupun saat kesultanan Turki Utsmani yang mengalami pesakitan karena ‘dibekukan’ oleh sejarah.

Indonesia, saat ini telah melampaui era kejumudannya. Penandanya terlihat saat reformasi yang bergulir 13 tahun lalu. Sehingga kian hari, negara yang dikepalai oleh presiden SBY ini selalu menuju perbaikan. Dan salah satunya bagaimana keadilan di negeri ini sering tersorot media publik, kendati jarang diselesaikan secara hukum. Kalau dulu penindasan TKW, KDRT, Penipuan dana di BANK bukanlah tidak ada akan tetapi tidak ter-ekspos ‘borok’nya. Dan pada masa keterbukaan informasi saat ini segala ‘borok’ di negeri ini dipertontonkan, meski sedikit ‘lebay’ dalam mempublishkannya. Salah satu catatan hitam Indonesia adalah kurangnya komitmen para penegak hukum dalam mengurus keadilan. Dan parahnya penyakit ini munculnya secara laten dan mengakar hingga mentradisi. Sehingga penyelesaian yang paling efektif untuk memotong malpraktik keadilan di Inonesia yakni melalui pemimpinnya, yakni PRESIDENnya, yakni SBY.

Selanjutnya, tugas negara sebagai pengayom haqqul adami para rakyat memang terlihat tidak ‘islami’ di Indonesia ini. Bukan berarti para pemimpin harus berpeci dan sarungan, akan tetapi pendistribusian lumbung-lumbung kesejahteraan kepada rakyat justru macet…! Mungkinkah karena luasnya negara ini, hingga sulit mendistribusikan kesejahteraan hingga akhirnya tidak di distribusikan. Penulis kira, tidaklah demikian. Penyebab macetnya pemerataan kesejahteraan adalah pola kepemimpinan feodal-pragmatis masih menjangkit. Dan parahnya pasca otonomi daerah, penyakit warisan ORBA tersebut kian terimplementasi di daerah-daerah. Tradisi menyunat dana, uang rokok, ‘biaya ongkos’ yang tentu saja kesemuanya berstereotip negatif telah mendarah daging.

Islam sebagai pelopor jargon rahmatan lil ‘alamin, telah banyak memberikan kisah inspiratif dalam mendahulukan rakyat tinimbang khalifah. Umar ibn Khattab r.a telah memikul gandum, Abu Bakar ash-shidiq telah menyumbangkan seluruh hartanya, Umar ibn Abdul Aziz telah menjadikan zakat menjadi sulit diedarkan (maksudnya, sebab rakyatnya telah merata kemakmurannya). Dan kuncinya adalah pada kepemimpinannya yang harus TEGAS dalam mengutamakan umat mustadh’afiin. KALAU PIDATO SAJA CURHAT KARENA TIDAK PENAH NAIK GAJI, bagaimana bisa tegas terhadap polemik kesejahteraan ini.
Sehingga penulis berkesimpulan, setidaknya KEADILAN dan KESEJAHTERAAN yang kurang diperhatikan di Indonesia membuatn NKRI ini kurang ‘islami’.

Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro Mengucap kata NKRI, tentu gambaran luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya budaya adat-istiadat. Wajar saja, pasalnya se...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Menggagas Kepemimpinan Khas Jogjakarta

Oleh: Teguh Estro


Kota Ngayogyakarta lahir dari peristiwa sejarah. Perjanjian Gianti pada tahun 1755 memaksa Kesultanan Mataram rela membagi kekuasaannya menjadi dua bagian. Sebagian masih dikuasai kesultanan Surakarta dan sebagian lagi menjadi milik kekuasaan pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa diberi nama kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Adapun daerah kekuasaannya adalah kota Ngayogyakarta sebagai ibu kota dan beberapa daerah mancanegara mataram lainnya.

Setiap membincangkan sejarah kota Yogyakarta, tentu tidak terlepas dari sejarah kepemimpinan tanah jawa. Dan pastinya memiliki ke-khas-an tersendiri tinimbang daerah lainnya di Indonesia. Salah satu yang paling kental yakni adanya peranan falsafah adat budaya yang mempengaruhi model kepemimpinan di kota Yogyakarta ini. Dalam falsafah jawa kuno, seorang pemimpin bukanlah sekedar pengatur saja. Akan tetapi dia adalah Titisan Saking Sang Hyang widhi di tanah jawa. Atau setelah berasimilasi dengan dunia Islam, sebutan itu berganti dengan Khalifatullah ing tanah jawi. Sehingga tidak jarang apapun yang dilakukan oleh seorang pemimpin tentu akan benar-benar menjadi bakti oleh rakyatnya. Tradisi falsafah tersebut terus diyakini sesuai dengan perkembangan zamannya.

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi bagian NKRI dengan nama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan tentu saja sebagai ibu kota dari kerajaaan, Kota Ngayogyakarta turut menjadi bagian dari NKRI dengan nama Kotamadya Yogyakarta. Dan kini model kepemimpinan di kota Yogyakarta juga mengikut konstitusi NKRI dengan Walikota sebagai pimpinannya. Begitupun lembaga lainnya semisal adanya DPRD, lembaga peradilan dsb. Tentu saja perubahan wajah itu ikut mempengaruhi kian tenggelamnya model khas kepemimpinan dan pemerintahan ala pribumi. Sehingga perlu digali kembali bagaimana model kepemimpinan khas ala Yogyakarta. Sebagaimana sejarah bumi Mataram yang tidak terlepas dari pengaruh Islam dalam pemerintahannya.

Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro Kota Ngayogyakarta lahir dari peristiwa sejarah. Perjanjian Gianti pada tahun 1755 memaksa Kesultanan Mataram rela memb...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Pendidikan Karakter 'Under Cover'


Oleh: Teguh Estro

A.    Pendahuluan
Potret buruk dari kelakuan manusia Indonesia belakangan ini kerap dijadikan senjata untuk menyerang lumpuhnya sektor pendidikan. Sebut saja korupsi, lagi – lagi korupsi dan terus korupsi. Apakah sebuah kebetulan, jika banyak kaum elite yang hobi mengambil uang haram. Bahkan saat ini ‘pencuriannya’ bukan lagi berbentuk uang cash saja. Korupsi asset bangsa, pejabat berbagi proyek sampai jual beli dalam legalisasi undang-undang.

Mungkin sejenak kita bakal terheran-heran. Sosok yang tampilan luarnya necis, pakai kopiah dan kemana-mana selalu assalamu’alaikum. Tapi ternyata justru dialah yang menjadi  ‘preman proyek’ di gedung DPR. Sekali lagi, apakah kebobrokan ini sebuah kebetulan saja…? Seorang bupati terpaksa digiring ke sel dengan perkara tindak asusila. Apakah ini terjadi kebetulan…? Dan masih banyak lagi cuplikan yang sebenarnya membingungkan.

Kesemuanya justru akan terlihat wajar, jika hendak melirik ulang darimana mereka berasal, ya bangku sekolah. Masih ingat bu Siami dan anaknya si Alif. Mereka terpaksa terkucilkan karena tersandung kasus pencemaran nama sekolah. Pasalnya mereka terlalu ‘vokal’ menceritakan contekan masal di sekolahnya. Dan kacaunya, Fenomena bu Siami dan Alif hanyalah riak-riak kecil dari gunung es kasus serupa di Indonesia. Maka kesimpulan sementara, kemunculan mahluk bernama koruptor itu bukanlah hal yang kebetulan. Karena karakter penipu ulung sudah ‘dikader’ sejak mereka berusia 10 tahun di bangku sekolah. Ya, karakter negatif yang terbina.

B.    Asal Muasal Pendidikan Karakter
Tolok ukur kebenaran sebuah nilai dalam perspektif filsafat adalah aksiologi. Perbedaan pandangan tentang aksiologi akan membedakan baik-buruknya sesuatu. Artinya jika pendidikan sebagai wujud transfer of value (proses transfer nilai), maka indikator keberhasilannya terletak pada aspek aksiologis juga. Secara lebih sederhana semisal pada mata pelajaran PPKN. Tentu saja bukan sekedar penilaian dengan angka-angka, akan tetapi bagaimana nilai yang diajarkan tersebut mampu dipraktekkan oleh para siswa. Dan kata ‘karakter’ agaknya bisa lebih representatif untuk mewakili itu. Sehingga tidak ada pembelaan terhadap siswa yang gemar tawuran, meski ujian mata pelajaran PPKN berangka sempurna.

Sudah jama’ diketahui akan dekadensi moral bangsa ini. Kian lama terus mengakar menjadi sebuah tradisi berbahaya. Seks bebas semakin dimaklumi, NARKOBA menjadi jajanan mahasiswa dan korupsi yang kini mewabah. Jelas sekali butuh perombakan building character terhadap anak-anak bangsa ini. Hanya saja, apakah Pendidikan berbasis karakter yang dicanangkan pemerintah adalah jawabannya?
Pendidikan berbasis karakter telah digaungkan oleh Kemendikbud (dulu Kemendiknas) sejak awal tahun 2010 lalu. Ada 18 nilai-nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dibuat oleh Diknas. Antara lain sbb:

1.    Religius
2.    Jujur
3.    Toleransi
4.    Disiplin
5.    Kerja keras
6.    Kreatif
7.    Mandiri
8.    Demokratis
9.    Rasa ingin tahu  
10.    Semangat kebangsaan
11.    Cinta tanah air
12.    Menghargai prestasi
13.    Bersahabat
14.    Cinta damai
15.    Gemar membaca
16.    Peduli lingkungan
17.    Peduli Sosial
18.    Tanggung Jawab
    
Sebenarnya Pendidikan Karakter bukanlah sesuatu yang baru jika ditilik dari tujuan pendidikan nasional berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003. Yang berbunyi sebagai berikut :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam tujuan pendidikan nasional, sudah tersebut karakter bangsa yang dijadikan target. Yakni beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dan lebih komprehensif lagi setelah disusun oleh Kemendiknas menjadi 18 nilai-nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

C.    Urgensi Pendidikan Karakter Bangsa
Salah satu alasan mendesak dibutuhkannya pendidikan karakter bangsa yakni disebabkan karena bangsa kita telah lama memiliki kebiasaan-kebiasaan yang kurang kondusif untuk membangun bangsa yang unggul. Sedikitnya terdapat 55 kebiasaan kecil yang menghancurkan bangsa.

a.    Kebiasaan memperlakukan diri sendiri

1     Meremehkan Waktu     
2    Bangun Kesiangan     
3    Terlambat Masuk Kantor     
4    Tidak Disiplin     
5    Suka Menunda Pekerjaan     
6    Melanggar Janji     
7    Menyontek     
8    Ngrasani     
9    Kebiasaan Meminta     
10    Stress  
11    Mengangga Berat Setiap Masalah     
12    Pesimis Terhadap Diri Sendiri     
13    Terbiasa Mengeluh     
14    Merasa Paling Hebat     
15    Meremehkan Orang Lain     
16    Tidak Sarapan     
17    Tidak Biasa Antri     
18    Banyak Tidur     
19    Takut Berubah    
20    Banyak Nonton TV

    

b. Kebiasaan buruk memperlakukan lingkungan

1    Merokok di sembarang tempat     
2    Membuang sampah di sembarang tempat     
3    Corat coret di jalanan     
4    Kendaraan kita mengotori udara     
5    Jalan bertabur iklan     
6    Konsumsi plastik berlebihan     
7    Tidak biasa mengindahkan aturan pakai     
8    Menebangi pohon di hutan berlebihan     
9    Menganggap remeh daur ulang    

C.    Kebiasaan yang merugikan ekonomi
1       konsumtif     
2    pamer     
3    silau dengan kepemilikan orang lain      
4    boros listrik     
5    nyandu nge-game     
6    tidak menyusun rencana-rencana kehidupan     
7    tidak biasa berpikir kreatif     
8    Shopaholic     
9    mengabaikan peluang    

d.    Kebiasaan buruk dalam bersosial
 

1       Tidak mau membaca     
2    Jarang mendengar pendapat orang lain     
3    Nepotisme     
4    Suap menyuap     
5    Politik balik modal     
6    Canggung dengan perbedaan     
7    Beragama secara sempit     
8    Lupa sejarah     
9    Demo upah/gaji     
10    Tawuran     
11    Tidak belajar dari pengalaman     
12    Birokratif     
13    Meniru     
14    Provokatif dan mudah diprovokasi     
15    Tidak berani berkata “tidak”     
16    Berambisi menguasai     
17    mengesampingkan tradisi adat    

    Pendidikan berbasis karakter muncul untuk menjawab keresahan moral yang sangat mengakar di bangsa ini. Sehingga harapannya dengan adanya kurikulum berbasis karakter, RPP dan impementasi KBM berbasis karakter bisa mewujudkan lulusan yang berkarakter kuat. Karakter jujur menjadi jawaban wabah korupsi, karakter cinta damai menjadi solusi untuk kerusuhan dan tawuran selama ini dan karakter tanggung jawab sebagai modal pembangunan bangsa.

D.    Implementasi Pendidikan Karakter dan Evaluasinya

Dalam Prakteknya :
1.    Guru dituntut menemukan sendiri metode yang tepat untuk menggali karakter tersebut. Dan dituangkan dalam bentuk Kurikulum, RPP selanjutnya KBM. Evaluasinya untuk saat ini setiap guru kesulitan untuk menggali karakter tersebut. Apalagi kualitas guru yang beum mencukupi.
2.    Guru diharuskan mengawasi tingkah laku para siswa. Evauasinya, ketidakseriusan para guru dalam mengawasi jika siswanya dalam jumlah banyak.
3.    Guru dituntut memberikan tauladan terlebih dahuu mengenai karakter tersebut. Evauasinya masih banyak justru institusi sekolah yang me’legal’kan guru-guru nakal.
4.    Satuan sekolah dituntut untuk bertindak aktif kepada semua elemen. Antara lain para orang tua siswa yang menjadi variabel pengawasan anak di rumah. Masyarakat sekitar agar memberikan lingkungan yang kondusif dalam menumbuhkan karakter yang akan dibentuk. Evaluasinya Hubungan Guru dan Orang tua wali masih bersifat formalitas, apalagi elemen masyarakat sekitar sekolah yang kadang malah bersitegang terhadap kenakalan para siswa.

Oleh: Teguh Estro A.     Pendahuluan Potret buruk dari kelakuan manusia Indonesia belakangan ini kerap dijadikan senjata untuk menyerang...
Teguh Estro Sabtu, 10 Desember 2011
Teguh Indonesia

Jalan Jogja Ambles, Pertanda?


Oleh: Teguh Estro*


    Dasar manusia, dulu bertanya-tanya kenapa tak pernah turun hujan. Sekarang hujan sudah turun malah marah-marah. Intinya anak-cucu Adam ini memang perlu introspeksi agar terus bersyukur. Dan saat ini kota Yogyakarta pun tengah disiram hujan seperti yang mereka minta sebelum-sebelumnya. Akan tetapi intensitas curah hujan di kota pelajar ini mulai disorot oleh warga. Pasalnya di beberapa lokasi sudah banyak jalan yang ambles setelah diguyur hujan.

    Banyak yang beralasan kerusakan jalan yang terjadi sebab tingginya curah hujan sejak 2 November lalu. Setidaknya sudah Sembilan jalan di kota gudeg ini yang ambles, termasuk beberapa jalan protokol. Salah satunya adalah Jalan Kusumanegara dan Jalan Adisucipto  yang termasuk jalur vital di Yogyakarta. Bahkan Jalan Kenari yang terletak persis di depan kantor walikota Yogyakarta juga terlihat parah. Gerusan air hujan yang deras sudah tidak bisa lagi ditahan oleh drainase jalan yang sudah tua. Apalagi dalam sepuluh tahun terakhir, rusaknya jalan tahun ini adalah yang terparah. Diprediksikan kerusakan bakal terus bertambah, mengingat musim hujan belum sampai pada kemuncaknya.

    Rusaknya drainase jalan, Meluapnya air sungai dan sederet peristiwa lain sejatinya hanyalah fenomena. Dan tampaknya melalui fenomena tersebut menjadi pertanda kota Yogyakarta ini hendak menyampaikan pesan kepada warganya. Bahwa ‘dia’ kepingin diperhatikan, bukan melului dikomersialkan. Sudahlah diakui saja, kota ini sudah tua dalam usianya yang ke 255 tahun. Kenapa gorong-gorong  yang sudah berumur, barulah diperhatikan ketika ia sudah rusak. Begitupun kali Code, Gajah Wong, Winongo dan lain-lainnya mereka kepingin ‘diasuh’ dengan kasih-sayang.

    Perhatian serius warga Yogyakarta terhadap lingkugan kudu digalakkan lagi. Termasuk pemerintah walikota yang memiliki perangkat untuk memoles beberapa kerusakan akhir-akhir ini. Salah satunya Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (KIMPRASWIL) sebagai Leading Sectornya. Bukankah pak Walikota Herry Zudianto sudah menetapkan kejadian belakangan ini dalam status tanggap darurat. Maksudnya kondisi yang harus dituntaskan segera lantaran sifatnya mendesak.
    Salah satu hal yang urgen adalah antisipasi kemungkinan adanya jalan yang ambles di jalur lainnya. Sehingga perlu dilakukan pemetaan usia jalan raya berdasarkan data-data lapangan. Termasuk drainase-drainase di semua kota kudu  dipetakan juga berdasarkan usianya. Terutama daerah-daerah yang bertalian dengan sektor pariwisata, pendidikan dan keramaian.

Kota Yogyakarta sebagian besar kehidupannya sudah bergantung pada jalan raya. Semisal sektor pariwisata yang tentu sangat bergantung pada mulusnya arus transportasi. Jangan sampai kejadian terulang seperti bus pariwisata yang terjeblos di jalan ambles seperti di Kota Gede kemarin. Sehingga bumi mataram ini bukan sekedar orang-orangnya saja yang dianggap  berhati nyaman, akan tetapi sarana dan prasarananya pun harus dibuat nyaman.

Sektor pendidikan juga demikian, tidak sedikit sekolah-sekolah atau kampus yang melewati jalan raya. Setidaknya lalu-lalang pelajar dan mahasiswa memang sudah kesehariannya berjumpa dengan jalur transportasi darat ini. Daerah yang tidak kalah pentingnya yakni di pusat-pusat keramaian. Semisal di sekitar pasar, pusat industri kerajinan dan lain-lain. Adapun terkait dana pembenahan, KIMPRASWIL bisa menggunakan dana sisa anggaran kebencanaan sebesar satu milyar di pemerintahan. Kalaupun masih terasa kurang, bisa mengajukan dana ke Provinsi. Karena kenyamanan lalu lintas menjadi prioritas untuk diwujudkan.

Akhirnya perhatian warga dan pemerintah terhadap lingkungan menjadi harus menjadi ‘amalan’ nomor wahid di kota Yogyakarta ini. Selanjutnya bukan hanya jalan, akan tetapi sampah-sampah yang bertumpuk di saluran irigasi segera dibersihkan. Jangan sampai menunggu bencana datang barulah warga sibuk bergotong-royong. Alangkah lebih baik jika jauh-jauh sebelum puncak musim hujan tiba, kita telah menyambutnya dengan saluran air yang baik. Sehingga kota Yogyakarta benar-benar layak disebut ‘Kota Berhati Nyaman’.

Oleh: Teguh Estro*     Dasar manusia, dulu bertanya-tanya kenapa tak pernah turun hujan. Sekarang hujan sudah turun malah marah-marah. In...
Teguh Estro Senin, 21 November 2011
Teguh Indonesia

Orangutan Terancam Deforestasi

Oleh: Teguh Estro*


    Orangutan diambang kepunahan. Menurut para ahli seperti dilansir dari BBC pada Jumat (28/10/2011), hewan ini terancam punah pada tahun 2023. Populasi kera besar ini terus berkurang 3000-5000 spesies pertahunnya. Padahal saat ini hanya tersisa 25.000 orang utan di seluruh dunia. selanjutnya hewan langka warisan hutan nusantara ini tinggal menghitung masa kepunahannya.

    Habitat orangutan mulai terdesak oleh deforestasi yang dilakukan manusia. Kegiatan logging baik yang ilegal maupun legal, perluasan wilayah perkebunan, kebakaran hutan dan perburuan liar menjadi pasalnya. Bahkan beberapa waktu lalu begitu menyedihkan setelah terungkap pembantaian sekitar 1.200 orangutan di Kotawaringin, Kalimantan Timur. Terduga genocide ini terjadi berkisar tahun 2009-2010 yang dilakukan oknum-oknum di areal perkebunan kelapa sawit. Wajar saja karena pemerintah begitu mudah memberikan izin perkebunan atau penambangan yang sudah mencapai ratusan per kabupaten di pulau Borneo ini.

Dilematis Konservasi Orangutan

    Penanganan pemeliharaan orangutan sungguh dilematis di sana-sini. Di satu sisi jika mereka dipelihara oleh pihak konservator, tentu terkendala biaya pemeliharaan. Bahkan di daerah ragunan, beberapa spesies ‘dikandang’ ditempat yang tidak ‘berprikehewanan’. Untuk makan saja, mereka bergantung pada makanan yang dilemparkan oleh anak-anak saat berkunjung. Sehingga hewan yang sangat lambat bereproduksi ini mengalami ‘depresi’ berat jika harus ‘dikandang’. Dan memang selayaknya ia hidup bebas sebagai hewan sejati. Akan tetapi di sisi lain jika orangutan dilepas-liarkan maka akan berhadapan dengan predator berbahaya, Manusia…! bahkan saat ini hampir 70% dari satwa omnivora ini sudah hidup diluar kawasan konservasi. Dan bahayanya mereka harus berjuang menghadapi para pemburu yang tidak berbelaskasihan.

    Penuntasan problem ini memang harus disupport oleh berbagai pihak. Dan tentu saja pihak yang paling bertanggung jawab yakni mereka para perusak hutan. Selama 20 tahun terakhir, habitat orangutan telah berkurang 80%. Sehingga wajar jika fauna langka ini masuk ke areal perkebunan dan penambangan. Karena ‘dulu’nya areal tersebut merupakan ‘tanah air’ mereka. Selanjutnya dari pihak pemerintah harus menindak tegas para pembantai orangutan dengan hukuman yang berefek jera. Begitupun dengan izin perkebunan dan penambangan harus segera dikurangi bahkan diawasi secara ketat. Bagaimana mungkin di sebuah kabupaten terdapat 140 izin pertambangan yang diterbitkan pemerintah.

Selanjutnya bagi pihak pengasuh di taman hutan konservasi kudu memperhatikan kondisi kejiwaan orangutan. Konon, orangutan yang hidup bahagia lebih lama hidup tinimbang yang hidup stress di dalam kandang tak diurus. Begitu juga perhatian terhadap para ‘betina’. Pasalnya orangutan betina cenderung lebih pasrah bila bertemu bahaya. Jika terjadi kebakaran, pembantaian atau tertangkap predator, mereka hanya diam. Hal ini tidak lain karena mereka labih memilih mengorbankan diri agar anak-anak bisa berlari jauh dari predator. Padahal jika jumlah betina menurun maka kepunahan akan kian cepat terjadi. Pasalnya mereka hanya mampu melahirkan maksimal 3 sampai 4 anak seumur hidupnya.

    Menyedihkan, kelak anak-cucu bangsa ini hanya bisa mendengar kisah orangutan sebagai satwa yang pernah ada di Indonesia. Mereka bercerita tentang bagaimana ‘bapak-ibu’ nya yang menewaskan primata imut tersebut.

*Penulis menghayati tulisannya

Oleh: Teguh Estro*     Orangutan diambang kepunahan. Menurut para ahli seperti dilansir dari BBC pada Jumat (28/10/2011), hewan ini tera...
Teguh Estro Sabtu, 05 November 2011
Teguh Indonesia

'Masih' Ekspor Bahan Mentah

Oleh: Teguh Estro*


            Nilai ekspor industri Indonesia sempat jeblok pada tahun 2009 yang hanya berkisar US $ 62 miliar. Lalu melonjak sampai US$ 82 miliar pada tahun 2010. Dan diprediksi di tahun 2011 ini akan terus meninggi hingga US$ 97 miliar. Meningkatnya nilai ekspor ini menjadi angin segar di dunia perdagangan dalam negeri. Dan harapannya para pegiat industri lokal terus menemukan kreatiftas baru. Terutama mengubah tradisi ekspor bahan mentah menuju ekspor bahan olahan bahkan berbentuk barang jadi.
            Sejak masa kerajaan-kerajaan nusantara bahkan, tradisi ekspor bahan mentah sudah terjadi. Sebut saja kerajaan Ternate dan Tidore yang menjadi lumbung Cengkih. Bahkan awalnya nenek moyang kita tidak mengetahui nilai mahal cengkih yang tumbuh liar di tanah surga ini. Barulah setelah bangsa Portugis datang, mereka terkejut ternyata cengkih menjadi dagangan mahal di Eropa. Begitupun kerajaan Sriwijaya yang sukses dengan komoditi Lada. Bahkan puncaknya pada tahun 1670 telah memproduksi Lada hingga 8000 ton.
            Di era sekarang ini, Indonesia ternyata masih mewarisi tradisi ekspor bahan mentah. Komoditi andalan negeri ini adalah minyak dan gas (migas). Selebihnya di dominasi oleh kelapa sawit, karet sampai komoditi dari hutan baik kayu maupun non kayu. Hampir sebagian besar barang jualan bangsa ini berupa bahan mentah. Dan tentu saja Indonesia menjadi incaran menggiurkan bagi negara-negara industri yang haus akan bahan baku.
            Hutan khatulistiwa ini telah menghasilkan karet yang melimpah. Akan tetapi ban mobil saja kita masih sering impor dengan harga berlipat-lipat. Begitupun dengan persenjataan militer, yang harus membeli dari luar negeri. Padahal jika mau, Indonesia bisa saja membuat sendiri senjata berbahan emas sekalipun.

Wajah Buram Industri Lokal
            Kegemaran ekspor bahan mentah, setidaknya memiliki ragam alasan yang kudu dikupas. Mulai dari persoalan hulu hingga ke hilirnya pasti ada celah masalah. Semisal matinya industri lokal karena minimnya mesin-mesin produksi pengolah bahan mentah. Selanjutnya lemahnya pemahaman terkait promosi produk kepada negara lain. Dan yang tidak kalah pentingnya yakni terganjalnya komunikasi efektif antar eksportir dengan negara pemesan. Harus ada posisi tawar yang kuat dari Indonesia kepada negara tujuan. Semisal sempat terjadi penolakan barang mebel Dari Jawa Tengah ke beberapa negara Eropa. Begitupun dengan tuduhan Indonesia melakukan dumping terhadap ekspor produk kaca ke Australia.
            Berkembangnya dunia ekspor Indonesia harus terus di dukung oleh semua pihak. Dari pemerintah sendiri bisa bekerjasama dengan KADIN untuk memuluskan industri-industri barang jadi. Begitupun dengan pengawalan sampai menembus kebijakan dalam negeri di negara lain. Selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah negara tujuan ekspor seperti Eropa dan Amerika yang tengah mengalami penurunan daya beli dikarenakan terpuruknya ekonomi global. Sehingga harus terus melakukan penetrasi ke kawasan-kawasan alternatif. Semisal Afrika, Timur Tengah, bahkan Amerika Selatan yang belum banyak terjamah eksportir-eksportir Indonesia.

*        Penulis Sedikit [-sedikit] menulis.

Oleh: Teguh Estro*             Nilai ekspor industri Indonesia sempat jeblok pada tahun 2009 yang hanya berkisar US $ 62 miliar. Lalu me...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

PAPUA, Referendum Bukan Solusi

Oleh: Teguh Estro*


            Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 telah berlalu dengan sekian kontroversinya. Bagi rakyat papua pro-NKRI, hasil plebisit itu sudah sah sebagai tindak lanjut dari New York Agreement. Bahkan telah ditandatangani oleh pihak Indonesia, Belanda dan PBB. Sehingga hasil PEPERA yang memenangkan NKRI dianggap sudah final. Akan tetapi hal lain juga berhembus. Bahwasannya referendum tersebut hanya akal-akalan TNI saja yang sudah membungkam rakyat Papua dengan senjata. Sampai saat ini berbagai pihak masih saling mengklaim mengenai kebenaran sejarah PEPERA 1969.

            Hal yang sangat disayangkan, yakni tidak dimaksimalkannya peran Dewan Papua dalam New York Agreement tahun 1962 lalu. Sehingga pemaknaan kata Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) dalam Agreement tersebut dimaknai sepihak. Dan akhirnya sekarang kita mengenalnya dengan istilah PEPERA. Celah-celah seperti inilah yang digunakan secara politis oleh pihak-pihak separatis untuk memprovokasi rakyat papua. Para separatis bersikukuh bahwa aneksasi yang dilakukan RI merupakan penjajahan terhadap negeri cenderawasih.

            Konflik di Indonesia paling timur ini cermin dari penanganan yang tak pernah tuntas. Jika hendak diruntut pasca diserahkan Papua dari pihak UNTEA ke NKRI selalu ditangani ‘setengah-setengah’. Dan tidak jarang selalu menggunakan pendekatan militer. malah kelihatannya pasukan keamanan justru tidak memunculkan rasa aman. Bahkan boleh jadi selama ini kelompok separatis sengaja memancing terjadinya baku tembak senjata. Lantaran mereka akan menggunakannya sebagai isu pelanggaran HAM oleh TNI dikemudian hari.

Sila ke-5 Segera Diterapkan
            Terkait ‘kue kesejahteraan’ di provinsi yang dulu bernama Irian Jaya ini memang terabaikan. Masih ingat saat dua tahun sebelum PEPERA, Indonesia telah tanda tangan kontrak karya pertama kalinya dengan Amerika Serikat atas PT.Freeport. Sehingga wajar saja jika banyak pihak yang menyangka proyek tambang tersebut merupakan ‘suap pelicin’ dari Jakarta untuk Amerika agar memuluskan referendum. Dan tentu saja, Freeport adalah hak kesejahteraan rakyat papua yang tidak mereka cicip.

            Pemerintah harus benar-benar melek agar tidak menjadikan Papua sebagai sapi perah. Karena salah-satu ‘janji’ yang diobral oleh OPM terhadap rakyat papua adalah diberikan rumah secara gratis bagi masyarakat. Sehingga benar-benar faktor kesenjangan sosial kudu diperhatikan. Dan Alhamdulillah syukur beberapa bulan yang lalu TNI sudah memulai itu dengan program Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD). Di sana para tentara tanpa banyak janji membangun rumah untuk warga. Dan sukses merebut hati rakyat di daerah-daerah basis pemberontak. Sehingga tidak jarang TNI yang tewas tertembak, karena separatis tidak menyukai program TMMD itu.

            Kendatipun telah diberlakukan otonomi khusus di Papua, tetap saja belum menuai hasil memuaskan. Hal itu tidak lain lantaran tidak menyentuh kebutuhan yang paling mendasar, yakni peningkatan kesejahteraan warga. Begitupun dengan peran pihak intelijen yang belum maksimal mengawasi gerak-gerik para separatis disana. Sehingga pemerintah tidak sempat mengantisipasi setiap kejadian berikutnya yang bisa menimbulkan korban. Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah program pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan. Dengan demikian terintegrasinya papua kedalam NKRI bukan seperti Sapi perah yang dibeli tuannya.

*Penulis sedang membaca lalu menulis lagi

Oleh: Teguh Estro*             Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 telah berlalu dengan sekian kontroversinya. Bagi rakyat pap...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Redemarkasi, Menyoal Patokan dan Pasokan

Oleh: Teguh Estro*


Indonesia memiliki 92 pulau yang berbatasan dengan negara-negara jiran. Sehingga tidak heran bila sengketa perbatasan kerap terjadi. Mulai dari persoalan nelayan sampai tarik-menarik kepemilikan pulau. Dan beberapa waktu lalu kejadian tragis di Pontianak, sampai-sampai warga perbatasan mengancam hendak angkat tiang untuk bendera Malaysia. Tidak lain karena melihat rumput tetangga lebih menarik tinimbang lumpur di negeri sendiri.

    Selama ini kita selalu bangga jika melihat luasnya wilayah Indonesia yang memiliki sekitar 17.500 pulau. Karena memang secara deliniasi seolah tidak ada keganjilan. Akan tetapi ketika ditilik secara real, Demarkasi di banyak pulau begitu parah. Miris sekali melihat batas patok negara tak ubahnya ‘makam leluhur’. Dan dengan mudah bisa digeser atau malah bisa saja dibawa pulang oleh para pesinggah alas. Bukan sekedar itu, kesenjangan kesejahteraan antara warga perbatasan dan negara tetangga masih terbilang njomplang.

Kejadian nyata di Desa Mungguk Gelombang, Kecamatan Ketungau Tengah, Kabupaten Sintang beberapa kilometer dari Pontianak. Mereka harus berbagi dan berjuang ekstra untuk mencari pasokan kebutuhan pokok dari kabupaten. Belum lagi jalan yang berupa kubangan lumpur dan tanpa penerangan membuat anak-anak sekolah kesulitan untuk mengakses pendidikan di kabupaten. Dan di malam hari mereka hanya menggunakan genset sekedarnya. Dan bila bensin genset habis, maka kondisi akan bertambah romantis dengan lilin-lilin kecil.

Terbengkalainya daerah perbatasan setidaknya menjadi cermin pembangunan yang hanya tersentral di wilayah-wilayah tertentu saja. Dan sejak berlakunya otonomi daerah, seolah menjadi dalih pemerintah pusat untuk melepas tanggung jawab kesejahteraan pada wilayah perbatasan. Padahal sejatinya setiap daerah yang selama ini tidak pernah tersorot pemerintah merupakan aset-aset yang tertidur. Sehingga bukan sekedar pembenahan patok negara, akan tetapi pasokan kebutuhan juga disuplai ke sana.


Membangun dengan Membangunkan Pulau Indonesia

Bumi pertiwi merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah laut 7.900.000 km, empat kali lebih luas daripada daratannya. Namun anehnya sampai saat ini pembangunan masih berkarakter darat. Sehingga tidak sedikit yang menganggap laut-laut di Indonesia hanyalah pemisah antar pulau. Padahal hakikatnya selat dan laut berperan sebagai penghubung antar pulau. Selanjutnya terkait wawasan kelautan seolah dipendam begitu saja. Bukankah sejarah kerajaan nusantara pada masa lalu adalah sejarah mengenai perdagangan laut dan armada laut. Kini Indonesia sudah tercerabut dari akar sejarahnya. Sehingga wajar saja jika perhatian untuk melakukan pemberdayaan pulau dan perairan masih asal-asalan.

Semisal pelabuhan di Indonesia yang terbengkalai dan tidak memenuhi standar internasional. Padahal banyak pantai di Indonesia yang memiiki pelabuhan dengan penghasilan ikan dalam partai besar. Akan tetapi karena pelabuhannya belum memnuhi standar internasional, mereka belum diperbolehkan melakukan ekspor langsung ke luar negeri. Sehingga tidak jarang para eksportir ikan dibuat jengkel lantaran biaya ekspor harus ditambah dana transit di pelabuhan Singapura. Dan dalam setahun saja, banyak ekspor laut Indonesia menghabiskan uang triliun rupiah hanya untuk membayar upah transit di pelabuhan negara lain.

Berbincang mengenai negara kepulauan, maka tidak pernah lepas dari persoalan pulau itu sendiri. Seperti dikatakan sebelumnya, sejatinya pulau-pulau di Indonesia ialah aset yang tertidur. Dari sekitar 17.500 pulau, tidak sampai 2000 pulau yang telah memiliki nama. Dan yang berpenghuni hanya beberapa ratus saja. Jika hendak memandang jauh ke depan, maka peluang besar ada pada pulau-pulau yang tidak tergarap itu. Sehingga penting dengan adanya pemetaan potensi pulau-pulau di Indonesia. Ada beberapa pulau yang memiliki potensi wisata, potensi perikanan bahkan sampai potensi energi.

*Penulis harus menulis

Oleh: Teguh Estro* Indonesia memiliki 92 pulau yang berbatasan dengan negara-negara jiran. Sehingga tidak heran bila sengketa perbatasan...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Tewaskan Khadafi, AMerika Tambah Musuh

Oleh: Teguh Estro*


Kolonel Khadafi tewas mengenaskan. Setelah 42 tahun berkuasa, akhirnya penguasa tiran ini ‘keok’ juga di kota kelahiranya. Bukan persoalan ia telah mati atau masih hidup. Tuhan Maha Kuasa, bisa saja Khadafi dihidupkan lagi atas kehendakNya. Akan tetapi kematian ‘Raja Afrika’ itu harus dibayar terlalu mahal oleh sekutu. Ibarat perjudian, Amerika masih harus berspekulasi pasca pemerintahan transisi ini. Siapa yang benar-benar bisa dijadikan boneka ‘pinokio’ disana. Belum lagi konsekuensi dari penyerangan itu yang membuat banyak pihak mengecam.

Pasca diputuskannya operasi penangkapan Khadafi oleh Dewan Keamanan PBB, tanpa berlama-lama NATO segera beraksi. Walaupun kenyataannya tidak semua anggota organisasi militer sekutu ini sepakat menyerang. Dari 28 negara anggota NATO hanya 7 negara saja yang ambil bagian. Setidaknya telah sedari lama, konflik internal NATO kian tampak pasca ribut-ribut kepemilikan senjata nuklir beberapa tahun lalu. Akan tetapi keputusan ngotot Menhan Perancis Gerard Longuet untuk memimpin operasi membuat negara lain tak bisa berkata banyak. kendati ada beberapa negara besar yang menolak adanya campur tangan NATO pada urusan dalam negeri Libya. Tercatat semisal Rusia, Jerman, Iran dan China sampai detik ini tetap mengutuk serangan NATO tersebut.

Jauh sebelum penyerangan terhadap Moammar Khadafi, Amerika telah lama melalui keputusan-keputusan dilematis. Ketakutan-ketakutan pemerintah gedung putih bisa terlihat dengan mudah. Masih ingat, bagaimana Amerika begitu bersuara keras terhadap negara yang pemilik senjata pemusnah massal. Lalu United States kembali terpojok dengan guncangan ekonomi hingga ia harus bersitegang dengan negara China. Dan kini gelombang penolakan dari pihak-pihak anti wall street turut membuat gugup Obama. Sejumlah demonstran di beberapa belahan dunia menolak dominasi perbankan karena telah menjadi kepanjangan tangan para kapitalis. Akan tetapi Amerika tetaplah Amerika. Negara yang dipimpin oleh anak menteng itu selalu memiliki senjata terakhir jika terdesak. Apalagi jika bukan atas nama demokrasi, kebebasan HAM dan ancaman militernya.

Sejenak kita kembali kepada Libya yang kini menghadapi transisi kepemimpinan. Meskipun NATO didesak untuk segera keluar dari negerinya Omar Mochtar itu, tetap saja mereka kekeuh menetap sampai kondisi benar-benar ‘aman’. Tentu saja maksudnya aman untuk menanamkan pengaruh mereka pada pemimpin anyar di sana. Hal ini karena negeri paman sam itu tidak akan pernah lupa pada tujuan utamanya, yakni minyak.

Libya negeri yang kaya akan minyak. Bahkan kualitas minyak di sana merupakan kualitas unggul. Sehingga tidak heran hanya bermodalkan ‘emas hitam’ tersebut, Libya mampu memiliki pendapatan perkapita hingga 12.000 US. Dollar. Bandingkan dengan Indonesia yang cuma memiliki pendapatan perkapita seperempatnya saja. Sehingga jelas sumber daya energi Libya tersebut begitu menggiurkan bagi Obama yang sangat butuh cadangan bahan bakar.

Kerakusan Amerika inilah yang bisa menyebabkan banyak spekulasi. Jika United States bertindak gegabah, maka mereka akan menjadi musuh bersama rakyat Libya dalam waktu yang tidak lama. Sehingga dengan adanya demokratisasi paska transisi ini, akan menjadi upaya yang panjang dan melelahkan bagi Amerika untuk menjalankan misi oil powering.


*Penulis sedang menulis

Oleh: Teguh Estro* Kolonel Khadafi tewas mengenaskan. Setelah 42 tahun berkuasa, akhirnya penguasa tiran ini ‘keok’ juga di kota kelahir...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Dalih - Dalih Media

oleh : Teguh Estro


“…Dengan berdalih pada tugas media sebagai penyampai fakta, mereka telah berani melampaui batas etika (mengadu domba umat beragama)…”
Semisal ketika tragedi Monas berbuntut pada ‘cekcok’ antar dua ormas Islam. (FPI dan AKKBB). Pemberitaan yang berlebihan, bahkan videonya pun sengaja diputar berulang-ulang. Hal tersebutlah yang mengawali proses pembentukan persepsi. Tujuannya agar adegan cekcok tersebut di desain seolah meng-amin-i isu perpecahan Islam. Sebut saja tragedi Bom Bali yang menjadi momen tepat bagi media untuk menyudutkan umat Islam. Hingga wajar saja jika umat Islam di Indonesia begitu alergi terhadap syariat Islam. Karena selalu terpampang di layar televisi akan buruknya citra kaum muslimin. Namun mereka (pihak media) tentu memiliki logika-logika –yang sebenarnya tidak masuk logika- untuk menjadi alasan. Salah satunya alasannya untuk menyiarkan fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan.
“… Dengan berdalih pada kebebasan berekspresi mereka telah mengumbar aurat di depan mata jutaan kaum Muslim…”
Sudah tak terhitung jumlah kaum hawa yang numpang pamer aurat di televisi, majalah dan surat kabar. Bahkan parahnya tidak sedikit para remaja puteri yang ‘gandrung’ dalam kompetisi pamer-pameran aurat tersebut. perhatikan saja program acara seperti ‘miss Indonesia’, ‘tiara sunsilk’, ‘wanita rejoice, atau yang sejenisnya. Lebih dari sekedar eksplotasi, media (lagi-lagi) mencoba untuk mempengaruhi persepsi para pemuda yang sedang ‘linglung’ mencari jatidiri. Pun ketika chanel televisi menampilkan sinetron yang hedonis. Generasi muda Islam pasrah disodorkan model pemuda ala barat berikut kulturnya yang cenderung bebas. Ciri konkretnya adalah tatkala aurat bisa dibeli seharga ‘pisang goreng’ oleh media.
“…Dengan berdalih pada indahnya seni, mereka sengaja mendendangkan genderang jahiliyah di banyak telinga generasi muda….”
Sudah berapa banyak para pemuda lugu yang teracuni oleh indahnya soundtrack, video klip atau tayangan musik lainnya. Seolah remaja yang normal adalah remaja yang bertatto, punya pacar banyak, pakar bercinta, rajin ikut konser di barisan depan dan selalu up-date tentang hits teranyar. Hal tersebut perlahan tapi pasti membuat para generasi muda melupakan kewajibannya terhadap agama dan bangsa. Mereka lebih senang menghafal song lyric daripada sekedar juz ‘amma. Mereka lebih tahu tentang kisah perjalanan puluhan kelompok band daripada sirah nabawiyyah ataupun sejarah bangsa Indonesia. Mereka lebih sensitif ketika aliran musik idolanya diejek meski pada saat yang bersamaan ada kabar penghinaan kartun Nabi Saw.
“…Dengan berdalih pada hiburan mereka telah mensosialisasikan budaya ghibah (gossip)….”
Hal inilah yang nantinya kita sebut dengan rekayasa figure perception. Hampir di setiap pagi dan petang -jam tayang khusus ibu-ibu dan remaja puteri- tersuguhkan berbagai program entertaint. Gosip,…! tentu acara ini bukanlah mahluk asing bagi ibu-ibu dan remaja puteri. Hal ini sengaja dimanfaatkan untuk memberikan referensi gaya hidup bagi para remaja puteri. Yaitu gaya hidup para selebritis. Media telah merekayasa isu-siu yang terjadi pada para artis. Baik isu keretakan rumah tangga, punya pacar baru, mau menikah, perceraian dan lainnya. Hal tersebut supaya para penonton merekam dalam memorinya dan menganggap wajar tingkah laku para artis jika ditiru.
Awalnya Hanya Berdagang
Sejarah tanah Banten tak akan terlupa saat pertama kali VOC datang ke kampung mereka dengan maksud berdagang. ‘Ternyata bukan hanya udang yang ada di balik batu’. Eksploitasi besar-besaran baik tenaga maupun sumber daya alam pun dilakukan. Modus serupa dialami oleh serangan pengaruh media barat di Indonesia. Tujuan untamanya hanyalah berdagang (informasi). Namun tetap saja bukan hanya udang yang ada di balik batu. Tapi perang pemikiran umat Islam di Indonesia menjadi incaran utama. Bukanlah suatu hal yang salah jika slogan ‘Bang Napi’ kita gunakan. Waspadalah, waspadalah, waspadalah….!.

oleh : Teguh Estro “…Dengan berdalih pada tugas media sebagai penyampai fakta, mereka telah berani melampaui batas etika (mengadu domba u...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Mahasiswa [K]Udu Bangsa Kera


Oleh: Teguh Estro*

“...Mereka bangga kalau kelompok geng nya adu jotos, menganiaya sampai ‘membakar’ atribut kelompok lain. Na’udzubillahi min dzalik…!”

Manusia berasal dari bangsa kera ! Kesimpulan yang kejam itu tertuang dalam pemikiran kaum Darwinisme ribuan tahun lalu. Mereka berpendapat antara kera dan manusia sama-sama berasal dari jenis phrymata. Manusia merupakan bagian dari proses Evolusi bangsa phrymatha. Hal tersebut ditandai dengan perubahan volume otak, bentuk rahang, tinggi kerangka, hingga perubahan pola hidup. Tentu saja hal tersebut menyulut amarah banyak umat manusia. Siapa sih yang mau disamakan dengan mahluk berekor panjang nan berbulu lebat tersebut. Lihat saja betapa ‘cakep’nya Karim Benzema (bintang Real Madrid FC) tentu saja tidak akan mau disamakan dengan seekor kera.

Salah satu dari sekian banyak kelebihan manusia dibandingkan kera adalah kemampuan Nalar kritis manusia. Masih ingatkah bagaimana ‘cerewet’nya Ibrahim a.s ketika masih kecil. ia bertanya kenapa harus menyembah patung yang dibuat oleh bapaknya sendiri. Ia bertanya-tanya dimana Tuhannya. Dan sampai saat ini belum ada kera semodern apapun yang pernah mempertanyakan siapa Tuhannya. Atau setidaknya mempertanyakan kenapa kera selalu makan pisang. Kalaupun ada mungkin itu hanya ada di Film ataupun Sinetron.

Kaum Filosof sering mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir. Mungkin secara sederhana bisa saja seperti itu. Maksudnya secara fisik manusia dan hewan memiliki beberapa kesamaan. Karena manusia juga memiliki dimensi ke-binatang-an. Yakni hasrat untuk bertahan hidup, mencari makan, sakit, reproduksi dll. Dan sekali lagi hal mendasar yang membedakan antara manusia dan hewan adalah Nalar kritis mereka, kemampuan berpikir brilian. Jadi kemungkinan yang disebut oleh mas Darwin sebagai keturunan kera itu adalah mereka yang kehilangan nalar kritisnya. Karena terkadang manusia justru terjebak dalam rutinitas yang juga merupakan rutinitas yang dilakukan kera. Semisal hidup hanya diisi dengan makan, tidur, berkembang biak dan berkelahi cakar-cakaran. Kera tidak akan pernah mendapat gelar pemikir apalagi cinta akan ilmu pengetahuan.

Mahasiswa, nah sekarang kita membicarakan mahasiswa. Dalam tradisi mahasiswa ada yang disebut dengan mimbar diskusi. Dimana mahasiswa dipersilahkan untuk mengemukakan aspirasinya. Biasanya di dalam kelas mahasiswa diberikan kesempatan untuk berdiskusi ilmiah sebebas-bebasnya. Walaupun masih ada juga beberapa dosen yang masih memaksakan pendapat mereka, menjejali mahasiswa dengan hafalan-hafalan dan teori-teori yang tidak implementatif. Sehingga wajar jika beberapa mahasiswa ada yang ‘gelisah’ (baca: tidak puas) dengan apa yang mereka dapat di kelas. Itulah mahasiswa, ia tidak pernah puas dengan ilmu pengetahuan, selalu ingin tahu dan resah jika ada sesuatu yang mengganjal dari ilmu yang ia pelajari. Inilah yang membedakan Mahasiswa dan kera. Beda banget…!

Adakah mahasiswa yang sekaligus ‘kera jadi-jadian’ ? maksudnya, adakah Mahasiswa tetapi tetap saja melakukan rutinitas yang persis seperti kera. Semisal hidup hanya diisi dengan makan-makan. Mereka hanya asyik hunting jenis makanan dari satu warung ke warung yang lainnya. Atau ada juga mahasiswa yang hobi tawuran keroyokan persis sekali seperti kera kalau berkelahi cakar-cakaran. Mereka bangga kalau kelompok geng nya adu jotos, menganiaya sampai ‘membakar’ atribut kelompok lain. Na’udzubillahi min dzalik…!

Siapapun diantara kita tidak ada satupun yang mau disamakan dengan kera. Siapapun pembaca yang budiman pasti sangat bangga disebut sebagai insan pecinta ilmu pengetahuan. Terutama di dunia kampus yang menjadi gudangnya teori-teori keilmuan. Maka carilah, ikatlah dan ajarkanlah ilmu yang ada. Maka berkoarlah sekencang mungkin di dalam kelas, maka jadilah aktivis handal di Organisasi. Maka berdiskusialah tentang apa saja, maka tanyakanlah tentang kenapa. Maka pintalah kepada Rabb agar bisa menjadi mahasiswa ‘tulen’ yang gila akan ilmu pengetahuan bukan menjadi kera jadi-jadian.

Oleh: Teguh Estro* “...Mereka bangga kalau kelompok geng nya adu jotos, menganiaya sampai ‘membakar’ atribut kelompok lain. Na’udzubil...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

PILKADA dan Pendidikan Politik


Oleh: Teguh Estro
            Salah satu ciri simbolik dari negara demokrasi adalah adanya Pemilihan Umum (PEMILU) dalam penentuan kepala pemerintahan. Begitupun Indonesia yang memang rutin mengagendakan PEMILU sejak tahun 1955 untuk memilih Presiden, baik secara langsung maupun tidak langsung. Walaupun pesta demokrasi ini masih harus banyak berbenah, setidaknya Indonesia telah belajar dalam banyak kesalahan.
Sejak tahun 2004, negara dengan jumlah etnis terbanyak ini mulai mengenal istilah Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Beberapa bulan ke depan PILKADA inilah yang akan menghiasi layar-layar publik. Hajatan demokrasi ini juga kian menggeliat di berbagai kabupaten  provinsi D.I Yogyakarta. Calon-calon pemimpin ada yang terang-terangan tampil, ada juga yang ‘malu-malu kucing’ memproklamirkan dirinya. Baik itu melalui baliho-baliho di jalan umum, via media cetak ataupun kampanye di televisi. Mudah-mudahan visi kinerja mereka secantik dan seganteng parasnya saat di iklan.
Pelajaran terpenting dari berbagai PILKADA di tanah air adalah maraknya berbagai anarkisme, kecurangan suara dan money politic. Sebagai kota pelajar, selayaknya bumi mataram ini ‘berpesta’ dengan cara terpelajar juga. Jangan sampai PILKADA justru lebih mengerikan daripada pertandingan sepakbola derby jogja yang penuh kekerasan. Seharusnya ajang demokrasi ini menjadi pertarungan program kerja yang betul-betul fair. Sehingga singgungan antara simpatisan yang berujung premanisme tidak terjadi lagi. Pun demikian dengan maraknya kecurangan suara. Calo-calo suara seolah menjadi profesi musiman saat agenda pesta rakyat berlangsung. Sungguh budaya tersebut tidak layak terjadi di kota budaya, Yogyakarta.
Lima kabupaten di DIY tengah siap siaga menyambut pesta demokrasi. Terutama daerah Mbantul dan Kota Yogyakarta yang tampak poster-poster calon kuatnya. Sebenarnya perkara menang atau kalah tidaklah begitu penting, hal yang perlu diperhatikan adalah proses demokrasinya. Dengan berjalannya proses PILKADA secara demokratis tentu saja bisa menjadikan masyarakat perlahan melek politik. Siapa calonnya, apa visi besarnya dan bagaimana track recordnya adalah perkara wajib untuk dikonsumsi warga Yogyakarta. Sehingga jargon-jargon ‘aneh’ tak lagi muncul, seperti “…seng penting duite endi…” atau“….nek arep dipiih, aku entuk piro….” Dll.
Komunikasi politik harus sejak dini dilakukan calon-calon pemimpin daerah. Pasalnya selama ini komunikasi politik seolah hanya milik kalangat elit saja. Sedangkan masyarakat bawah sekedar melakukan komunikasi politik pasif, itupun saat PEMILU tiba. Lancarnya pendidikan politik hanya terjadi jika pemimpin dan elit politik mau ‘turun’ langsung dan membaur bersama masyarakat bawah. Tentu saja, bukan hanya saat mendekati PILKADA saja. Tetapi setiap rakyat memiliki masalah, sebenarnya di sanalah peluang para elit politik untuk melakukan pendidikan politik. Bukan sekedar manis di iklan saja, tapi ujung-ujungnya korupsi juga.
Kontinuitas peran partai politik membersamai rakyat akan berdampak pada meningkatnya kesadaran politik. Sehingga pemilih benar-benar melakukan pemilihan, bukan sekedar dipaksa untuk memilih. Setidaknya  rakyat tahu siapa yang dipilih, ibarat anak yang tahu persis siapa bapaknya. Bukankah setelah terpilih nanti, para calon akan bertugas menjadi pelayan bagi masyarakat. Bagaimana mungkin terjadi pelayanan jika pemimpin tidak berbaur dengan rakyat, atau sebaliknya rakyat yang cuek terhadap pemimpinnya. Padahal nantinya pemimpin daerah sangatlah membutuhkan pasrtisipasi masyarakat dalam menyukseskan program-programnya. Jika selama ini paradigma rakyat yang selalu butuh uluran pemerintah, maka hal tersebut harus dibalik. Hubungan antara rakyat dan pemerintah adalah partner dalam membangun daerah. Konsep kesetaraan dalam relasi publik inilah yang mempercepat proses pemahaman masyarakat. Dan tentu saja kian mendidik rakyat dalam rangka pembangunan daerah.
Pendidikan politik bukan saja harus diajarkan kepada rakyat. Akan tetapi para aktivis partai politik pun kudu belajar bersama rakyat. Belajar dewasa menerima kekalahan, belajar tertib administrasi, belajar kampanye damai dan belajar memenangkan PILKADA dengan jujur. Haruskah kecurangan yang sama terjadi lagi dan lagi? Akankah ‘cakar-mencakar’ antar partai politik terus dibudayakan? Sebenarnya rakyat pun sudah bosan menonton tingkah elit politik di panggung demokrasi yang acak-acakan. Contoh ringan saja keributan saat konvoi kampanye, pembakarann bendera, penyobekan baliho bahkan tawur antar simpatisan. Kebebasan dalam demokrasi bukan berarti bebas menindas kontestan lainnya.
Yogyakarta bukanlah kota yang baru mengenal demokrasi. Bahkan pakar-pakar demokrasi banyak lahir di sini. Sehingga pemimpin yang akan maju ke pentas demokrasi pun seharusnya para intelektual-intelektual bermoral jebolan kota pelajar. Dan harapannya rakyat tidak begitu sulit menentukan pilihan untuk mencari pemimpin daerah berkualitas. Apapun partainya dan siapapun calonnya tentu harus mengutamakan karepe rakyat. Pasalnya rakyat selalu menjadi korban ulah ‘nakal’ para penguasa. Sudah saatnya wong cilik di Yogyakarta ini  merasakan kesejahteraan dari kepala daerah yang adil.
Partisipasi masyarakat tentu menjadi faktor yang paling penting. Saat ini pilihan untuk masyarakat bukan lagi memilih atau tidak. Akan tetapi benar-benar serius memilih antar Calon Pemimpin satu atau yang lainnya. Jika selama ini masyarakat banyak mengeluh dengan kinerja pejabat atas, ya salahnya sendiri. Kenapa pada saat ajang PILKADA tidak serius memilih pemimpinyang paling bagus. Semisal dengan melakukan kontrak politik ataupun sharing program. Bahkan masih ada saja person-person yang justru mengkampanyekan anti PILKADA. Entah karena kekecewaan yang berlebihan terhadap pemimpin yang lalu. Ataupun karena memang niatnya yang busuk untuk menolak demokrasi hingga ke daerah-daerah. Warga Yogyakarta sangat membutuhkan pemerintah yang demokratis. Salah satunya adalah dengan menggalakkan tingkat pastisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah.

Oleh: Teguh Estro             Salah satu ciri simbolik dari negara demokrasi adalah adanya Pemilihan Umum (PEMILU) dalam penent...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Kilas Balik Eksistensi Kaum Hedonis


oleh: Teguh Estro

Tentu kita masih ingat kiprah Qarun berikut kekayaannya nan melimpah. Harta yang dimilikinya justru menjadi bomerang bagi datangnya kepongahan. Sungguh tidaklah berlebihan jika ia menjadi ikon bersejarah kaum hedonis. Sosok yang hidup pada masa nabi Musa a.s ini berhasil memperkenalkan eksistensi kaum hedonis di masanya.
Hal serupa dilakukan kaum Munafiqin yang ikut perang uhud dalam barisan kaum muslimin. Sebagian pasukan pemanah terpesona dengan kilauan ghanimah (harta rampasan perang) sehingga meninggalkan pos-pos mereka di atas bukit. Terlepas dari menang atau tidaknya perang uhud, yang pasti perjuangan telah ternodai oleh ruh-ruh hedonisme.

Pada era pertengahan gelombang hedonisme justru datang dari negeri barat. Mulai dari gaya hidup, adat-istiadat, hingga pola pikir tidak terlepas dari sudut pandang keduniaan. Tatanan perilaku barat tersebut cepat atau lambat sampai juga ke dunia timur dan negeri kaum muslimin khususnya. Dan Orang –gila- pertama yang menyebarkan virus hedonis ini adalah para penjajah. Pasca perang dunia, umat Islam benar-benar habis diobok-obok oleh imperium barat. Mulai dari penjajahan fisik, pengerukan alam hingga pemaksaan budaya hedonis di daerah jajahan. Sebut saja di Indonesia

kebanggaan berlebihan terhadap ‘kompeni’ sebenarnya sudah ada seja masa penjajahan. Bukan hanya meniru gaya hedonisnya, akan tetapi sampai rela menjadi penghianat bangsa dan berpihak pada penjajah. Mereka itulah yang rela menjadi mata-mata penjajah hanya karena imbalan satu atau dua keping harta. Sungguh Hedonis….!

Pada masa post-modern ini kaum hedonis mengalami masa keemasannya. Dimana justru bibit pecinta dunia berkembang hebat di kalangan umat Islam sendiri. Anehnya lagi antar satu muslim dengan lainnya kian asyik menumpuk harta. Hingga kemuncaknya adalah keberadaan pengaruh hedonis ini telah diangap wajar dan diterima dengan baik tak ubahnya seorang raja di raja yang sakti mandraguna pengaruhnya.

oleh: Teguh Estro Tentu kita masih ingat kiprah Qarun berikut kekayaannya nan melimpah. Harta yang dimilikinya justru menjadi bomerang...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Revolusi Mesir, Revolusi Rakyat.


Oleh: Teguh Estro*

Husni Mubarok harus turun sekarang juga. Itulah jeritan jutaan rakyat Mesir agar sang diktator hengkang dari tampuk kepemimpinan. Lebih dari 30 tahun berkuasa, mantan jenderal angkatan udara itu hanya menjadi tirani. Korupsi kian merajalela diiringi kemiskinan yang menjadi pesakitan rakyat di bumi para nabi itu. Bahkan kekayaan Husni Mubarok telah mencapai lebih dari 300 T rupiah. Belum lagi kekayaan anaknya Gamal mubarok yang mencapai lebih dari 100 T rupiah. Sebuah angka yang sangat menyakitkan hati jika dibandingkan dengan angka 40% rakyat yang berstatus miskin.

Lapangan Tahrir di Kairo menjadi saksi kebrutalan militer terhadap pejuang revolusi. Begitupun yang terjadi di Nasher City, Alexandria, Suez dan kota-kota besar lainnya. Jutaan masa sejak 25 Januari lalu telah berbulat tekad untuk memakzulkan Husni Mubarok. Masa demonstran yang berasal dari berbagai kalangan berkumpul-riuh mengekspresikan puncak kekesalannya. Berawal dari diblokirnya situs jejaring sosial ‘Facebook’ dan ’Twitter’ oleh pemerintah. Kemarahan warga mulai tersulut. Puncaknya hingga jaringan telekomunikasi dan layanan perbankan juga terputus.

Krisis di Mesir saat ini sebenarnya hanyalah kemuncak dari kekecewaan berbagai kalangan. Ada dua hal penyebab utama terjadinya pergolakan revolusi Mesir saat ini. Sebab pertama adalah alasan permukaan, yakni kemiskinan yang mencapai level terparah namun jajaran penguasa justru asyik bertindak korup. Bagaikan rumput kering yang terkena percikan api, rakyat Mesir mudah sekali terbakar nalurinya untuk memberontak. Karena urusan perut tidak bisa menunggu lama. Hal serupa juga menjadi penyebab utama pergolakan revolusi yang terjadi di Tunisia, Yaman dan Oman.

Penyebab kedua dari pergolakan revolusi Mesir adalah pemerintahan yang tidak demokratis. Berapa banyak para tokoh yang bersuara lantang lalu dipenjara hanya karena mengkritik pemerintah. Bahkan melalui kekuasaannya Husni Mubarok memberangus lawan-lawan politiknya di parlemen dengan menjadi kekuatan politik terbesar. Seolah mewarisi pendahulunya, Presiden yang berkiblat ke barat ini juga melakukan determinasi pada ormas-ormas Islam di sana. Sebut saja kekuatan oposisi besar Ikhwanul Muslimin yang terus mengalami luka di sepanjang sejarah oleh penguasa. Sejak masa ketokohan Hasan al-banna dan Sayyid Quthb, anggota-anggota Ikhwanul Muslimin layaknya hewan buruan yang harus dibunuh dan dipenjara. Begitupun dengan tokoh lainnya bahkan yang bersebrangan ideologi sekalipun. Seperti tokoh-tokoh dari partai sosialis yang sulit berbicara lantang mengkritik penguasa. Sehingga revolusi mesir di awal tahun 2011 ini seolah mendai momentum bagi oposisi pemerintahan untuk bersikap nyata. Apapun ideologinya, mereka bersama turun ke jalan meneriakkan “Mubarok Turun”. Sampai saat ini Husni Mubarok yang telah bertolak ke luar negeri tak kunjung berniat lengser dari kekuasaannya. Bahkan ia baru akan mengundurkan diri pasca PEMILU bulan September 2011. Kian sulit saja perjuangan Revolusi rakyat Mesir. Apalagi Militer Angkatan Udara sangatlah setia pada sang Tiran Mubarok.

Pergolakan konstelasi politik di timur tengah ini kian memicu kekhawatiran dunia. pasalnya selama ini Mesir di bawah kepemimpinan Husni Mubarok begitu dekat dengan negara-negara barat. Bahkan biaya militer di negeri seribu menara itu adalah bantuan dari Washington D.C. Hal ini tentu karena adanya kepentingan negara adidaya tersebut dalam perpolitikan Mesir. Apalah jadinya muka Israel, Amerika dan sekutu-sekutunya jika semenanjung sungai Nil dikuasai oleh oposisi pemerintah. Akankah pasca mubarok akan muncul pemimpin yang berkiblat kepada Amerika ataukah justru menentang kebijakan militer gedung putih.

Israel sebagai salah satu sekutu Mesir betul-betul menjadi negara yang sangat tertekan. Menteri luar negeri Israel mencoba meyakinkan negara-negara Uni Eropa bahwa Mubarok harus tetap berkuasa. Pasalnya selama ini Husni Mubaroklah yang menjadi pendukung kedaulatan Israel saat berkonflik dengan Palestina. Sehingga boleh jadi Israel adalah negara yang paling berkepentingan terhadap misteri masa depan kepemimpinan Mesir. Ada beberapa nama yang muncul selain Gamal Mubarok ‘The Son’ yang telah disiapkan oleh Husni Mubarok. Sebut saja Omar Sulaiman yang selama ini menjadi tangan kanannya ataukah el-Baradai yang menjadi pemimpin gerakan oposisi saat ini. Semua teka-teki ini akan terjawab seiring perjuangan para demonstran yang telah mengeluarkan ultimatum agar Mubarok turun sampai 4 Februari 2011.

Oleh: Teguh Estro* Husni Mubarok harus turun sekarang juga. Itulah jeritan jutaan rakyat Mesir agar sang diktator hengkang dari tampuk...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Reformasi Gerakan Reformasi

Menyoal Konflik Horizontal Antar Gerakan
Oleh: Teguh Estro

Nabiyullah Musa a.s salah satu sosok reformis yang menjadi aktor sentral penggulingan fir’aun. Namun setelah Fir’aun tenggelam problem justru muncul di tengah kaum (itu) sendiri, adalah konflik horizontal di kalangan Bani Israil. Reformasi yang diharapkan terjadi pada bani Israil sungguh jauh panggang daripada api. Ilustrasi ini seolah menjadi de javu bagi bangsa Indonesia.

Reformasi (taghyir) sebagai salah satu ajaran Islam yang belum terpahami secara kontekstual dalam upaya perbaikan umat. Sebelas tahun lalu bangsa Indonesia mencoba reformasi total pemerintah otoriter Soeharto. Namun hingga sang jenderal cendana itu ‘berpulang’, perjuangan reformasi tak kunjung menorehkan hasil. Tuntutan reformasi yang diperjuangkan oleh rakyat ’98 kini sekedar menjadi catatan sejarah. Persoalan supremasi hukum, pemberantasan KKN hingga reformasi di bidang ekonomi dan politik. Semua tuntutan itu kian terlupakan seiring surutnya ghiroh gerakan reformasi dalam satu dekade belakangan ini.

Fenomena aksi pemakzulan Soeharto itu telah menjadi fase sejarah yang begitu penting dan strategis. Namun sayang proses bergulirnya sejarah ‘98 itu tidak diiringi oleh cantiknya desain dalam mengisi kekosongan pasca gerakan reformasi. Parahnya justru berbagai elemen yang tergabung dalam barisan perjuangan sebelas tahun lalu terjebak dalam konflik horizontal. Keretakan ini bukan hanya membuat koruptor bertepuk tangan, namun lebih memberikan efek pada kelesuan gerakan reformasi. Di tengah vacuum moving gerakan –terutama- mahasiswa, beban berat bertambah seiring merebaknya kultur barat dan hedonisme pada kalangan pemuda.

Kompleksitas problem ini menuntut mahasiswa untuk benar-benar teguh, pintar dan kreatif dalam menjaga idealisme gerakannya. Salah satu masalah terbesar bagi gerakan mahasiswa adalah ketika mereka kehilangan sensitivitas atas penyakit-penyakit bangsa. Dimanakah kepekaan mahasiswa ketika ada korupsi triliunan rupiah, namun di tempat lain warga sidoharjo terus menagih uang ganti rugi atas rumah mereka yang terendam lumpur. Anehnya justru gerakan mahasiswa masih terjebak dalam ‘pertarungan’ antar ideologi.

Salah satu jalan untuk mengembalikan darah juang reformasi adalah dengan mereform gerakan reformasi. Mahasiswa harus menjadi transformator spirit gerakan. Mengubah pola gerakan yang bukan hanya aksi jalanan secara kuantitas, namun lebih pada proses pemanjaan nalar sensitif mahasiswa. Mengubah alur reformasi dengan bermula dari arah transenden menuju perbaikan bangsa. Mengubah kultur hedonisme menuju massifitas ruang-ruang dialetika. Mengubah tindakan anarkis menjadi gerakan moderat dan elegan. Inilah mahasiswa yang akan berjuang melakukan reformasi mulai dari dirinya sendiri

Menyoal Konflik Horizontal Antar Gerakan Oleh: Teguh Estro Nabiyullah Musa a.s salah satu sosok reformis yang menjadi aktor sentral peng...
Teguh Estro