Menu
Teguh Indonesia

Tradisi Peturan di Desa Tempirai: Catatan Pinggir tentang Kekuatan Tutur dalam Menghadapi Permasalahan Sosial


Desa Tempirai, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Penukal Utara Kabupaten PALI. 

Menyimpan kekayaan budaya yang unik dan sarat makna. Salah satu tradisi yang masih bertahan hingga kini adalah Peturan, sebuah sistem tutur yang mengatur panggilan khas bagi setiap anggota keluarga. Tradisi ini bukan sekadar cara berkomunikasi, melainkan juga menjadi fondasi sosial yang menjaga harmoni dan kekeluargaan dalam masyarakat. 

Dalam konteks globalisasi yang kian menggerus nilai-nilai lokal, Peturan menjadi benteng budaya yang melindungi generasi muda dari dampak negatif perubahan sosial.

Peturan: Lebih dari Sekadar Panggilan

Peturan adalah sistem tutur yang menetapkan panggilan khusus bagi setiap anggota keluarga, mulai dari kakek (Puguk), nenek (Kajut), paman (Mamak), hingga kakak ayah (Mak Barap). Bahkan, keluarga besan dan ipar pun memiliki panggilan khusus. Hal ini menciptakan hierarki sosial yang jelas namun tidak kaku, karena setiap panggilan mengandung makna penghormatan dan kedekatan emosional.
Misalnya, panggilan Misat untuk paman bungsu tidak hanya menunjukkan urutan kelahiran, tetapi juga mencerminkan peran dan tanggung jawabnya dalam keluarga.

Tradisi ini tidak hanya berlaku dalam lingkup keluarga inti, tetapi juga meluas ke masyarakat luas. Setiap warga desa Tempirai, meskipun tidak memiliki hubungan darah, tetap menggunakan panggilan-panggilan ini sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan terhadap ikatan sosial yang telah terjalin. Dengan demikian, Peturan menjadi alat untuk mempertahankan suasana kekeluargaan yang dominan dalam setiap kegiatan masyarakat.

Peturan sebagai Resolusi Konflik
Salah satu aspek menarik dari Peturan adalah kemampuannya menjadi alat resolusi konflik. Dalam teori sosial, konflik sering kali muncul akibat ketidakseimbangan kekuasaan atau kesalahpahaman dalam komunikasi. Namun, di Desa Tempirai, Peturan berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial yang mencegah konflik sebelum terjadi. Istilah Pandangan menjadi kunci di sini. Setiap anggota keluarga memiliki "pandangan" terhadap anggota lainnya, yang berarti mereka harus menjaga sikap dan perilaku agar tidak merusak hubungan kekeluargaan.


Misalnya, ketika terjadi ketegangan antara dua keluarga, panggilan-panggilan dalam Peturan mengingatkan mereka akan ikatan sosial yang telah terjalin. Seorang Mamak (paman) tidak akan mudah marah kepada keponakannya karena ia "memandang" keponakannya sebagai bagian dari keluarganya. Dengan demikian, Peturan tidak hanya memudahkan silaturahmi, tetapi juga menjadi alat untuk meredam konflik dan memulihkan harmoni sosial.

Globalisasi dan Tantangan bagi Peturan
Di era globalisasi, nilai-nilai tradisional seperti Peturan menghadapi tantangan besar. Generasi muda di Desa Tempirai mulai terpengaruh oleh budaya luar yang lebih individualistik. Namun, justru di tengah arus globalisasi ini, Peturan menjadi senjata budaya yang ampuh. Tradisi ini mengajarkan generasi muda untuk tetap menghormati orang lain, menjaga ikatan sosial, dan memahami pentingnya nilai-nilai kekeluargaan.

Studi historis menunjukkan bahwa tradisi tutur serupa juga ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia, seperti tradisi Sapaan Adat di Minangkabau atau Tutur Pinompar di Batak. Di Minangkabau, misalnya, sistem tutur digunakan untuk menjaga hubungan harmonis antara mamak (paman) dan kemenakan (keponakan). Sementara di Batak, tutur pinompar menjadi alat untuk mempertahankan silsilah keluarga dan menghindari konflik internal. Persamaan ini menunjukkan bahwa tradisi tutur bukan hanya milik Desa Tempirai, tetapi juga menjadi bagian dari warisan budaya Nusantara yang lebih luas.

Catatan Pinggir: Peturan dalam Teori Sosial
Dalam perspektif teori sosial, Peturan dapat dilihat sebagai bentuk social capital (modal sosial) yang memperkuat kohesi masyarakat. Menurut Pierre Bourdieu, modal sosial adalah jaringan hubungan sosial yang memungkinkan individu atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. 

Peturan menciptakan jaringan ini melalui panggilan-panggilan yang sarat makna, sehingga setiap anggota masyarakat merasa terhubung dan bertanggung jawab satu sama lain.

Selain itu, Peturan juga mencerminkan konsep collective consciousness (kesadaran kolektif) yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Kesadaran kolektif ini terbentuk melalui nilai-nilai dan norma yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam konteks Desa Tempirai, Peturan menjadi bagian dari kesadaran kolektif yang mengikat masyarakat dalam satu ikatan sosial yang kuat.

Kesimpulan
Tradisi Peturan di Desa Tempirai adalah contoh nyata bagaimana budaya lokal dapat menjadi solusi bagi permasalahan sosial. Melalui sistem tutur yang khas, tradisi ini tidak hanya mempertahankan harmoni keluarga, tetapi juga menjadi alat resolusi konflik dan benteng budaya di era globalisasi. Studi historis menunjukkan bahwa tradisi serupa juga ditemukan di wilayah lain di Indonesia, yang menegaskan pentingnya nilai-nilai tutur dalam menjaga kohesi sosial.

Dalam catatan pinggir ini, Peturan tidak hanya dipandang sebagai tradisi lokal, tetapi juga sebagai warisan budaya yang memiliki relevansi universal. Di tengah perubahan zaman, tradisi seperti Peturan mengingatkan kita akan pentingnya menjaga nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan sebagai fondasi kehidupan sosial yang harmonis.
Teguh Indonesia

Desa Tempirai, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Penukal Utara Kabupaten PALI.  Menyimpan kekayaan budaya yang unik dan sarat makna. Sa...
Teguh Estro Kamis, 30 Januari 2025
Teguh Indonesia

Kajian Budaya ; Benda diduga Cagar Budaya desa Panta Dewa


Pencerahan penting mengenai hasil temuan Lapangan benda diduga Cagar budaya di desa Panta Dewa. Sampel batu dan serpihan besi dibawa ke Balai Pelestarian Kebudayaan [BPK] Wilayah VI. Tim Ahli Cagar Budaya [TACB] Kabupaten PALI berdialog bersama rekan-rekan arkeolog si BPK Wilayah VI tersebut. 

Sebuah objek masa lalu dibahas dari dimensi material kandungan logam dan mineral lainnya. membedah timeline historis, kajian budaya masyarakat agraris dan tidak lupa cerita peradaban sungai sebagai transportasi primer di waktu lampau.


Diduga terdapat lokasi pandai besi yang memproduksi alat pertanian dahulu kala. #PeradabanTanahMerah

Dugaan berawal pada hari Kamis, 09 Januari 2025 seorang warga bernama ibu Lidia menemukan bongkahan batu merah dan besi di tanah seluas 30 x 50 m. Lahan tersebut milik bapak efendi di dusun II Desa Panta Dewa Kabupaten PALI.


Sempat Viral di sosial media, beberapa hari kemudian warga dan awak media melaporkan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten PALI.

Tanggal 16 Januari Tim Ahli Cagar Budaya [TACB] Kabupaten PALI turun ke lokasi melihat dari dekat lokasi galian. Diketuai oleh kepala Disbudpar ibu Novi Pebrianti, ST., MT. Rombongan TACB mengambil beberapa sampel batuan untuk dibawa uji laboratorium.

Beberapa sebaran benda tersebut antara lain batu merah, lelehan besi, keramik lama dan campuran tanah dan karat besi. 


Beberapa fakta menarik lainnya adalah lokasi temuan berada sekitar 100 meter dari sungai Sebagut. Dengan mata pencaharian petani karet, warga desa Panta Dewa hidup kesehariannya. Beberapa rumah bari masih mudah ditemukan disana. Meskipun sudah direnovasi bagian-bagianya. Dengan ukiran unik di sudut-sudut papan rumah. #PeradabanTanahMerah


Sayangnya tidak didapatkan catatan yang tertulis dari benda-benda yang ditemukan. Satu-satunya tulisan yang bisa dijadikan petunjuk di desa Panta Dewa adalah catatan makam leluhur puyang "Mpu Rawi Dewo" tercatat wafat pada tahun 1813


Bila melihat timeline sejarah, tahun 1813 masih terbilang muda. Era Majapahit telah mengalami keruntuhan diganti dengan Kerajaan-kerajaan kecil nusantara. Di tahun tersebut diperkirakan satu zaman dengan kesultanan Palembang.

Sempat warga sekitar bertutur bahwa mereka sering diceritakan oleh para orang tua bahwa puyang Mpu Rawi datang dari negeri Tiongkok. Mpu Rawi diperkirakan pada abad ke-18 bermukim dan berkeluarga di daerah yang sekarang dinamakan Desa Panta Dewa.

Selain dugaan arkeologis dan historis, terdapat kajian menarik dari sudut pandang geografis. Sebagaimana dikatakan bapak Iwan dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VI bahwa lokasi temuan di area sekitar sungai bisa menjadi petunjuk. 

Bisa saja dahulu sungai Sebagut tersebut merupakan jalur transportasi primer di masa itu. Sehingga diduga terdapat kegiatan yang memobilisasi benda semacam gerabah, alat pertanian atau keramik. 

Mungkin kegiatan dagang atau kerajinan pandai besi semua masih terbuka untuk dikaji. Termasuk pendapat pak Iwan dari BPK Wilayah VI bahwa batu tersebut merupakan hasil sedimentasi sungai yang mengendap bertahun-tahun.
#PeradabanTanahMerah



Teguh Indonesia

Pencerahan penting mengenai hasil temuan Lapangan benda diduga Cagar budaya di desa Panta Dewa. Sampel batu dan serpihan besi dibawa ke Bala...
Teguh Estro Sabtu, 18 Januari 2025
Teguh Indonesia

Turun Lapangan Tim Ahli Cagar Budaya [TACB] Kabupaten PALI



Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir [PALI] melakukan peninjauan langsung ke lokasi penemuan benda dan logam yang diduga sebagai objek diduga Cagar budaya [ODCB]... 


Teguh Indonesia

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir [PALI] melakukan peninjauan langsung ke lokasi penemuan benda dan logam...
Teguh Estro Kamis, 16 Januari 2025