Menu
Teguh Indonesia

Generasi yang Terluka di Kabupaten PALI


Oleh : Teguh Estro
(Direktur RESEI) 

"Anak-anak adalah lentera yang meneruskan cahaya peradaban. Tapi bagaimana jika lentera itu ditiup angin kencang sebelum sempat menerangi bumi serepat serasan?"

Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) di Sumatera Selatan telah berusia hampir 12 tahun. Usia yang cukup untuk mengevaluasi generasi pertamanya. Namun, yang terjadi justru pengabaian. 

Kita hanya melihat gejala: buta huruf yang mengganjal, disorientasi seksual yang mengkhawatirkan, pergaulan menyimpang yang merajalela, dan perkawinan dini yang melahirkan orang tua prematur.  

Muskilat pertama, Efek Domino Pernikahan "Belarian"

Sebagaimana kita tahu dalam masyarakat kita terdapat penyakit masyarakat yang disebut 'Belarian'. Yakni menikah dengan konsep terpaksa dilarikan karena faktor 'Married by Accident' (MBA).


Bahkan di beberapa lokasi pihak lelaki masih SMA dan pihak Perempuan masih di bangku SMP. Sialnya Biasanya mereka sudah dalam kondisi hamil.

Apakah mereka punya kesadaran pentingnya menjaga anak sejak masa kehamilan. Mengertikah mereka bahwa Seorang ibu hamil harus terjaga asupan nutrisinya, pengendalian stress yang baik. ini baru pertanyaan dasar untuk mendeteksi kualitas calon generasi kabupaten PALI.
"Pelaku nikah belarian ini belum selesai dengan diri mereka sendiri: mental labil, ekonomi lemah, literasi rendah"

Akhirnya kita bertanya-tanya dengan kegelisahan. Bagaimana mungkin para orang tua prematur ini bisa menerapkan pola asuh positif? 

Sedangkan mereka saja sebagai orang tua masih berusia belasan tahun sedang bermasalah dalam hal mental, ekonomi dan sosial. Sudah bisa kita tebak Kualitas Gen-Z dan Gen-Alpha kita akan merosot. Karena mereka diasuh oleh orang tua prematur. 

Padahal Gen-Z dan Gen-Alpha adalah tipe yang suka dengan kejujuran, komunikasi blak-blakan dan melek digital. Apakah mereka bisa diasuh dan dibesarkan oleh para orang tua prematur ini.

Hal ini diperparah dengan rendahnya literasi terkait pengetahuan parenting. Para pelaku nikah Belarian ini bahkan tidak berniat untuk mengasuh anaknya. 

Kejadian di beberapa daerah banyak orang tua muda yang menitipkan anak-anak nya pada sang Nenek. Disinilah bencana dimulai yakni miskonsepsi terkait pola asuh yang diakibatkan 'gap generation'. Para puguk dan Kajut dari generasi boomer harus menerapkan pola asuh kepada sang Cucu dari generasi Z. 

Bagaimana generasi 'boomers' menerapkan pola asuh kolonial yang kaku, satu arah dan over protektif kepada Gen-Z dan Gen Alpha. 

Bagi Gen-Z dibentak dan diancam sama halnya dengan memulai perang. Bagi Gen-Z dan Gen Alpha, sikap orang tua yang mudah berpura-pura dan menunda-nunda adalah penyelewengan. 

Karena Gen-Z apalagi Generasi Alpha hampir tak bisa dibohongi. Mereka mudah mengakses informasi dan pengetahuan dengan cepat meskipun kerap tercampur dengan hoax. Mereka kritis dalam banyak hal. Meskipun tidak diungkapkan, setidaknya mereka bertanya-tanya dalam hati. 

Bahkan R. D. Asti dalam buku Parenting 4.0, Mendidik Anak era Digital mengungkapkan
"Kesabaran adalah seni yang hilang pada generasi Z"
Asti menambahkan bahwa generasi Z senantiasa bertindak serba cepat untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan agar tidak dikalahkan orang lain. 

Penulis sangat khawatir kedepan akan muncul generasi yang tak terkendali atas aturan positif. Terbiasa memberontak dan asal melawan karena diasuh oleh kultur feodal warisan generasi boomer.

Malpraktek pola asuh terhadap Gen-Z ini bisa dihindari Kalaulah Nikah belarian tidak terjadi atau dibiarkan terjadi. 

Pernikahan yang benar-benar dilandasi kesiapan lahir dan batin. Mereka dengan sadar membesarkan anak-anaknya, bukan hanya dititipkan pada neneknya sepanjang hari. Pernikahan yang matang bertanggungjawab untuk menerapkan pola komunikasi yang sesuai dengan gaya khas Gen-Z dan gen Alpha. 

"Berapa banyak lagi anak-anak PALI yang harus menjadi korban belarian sebelum kita menyadari ini adalah darurat sosial?"

Bisakah kita berharap pada orang tua berusia 15-17 tahun—yang sendiri masih butuh bimbingan—untuk membesarkan generasi berkualitas? Ketika seorang ibu remaja tak paham nutrisi dasar untuk janinnya, bagaimana mungkin kita berharap anak itu tumbuh tanpa gangguan mental?

Masalah Kedua, Disorientasi Seksual dan Krisis Identitas
  
Ada yang lebih menggelisahkan: anak-anak laki-laki yang menyerupai perempuan bukan karena pilihan, tetapi karena ketiadaan figur identitas yang sehat. 

Dra. Nur’aeni dalam buku "Intervensi Dini bagi Anak Bermasalah" menegaskan: 
"Perkembangan seseorang sangat bergantung pada pengalaman yang pernah diperoleh dari lingkungannya."
Di PALI, pola asuh yang salah—entah terlalu keras atau terlalu abai—menciptakan self-esteem yang rapuh. Pola asuh orang tua yang penuh ancaman, mengungkit-ungkit kesalahan anak, menakut-nakuti bahkan banyak orang tua yang menjadi pendengar yang buruk alias egois. 

Rumah bukanlah tempat kembali yang nyaman. Anak-anak mencari pelarian di dunia luar yang mau mendengar kegalauanya. Akhirnya Mereka akan berkumpul pada komunitas yang tak pernah mengungkit kesalahan masa lalunya. Dan kebetulan di beberapa daerah komunitas yang terindikasi disorientasi seksual ini kerap merangkul anak-anak yang tersakiti di rumahnya. 

Bahkan di beberapa daerah terdapat komunitas disorientasi seksual yang memberikan modal usaha. Kelompok tersebut sangat mengayomi dengan komunikasi yang sangat lembut. Berbeda sekali kondisinya dengan verbal kasar di rumah orang tuanya.

"Jika anak-anak hanya meniru apa yang mereka lihat, lalu mengapa kita kaget ketika mereka tumbuh dengan disorientasi seksual di tengah lingkungan yang tidak memberi contoh sehat? "

Berapa banyak lagi anak laki-laki di PALI yang harus berperilaku feminin bukan karena identitas, tetapi karena ketiadaan figur ayah yang stabil dalam hidup mereka?

3. Sekolah yang Gagal Menjadi Tempat Aman
  
Sebaiknya kita tak perlu lagi menutupi bahwa sekolah justru menjadi medan perang: senioritas yang menindas, guru yang tidak peka, kelas kosong yang menjadi ajang bullying.  

Generasi Z dan Alpha—yang menurut Dr. Muhammad Faisal dalam "Generasi Phi" adalah "generasi yang menuntut transparansi dan keadilan"—tidak tahan dengan sistem feodal ala boomer. Mereka memberontak karena dibohongi. Mereka mengadu karena tidak mau ditindas. 
"Tapi sayang, orang tua mereka sibuk bekerja, sementara guru-guru masih berkutat dengan metode mengajar abad ke-19."
Bila analisa terkait generasi ini mau dilanjutkan maka kekhawatiran kita juga muncul di sekolah. Generasi yang saat ini berusia 8 tahun s.d 16 tahun tidak benar-benar aman di sekolahnya. 

Para guru, orang tua dan masyarakat tak pernah serius terhadap isu yang muncul di sekolah. Bagaimana anak-anak kita bertahan dengan anak nakal yang menerornya, biasanya dari kakak kelas yang lebih senior. 

Seringkali anak-anak justru cemas saat kelas sedang kosong tak ada guru. Artinya anak-anak nakal akan mulai mendominasi suasana kelas. Bahkan di beberapa daerah justru anak-anak alumni yang nakal masih kerap berbaur dengan adik-adik kelas. 
"Ada semacam penyakit untuk mendominasi kepada adik kelas atau teman sekolah yang lebih lemah."
Sebagaimana kita tahu bahwa gen-Z dan generasi Alpha sangat sensitif berhati helo kiti. Mereka mudah tersinggung saat ditegur karena makan di kelas. Mereka mudah mengadu ke orang tua hanya karena guru yang terlalu ikut campur. 

Generasi saat ini cukup unik, memunculkan siswa-siswi yang suka mengadu. Dan diperparah aduan tersebut didengar oleh para orang tua yang overthinking karena terlalu sibuk bekerja. Maka muncullah kasus-kasus saling adu polisi guru dan orang tua akhir-akhir ini.

Ketika anak-anak lebih takut pada senior yang nakal daripada bersemangat belajar, masih pantaskah kita menyebut ini "sekolah"?

4. Kekerasan Seksual dan Luka yang Tak Sembuh

Inilah tragedi paling kelam: anak-anak PALI yang menjadi korban kekerasan seksual. Seorang siswi SD digagahi pamannya sendiri. Siswi SMA dijual online oleh temannya. 

Dr. Abu Huraerah mencatat: "Korban kekerasan seksual akan membawa trauma seumur hidup—mulai dari depresi, putus sekolah, hingga kecenderungan balas dendam ketika dewasa." 

Budaya patriarki, kemiskinan, dan narkoba menjadi lingkaran setan. Anak perempuan dianggap "pelampiasan" yang bisa diperlakukan semena-mena. Dan ketika mereka mencoba melawan, masyarakat justru menyalahkan mereka. 

Berapa banyak lagi siswi SD di PALI yang harus diperkosa predator seks sebelum masyarakat berani bicara?
"Ketika seorang ayah tiri bisa memperkosa anak perempuannya, lalu apa artinya keluarga di kabupaten ini?"

 

5. Menyongsong Bonus Demografi atau Bencana Generasi?

Bonus demografi seharusnya jadi berkah. Tapi jika generasi muda PALI terus terjerat dalam perkawinan belarian, buta huruf, dan kekerasan seksual, yang muncul bukanlah golden age, melainkan lost generation.  

Dua Wajah Bonus Demografi di PALI.  
Di satu sisi, Kabupaten paling tengah di Sumsel ini akan memasuki puncak bonus demografi pada 2030-2040: 70% penduduk usia produktif (15-64 tahun). Di sisi lain, apa artinya bonus jika generasi muda PALI justru terbelit buta huruf, nikah dini, dan trauma kekerasan?

Sementara dunia kerja bergerak cepat menciptakan profesi seperti:  
- Teknisi Energi Terbarukan (matahari/angin)  
- Spesialis Kecerdasan Buatan (analis data, software developer)  
- Penyembuh Digital (telesurgeon, konselor rehabilitasi kecanduan gawai)  
- Arsitek Peradaban Baru (smart building designer, insinyur nanoteknologi)  

Lalu, di mana posisi generasi PALI yang hari ini masih berkutat dengan masalah baca-tulis dan identitas diri?  

Refleksi terhadap 3 Jurang Besar yang Harus Diseberangi  

Pertama, Jurang Literasi Digital vs Buta Aksara Konvensional. 
"Faktanya Masih ada siswa SMA di PALI yang belum lancar membaca. Padahal challenge buat generasi kita 10 tahun terakhir ini adalah. Pekerjaan masa depan seperti data analyst atau AI trainer membutuhkan literasi matematika, logika, dan bahasa pemrograman."
Kita harus wujudkan Revolusi metode belajar. Sekolah harus beralih dari hafalan ke pemecahan masalah. Pelatihan coding dasar sejak SD menggunakan alat sederhana seperti Scratch

Kedua, Jurang Kesehatan Mental vs Tuntutan Kreativitas. Kita tahuBanyak remaja PALI tumbuh dengan pola asuh keras, memicu rendahnya problem-solving skill.  
Padahal di masa depan saat mereka masuk usia angkatan kerja. Pekerjaan seperti augmented reality designer atau cyborg engineer membutuhkan kreativitas dan ketahanan mental.  

Penulis hanya berandai-andai jika terdapat Program "Sekolah Ramah Trauma" untuk korban kekerasan  dan "Pelatihan mindfulness" Untuk membiasakan berpikir kreatif.  

Ketiga, Ketimpangan Sosial vs Peluang Global. Penulis masih kerap menjumpai Anak-anak PALI di desa terpencil mungkin belum pernah melihat komputer. Bahkan menghidupkan komputer pun masih takut meledak. 

Bila menilik perkembangan teknologi, Pekerjaan seperti drone pilot atau weather control engineer memerlukan akses teknologi tinggi. Bila kita diam saja, maka selamanya generasi muda PALI tak akan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak di masa depan. Karena Gap Teknologi yang terlalu jauh ini menjadi kendalanya. 
"Sebenarnya penulis gregetan punya gagasan dengan program Mobile Tech Lab — bus keliling berisi peralatan VR, drone, dan alat energi terbarukan untuk mengenalkan teknologi ke pelosok"
Bila memungkinkan Beasiswa khusus anak untuk belajar di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Math).

Orang tua zaman now harus melek digital, tetapi juga melek psikologi anak. Sayangnya, di PALI, banyak orang tua bahkan belum melek huruf.Jangan tutup mata. Setiap anak yang terluka adalah tanggung jawab kita bersama.  

KITA MASIH PUNYA WAKTU. TAPI TIDAK LAMA.

___________________________


Referensi :
1. Buku "TEMANI ANAKKU MENGHADAPI SEKOLAH" ditulis oleh Siswa Dewantara. 

2. Buku "Mengapa Anak Saya Suka Melawan dan Susah diatur" ditulis oleh Edy Wiyono. 

3. Buku "Parenting 4.0 mendidik anak era digital" ditulis oleh R. D. Asti. 

4. Buku "Intervensi Dini bagi Anak Bermasalah" ditulis oleh Dra. Nur'aeni., MA. 

5. Buku "Generasi Phi (Pengubah Indonesia) Memahami Milenial Pengubah Indonesia" ditulis oleh Dr. Muhammad Faisal. 

6. Buku "Kekerasan Terhadap Anak" ditulis oleh Dr. Abu Hurairah, M. Si. 

Teguh Indonesia

Oleh : Teguh Estro (Direktur RESEI)  " Anak-anak adalah lentera yang meneruskan cahaya peradaban. Tapi bagaimana jika lentera itu ditiu...
Teguh Estro Minggu, 30 Maret 2025
Teguh Indonesia

PALI Bukan Lahan Tak Bertuan

Oleh : Teguh Estro
(Direktur RESEI) 

Menelisik fenomena Di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Provinsi Sumatera Selatan, cerita tentang konflik, sampah, dan banjir adalah narasi yang tak pernah usai. 

Seperti sebuah drama yang terus berulang, masalah-masalah ini muncul silih berganti, meninggalkan jejak kerusakan dan keputusasaan. Tapi di balik semua itu, ada cerita tentang manusia, alam, dan kebijakan yang seringkali gagal menjembatani keduanya.

Pelbagai pihak kerap terlalu dominan memposisikan dirinya saat bertuan di lahan kabupaten PALI. Saat mereka telah membayar pundi-pundi operasional, malah pihak tersebut  berubah menjadi monster di atas bumi serepat serasan. Menggaruk bumi seenaknya, hingga abai terhadap tuan rumah. Seperti Hewan setempat, sungai setempat dan pemukiman setempat. 

Konflik Lahan: Ketika Gajah dan Manusia Diadu domba.

Di Desa Semangus, konflik antara PT. Musi Hutan Persada (MHP), koloni gajah, dan warga setempat adalah potret nyata bagaimana industrialisasi berbasis ekstraksi sumber daya alam mengganggu keseimbangan ekologi dan sosial. Dulu, gajah-gajah itu datang dengan tenang, seolah mereka adalah bagian dari keluarga. Tapi sekarang, mereka datang dengan gelisah, seperti tamu yang tak diundang. 

PT. MHP, dengan izin konsesi yang dikeluarkan oleh negara, telah mengubah lanskap ekologi dan sosial. Hutan yang dulu menjadi rumah bagi gajah-gajah itu kini menjadi pabrik kayu. Dan warga, yang dulu hidup damai dengan satwa liar, kini terjepit di antara kepentingan perusahaan dan desakan alam.

Herman Hidayat dalam bukunya Deforestasi dan Ketahanan Sosial (2020) menjelaskan bahwa "Rusaknya Siklus Ekosistem (hutan) secara berkelanjutan mengakibatkan kepunahan spesies lainnya" Hal ini terlihat jelas di PALI, di mana pembukaan lahan untuk industri kayu oleh PT. MHP telah memicu konflik antara manusia dan satwa liar, serta merusak hubungan harmonis yang sebelumnya terjalin antara warga dan koloni gajah.

Mungkin sudah waktunya untuk berpikir ulang tentang model pembangunan kita. Apakah kita harus terus mengorbankan hutan dan satwa liar demi keuntungan ekonomi? Ataukah ada cara lain, di mana kita bisa hidup berdampingan dengan alam tanpa harus merusaknya?

Sebuah pemetaan partisipatif yang melibatkan warga, ahli ekologi, dan perusahaan bisa menjadi langkah awal. Tapi yang lebih penting adalah keberanian negara untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak masyarakat adat.

"Tambang Binal" PT. PEB: Longsor dan Ketimpangan yang Menyedihkan

Di desa Panta Dewa dekat lokasi tambang PT. PEB, seorang ibu bercerita tentang bagaimana tanah di belakang rumahnya tiba-tiba ambles. "Seperti ditelan bumi," katanya. Tapi yang lebih menyedihkan adalah ketimpangan yang ia lihat setiap hari. Di satu sisi, truk-truk besar terus mengangkut hasil tambang. Di sisi lain, anak-anak di desanya masih kesulitan mendapatkan air bersih.

Aktivitas pertambangan PT. PEB adalah contoh nyata dari apa yang disebut sebagai "kutukan sumber daya alam." Sumber daya yang seharusnya menjadi berkah justru menjadi bencana bagi masyarakat sekitar. Longsor yang terjadi adalah dampak langsung dari eksploitasi yang tidak terkontrol. Tapi yang lebih parah adalah ketimpangan ekonomi yang semakin melebar. Perusahaan menikmati keuntungan besar, sementara warga hidup dalam kemiskinan.

Paulus Wirutomo dalam Imajinasi Sosiologi: Pembangunan Sosial (2012) menegaskan bahwa "Pendekatan pembangunan berorientasi pertumbuhan (ekonomi semata) yang telah menghasilkan tiga krisis besar : Kekerasan, Kemiskinan dan Kehancuran Lingkungan." Di PALI, kebebasan itu justru direnggut oleh aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan dan memperlebar ketimpangan. 

Wirutomo menambahkan bahwa "ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi di sekitar wilayah tambang seringkali menjadi pemicu konflik horizontal yang berkepanjangan."

Mungkin sudah saatnya kita memikirkan model ekonomi yang lebih adil. CSR (Corporate Social Responsibility) yang selama ini dijalankan oleh perusahaan seringkali hanya menjadi alat pencitraan.

Apa yang kita butuhkan adalah kebijakan yang memastikan bahwa keuntungan dari tambang benar-benar dinikmati oleh masyarakat sekitar. Pajak ekologis bisa menjadi salah satu solusi. Tapi yang lebih penting adalah transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam.

Sampah dan Narkoba: Dua Wajah Desa Tempirai dan Air Itam

Di Desa Tempirai, tumpukan sampah menggunung di pinggir jalan. Bau busuk menyengat, tapi warga seolah sudah terbiasa. "Sudah bertahun-tahun seperti ini," kata seorang pemuda. Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah persoalan narkoba. Banyak pemuda di desa ini yang terjebak dalam lingkaran setan narkoba. "Mereka kehilangan harapan," kata seorang aktivis sosial.

Sampah dan narkoba adalah dua sisi dari mata uang yang sama: kegagalan negara dalam menyediakan layanan dasar dan menciptakan harapan bagi warganya.

Tumpukan sampah yang tidak terkelola adalah simbol dari ketidakpedulian kita terhadap lingkungan. Sementara narkoba adalah cermin dari kegagalan kita dalam menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi muda.

A. Sony Keraf dalam Ekonomi Sirkuler: Solusi Krisis Bumi (2021) menawarkan solusi bahwa "pengelolaan sampah harus diubah dari model linier (buang dan lupakan) menjadi model sirkuler (daur ulang dan manfaatkan)." Keraf menekankan bahwa "sistem ekonomi sirkuler tidak hanya mengurangi limbah, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat." 

Sementara itu, Dr. Kartini Kartono dalam Patologi Sosial (2009) mengingatkan bahwa "narkoba adalah gejala dari kegagalan sistem sosial dalam memberikan harapan dan masa depan bagi generasi muda." Kartono menambahkan bahwa "penyalahgunaan narkoba seringkali terjadi di daerah-daerah yang miskin dan terpinggirkan, di mana akses terhadap pendidikan dan lapangan kerja sangat terbatas."

Kita perlu pendekatan yang holistik. Untuk masalah sampah, kita butuh sistem pengelolaan yang terintegrasi, mulai dari pengumpulan, pengolahan, hingga daur ulang. Tapi yang lebih penting adalah edukasi dan partisipasi masyarakat.

Untuk narkoba, kita butuh program rehabilitasi yang komprehensif, tapi juga lapangan kerja dan kegiatan kreatif yang bisa mengalihkan perhatian pemuda dari narkoba.

Banjir di Sungai Lematang: Cerita yang Tak Kunjung Usai

Di Desa Curup, banjir adalah tamu yang datang setiap tahun. Warga sudah terbiasa melihat rumah-rumah mereka terendam air. Tapi yang membuat mereka frustrasi adalah janji-janji relokasi yang tak kunjung terealisasi. "Sudah puluhan tahun kami menunggu," kata seorang warga.

Banjir di Sungai Lematang adalah cerita lama yang tak kunjung usai. Perubahan aliran sungai, deforestasi, dan kurangnya perencanaan tata ruang adalah penyebab utamanya. Tapi yang lebih menyedihkan adalah ketidakmampuan negara untuk memberikan solusi yang konkret. 

Relokasi warga yang terus-menerus dijanjikan tapi tak kunjung terealisasi adalah bukti dari kegagalan kita dalam mengelola risiko bencana.

Hunggul Y. S. H. Nugroho dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) & Konservasi Tanah dan Air (2018) menekankan bahwa "restorasi ekosistem DAS adalah kunci untuk mengurangi risiko banjir dan erosi." Nugroho menjelaskan bahwa "tanpa restorasi ekosistem, upaya penanggulangan banjir hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah." 

Sementara Prof. Mudrajad Kuncoro dalam Perencanaan Pembangunan Daerah (2016) menegaskan bahwa "perencanaan tata ruang yang baik harus mempertimbangkan aspek ekologi dan sosial." Kuncoro menambahkan bahwa "tanpa perencanaan yang matang, pembangunan justru akan menciptakan masalah baru yang lebih kompleks."

Kita butuh tindakan yang cepat dan terencana. Relokasi warga ke daerah yang lebih aman harus segera dilakukan. Tapi yang lebih penting adalah restorasi ekosistem di sepanjang sungai. Menanam kembali vegetasi di sepanjang sungai bisa mengurangi erosi dan banjir. Tapi yang paling penting adalah komitmen politik untuk mengatasi masalah ini secara serius.


Kabupaten PALI adalah potret mini dari masalah-masalah yang dihadapi oleh banyak daerah di Indonesia. Konflik lahan, kerusakan lingkungan, sampah, narkoba, dan banjir adalah masalah-masalah yang saling terkait dan memerlukan solusi yang holistik. Tapi yang lebih penting adalah keberanian kita untuk mengakui kegagalan dan mengambil langkah-langkah konkret untuk memperbaikinya.

---

Referensi:
- Keraf, A. Sony. (2021). Ekonomi Sirkuler: Solusi Krisis Bumi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.  
- Nugroho, Hunggul Y. S. H. (2018). Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) & Konservasi Tanah dan Air. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.  
- Wirutomo, Paulus. (2012). Imajinasi Sosiologi: Pembangunan Sosial. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.  
- Kartono, Kartini. (2009). Patologi Sosial. Bandung: Penerbit Alumni.  
- Kuncoro, Mudrajad. (2016). Perencanaan Pembangunan Daerah. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.  
- Hidayat, Herman. (2020). Deforestasi dan Ketahanan Sosial. Jakarta: Penerbit LP3ES.  


Teguh Indonesia

Oleh : Teguh Estro (Direktur RESEI)  Menelisik fenomena Di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Provinsi Sumatera Selatan, cerita te...
Teguh Estro Minggu, 23 Maret 2025
Teguh Indonesia

Sang Koruptor Raja Di Xin, Refleksi Sistem Koruptif Dinasti Shang


Penulis : Teguh Estro
(Direktur RESEI)

Sesekali kita belajar dari negeri Tiongkok. Terutama terkait muskilat yang sedang relevan saat ini. Pemerintah yang buruk, Koruptif, Proyek-proyek kepentingan pribadi dan Rakus pada salah satu DInasti di negeri Tirai Bambu.

Dinasti Shang (1600–1046 SM) adalah salah satu dinasti paling awal dalam sejarah Tiongkok yang meninggalkan jejak melalui tulisan pada tulang oracle dan artefak arkeologis. Ia adalah sebuah peradaban yang berkembang, dengan sistem tulisan, budaya, dan struktur politik yang kompleks. Tapi, seperti banyak kerajaan besar lainnya, ia akhirnya runtuh. Dan keruntuhannya, seperti yang sering terjadi, dimulai dari dalam.  

Di Xin, raja terakhir Shang, adalah sosok yang menarik. Ia digambarkan sebagai penguasa yang awalnya cakap, tapi kemudian berubah menjadi lalim dan kejam. Catatan sejarah seperti Bamboo Annals dan Records of the Grand Historian (Shiji) karya Sima Qian menyebutnya sebagai seorang yang boros, kejam, dan korup. Tapi, benarkah ia satu-satunya penyebab kehancuran? Atau, seperti yang sering terjadi, ia hanyalah puncak gunung es dari sistem yang sudah rapuh?

Raja Di Xin membangun istana ibu kota nan megah, menghabiskan kekayaan negara untuk proyek-proyek pribadi, dan mengabaikan nasihat bijak dari pejabat-pejabat yang setia. Ia lebih memilih untuk mendengarkan para penjilat, para pejabat korup yang hanya mencari keuntungan pribadi. Dalam Klasik Sejarah (Shujing), ada prinsip bahwa seorang penguasa harus memerintah dengan kebajikan (de) dan keadilan. Di Xin melanggar prinsip ini.  

Tapi, mari kita berhenti sejenak. Apakah kejatuhan Shang hanya tentang Di Xin? Atau, seperti yang sering terjadi dalam sejarah, ia hanyalah simbol dari sistem yang sudah bobrok? Pejabat-pejabat korup, yang memanfaatkan kekuasaan untuk menindas rakyat dan mengumpulkan kekayaan, adalah bagian dari masalah yang lebih besar. Mereka adalah cermin dari tata negara yang gagal.  

Dalam sejarah hukum tata negara Tiongkok kuno, ada konsep "Mandat Langit" (Tianming). Seorang penguasa dianggap sah selama ia memerintah dengan kebajikan dan keadilan. Ketika ia gagal, rakyat berhak memberontak. Di Xin kehilangan mandat ini. Tapi, apakah mandat itu hilang hanya karena kejahatannya? Atau karena sistem yang membiarkan kejahatan itu tumbuh subur?  
Ilustrasi

Sejarah seringkali menyederhanakan cerita. Raja jahat, rakyat menderita, kerajaan runtuh. Tapi, seperti yang ditulis oleh Sima Qian, sejarah adalah cermin. Dan dalam cermin itu, kita melihat bukan hanya satu wajah, tapi banyak wajah. Wajah Di Xin, wajah para pejabat korup, dan wajah sistem yang membiarkan mereka berkuasa.  

Mari kita bandingkan dengan negara lain. Kekaisaran Romawi, misalnya, runtuh bukan hanya karena Nero yang kejam, tapi juga karena korupsi yang merajalela dan sistem politik yang tidak mampu beradaptasi. Nero membunuh para penentangnya, menghabiskan kekayaan negara untuk proyek-proyek pribadi, dan mengabaikan penderitaan rakyat. Tapi, apakah Nero sendirian? Tidak. Ia adalah produk dari sistem yang sudah sakit.  

Atau lihatlah Louis XVI dari Prancis. Ia bukan penguasa yang kejam seperti Di Xin atau Nero, tapi kepemimpinannya yang lemah dan ketidakmampuannya mengatasi korupsi di kalangan pejabat menyebabkan Revolusi Prancis. Di sini, kita melihat pola yang sama: pemimpin yang gagal, pejabat korup, dan sistem yang tidak mampu memperbaiki diri.  

Dan kemudian ada Moctezuma II dari Aztek. Ia adalah penguasa yang percaya bahwa penjajah Spanyol adalah dewa. Ketidakmampuannya memimpin dan ketergantungannya pada takhayul melemahkan perlawanan terhadap penjajah. Tapi, lagi-lagi, apakah ini hanya tentang Moctezuma? Atau tentang sistem yang tidak mampu menghadapi perubahan?  

Keruntuhan Dinasti Shang, seperti keruntuhan Romawi, Prancis, atau Aztek, adalah cerita tentang manusia dan sistem. Di Xin mungkin adalah raja yang jahat, tapi ia juga adalah produk dari sistem yang membiarkan kejahatan itu tumbuh. Pejabat-pejabat korup mungkin adalah pelaku, tapi mereka juga adalah korban dari sistem yang tidak memiliki mekanisme untuk mengoreksi diri.  

Refleksi: Indonesia dan Pelajaran dari Sejarah
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita bisa belajar dari keruntuhan Dinasti Shang dan negara-negara lain yang disebutkan di atas?  

Indonesia, seperti Shang, Romawi, atau Prancis, bukanlah negara yang kebal dari masalah korupsi, kepemimpinan yang lemah, dan sistem yang bobrok. Korupsi masih menjadi masalah serius di negeri ini. Pejabat-pejabat yang seharusnya melayani rakyat justru seringkali terlibat dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mereka, seperti para pejabat korup di zaman Shang, memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.  

Tapi, seperti yang kita lihat dalam sejarah, masalahnya tidak hanya terletak pada individu. Sistem yang tidak transparan, lemahnya penegakan hukum, dan kurangnya partisipasi publik dalam pengawasan pemerintahan adalah akar masalah yang lebih dalam. Jika sistem ini tidak diperbaiki, maka Indonesia bisa saja mengulangi kesalahan yang sama seperti Dinasti Shang atau Romawi.  

Namun, ada harapan. Indonesia memiliki modal sosial yang kuat: masyarakat yang kritis, media yang aktif, dan generasi muda yang peduli. Jika kita bisa memperkuat sistem hukum, meningkatkan transparansi, dan mendorong partisipasi publik, maka kita bisa menghindari nasib yang sama seperti Dinasti Shang.  

Sejarah mengajarkan kita bahwa keruntuhan sebuah negara tidak pernah terjadi dalam ruang hampa. Ia adalah hasil dari kombinasi kepemimpinan yang gagal, sistem yang korup, dan ketidakmampuan untuk beradaptasi. Dan dalam cerita-cerita ini, kita menemukan pelajaran yang tetap relevan hingga hari ini.
Teguh Indonesia

Penulis : Teguh Estro (Direktur RESEI) Sesekali kita belajar dari negeri Tiongkok. Terutama terkait muskilat yang sedang relevan saat ini. P...
Teguh Estro Selasa, 11 Maret 2025
Teguh Indonesia

Analisa Ekonomi Kelas Menegah terhadap Penundaan Pelantikan CPNS dan PPPK

Penulis : Teguh Estro
(Direktur RESEI) 

Relasi Kabupaten PALI dan Kelas Menengah

Kabupaten PALI (Penukal Abab Lematang Ilir) tengah menghadapi tantangan ekonomi yang serius, terutama terkait ketidakstabilan ekonomi kelas menengah. Mereka yang berpenghasilan dua juta keatas ini mengalami dilema dalam pilihan sikap ekonomi.

Salah satu pemicunya adalah penundaan pelantikan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang semula direncanakan pada tahun 2025, namun dipindahkan ke tahun 2026. Padahal, pelantikan ini diharapkan menjadi nafas baru bagi perputaran ekonomi lokal, mengingat kelas menengah merupakan tulang punggung utama dalam menggerakkan roda perekonomian. 

Kelas menengah di Kabupaten PALI, seperti halnya di daerah lain, memegang peran krusial dalam konsumsi domestik. Mereka adalah kelompok yang paling aktif dalam belanja rumah tangga, investasi kecil-menengah, dan penggerak sektor riil. 

Seperti dikatakan oleh Joseph Stiglitz , peraih Nobel Ekonomi, "Ketika kelas menengah sekarat, ekonomi tidak bisa tumbuh. Mereka adalah mesin pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya." Pernyataan ini relevan dengan situasi di Kabupaten PALI, di mana ketiadaan tambahan kelas menengah baru dapat menghambat penyegaran ekonomi.

Penundaan tersebut tidak hanya berdampak pada para calon pegawai, tetapi juga pada perekonomian secara keseluruhan. Kelas menengah baru yang seharusnya terbentuk dari pelantikan ini akan memberikan kontribusi signifikan terhadap konsumsi domestik. Tanpa tambahan tenaga kerja baru, daya beli masyarakat cenderung stagnan atau bahkan menurun.  

Selain itu, kebijakn efisiensi belanja pemerintah yang sedang dilakukan saat ini turut menghimpit daya beli kelas menengah. Pengurangan anggaran belanja pemerintah berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat, terutama bagi kelas menengah yang bekerjasama sebagai rekanan pemerintah daerah. Hal ini semakin memperparah ketidakstabilan ekonomi kelas menengah di Kabupaten PALI.  

Ketidakstabilan kelas menengah bukanlah fenomena baru. Di berbagai negara, kelas menengah sering menjadi korban pertama dalam krisis ekonomi. Misalnya, di Amerika Serikat selama resesi 2008, kelas menengah mengalami penurunan pendapatan yang signifikan, yang berdampak pada melemahnya konsumsi domestik dan pertumbuhan ekonomi (Pew Research Center, 2015).  

Di Indonesia sendiri, kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya juga pernah mengalami guncangan serupa selama pandemi Covid-19. Kelas menengah, yang sebagian besar bekerja di sektor formal, terkena dampak PHK dan pengurangan gaji. Akibatnya, konsumsi rumah tangga menurun, dan pertumbuhan ekonomi melambat (Sumber: Bank Indonesia, 2020).  

Di India, ketidakstabilan kelas menengah akibat pandemi juga memicu perlambatan ekonomi. Kelas menengah India, yang merupakan penggerak utama sektor ritel dan jasa, mengurangi pengeluaran secara signifikan. Hal ini berdampak pada penurunan pertumbuhan PDB India pada tahun 2020 (World Bank, 2021).  

Masih ada harapan

Untuk mengatasi ketidakstabilan ekonomi kelas menengah di Kabupaten PALI, diperlukan langkah-langkah strategis. Salah satunya upaya diversifikasi ekonomi lokal perlu digalakkan. Kabupaten PALI dapat memanfaatkan potensi sektor pertanian, perkebunan, ekraf dan UMKM untuk menciptakan lapangan kerja baru. Dengan demikian, ketergantungan pada belanja pemerintah dapat dikurangi, dan perekonomian menjadi lebih mandiri.  

----
Referensi:
1. Pew Research Center. (2015). The American Middle Class is Losing Ground.  
2. Bank Indonesia. (2020). Laporan Perekonomian Indonesia.  
3. World Bank. (2011). India Economic Report.  



Teguh Indonesia

Penulis : Teguh Estro (Direktur RESEI)  Relasi Kabupaten PALI dan Kelas Meneng ah Kabupaten PALI (Penukal Abab Lematang Ilir) tengah menghad...
Teguh Estro Sabtu, 08 Maret 2025