Menu
Teguh Indonesia

17 Ramadhan, Ia Ibuku



Oleh : Teguh Estro
(cerpen inspiratif)

“ Bunuh, bunuh saja aku…” Teriak Zuhdan panik.
“ Diam…!” aku baru tahu, ternyata suaraku tak kalah keras dalam membentak siapapun.
“ Tidak, Bunuh saja aku…” lagi – lagi adik kandungku berucap hal yang sama.

            Zuhdan, kami hanya berselisih umur empat tahun saja. Untungnya nasibku lebih mujur tinimbang anak sontoloyo yang mengalami keterbelakangan mental itu. Meski bersaudara, namun tak sudi aku dipanggil kakak. Jujur saja, siapa yang mau hidup walau sebentar dengan si cacat mental. Kadang berteriak semaunya sendiri, minta dibunuh lah, minta ditembak bahkan terkadang ia menjerit-jerit sendiri hendak dibuatkan lubang kubur. Bukan hanya aku, anggota keluargaku yang lain juga terkadang menjauhinya. Mungkin hanya ada satu manusia saja yang masih mau merawatnya, Sulastri. Ya, tetanggaku memangginya bu Darso, lantaran ia adalah isteri muda ayahku. Atau lebih jelasnya, ia adalah ibu tiri kami yang diperisteri ayah karena faktor kasihan saja. Seorang gadis desa ditinggal mati keluarganya setelah bencana awan panas di lereng gunung Merapi.

            Terkadang, imajinasiku teramat sombong. Bagiku wanita berusia 35 tahun itu tidak akan pernah sebanding dengan almarhum ibu kandungku. Anggapanku selama ini ketika ayah menikahinya, tidak lain sebagai hadiah. Ya, semacam pembantu rumah tangga. Karena memang sehari-hari kerjaannya pun tidak jauh berbeda layaknya pelayan. Tapi yang membuatku heran, sempat-sempatnya ia membuka warung minyak di depan rumah. Padahal perutnya tengah membuncit delapan setengah bulan, tinggal menunggu keluar saja. Ah sudahlah, begonya aku kalau terus menghabiskan waktu memikirkannya.

            Angin malam ini terasa berbeda. Membuatku teringat akan agenda yang sudah terencana. Oh iya, di bulan Ramadhan ini sengaja kurancang khusus agenda-agenda malamku. Maklum, ayah sedang banyak kerja di luar kota. Paling-paling sesekali pulang setiap akhir pekan. Dan pastinya saat lebaran ia pulang ke rumah. Hati kecilku terus menjerit melihat keadaan ini. Kenapa keluargaku ini, lusuh, penuh tambal sulam nan compang-camping. Tak ubahnya baju para pengemis.

            Sudahlah, malam kian gelap dan kaki ini harus bergegas. Ya, di lantai dua terdapat sebuah studio kedap suara yang biasanya khusus kugunakan untuk latihan keyboard. Namun kali ini bukan itu tujuanku, berpuisi. Yah, 17 Ramadhan bertepatan dengan 17 Agustus hari kemerdekaan. Di kampusku terdapat lomba baca puisi, maklum mahasiswa baru kudu eksis lah. Semangat sekali rasanya. Padahal sedari tarawih tadi mata ini terasa berat sekali, alias mengantuk berat. Namun lantaran puisi, gairahku seolah menyemangati dan terus berkompromi dengan kelopak mata. Pokoknya malam ini aku dan anggota badanku bersepakat untuk begadang sambil latihan puisi.

            Rasanya tidak sabar menunggu tanggal 17 Agustus di kampusku. Padahal lomba masih sekitar tiga hari lagi, tapi bagiku itu terlalu dekat. Karena sudah jauh-jauh hari aku terlanjur berjanji pada sahabatku untuk membawakan puisi terbaik yang dipersembahkan untuk orang yang paling kami cintai. Ya, aku dan Rusydi telah bersahabat sejak SMP. Dia termasuk anak cerdas yang sama-sama tinggal memiliki satu orang tua, ia sejak kecil sudah tak melihat bapaknya. Saat ibu kandungku masih hidup, beliau sering menyebut kami ibarat anak kembar.
***

            “Mas Umam, bangun. Makan sahur dulu, sebentar lagi mau imsak” Kudapati wajah Sulastri dihadapanku tengah membangunkan tidurku. Sontak, wajahku merah dan kaget. Entah kenapa bibir ini dengan mudah melontarkan kata-kata yang tidak enak didengar. Intinya aku tidak terima ia masuk ke kamar seenaknya. Namun aneh juga sih, mungkin karena tidurku terlampau larut hingga wanita berkerudung itu terpaksa masuk untuk membangunkan sahur. Biasanya, isteri ayah itu cukup dengan mengetuk pintu kamar dan aku pasti tebangun.

            Memang benar sih, sebentar lagi imsak. Buru-buru aku turun dari lantai atas menuju meja makan di lantai bawah. Akan tetapi, wajahku yang kucel karena baru bangun tidur bertambah kecut. Pasalnya mataku menatap di meja makan tak ada sesiapa lagi. Hanya ada seorang anak cacat mental yang makan seperti bebek. Pemandangan yang jorok dan menjijikkan. Kuurungkan niatku makan sahur dan kubalikkan badan ke kamar lagi. Belumlah sampai ke anak tangga Sulastri memanggil dari arah dapur.

            “Mas Umam, ayo makan sahur….!”
            “Kamu ngapain sih sok ngatur-ngatur seperti itu. Aku ndak makan sahur hari ini, sudah biasa kok. Kamu aja makan sama anak autis itu. Diajarin sana, biar makan ndak kayak bebek…” ujarku menasehati Wanita kelahiran Muntilan itu.

            Aku tahu nyali Sulastri ciut tatkala berdebat denganku. Sehingga ia lebih memilih berjalan perlahan menghampiri Zuhdan sambil mengelus perut buncitnya yang mau mbledus. Sebenarnya kembali ke kamarpun pikiranku justru bertambah penat, maklumlah karena tidak nyaman sudah seperti rumah tikus saja. Sampai-sampai sesekali aku merasa iri melihat Zuhdan yang segala keperluannya diurus oleh Sulastri. Meskipun autis, ruang tidurnya terjaga dan bersih. Tapi apa mungkin wanita ndeso itu mau membersihkan kamarku yang jorok ini. ih, najis… aku tak mau disamakan dengan manusia cacat mental. Lebih baik kutata kamarku sendiri.
***

            Berangkat kuliah pagi, perut kosong tanpa isi makan sahur. Ditambah hari ini tengah OSPEK di fakultas ku. Tapi urusan perut cukuplah kuatasi dengan membaca satu atau dua bait syair. Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS), di sana kujumpai penyair-penyair dari seluruh pelosok tanah air. Termasuk aku dan Rusydi, kamilah pujangga dari Yogyakarta. Menyelami dunia sastra haruslah bersama para penyelam handal pula kan? Kulihat di jidat teman-temanku yang tergambar adalah bait dan sajak saling bersahutan. Bahkan kemarin Rusydi bilang ia berkenalan dengan salah satu senior kampus yang novelnya sudah best seller di tingkat nasional. Awas yah, lihat saja tanggal 17 nanti, semua kampus akan tahu pujangga baru telah lahir di Yogyakarta.

            “Umam, sudah lihat belum? nomor urut dan jadwal tampil lomba. Sudah dipasang lho…?”
            “ Sudah ada toh, dimana ? Di papan pengumuman fakultas sudah ditempel toh?“ tanyaku pada Rusydi yang tiba-tiba nongol di mukaku pagi ini, ia hanya mengangguk sembari mesem-mesem melihat wajahku yang tampak sumringah.
            Ternyata benar, dan kutatap namaku dengan nomor urut 45 dan jadwal tampilnya pada tanggal 17 agustus sore. Wah, ternyata si Rusydi dapat jadwal tampil di pagi harinya. Semangatku kian terbakar menatap jadwal lomba di hadapanku. Aku pasti bisa, tanpa banyak bicara kuayun langkah menemui sang sahib, sepenanggungan dan tinggal satu komplek juga sih. Kutarik tangannya keluar fakultas, tak peduli OSPEK tinggalkan dulu saja.  Dengan susah payah membujuk ia pulang untuk latihan puisi.

            “ Rusy, di rumahmu kosong kan? Kita latihan di rumahmu aja ya..?”
            “ Emm, Cuma ada ibu sih. Tapi kok ndak di rumahmu aja mam. Kan lebih luas, ada studionya juga…?” Jawab umam, mungkin ia kangen ingin main ke rumahku. Padahal aku sama sekali tidak betah tinggal di rumah. Tapi Rusydi cukup mengerti saat kubalas hanya dengan senyum.

            “ Kalau ke rumahku, nanti kamu ikut-ikutan autis lho…” jawabku sambil tertawa.
            Selang beberapa menit, dua motor bebek kami sudah bertengger di depan rumah yang cukup sederhana pada sebuah komplek di belakang salah satu SMA swasta kota Yogyakarta. Sebenarnya ini adalah rumah barunya, karena sejak SMP dulu ia tinggal di daerah Sleman dekat kampus Gajah Mada. Untungnya ia pindah di sini, satu komplek dengan rumahku. Meski satu komplek, di sini suasananya begitu asing bagiku. Rumahnya benar-benar kosong seperti rumah zombi. Tapi justru semakin apik sebagai lokasi berimajinasi ria.

Setelah mengantarku istirahat di kamarnya, kulihat Rusydi bergegas keluar kamar  menuju arah belakang. Lama sekali ia tak muncul lagi, hingga kuberanikan mengintip kejadian apa di belakang rumah. Sepi dan tampak angker, jangan-jangan anak semata wayang itu melakukan ritual klenik agar menang lomba puisi. Apalagi penglihatanku menemukan kamar kosong yang pintunya sedikit terbuka. Dan akhirnya keluar juga sosok Rusydi dari kamar itu. Ia membawa sepiring bubur putih dan segelas teh berisi setengah kosong. Ia hanya diam berdiri karena melihat aneh tatapan tajam mataku. Aku heran, temanku yang biasa sehari-hari tak lepas dari masjid ternyata berbuat syirik.

“ Rusy, kamu sadar… sadar Rusydi. Ini perbuatan musyrik…” Dengan kuat kucekik kerah bajunya. Sampai-sampai piring di tangannya terjatuh dan bubur putih sesaji tumpah. aku bertambah kaget saat terdengar suara dari dalam kamar klenik itu. Ternyata saat kubuka lebar pintu kamar, terlihat sosok wanita dengan rambut acak-acakan tengah memperhatikan aku dan Rusydi tengah saling mencekik. Akan tetapi saat kuamati ulang, benar-benar kuperhatikan siapa sosok wanita tua itu. Dan astaghfirullahal’adziim, itu kan ibunya Rusydi. Tampaknya ia tengah menahan rasa sakit. Berarti tadi itu bukan bubur sesaji dong. Pasti bu Fatma sekarang hanya bisa makan bubur, makanya Rusydi tadi membawa bubur. Waduh, berarti aku salah sangka. Dan saat kubalikkan badan menghadap sosok Rusydi di depan pintu. Kini justru ia yang menatapku dengan tatapan singa lapar karena marah yang ditahan-tahan. Dan lagi-lagi kupaksakan untuk memberikan senyum padanya tanda minta maaf.

“ he he, maaf ya Rusy. Ini cuma salah paham kok. Sini buburnya biar saya yang membereskan…” Untungnya sahabatku itu orang yang pandai menahan amarah. Apalagi ini bulan puasa, ia pasti tahu diri lah.

Lama aku perhatikan kelakuannya di rumah, yang kutemukan hanyalah kekaguman pada sahabatku Rusydi. Andai ibuku masih hidup, mungkin akupun bisa berbakti seperti yang dilakukan sahabatku ini. Lelaki berambut keriting itu dengan sabar menuntun ibunya ke kamar mandi. Terkadang ia, menyuapi sang ibu yang terkena penyakit lumpuh itu. Dan tentu saja ia sendiri yang memasakkan makanan ibu yang sangat dicintainya itu. Baru kali ini aku cemburu melihat Rusydi. Keras ku berusaha agar tak menetes bulir kesedihan dari mata ini.

Sudahlah, kuputuskan untuk langsung meninggalkan rumah Rusydi tanpa harus  berpamitan. Karena benar-benar aku tak tahan menahan kecemburuan pada sahibku itu. Lantaran kian mengingatkan saja pada mendiang alamarhum ibu kandungku. Kali ini motor bebekku melaju menghantarkan tubuhku ke masjid Syuhada Yogyakarta. Kucoba bersujud di waktu duha. Pertanyaan demi pertanyaan kusampaikan pada Allah Swt,

Ya Allah, kenapa kau panggil ibuku begitu cepat.
Bukankah Engkau Tuhan Yang Maha Menyembuhkan.
Kenapa dulu penyakit kanker wanita yang paling kusayang itu tidak disembuhkan saja.
Dan kini kenapa malah Sulastri yang menjadi penggantinya.

Terus saja kunanti jawaban doa itu hingga sholat zuhur tiba, bahkan sampai malam kuikuti sholat tarawih di masjid Jogokaryan. Dan kesimpuan sementaraku, harus pulang dan menulis puisi untuk ibuku. Semakin dekat ke rumah, semakin membuatku kesal. Karena dalam benakku hanyalah ketidakbetahan. Paling-paling yang dijumpai hanya ada Zuhdan si anak autis, Sulastri dan juga yang pasti  ada si mbah putri yang diam saja di rumah.

Sewaktu masuk ke dalam rumah untungnya tidak langsung berjumpa wajah menjijikkan isteri muda ayah. Di tengah ruang nonton kuperhatikan, tampak Zuhdan meloncat-loncat seperti biasa. Namun anehnya ia justru diasuh oleh si mbah putri. Lho, kemana Sulastri kok ndak kelihatan.

Mbah, si Lastri tindak pundi nggih ?kok malah mbah putri dewe ingkang momong dik zuhdan ?” (Mbah, si Lastri pergi kemana ya? Kok malah mbah putri sendirian yang mengasuh dik Zuhdan) tanyaku pada si mbah. Namun ia tidak menjawab, malah berjalan menuju sofa tengah. Dan mengajak saya duduk di sampingnya.

umam, nak Lastri kui mbokmu ugi. Yo mbok koe sing sopan. Mau iku nak Lastri awake meriang anget banget. Yo kulo tak kongkon tonggo-tonggo nganterke teng puskes…” (Umam, nak Lastri itu ibumu juga, seharusnya kamu bisa sopan. Tadi itu nak Lastri badannya demam panas sekali. Ya saya suruh saja para tetangga menghantarkannya ke puskesmas)

Si mbah putri  ada-ada saja. Ya sudahlah, daripada aku yang mengurus Zuhdan, lebih baik langsung naik aja ke kamar studio. Namun, belumlah jauh kutapaki anak tangga, dari arah pintu rumah muncul para tetangga berduyun-duyun menuntun Sulastri yang tengah memegang  bungkusan obat di tangan kanannya. Rupanya ia hanya sakit ringan dan baru saja pulang dari Puskesmas. Mataku hanya sinis melihat ulah Lastri yang sangat manja itu. lalu kubalikkan badanku lagi menuju ruang studio. Seperti janjiku tadi, malam ini harus tertulis dari tanganku sendiri sebuah puisi mahakarya. Tentu saja kutujukan untuk orang yang paling kusayangi, Ibu.

Rintikan hujan di luar rumah memainkan iramanya. Sedikit demi sedikit suara rintik kian berkurang menjadi tetesan air hujan dari atap rumah membasahi jendela bergantian. Suara itu menuntun jemariku mencipta puisi terbaikku. Foto ibu dihadapanku membantu aliran inspirasi dan imajinasi membentuk susunan huruf di atas kertas. Hingga rembulan bersembunyi jauh di atas langit, hembuskan angin kantuk menutup mataku malam ini.
***

            Aneh, kali ini mataku terkejut bangun tanpa sadar. Mungkin lantaran suara keramaian di lantai bawah sana. Dan langkahku perlahan meraba-raba gelapnya ruangan menuju lantai bawah. Ternyata tetangga ramai membopong Sulastri keluar rumah. Ehm, pasti dia bikin ulah lagi. Semakin jalanku mendekati ruang tengah dan bertanya-tanya. Akhirnya aku tahu, rupanya si Lastri merasa perutnya mules. Dan atas saran si mbah putri, maka ia langsung di bawa ke rumah sakit. Katanya untuk berjaga-jaga siapa tahu sudah mau melahirkan. Dalam pikirku, bukannya kandungannya belum sampai sembilan bulan. Itu sih, akal-akalannya si Lastri aja.

            Tapi kalau dipikir-pikir kalau wanita yang bernama lengkap Endang Sulastri itu masuk rumah sakit bukannya malah ngerepotin saja. Berarti nanti yang masak siapa, yang beres-beres rumah, terutama yang mengasuh anak autis itu. Waduh, dasar wanita nggak tahu diri. Sehat sama sakitnya sama saja, ngerepotin orang.

            Benar saja, setelah makan sahur terpaksa piring-piring kotor, saya juga yang mencuci. Lalu yang paling berat di pagi harinya memandikan bayi tua si Zuhdan. Wah, ini benar-benar menyiksa lahir dan batin namanya. Sampai jam setengah delapan pagi barulah aku bisa menegakkan pinggang duduk empuk di sofa setelah beres-beres rumah. Tapi baru sejenak aku menarik nafas, si mbah putri menghampiriku.

            “ le, ndang tumbas jangan teng warung bu RT. Yen onten godong telo, tumbas tigang iket mawon. Jo nganti kesupen yo…!”
            (nak, ayo cepat beli sayuran di warung bu RT. Kalau ada daun singkong, beli aja tiga ikat. Jangan sampai lupa ya…!)

            Waduh kiamat dunia, terpaksa uang jajanku dipotong. Padahal pukul 10 pagi nanti ada studium general lomba puisi dan sebagai pemanasnya, panitia menghadirkan Taufik Ismail ke Yogyakarta. Akhirnya waktu yang sebentar ini kumanfaatkan saja, dengan sigap ku belanja ke warung bu Sri yang paling perhatian menghantar Lastri ke puskesmas dan rumah sakit.

            “ eh nak Umam, kok dereng mangkat. Mbokmu iku loh pisan-pisan yo ditilik’i teng rumah sakit…” (eh nak Umam, kok belum berangkat. Ibumu itu loh sekali-kali ya dijenguk di rumah sakit) Tegur bu Sri yang asyik membungkusi sesuatu.

            “ nggih bu, niki kulo tesih resik-resik griyo. Mengke yen onten wekdal ingkang lego, kulo tindak teng rumah sakit bu…” (iya bu, ini saya masih bersih-bersih rumah. Nanti kalau ada waktu luang, saya langsung berangkat ke rumah sakit) jawabku ringan saja.

Dasar orang yang tidak berperasaan, dipikirnya bersih-bersih rumah gampang apa. Sekarang baru aku tahu, ternyata menjadi ibu rumah tangga itu melelahkan. Lebih capek daripada lari maraton keliling komplek. Jari-jariku menjadi gemetar karena lama membilas tumpukan piring, wajan dan panci. Belum lagi bekas makan anak autis yang menjijikkan. Ya, ternyata selama ini kasihan juga si Lastri mengerjakan tugas berat ini, apalagi ia sedang hamil tua. Akupun terdiam lama di depan rumah memikirkan si Lastri. Ah, tapi masa bodoh lah. Yang penting penampilan taufik Ismail jangan sampai tertinggal.

            Pukul sepuluh pagi, kutancap gas menuju kampus di jalan kolombo Yogyakarta. Semakin mendekati ruang fakutas kian optimis hatiku. Tangan ini selalu mengepal karena membaranya api semangatku. Apalagi yang akan kusaksikan adalah penyair tersohor, Taufik Ismail. Tapi tetap saja, aku tak akan masuk jika tak ada Rusydi di sampingku. Kemana anak itu yah, kok dari tadi belum juga muncul. Sekitar setengah jam aku menanti ketidakpastian munculnya batang hidung si Rusydi. Dan akhirnya kuputuskan untuk kembali ke komplek menjemput sahib terbaikku itu.

            Aneh, padahal aku melintas di jalan yang benar menuju rumahnya. Tapi, kok ramai sekali, bahkan berkumpul orang-orang berpakaian serba hitam. Jangan-jangan si Rusydi melakukan hal tersebut. Tapi lekas ku bertutur “…Astaghfirullahal’adziim”, tidak boleh berprasangka buruk dulu. khawatir nanti malah salah paham lagi. Aku coba memasuki rumah tersebut perlahan. sembari coba kutemukan pemuda berambut keriting di dalam sana.

            Wajah bingungku tampak sekali di tengah keramaian. Namun serasa tangan ini ada yang menarik dari belakang, kulihat rupanya si Rusydi. Ia menarik sampai ke luar rumah hanya berdua saja. sembari tersenyum kucoba bertanya perihal keramaian ini. Belum sempat kugerakkan bibir, ia sudah memelukku dengan air tangis berseduh-seduh. Wajah ini bermaksud menenangkannya agar tidak menangis berlebihan. Kulepaskan pelukannya dan sesekali menatap matanya yang basah sembab.

            “ Ibuku sudah meninggal mam…” ucapnya dengan suara tipis.
            “ Innalilahi wainna ilaihi raji’un… maaf ya Rusy” Tampangku berubah merah terkejut hebat, siapa sangka geledek menyambar hati ini di siang bolong. Siapa yang tidak sedih ditinggal Ibu sebatang kara. Siapa yang tidak teriris kehilangan orang yang paling dicintai. Siapa yang bisa tertawa kala orang yang paling disayangi tiada. Oh, Rusydi sahabatku yang malang.

            “ Umam, entahlah apakah aku masih akan ikut lomba puisi. Karena orang yang kucintai sudah pergi. Buat apa aku berpuisi lagi. Jika kamu masih mau ikut lomba itu, berjanjilah padaku sobat. Jangan kau baca puisi itu, kecuali dihadapan orang yang paling kau cintai” ucap Rusydi di depan wajahku.

Lelaki keturunan Jawa dan Madura itu mendorong tubuhku agar menjauh dari dirinya. Mungkin anak cerdas itu tengah ingin sendiri. Aku pun menjadi salah tingkah, sekarang harus ke mana dan mau apa. Sudahlah, aku pulang saja mungkin ada sesuatu yang bisa kulakukan.
***

            Kugonta-ganti chanel televisi, tapi semua tayangan membosankan. Kulihat si mbah putri  tengah bersiap-siap hendak berpergian. Pasti mau ngelayat ke rumah Rusydi. Dan bu Sri tampaknya sudah menunggu di depan siap menghantar si mbah putri keluar. Setelah kutanya bu Sri, eh malah hendak ke Rumah Sakit menjenguk Lastri. Rupanya mereka sudah ngelayat tadi pagi. Dan tentu saja aku di rumah sendiri mengawasi Zuhdan yang tengah pulas di dalam kamar.

            Sendiri termenung di dalam rumah, seolah diikuti hadirnya bayang-bayang Lastri yang sibuk mondar-mandir di dalam rumah. Kucoba untuk menghilangkan imajinasiku itu. Tapi semakin kuat saja hadirnya bayangan ibu Tiriku itu. Kali ini kuamati bayangan Lastri tengah bercanda bersama Zuhdan di depan televisi. Apa ini karena kekurangajaranku selama ini. Benakku memunculkan memori saat ia kubentak-bentak hanya karena masuk kamar tanpa izin, padahal ia hendak membangunkan sahur.

Sejenak ku berpikir mengenai ibu. setelah membanding-bandingkan antara aku dan Rusydi. Kini mulai kusadari bahwa begitu besarnya jasa ibu. Bukankah seama ini Lastri tak pernah mengeluh di rumah ini. Zuhdan yangbukan anak kandungnya masih rela ia asuh. Apalagi ia tengah hamil tua, tanpa ada suami di sampingnya.

Apakah pantas Sulastri kupanggil Ibu. kali ini kembali Lastri membayang-bayangiku. terlihat ia seperti menghidangkan makanan di atas meja makan. Kucoba memanggilnya dengan panggilan ibu. Tapi tak ada jawaban darinya dan bayangan Lastri menghilang begitu saja. Ah sudahlah, kutinggakan Zuhdan sendirian di rumah. Aku akan menyusul ke rumah sakit sekarang juga.

            Semakin ku pacu kuda besi ini, kian dekat saja jarak antar aku dan Lastri, eh maksudku bu Lastri. mulai sekarang tak mengapalah ku panggil dia bu Lastri, Ibu tiriku. Sudah semakin dekat aku khawatir perasaanku yang berlebihan ini akan memunculkan kejadian lain. Jangan sampai ibu tiriku itu menyusul ibunya Rusydi. Hingga sampailah aku di depan kamar bu Lastri, tapi entah kenapa kakiku memilih berhenti tak mau masuk ke dalam. Apa karena mentalku belum siap menganggap ia sebagai ibuku. Dan degub jantung kian kencang saat terdengar suara kaki berjalan dari dalam hendak keluar pintu. Sedikit ku menjauh dan berbalik badan, jangan-jangan itu bu Lastri. kian jelas suara langkah kaki itu membuat gugup saja. Dan untungnya cuma seorang suster yang berjalan agak tergesa-gesa.

            “ em Suster, saya mau tanya tentang kondisi pasien di kamar Kamboja ini…”
            “ oh, bu Sulastri maksudnya…? Anda siapanya ya…?” Mendengar pertanyaan itu aku hanya terdiam. Haruskah kujawab bahwa saya adalah anaknya.
            “ kalo gitu ga jadi suster, saya ada urusan mau cepat pulang. terima kasih” aku mencoba mencari aman menjauhi perawat itu. Tapi dari belakang terdengar suara perawat itu memanggil. Namun aku hanya pura-pura tidak mendengar. Semakin suster itu mendekatiku, mungkin karena heran.

            “ maaf mas, kalau cuma sekedar ingin tahu. Saya sekedar menginfokan  kalau bu Lastri mulai besok sudah bisa pulang. dia Cuma shock saja karena kecapean…” ucap suster tersebut. Dan aku hanya bisa membalas senyum sambil berlega hati. Ternyata tidak terjadi apa-apa dengan bu Lastri. Syukurlah, lagi-lagi aku bingung dan salah tingkah mau kemana sekarang. Sampai akhirnya ku teringat dengan si Zuhdan adikku yang tertinggal sendirian di rumah. Ya sudahah pulang saja.
***

            Pagi hari ini merupakan hari kedua yang begitu melelahkan tulang-tuang punggungku. Ya apalagi kalau bukan beres-beres rumah hingga menyiram bunga di pekarangan depan. Kian dekat ku siram bunga yang di dekat pagar, ku tatap seorang lelaki berjalan di luar sana. Ya si Rusydi yang berjalan dari ujung komplek ke ujung komplek. Ingin rasanya kusapa sahabatku itu. Tapi bibir ini terkunci begitu rapat, seolah memahami bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk menghibur Rusydi.

            Kembali ku kembali ke dapur. Dan waktu yang kunanti-nanti hadir sudah. Karena bel rumah berbunyi pertanda bu Lastri pulang ke rumah. Ternyata benar, ia berjalan perlahan dituntun bu RT. Dengan gesit ku temui mereka dan menyambut bu Lastri mengganti bu RT yang tadi menuntunnya. Baru kali ini aku merasakan menuntun seorang ibu. Kini aku tak peduli ibu kandung ataukah ibu tiri. Tampaknya ia memang harus istirahat sehingga kubiarkan bu Lastri berbaring di ranjangnya. Tapi entah kenapa, masih saja aku sulit untuk mengeluarkan kata-kata apapun di depan bu Lastri.

            Kembali aku ke dapur menghidupkan kompor gas sekedar menumis sayur untuk makan Zuhdan. Aneh, kucari-cari garam dapur tak juga ketemu. Sialan, dimana kemarin kuletakkan barang tersebut. Wajah kesalku jelas terlihat di dapur seperti orang gila.

            “mas Umam cari apa ya, kok repot-repot masak di dapur…?” aku kenal suara itu, suara bu Lastri yang sedari tadi ternyata bangun dari tidurnya dan memperhatikan aku. Aduh gawat ini, hendak kujawab apa omongannya. Sambil berbalik ku hadapkan wajahku padanya.

            “ ini, apa ya, itu… cari dapur! eh, maksudnya garam dapur. he he, mau masak tumis buat si Zuhdan. dimana ya tempatnya?” matilah aku, habislah gayaku kali ini benar-benar aku salah tingkah. Bola mata ini mengarah ke segala arah yang tak jelas.

            “ ya sudah, biar saya saja yang melanjutkan masaknya…!” akhirnya keluar kata-kata itu dan selamatlah aku. Dan melihat wajah bu Lastri yang selalu senyum, akhirnya untuk pertama kalinya aku membalas senyumnya sembari meninggalkan dapur.
***

Alhamdulillah setelah lama akhirnya hari yang kunanti tiba. 17 Ramadhan bertepatan dengan 17 Agustus hari yang bersejarah bagi hidupku. Sejak semalam teah matng-matang kusiapkan puisi yng terbaik. Ingin rasanya mengajak bu Lastri ke kampus menyaksikan aku berpuisi. Tapi sepertinya tak mungkin, apalagi ia tengah menjaga kandungannya. Ya sudahlah, kutulis saja di kertas selembar untuk bu Lastri. semoga ia membaca, tapi kuharap ia tak membacanya.

            Sebelumnya saya berharap tidak ada satupun yang membaca surat ini.
Kepada Yth bu Lastri
Bu Lastri, sebenarnya saat ini 17 Ramadhan adalah hari yang paling penting dalam hidupku. Hari ini aku mengikuti Lomba baca puisi di kampusku. Jikalau bu Lastri mau datang untuk menyaksikan anakmu ini, sungguh gembira tiada terkira. Nanti sore di ruang auditorium budaya FBS. Karena dulu aku teralu berjanji kepada sahabatku agar membaca puisi ini di hadapan orang yang paling kucintai.
            Akan tetapi jika bu Lastri tak berkenan hadir, tidak apa-apa. Karena menjaga kandungan itu lebih utama. Maafkan jika permintaan saya begitu berlebihan.
(Anakmu, Misbahul Umam)
***
Kampus begitu panas, padahal hari sudah sore. Aku begitu kecewa karena pagi tadi 
ternyata Rusydi tidak hadir mengikuti kompetisi yang dinanti-nantikannya. Kini semangatku pupus sudah, tanpa kehadiran sahibku itu. Ingin ku mundur saja, apalagi bu Lastri juga pasti tak akan datang. Aku tahu waktu tidak akan mundur, mungkin giliran tampilku sudah kian dekat. Apa sebaiknya aku masuk saja, membaca puisi seadanya terus pulang. Ya akhirnya kuputuskan masuk saja. Daripada tidak mendapatkan apa-apa, apalagi kemarin sudah terlanjur membayar uang registrasi.

Ruangan yang besar ini membuatku kepercayaandiriku jatuh. Ditambah adatnya penonton dari berbagai fakultas kampusku. Matilah aku sore ini. Kian lama, kian dekat nomor urut yang terpanggil. Hingga tibalah namaku dipanggil oleh pemawa acara dengan nomor empat puluh lima. Awalnya sudah kuniatkan tidak akan tampil. Sampai terlintasah di benakku wajah Rusydi yang membuatku berpikir ulang untuk mundur. Ya sudahah, maju saja dengan pikiran kosong. Dan aku masih tak percaya kini aku sudah di depan panggung yang kunanti-nantikan sejak lama, tapi malah kurusak begitu saja. Baca saja puisi…

 “…Puisi ini kupersembahkan untuk ibuku yang ada di rum..” Belumlah tuntas kubicara, di dekat pintu jelas kulihat sosok yang tak akan kulupakan. Subbhanallah, bu Lastri ternyata datang juga. Ya kuperhatikan disampingnya adalah sahib karibku yang melambai-lambaikan tangan ke arahku. Sungguh terharu diriku atas kehadiran mereka berdua. Karena bagiku itu sudah cukup meski tidak memenangkan lomba ini. Padahal belum kubacakan puisi, namun kembali tetesa air mata jatuh di panggung bersejarah ini.

“Baiklah, saya ulangi. Bahwa puisi ini ku persembahkan untuk ibuku yang ada di barisan penonton belakang sana…” tanpa dinyangka tepuk tangan meriah terdengar jua.

Wanita Pemalu
Oleh: Misbahul Umam

Kau bangun, saat kami dipenjara oleh angin malam
Kau bersihkan, apa saja yang telah kami kotori
Kau bersabar, atas segala emosi
Kaulah, wanita pemalu
            Tampak di kejauhan masih berdiri dengan tersenyum ibuku, sulastri. Kini dengan bangga akan kupanggil wanita pemalu itu dengan panggilan IBU di akhir puisi ini.
Cantik parasmu, kian bercahaya
Indah hatimu, merobek-robek prasangka jahat
Walau awalnya, aku tak kenal persis dirimu
Karena kau wanita pemalu
            Selanjutnya saat kualihkan pandangan ke bangku penonton. Betapa kagetnya, kala ibuku dan Rusydi sudah di barisan paling depan. Tambah deras saja air mataku mengalir karena terharu sampai-sampai kuhentikan sejenak suaraku menanti reda cucuran ini. Kulanjutkan puisi ini…
Duhai wanita pemalu
Maafkan kami yang acuhkan harga dirimu
Terimalah kami, walau kadang menghinakanmu
Berilah kami, meski sedikit senyummu
Engkau wanita pemalu
Wanita paling kusayangi
Engkau juga menyayangi kami
Duhai ibuku, wanita pemalu.

                                                                        Yogyakarta, 17 Ramadhan 1431 H

            Selesai puisi dideklamasikan, penonton kian riuh menyambut langkahku. Lega rasanya, dengan percaya diri kudekati bu Lastri. Belumlah sampai aku di kursi penonton, ia justru lebih dulu memeluk tubuhku. Tahukah, ini adalah pertama kalinya dipeluk oleh seorang ibu. Ya kini kuucapkan padanya.
            “ Terima kasih ibu…”

Tidak ada komentar