Menu
Teguh Indonesia

Bocahku

 
 
Oleh: Teguh Estro
                                                                                            
            Kaki tergesa menuju rumah, sepulang kerja. Sebelum keringat ini mengering diserap dingin malam. Jemari kekarku mengetuk pintu triplek rumah. Tanpa panjang usaha, senyum isteriku sudah menyambut senang. Lama kutatap wajah oval berjilbab ungu dihadapanku ini. Riana pun hanya diam namun tak dapat menutupi pipi merahnya. Hingga akhirnya azan Isya’ memecahkan suasana.

            “ Sudah, mandi sana terus sholat….” Isteriku.

            Malam ini begitu bising. Naluriku menangkap ada seganjil yang tak beres. Purnama datang namun tak kuasa menerangi bumi. Satu per satu cahaya tertutupi debu. Serta suara bising mesin bekerja mengiringi detak jantung. Disana, di ujung jalan desa terdapat keramaian mesin penggali. Sampai kuputuskan untuk tidak tertarik lagi pada dewi malam. Mungkin masuk ke bilik kamar saja.

            “Sayang, buka pintunya…”
            “Iya mas, sebentar…”
            “kamu belum tidur sayang…” Tanyaku manja.
            “Gimana mau tidur, dari tadi Cakra nangis terus…”
            “ya sudah, Cakra biar mas yang gendong dulu. Kamu istirahat dulu ya”
            “Mas kok tumben, pasti ada maunya. Ya udah itu Cakra di dalam kamar dibawa aja. Aku mau masak air dulu”

            Cakra anak pertama kami, baru satu tahun, baru belajar bicara dan baru mengenal dunia. Pangeran kecil ini memang jago sekali menangis. Dia terus berteriak tanpa rasa bersalah. Percuma rasanya aku pura-pura tersenyum di hadapannya. Kalau memang menangis adalah kebahagiaannya, maka biarlah buah hatiku ini berekspresi  sekencangnya. Aku pun tak tahu, apakah Cakra benar-benar menangis atau hanya akting belaka.

            Riana, isteriku melihat tapi lebih tepatnya meledekku. Ia menikmati kecanggunganku menggendong Cakra. Mungkin karena jarang aku mengasuh di rumah. Perlahan wanita setengah arab itu menghampiri dua lelaki yang sama-sama egois.

            “Sini mas, biar aku yang gendong Cakra” Isteriku…
            Dengan berat rela, berpindahlah bocah rewel ini pada timangan Riana. Akankah hanya menyerah pada rutinitas malam. Melamun, Minum kopi lalu terlelap. Tidak…! Aku harus keluar rumah, meski debu malam kian pekat. Kujalani perlahan kegelapan ini. Ternyata aku berjalan terlalu jauh. Mulai terlihat balai desa, tempat kenangan masa lalu. Sebuah balai  pertemuan pernikahan aku dan Riana, begitu luas dan gagah.

            Duduk seorang diri sambil menggaruk ketiak yang gatal. Sengaja lampu tak kunyalakan, karena malas mau menghidupkan tombolnya nan jauh di ujung ruangan. Balai desa ini memang tidak bertembok, hanya pilar-pilar kokoh yang menopangnya. Dari kejauhan ternyata ada sesosok lain yang bersandar di pilar belakang. Jantungku berdegub tak beraturan. Siapapun dia pasti orang jahat, jelek dan berniat memperkosa. Agak takut tatapan ini mulai fokus pada wajah itu.

            “Ngapain kamu lihat saya serius banget dul….” Tiba-tiba wajah itu menyebut namaku. Ternyata mang Zali penjaga balai yang juga asyik menyendiri bersama puntung rokok berbibir merah membara di ujungnya. 

Kian malam, satu per satu penduduk berdatangan ke balai untuk menyendiri. Mereka tanpa diundang berjalan menuju tempat yang sama dan tujuan yang sama, menyendiri. Ruangan ini kian ramai oleh manusia, ramai sekali. Sampai akhirnya terdengar suara tangisan yang sangat kukenal. Seorang ibu muda menggendong anak bayi yang meronta-ronta. Itu pasti Riana dan Cakra yang juga memasuki balai desa dan duduk jauh dari tempatku. Cakra berteriak dan menangis sangat kencang. Satu per satu orang yang tadinya menyepi sendiri, kini mereka berceloteh bak suara lebah yang dikomandoi oleh tangisan anakku. Tanpa disangka, tangisan Cakra mengundang tangisan anak-anak lainnya.

Balai desa kian gaduh oleh ragam suara. Tangis bayi, ocehan ibu-ibu, teriakan dan suara bising mesin penggali dari kejauhan. Ditambah lagi suara batuk para sesepuh yang menghirup udara malam yang sangat berdebu. Udara malam yang tadinya dingin kini bertambah panas dan gerah. Di tengah gelapnya ruangan balai desa, aku pun berteriak.

“Adoooouuuuuh sakit” Kakiku terinjak oleh sebuah tumit dengan sangat kuat.

Sepertinya orang di sebelahku benar-benar menyengaja. Ini bukan injakan biasa. Ada sensasi kebencian yang dalam. Lalu seketika lampu menyala menyilaukan mata. Kini tampaklah terang-benderang apa yang terjadi. Kulirik sekeliling ruangan balai sungguh menakjubkan. Penuh oleh warga desa yang berdesak-desakan. Dan di hadapan kami semua, tampaklah kepala desa yang tak lupa membawa wajah bingungnya. Dan yang membuat aku heran adalah ternyata orang yang menginjakku tadi adalah Riana isteriku dengan berpakaian batik merah bergaris hitam.

Semua yang hadir tidak ada yang mau memulai untuk bicara. kami asyik berbicara dengan diri sendiri. Mengumpat keadaan, mengumpat debu yang merusak kesehatan, mengumpat suara bising mesin penggalian. Selanjutnya tentu saja menunggu pak Jarko untuk bicara. Namun kepala desa itu jauh lebih diam dari kami. Hingga akhirnya ia terusik juga untuk bicara karena tak tahan mendengar tangisan Cakra.

“Tolong bayi itu disuruh diam, mengganggu saja” Namun Cakra seperti biasa pintar berpura-pura dan terus berteriak dan menangis.

“Bu Riana, bisakah anak anda ditenangkan dulu” minta pak Jarko lagi.

“Maksud pak Kades, anak saya. Emang kenapa…?” Jawab Isteriku yang terlihat cantik malam ini.

“Anak anda ribut dan mengganggu kepentingan umum…” Ucapan pak Jarko ini disambut oleh tangisan Cakra yang kian kencang.

“Oh, Jadi apapun yang ribut itu mengganggu kepentingan umum ya..!! kalau menurut anda cuma suara anak saya saja yang mengganggu. Berarti telinga anda yang rusak pak Jarko….” Jawab isteriku ketus, tapi bagiku itu aura kecantikan yang tiada tara.

Pak Jarko kian bingung di balik baju kotak-kotak nya. Sebenarnya dia tahu apa yang dimaksud Riana. Bukan suara Cakra yang mengganggu desa ini, tapi suara bising mesin penggali yang meresahkan. Bahkan debunya cukup mengganggu siapapun yang berkeliaran di luar rumah.

***

            Keesokan paginya tanganku dicium oleh Riana, tanda hendak berangkat kerja. Baru saja sampai di luar pintu, terlihat Pak Jarko di jalan depan rumahku. Ia tampak terburu-buru bersama isterinya yang menggendong seorang bayi. Setahuku mereka tak punya anak bayi. Dan sangat mencurigakan karena bayi yang dibawa itu terus menangis kencang, persis Cakra. Mau kemana mereka…

            “Woi Pak Jarko, Mau kemana…?” Tanyaku bersahabat.
            “Mau ke Kantor Camat mas Abdul…”

Tidak ada komentar