Menu
Teguh Indonesia

Miskin Harta vs Miskin Mental


Oke sob, sebelum kita jauh membahas terkait dunia sosial. Saya mau sharing tentang hal yang mendasar dulu. Apa itu? yah itu dia, problem kemiskinan. Saya yakin kalian pasti pada tertawa. Ya iya lah, sudah bérapa banyak seminar diadakan untuk membahas kemiskinan. Hehehe mungkin kita salah satunya yang sering koleksi kartu peserta Seminar Kemiskinan. Toh, penyakit kemiskinan tak kunjung menemukan penawarnya.

Banyak yang bilang kemiskinan inilah ‘biang kerok’. Atau bahasa kerennya, kemiskinan memunculkan efek domino bagi masalah-masalah sosial lainnya. Perhatikan saja, setiap ada masalah sosial ujung-ujungnya dikaitkan dengan ‘Faktor Ekonomi’. Tingginya angka kriminalitas, katanya faktor ekonomi. Maraknya aksi KDRT dalam keluarga, juga dikarenakan faktor ekonomi. Bahkan meningkatnya jumlah para jomblo bisa jadi lantaran Faktor Ekonomi sob he he he. So, tak heran bila pemerintah kerap menjadikan angka kemiskinan sebagai indikator maju mundurnya kinerja. Namun, kita tak akan bicara soal angka-angka itu, saya janji deh. Yah karena kemiskinan itu sebuah kondisi yang multi dimensi. Lebih dari sekedar angka, dalam kemiskinan itu ada bahasan tentang penyebab kemiskinan, pengaruh kemiskinan, lingkungan yang memiskinkan dan yang lebih ngeri lagi adalah kemiskinan mental.

Duh gaes, bahasannya sudah mulai serius nih. Okelah kita lanjut ya. Coba deh kita buat pertanyaan yang lebih kritis lagi. Seandainya orang-orang yang bermasalah dengan faktor ekonomi ini diberi sumbangan uang, anggap saja masing-masing 20 juta. So, apakah masalah akan selesai? (tolong tanda tanya-nya digedein dong), Jawab...! oke kalau kita mau sok bijak, mungkin akan muncul jawaban begini : “ya, tergantung orangnya dong” atau gini nih: “ya kalau dikasih uang 20 juta, ada yang bisa menyelesaikan masalah, ada juga yang tambah bingung”.

Kalau kita mau jujur, banyak masyarakat miskin yang bertambah rusak ketika mereka diberi bantuan cash money. Yah, ini bukan sekedar asal omong doang. Setidaknya penulis pernah melihat sendiri. Ada yang diberi bantuan modal, malah ribut dengan keluarganya. Ada lagi mereka yang mendapat bantuan, tapi uangnya dibagi-bagikan pada orang lain. Ada juga yang sampai terjerat hutang dan masih banyak lagi masalah lainnya. Bukan menjadi solusi, justru menjadi penyebab masalah baru.

Saya coba beri gambaran sederhananya. Ada sesuatu yang menyebabkan kemiskinan dan kemiskinan pula yang menyebabkan sesuatu itu. Nah pertanyaannya, apa sesuatu yang dimaksud itu? Ini pertanyaanya ngajak berantem ya. Oke deh, jadi gini gaes. Ada beberapa karakter/mental buruk yang membuat orang menjadi miskin. Dan Kondisi miskin pula yang terkadang menyebabkan orang memiliki mental buruk. Penulis sendiri sering berdiskusi dengan kawan-kawan yang menjadi pendamping program PKH, Pendamping PNPM, pendamping Bantuan Kelompok Usaha Bersama. Intinya ada sebuah benang merah dari faktor ekonomi yang melilit masyarakat kita. Yakni, faktor mental masyarakat.

Mental masyarakat ini bisa divisualisasikan dengan kondisi ibu-ibu yang antri bantuan bagi masyarakat miskin sambil membawa kalung emas dan bercincin permata. Nggak malu tuh sama kalung dan cincin. Atau seorang pemuda tampan gagah perkasa yang berebut bantuan raskin bersama kakek tua. Haduh, pusing kan. Padahal kejadian itu adalah kondisi nyata di sekitar kita.

Nah, sekarang bagi siapapun dari kita yang mau ambil bagian menjadi solusi maka berpikirlah untuk memperbaiki mental masyarakat kita. Mungkin di antara kita ada yang berperan sebagai relawan sosial, aktivis sosial, pendamping program sosial, pekerja sosial atau apalah yang ujungnya sial, sial sial.... ups. Ayolah, kalau tidak ada yang mengambil peran ini, gawat sob. Bukan melulu membantu dengan membagi-bagi fulus. Tapi buatlah program yang membuat masyarakat kita memiliki skill dan kompetensi untuk berubah. Sederhana saja, semacam skill manajemen administrasi, kemampuan berorganisasi, tidak gaptek, akrab dengan bacaan yang membangun, atau membuat lingkaran diskusi entrepreneur.

“Terus caranya gimana...?” (tiba-tiba ada yang bertanya dengan berteriak)
“Saya di kampung ini bukan siapa-siapa, masih dianggap anak ingusan” ujarnya.
“Mereka tak akan mau mendengar” tambahnya sambil tercekat-cekat.
“Tidak, tidak Roma. Oh Ani” loh loh kok?

Alamak, kok jadi ribet gini ya urusannya. Okelah kalau kalian menjadi pejabat mungkin agak berbeda ceritanya. Dimana seorang pejabat jika minta dibuatkan kopi, masyarakat malah menyuguhkan kopi tambah gorengan dan sebungkus rokok mungkin. Intinya bila posisi sebagai pejabat ya pasti dipandang masyarakat lah. Sukur-sukur, kalau ada pejabat yang mau mengambil peran mengajak rakyatnya berubah. Dengan membuat program-program yang mendidik mental dan membuka akses peluang kemajuan bagi masyarakatnya. Tapi yang jadi persoalan, pejabat yang begini gak banyak bro.


Perubahan mental masyarakat tak harus menunggu ente jadi pejabat dulu. Bahkan bisa dimulai dari perkara-perkara yang sederhana. Misalnya sambil nunggu peserta arisan kumpul di kantor desa. Daripada ngobrol gak jelas tentang rumah tangga orang, mendingan diajak ngobrol tentang kampung sebelah yang punya program “Kampung berbasis IT” atau kalian yang habis baca di Internet tentang “Desa wisata sungai”. Berarti kita kudu banyak baca gaes. Emang mereka mau dengar? Entar dicuekin gimana? Setidaknya kita sudah mencoba. Kalau itu tak berhasil, pake senjata lain. Seorang pelopor perubahan masyarakat tak boleh kehabisan ide.

Tidak ada komentar