Oleh: Teguh Estro*
image: http://putracenter.net
“Sistem ekonomi dunia adalah sebuah rumah kartu”
(Richard W. Mansbach)
Baht Anjlok, Ringgit pun Merosot
John Maynard Keynes menolak gagasan klasik yang menyatakan bahwa
sistem kapitalis akan melakukan penyesuaian sendiri dalam jangka
panjang. ia beranggapan kapitalisme itu tidak stabil, karenanya dapat
mandek terus-menerus pada berbagai tingkat. Keynes menyalahkan penyebab
ketidakstabilan kapitalisme pada investor yang buruk. Intelektual
ekonomi jebolan
Cambridge University ini mengeluhkan “semangat
kebinatangan” yang dangkal dan irasional dari spekulator yang membuang
saham untuk mendapatkan likuiditas pada masa krisis. Hal ini benar-benar
jelas terasa pada saat krisis Asia tahun 1997.
Pada tanggal 2 Juli 1997,
Finance one perusahaan keuangan
terbesar di Thailand jatuh bangkrut. Banyak spekulan meninggakan mata
uang baht karena menduga nilainya akan turun. Sebaliknya Dollar AS terus
menguat seiring para investor berbondong-bondong membeli dollar Amerika
Serikat. Nilai baht turun drastis nyaris 20 persen hanya dalam hitungan
jam. Kehancuran moneter di negeri ‘gajah putih’ ini menjadi pemicu
terjadinya krisis Asia. Dalam beberapa hari, para spekulan mulai menjual
mata uang Asia lainnya, termasuk mata uang ringgit. Malaysia menderita
dampak Devaluasi baht beberapa hari kemudian ditandai merosotnya nilai
tukar ringgit terhadap dollar AS di pasaran. Indeks gabungan di
Kuala Lumpur Stock Exchange pun jatuh dari sekitar 1300 menjadi mendekati 400 poin.
Kemerosotan nilai ringgit memaksa Bank Negara Malaysia (
Central Bank)
melancarkan intervensi agresif terhadap pasar uang. Akan tetapi
intervensi melalui penjualan Dollar AS dan menaikkan suku bunga deposito
ringgit tidak berhasil, malah nilai ringgit terjun bebas. Hingga
akhirnya Bank Negara menyerahkannya kepada pasar. Nilai ringgit anjlok
dari 2,49 per dollar AS sebelum krisis hingga mencapai angka 4,80 per
dollar AS.
Dampak dari keguncangan moneter ini sudah tertebak mengakibatkan
efek domino terhadap perekonomian domestik. Malaysia yang baru setahun
sebelumnya menduduki peringkat dua dalam negara-negara industri baru,
mendadak jatuh miskin dan di ambang kebangkrutan. Utang luar negeri
membumbung akibat perbedaan nilai tukar, yakni dari 98,8 milyar dollar
AS pada tahun 1997 menjadi 166,2 milyar dollar AS pada tahun yang sama.
Lalu berkembang menjadi 171,8 milyar dollar AS pada tahun 1998.
Mahathir, ‘Rezim’ yang berhasil
Pada 26 Juli 1997, Mahathir tampil di muka publik dan menuding
secara keras spekulan valuta asing (valas) sebagai penyebab krisis
moneter Asia. Pada 20 september 1997. Politikus dari UMNO itu
mengejutkan forum pertemuan IMF-
World Bank di Hongkong. Ia menyebutkan bahwa krisis ekonomi Asia sebagai suatu krisis ekonomi yang dimanipulasi (
a manipulated economic crisis).
Menurut Mahathir, jual beli mata uang seharusnya hanya untuk membiayai
perdagangan internasional dan bukan untuk mendapatkan keuntungan, karena
uang bukanlah komoditas. Perdana Menteri Malaysia ke-4 ini termasuk
salah satu pemimpin Asia yang menganggap bahwa dibalik krisis moneter
Asia, terdapat konspirasi kapitalisme global yang didukung Barat-Yahudi
melawan Asia-Islam-Konfusius. Krisis ekonomi Asia oleh Mahathir dilihat
sebagai alat yang dimanfaatkan oleh kekuatan ekonomi negara-negara
industri maju. Negara barat mencoba menghentikan laju negara-negara Asia
Timur dan Asia Tenggara yang sedang secara bertahap hendak menjadi
kekuatan dunia.
Mahathir Muhammad begitu
kekeuh dengan prinsip
look east policy
yang ia terapkan. Negara-negara timur khususnya Asia bukan saatnya lagi
dianggap sebelah mata. Ia mencontohkan bagaimana kemajuan yang dialami
oleh India di bidang IPTEK karena sentuhan pemerintah yang tepat.
Sehingga saat Asia mengalami krisis sekalipun, jangan sampai
pemimpin-pemimpin Asia begitu mendewa-dewakan resep ekonomi dari IMF
yang dikenal dengan ‘konsensus Washington’ itu. Bahkan Wakil Perdana
Menteri, Anwar Ibrahim sampai didepak oleh Mahathir dari jabatannya
hanya karena menerapkan resep ekonomi
a la IMF dalam mengatasi krisis.
Anwar Ibrahim yang juga merangkap menteri keuangan pada saat itu
melakukan ‘kudeta ekonomi’ dengan melakukan rapat kabinet tanpa dihadiri
Mahathir. Dan kebijakan yang dihasilkan pada waktu itu dikenal dengan
‘Paket 5 desember 1997’. Politisi muda yang pernah memimpin Angkatan
Belia Islam Malaysia (ABIM) itu justru mengadopsi strategi pengetatan
ekonomi mirip dengan rekomendasi IMF yang juga dipakai Thailand dan
Indonesia. Strategi ini menekankan pengurangan belanja negara dan
penghentian proyek-proyek infrastruktur hingga kembali normal. Anwar
Ibrahim mengumumkan penundaan sejumlah pembangunan megaproyek.
kendatipun Anwar menuai pujian dari Presiden Bank Dunia James Wolfensohn
pada saat itu, Mahathir tetap saja menolak kebijakan tersebut. Mantan
Menteri Pelajaran dalam pemerintahan kabinet Tun abdul Razaq itu
mengumumkan bahwa proyek pembangunam kereta api dan pipa air minum
senilai 2,7 milyar dolar AS tidak termasuk proyek yang dihentikan.
Beberapa langkah Anwar Ibrahim yang begitu kontras terhadap prinsip
ekonomi Mahathir Muhammad ada dua hal. Pertama, memperketat belanja
pemerintah federal sebesar 18%. Kedua, menghentikan mega proyek yang
tidak strategis dan esensial. Tercatat pembangunan besar-besaran yang
dilakukan Mahathir antara lain :
- Jalur Utara-Selatan yang dapat mempercepat setengah waktu perjalanan di pesisir selatan Malaysia.
- Pelabuhan Tanjung Pelepas.
- Kemegahan Bandara Internsaional Kuala Lumpur (KLIA) di Sepang yang berdekatan dengan sirkuit Formula 1.
- Bakun Dam, sebagai penyalur semua kebutuhan elektronik di
Malaysia bagian timur, yaitu Serawak dan Saba serta mempunyai kapasitas
yang cukup untuk kekuatan ekspor ke Brunei.
- Stadiun Berkelas Olimpiade Bukit Jalil.
- Menara kembar Petronas, menara tertinggi di dunia pada tahun 1997-2003, yang merupakan simbol dari Malaysia modern.
Kebijakan pemulihan ekonomi
a la IMF –sebagai pilihan
kebijakan Anwar- ternyata gagal. Kebijakan tersebut tak mampu
menghentikan ketidakstabilan nilai tukar ringgit terhadap dollar AS.
Karena pengetatan anggaran dan suku bunga tinggi, masalah pengangguran
belum tertangani. Setelah menyaksikan memburuknya perekonomian karena
paket-paket ekonomi pengetatan yang diterapkan Anwar, pada juli 1998
Mahathir mengumumkan paket ekonomi baru yang disebut
Rancangan Pemulihan Ekonomi Nasional (RPEN). Paket ekonomi tersebut direkomendasikan oleh
Majelis Tindakan Ekonomi Negara (MTEN), badan khusus penanganan krisis yang dibentuk Mahathir sejak Januari 1998, dan diketuai oleh Daim Zainuddin.
Menyusul pemberlakuan RPEN, Daim praktis mengambil alih kewenangan
Anwar sebagai menteri keuangan. Daim selanjutnya menjadi pendukung penuh
kebijakan ekonomi nasionalistik Mahathir. Tentu saja termasuk dukungan
terhadap kebijakan menyelamatkan perusahaan-perusahaan besar Malaysia
yang berada di ambang kebangkrutan. Begitu juga menyokong keberlanjutan
mega proyek yang telah digagas sejak tahun 1980-an. Mahathir berargumen
bahwa justru dalam kondisi krisis ekonomi maka pembangunan mega proyek
harus dipertahankan agar aktivitas ekonomi riil Malaysia terus berjalan
dan tidak menambah jumlah pengangguran.
Pakar Ekonomi dari Universitas Malaya Kuala Lumpur, Sadono Sukirno,
mengungkapkan, Malaysia sudah memiliki sejumlah keunggulan dalam
menghadapi krisis.
Pertama, jauh hari sebelum krisis ekonomi,
Malaysia telah memiliki infrastruktur, seperti jalan raya, listrik,
telepon, air bersih, dan pelabuhan yang handal menghubungkan kawasan
industry, perkebunan, objek wisata dan lokasi lain yang berpotensi
ekonomi tinggi.
Kedua, pemerintah Malaysia konsisten dalam
bekerja. Setiap kebijakan pembangunan, baik jangka pendek, menengah
maupun jangka panjang yang telah diputuskan, dilaksanakan dengan
konsisten. Semuat target diwujudkan secara maksimal. Pergantian
kepemimpinan bukan berarti mengganti kebijakan.
Ketiga, saat terjadi krisis pengangguran hanya berkisar tiga sampai empat persen dari 23 juta jiwa penduduk pada saat itu.
Keempat,
Malaysia memiliki stabilitas politik yang terjaga sehingga proses
pemulihan krisis ekonomi berjalan efektif. Bagi orang asing, mereka
menilai dominasi UMNO tidak demokratis. Tetapi sistem politik tersebut
terbukti mampu memberikan stabilitas di Malaysia.
-------------------------------------
Buku rujukan:
1. Dilema Mahathir, Penerbit Tiara Wacana, Penulis Dr. Endi Haryono
2. Malaysia Macan Asia, Penerbit Garasi, Penulis Khoridatul Annisa
3. Pengantar Politik Global, Penerbit Nusamedia, Penulis Richard W. Mansbach, Kirsten L. Rafferty
4. Wacana Publik Asia Tenggara, Penerbit Kanisius, Penulis Dr. Niels Mulder.
5. Sejarah Pemikiran Ekonomi Sang Maestro Teori Teori Ekonomi Modern, Penerbit Kencana, penulis Mark Skousen
Oleh: Teguh Estro* image: http://putracenter.net “ Sistem ekonomi dunia adalah sebuah rumah kartu ” (Richard W. Mansbach) Baht...