Menu
Teguh Indonesia

Rekonstruksi Peradaban Indonesia

Rekonstruksi Peradaban Indonesia
Oleh: Teguh Estro*
 image:wakalanusantara.com
            Perjalanan 67 tahun Indonesia merdeka kian terjal penuh himpitan. 67 tahun, dalam tolok ukur umur manusia tentu Indonesia bisa dikatakan telah berusia senja. Namun bila perbandingannya sebagai umur suatu peradaban, maka NKRI barulah seumur jagung. Lihat saja, kerajaan Tarumanegara berlangsung selama 2 Abad, Sri-vhidjaya lebih dari 7 abad lamanya atau peradaban Islam yang sempat mendunia dalam kurun hampir 8 Abad. Sehingga hakikatnya Indonesia kudu betul-betul belajar keras untuk menyambung usia peradabannya.
            Setiap peradaban memiliki siklusnya masing-masing. Indonesia telah melalui siklus badawiyah[1]nya. Sebuah fase perjuangan untuk memproklamirkan diri sebagai bangsa yang utuh dan merdeka. Banyak yang berpendapat bahwa nusantara terjajah selama 350 tahun. Itu salah…! Justru dalam rentang 350 tahun itu merupakan waktu susah-payah nya bagi para penjajah merebut jengkal demi jengkal tanah Indonesia. Sehingga secara definitif Indonesia dijajah Belanda hanyalah selama 40 tahun saja. Hal tersebut tertandai dengan adanya struktur administrasi satu garis mulai dari desa, kadipaten, provinsi hingga garis tertinggi adalah kerajaan Holland. Dan saat itu dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Itu pun tidak lama setelah Belanda dan Perancis ditaklukan Inggris dalam perang Eropa. Sehingga kekuasaan Kerajaan Belanda diambil alih ole sir Thomas Stamford Raffles dari kerajaan Inggris selama lima tahun.
            Fase sebuah peradaban terus bergulir dalam setiap negara beriring perubahan karakter manusianya. Begitupun Indonesia saat ini yang dituntut mampu mengisi kemerdekaan. Kapankah masa keemasan Indonesia? Banyak yang berpendapat, masa Soekarno atau Soeharto itulah era kejayaan NKRI. Itu salah…! Karena orde-lama dan orde-baru adalah masa peletakan pondasi negara. Sedangkan di  era reformasi ini merupakan masa transisi yang sangat vital dalam sebuah peradaban. Pasalnya, umur panjang sebuah negara ditentukan saat ia bisa dengan cepat menemukan kematangan bernegara di masa transisi. Apalagi Indonesia yang memiliki territorial begitu luas ditambah ragam perbedaan di dalamnya. Perbedaan suku, kawasan, kepercayaan bahkan perbedaan kepentingan. Boleh jadi masa keemasan Indonesia masih 50 atau 100 tahun ke depan. Hal ini mengingat negara kepulauan terbesar ini belum kaya pengalaman dalam rangka mengisi kemerdekaan. Buktinya saat ini dalam membangun di era reformasi saja masih banyak yang ‘memaksakan’ membanding-bandingkan dengan perjuangan para pahlawan kemerdekaan. Padahal sudah berbeda zaman, psikologis masyarakat bahkan berbeda kondisi perpolitikan pada kedua masa. Seharusnya Indonesia lebih banyak belajar justru ‘tehnik’ membangun a la sokarno, Soeharto ataupun pemimpin-pemimpin pada masa reformasi. Bahkan jangan sampai muncul arogansi meremehkan keberhasilan negara-negara jiran. Indonesia harus mau belajar dari mereka.

Menuju Kematangan Demokrasi
            Dalam pidatonya di hadapan ASEAN 100 Leadership Forum, Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan tiga agenda besar dalam rangka tranformasi bangsa. Satu, pendidikan, untuk memperbaiki sumber daya manusia. Kedua, tata kelola pemerintah yang baik dengan menyediakan administrasi yang responsif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dan terakhir, upaya untuk memperkokoh toleransi, keselarasan, dan kesatuan dalam negara yang majemuk. Tiga poin, pendidikan, good governance dan kesatuan bangsa.
image:skalanews.com
            Pasca kemerdekaan seolah Indonesia melakukan blunder dalam rangka bangkit dari keterpurukan. Yakni, begitu fokus melakukan perbaikan ekonomi dengan mengabaikan sektor pendidikan. Sehingga SDM yang membangun ekonomi bangsa ini bukanlah manusia yang berkarakter kuat. Para pendahulu tidak memulai dengan tradisi menghragai ilmu pengetahuan, menghormati para guru dan bergotong-royong memenuhi fasilitas pendidikan. Parahnya saat ini, karakter bangsa yang lemah sudah menjalar hingga ke struktur pemerintahan. KKN, tindak asusila dan kurang disiplin menjadi penyakit laten berpuluh-puluh tahun lamanya. Pemberantasan penyakit yang telah mengakar tidak bisa dimatikan dalam tempo 1 – 2 tahun. Dibutuhkan keseriusan dalam mendidik mulai dari generasi muda. Salah satu kesalahan paradigma para guru saat ini menyangka bahwa menanamkan karakter unggul hanya bisa dilakukan dengan teori semata. Padahal dibutuhkan kerja keras dalam memberikan tauladan, menyediakan lingkungan yang tepat bahkan asupan yang bernutrisi.
            Good governance, menjadi momok yang menakutkan bila tidak serius dibersihkan. Baik oknumnya ataupun tradisi kotor di dalamnya. Keterbukaan informasi publik salah satu ‘tehnik’ baru untuk menghakimi transparansi kinerja pejabat. Dan untungnya Indonesia menjadikan demokrasi (dan semngat demokratis tentunya) menjadi pilihan. Sebab iklim demokrasi membuat adanya check and balance antar lembaga pemerintahan. Hal tersebut yang membuat setiap institusi pemerintahan terus terpaksa belajar dari tahun ke tahunnya. Begitu keterbukaan informasi publik kian mempersempit ruang para koruptor melanggengkan kroni-kroninya.
            Persoalan pokok ketiga dari bangsa ini adalah spirit sebagai negara kesatuan. Selama ini pendahulu kita terjebak dalam perspektif yang salah. Mereka masih bernostalgia dengan cara lama, yakni prinsip "bangsa hanya bisa bersatu apabila ada serangan dari aggressor luar". Padahal itu adalah ‘mantra’ kuno yang dipakai oleh Jenderal Soedirman dkk. Akan tetapi dalam rangka mengisi pembangunan harus ada komitmen baru dalam melandasi alasan bersatunya bangsa ini. Tidak lain dan tidak bukan, persatuan NKRI didasarkan pada komitmen bersama untuk membangun manusia yang unggul. Dan hal ini sangat relevan mengingat SDM Indinesia yang tidak pernah memuncaki berbagai tolok ukur indek kualitas manusia. 36 juta jumlah pengangguran, pengakses situs porno nomor dua sedunia dan catatan buruk lainnya terkait kualitas manusia. maka dari itu, mewujudkan bangsa yang unggul adalah cita-cita bangsa yang jauh lebih unggul tinimbang gagasan negara merdeka Soekarno atau Kesejahteraan a la Soeharto. Dan kesemuanya kudu diperjuangkan dengan perbaikan pendidikan, good governance serta spirit kesatuan bangsa.



[1] Badawiyah istilah yang digunakan Ibn Khadun untuk menyebut fase awal suatu negara. Suatu fase saat para rakyat memiliki kebiasan orang-orang gurun, berperang dan piawai mempertahankan diri. Mereka mampu merebut kemerdekaan ataupun melepaskan diri sebagai separatis dari negara induk dengan usaha fisik.

*penulis adalah aktivis LPM Lensa Sunan Kalijaga
**bahan bacaan:
--> Negara-Negara di Nusantara karya:Samodra Wibawa
--> Indonesia Unggul karya: Susilo Bambang Yudhoyono
--> Demokrasi, Transisi dan Korupsi karya: Fahri Hamzah

Tidak ada komentar