Menu
Teguh Indonesia

Kontrak Pertambangan Penuh Dosa

 image: Antaranews.com

Oleh: Teguh Estro*

    Segala sesuatu yang tumbuh saat tersentuh proyek tambang, ‘pasti’ tumbang. Kalimat sederhana, namun menyakitkan bagi masyarakat korban eksploitasi lahan. Mereka keseharian hanya menghirup udara ‘ampas’ pengerukan. Seumur hidup terus teraliri sungai keruh limbah barang galian. Belum lagi wong cilik yang pasrah setelah kalah sengketa lahan dengan pelaku perusahaan. Seperti para petani di Kabupaten Kulonprogo yang menjadi pesakitan kehilangan tanah karena direbut korporasi. Seenaknya penjahat tambang menggali dan menjualnya ke negeri orang, sedangkan rakyat sekedar merasakan kegersangan.

    Izin tambang galian di Indonesia begitu subur-menjamur. Bayangkan sedikitnya 10 ribu izin tambang yang telah dikeluarkan kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), baik itu izin eksploitasi maupun sekedar izin ekspor. Terkesan pemerintah abai dalam mencegah setiap kontrak dengan perusahaan tambang. Siapapun yang berduit bisa dengan mudah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Bahkan dalam satu wilayah tambang kerap terjadi kompetisi lebih dari lima perusahaan.

    Pemerintah daerah sekaligus negosiator dalam kontrak tambang acapkali tergiur dengan pundi-pundi rupiah. Sebagai stakeholder kunci, mereka justru menjuabelikan izin tambang tanpa ‘ba-bi-bu’ lagi. Tentu saja tawaran pilot project dari perusahaan yang memberikan dana besar akan ter-acc segera. Setali tiga uang, terkadang pemerintah pusat pun hanya membisu karena sudah dititipi ‘amplop’ juga. Untungnya belakangan ini Pak Jero Wacik (Menteri ESDM) mulai mewacanakan untuk memperketat izin tambang. Itupun karena terpicu kasus di Bima yang menyeret PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) telah banyak menuai kritik, termasuk dari Presiden.

    Banyak faktor yang kudu diperhitungkan supaya izin penggalian benar-benar ketat. Pertama, perusahaan mengikuti prosedur perizinan secara konsekuen. Bukan sekedar wajib mengantongi izin dari pemerintah, terlebih kulonuwun dulu kepada masyarakat menjadi harga mati. Kedua, Perizinan tambang pun harus dilelang secara inklusif. Dengan adanya transparansi negosiasi, setidaknya bisa mejadi filter terhadap liarnya korporasi kelas ‘abal-abal’. Pasalnya sudah jamak diketahui, bahwa izin tambang kerap ujug-ujug turun menjelang Pemilu Kepala Daerah (PEMILUKADA). Siapapun pasti mudah menebak, motif ‘binal’ apa yang ada disebalik bubuhan stempel para pimpinan daerah. Maklum, para incumbent butuh dana cepat untuk pembiayaan kampanye pemilu. Pihak mana saja asalkan tajir bisa dijadikan partner di meja negosiasi.

‘Borok’ Pertambangan Terus Menganga
       Perusahaan pemilik modal benar-benar telah kebal hukum. Mereka hendak menjadi raja di setiap sektor-sektor ekonomi. Siapapun yang menguasai sektor ekonomi, maka kekuasaan itu akan mendorong pada penguasaan manusia juga. Demikian juga dalam dunia hukum dan penegakkannya. Hukum tidak mungkin dilepaskan dari kuasa dan relasi-relasi ekonomi (M.Ridwan Affan: 2012). Jika demikian, maka usaha penertiban izin tambang seperti yang diinstruksikan bapak SBY hanyalah pepesan kosong.

Perusahaan-perusahaan tambang semakin bejibun memarkir kendaraan beratnya di Indonesia. Padahal alam khatulistiwa telah habis mereka garuk tanpa henti. Jutaan hektare tanah surga ini telah menjadi tandus dengan kondisi hampir mustahil untuk tersuburkan lagi. Hal ini lantaran sentuhan beragam alat pengeruk membuat humus – humus hilang tergerus. Semisal nasib malang warga Ketapang, Kalimantan Barat. Lebih dari satu juta hektare atau tepatnya 1.055.400 hektare lahan yang dijadikan lokasi penggalian. Begitupun wilayah Pulau Singkep, Kepulauan Riau yang selama 2 Abad menjadi kawasan tambang. Di Pulau Singkep yang telah habis tereksploitasi, saat ini hanyalah tersisa bekas-bekas galian. Akibat eksploitasi ini, menyisakan penderitaan yang memilukan. Secara sosial ekonomi dan budaya telah membuat penduduk tempatan tidak memperoleh harapan akan masa depan pasca penambangan timah tersebut (Hery Suryadi : 2008).

Pemerintah daerah lebih tertarik mendiskusikan profit yang didapat tinimbang mengkaji pencemaran alam saat perusahaan beroperasi. Kita tengok bagaimana para stakeholder hanya diam melihat PT Jogja Magasan Iron (JMI) menyulap lahan pertanian di Kulonprogo menjadi areal tambang pasir besi. Padahal masyarakat telah berletih-keringat menyuburkan daerah yang sedari awalnya berupa bebatuan tandus. Bahkan petani setempat, Tukijo sampai mendekam dibalik jeruji sebab lantang menolak proyek pasir besi tersebut.

*Penulis Bergiat di LPM Lensa Kalijaga


Teguh Indonesia

Tidak ada komentar