Menu
Teguh Indonesia

Reses DPRD Bantul, Pemborosan!

Oleh: Teguh Estro*

    Kabar meresahkan muncul dari DPRD Bantul beberapa hari lalu. Para wakil rakyat itu meminta kenaikan dana reses lebih dari 100% sedari awalnya Rp.2,2 juta menjadi Rp.4,8 juta. Tentu saja tak sedikit masyarakat hanya geleng-geleng kepala mendengarnya. Setidaknya begitu drastisnya peningkatan dana temu konstituen tersebut yang menjadi sorotan. Padahal bila hendak menyerap aspirasi tidaklah melulu harus dengan bagi-bagi ‘kue’ yang terlalu mahal. Bukankah lembaga legislatif pun telah mendapat tunjangan komunikasi ? Lagi pula upaya menjumpai konstituen seharusnya bisa dilakukan pada hari-hari biasa tanpa perlu rupiah khusus lagi.

    Sebagai representasi rakyat, anggota dewan memang sepatutnya  menjaga tradisi sowan kepada konstituennya. Mereka kudu mendapat informasi langsung dari masyarakat yang dulu menyokongnya. Janji-janji yang sempat terucap saat kampanye, butuh realisasi riil. Sehingga adanya reses dirasa perlu sebagai jembatan komunikasi. Sayangnya nguda roso bersama masyarakat yang diprogramkan DPRD Bantul kemarin menelan biaya yang cukup fantastis. Dan dana tersebut terserap dari kantong rakyat alias anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

    Ada pelbagai rasionalisasi yang diutarakan tatkala menaikkan angka anggaran reses tersebut. Salah satu pasalnya yakni melonjaknya kebutuhan reses anggota DPRD Bantul pada tahun lalu. Dan tentunya keluhan banyaknya dana tombokpun dijadikan alasan penguat. Sehingga standarisasi kebutuhan untuk satu orang konstituen meningkat dari Rp.17.500 menjadi Rp.45.000. Busyet, sepertinya mereka benar-benar menyediakan makanan ningrat. Alasan lain yang acapkali terlontarkan terkait banyaknya masyarakat yang membutuhkan bantuan tunai. Bermacam-macam keluhan konstituen yang kadang harus diselesaikan dengan sekocek  rupiah. Sehingga beberapa anggota dewan menganggap dana reses seperti tahun lalu masih dirasa kurang.

    Analisis sederhana dengan melakukan komparasi terhadap beberapa kabupaten sebelah. Semisal di kota Yogyakarta yang cukup dengan patokan harga Rp.15.000 tiap orang. Dan beberapa dari anggota DPRD kota pun sengaja tidak mengambil dana reses tersebut. Toh, dengam wilayah kota Yogyakarta yang mungil memungkinkn untuk bisa berkomunikasi dengan mudah. Kondisi yang sedikit berbeda di DPRD Sleman dengan anggaran Rp.20.000 tiap konstituen. Bahkan mereka sudah familiar dengan ‘tombok-menombok’ dari kantong sendiri. Dan itulah pahitnya jika betul-betu hendak memperjuangkan suara rakyat, rela tombok dong!

    Salah satu rahasia publik wakil rakyat yang kerap digunjingkan saat ini terkait politisasi anggaran. Kenapa dewan ngotot meminta dana lebih? Salah satu alasannya lantaran wilayah dapil mereka belum tersentuh ‘kue’ pembangunan dari Pemkab. Bahkan, beberapa tudingan dari pihak eksekutif pun masih tebang pilih dalam membangun daerah. Maksudnya, hanya daerah-daerah basis pertai pendukungnya saja yang diapik-apikke. Sehingga tidak salah bila di pelosok lain juga meminta perhatian. Dan kemana mereka harus mengadu? Jawabnya sudah pasti kepada anggota DPRD. Dan itulah musabab mereka membutuhkan fee tambahan.

    Politik anggaran ini kian menjadi-jadi saat melihat realitas positioning anggota dewan. Mereka memperjuangkan dana APBD bukan untuk kepentingan masyarakat pemilihnya lagi. Selama ini kita mengetahui bahwa perilaku anggota DPR sangat ditentukan oleh kebijaksanaan fraksi, sementara kebijaksanaan fraksi ditentukan oleh kebijaksanaan partai. (Afan Gaffar, 2006). Bahkan dosen politik Universitas Gajah Mada (UGM) tersebut coba membandingkan hal yang sama di Amerika Serikat. Di negeri paman sam bahkan, tidak jarang kelompok kepentingan menuangkan uangnya dengan leluasa agar agenda mereka menjadi agenda anggota Kongres.

Wakil Rakyat, Jangan Manjakan Rakyat.
Selanjutnya polemik tak berkesudahan bertalian dengan pola pembangunan manusia. baik eksekutif maupun legislatif sampai saat ini acapkali memberikan uang tunai kepada masyarakat. padahal persoalan pokok bukan karena ketiadaan rupiah, namun karena mental manusianya. Beberapa waktu lalu dalam sebuah seminar di Fakultas Hukum UGM terdapat ucapan menarik dari pak Heri Zudiyanto. Dulu semasa menjadi walikota Yogyakarta, beliau kerap di ajak berdialog oleh ngarso dalem Sultan HB X. Lebih kurang Gubernur DIY tersebut mempertanyakan kenapa masyarakat kita masih terlilit oleh kemiskinan. Padahal pemerintah sudah mengucurkan dana, fasilitas dan infrastruktur kepada masyarakat. Dan kesimpulannya karena mental entrepreneurship  yang belum ada. Bahkan pak Heri Zudiyanto menambahkan sejatinya seorang entrepreneur  itu tidaklah harus pebisnis. Tetapi siapapun yang memiliki jiwa ulet, kompetitif, disiplin dan inovatif itulah entrepreneur. Maka penanaman jiwa inilah yang kudu dilakukan oleh para wakil rakyat. Sehingga pada masa reses ketika selalu memberikan bantuan tunai, maka perlu dikaji lagi.

    Tradisi menebar ‘ikan’ –ketimbang kailnya- sudah populer sejak masa orde baru. Daya kritis, kemauan untuk maju dihambat dengan suapan bantuan langsung. Akibatnya rakyat kian manja selalu menengadah kepada pemerintah maupun legislatif. Beberapa waktu lalu penulis berdiskusi dengan pak Suwarto (anggota DPRD Kota) terkait perilaku ini. Bahwa warisan budaya orde baru tersebut cukup menyulitkan wakil rakyat. Berapapun banyak uang yang tersumbangkan kepada masyarakat pasti habis. Dalam kalimat lain, bantuan yang seharusnya sebagai modal usaha malah dipakai untuk kebutuhan hidup. Begitupun jika bantuannya berupa barang infrastruktur usaha, maka barang tersebut akan dijual lagi. Sehingga betul-betul mental masyarakat yang kudu diinjeksi dengan jiwa entrepreneur. Bahkan Jean Baptiste Say seorang ekonom klasik Perancis yang pertama kali memperkenalkan istilah entrepreneur banyak memberikan wejangan dalam literaturnya. Dia menyebut perilaku entrepreneur harus mau “mengambil risiko” dan harus sadar bahwa selalu ada “kemungkinan gagal” tetapi jika sukses, “kelompok produsen macam ini akan mengumpulkan kekayaan sangat banyak” (J-B.Say: 1971).

    Komitmen memperjuangkan aspirasi rakyat tidak mesti diartikan dengan me’nina-bobok’an melalui program tanpa pendampingan. Setiap masa reses DPRD tiba, bejubel masyarakat antri menagih amplop. Bukan berarti kewajiban wakil rakyat usai begitu saja setelah membagi-bagikan uang aspirasinya.

 *Penulis adalah Pegiat LPM Lensa kalijaga
Teguh Indonesia

Tidak ada komentar