Menu
Teguh Indonesia

Hutanku, Tumbuh Satu Gugur Seribu

image: kaskus.us
Oleh: Teguh Estro*
    Selama 4 dekade terakhir hutan di Indonesia terus menyusut dari 130 juta hektare kini hanya tersisa 80 juta hektar. Pernyataan Menhut tersebut kian diperkuat data LSM Greenpeace Indonesia bahwa hutan nusantara berkurang seluas 1,08 juta hektare pertahun. Jika trend ini diteruskan maka tidak sampai 50 tahun Indonesia akan menjadi negara tanpa hutan. Musababnya beragam, mulai dari kebakaran hutan sampai penebangan pohon secara liar atau illegal logging. Akan tetapi penyebab utama justru disebabkan penebangan yang dilakukan secara legal. Yakni maraknya industri-industri kertas, ekspansi perkebunan sawit dan menjamurnya perusahaan-perusahaan tambang. Kesemuanya telah mengantongi izin legal dari pemerintah untuk melakukan alih fungsi hutan.

Andaikata tidak mendapat lampu hijau dari pemerintah pusat, perusahaan penebang tersebut mulai merayu kepala daerah di meja negosiasi. Bahkan beberapa kasus banyak perusahaan berani mencukur ribuan hektare hutan hanya dengan izin via kepala desa. Dan tentunya para tetua desa itu terlebih dulu telah dititipi ‘amplop’ sakti. Itulah kenapa hutan Indonesia sangat mudah direnggut keperawanannya. Pasalnya perusakan alam ini acapkali  didalangi cukong resmi ‘berplat merah’.

Pada tahun 2011 lalu hutan di Riau misalnya, yang telah tercukur seluas 243.672 hektare. Dan menurut LSM Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) kerugian negara telah mencapai 1.994,5 Triliun. Sekitar tujuh kali lipat dari dana APBD Provinsi Riau pada saat itu. Berikutnya kejadian di Padang, Sumatera Barat. ratusan hektare hutan dijarah oleh pihak yang belum teridentifikasi. Lebih gilanya, kawasan tersebut merupakan areal hutan lindung tempat hunian flora dan fauna yang menunggu kepunahan. Apologi sederhana dari pemerintah setempat yakni lokasi yang jauh dari pusat kecamatan serta terbatasnya personel polisi hutan. Tragedi paling mengenaskan terjadi di Jembrana Bali. Hutan di daerah Parkutan sudah punah sejak tahun 2009 lalu. Luas areal hutan yang ditumbuhi pohon saat ini hanya sekitar 9% saja.

Hukum di Indonesia pun tampaknya belum bisa berpihak banyak pada alam. Rentetan upaya deforestasi yang memilukan malah ditambah dengan rendahnya ‘apresiasi’ penegak hukum. Terlihat dengan mudahnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) diberikan kepada  perusahaan-perusahaan yang awalnya terlibat melakukan kejahatan hutan. Begitupun vonis hukuman kepada banyak terdakwa yang sangat jauh dari menimbulkan efek jera. Semisal di daerah Balikpapan, Kalimantan Timur hanya memperoleh vonis hukuman 6 bulan penjara saja. Padahal ratusan mahluk hidup telah mati terbunuh di area hutan. Apakah kita sudah lupa bahwa pepohonan juga mahluk hidup?

Dahulu kita sering dikisahkan mengenai pentingnya hutan sebagai penyerap karbon. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah berjanji hendak mengurangi emisi karbon sampai 41 %. Bukankan hutan merupakan wahana yang paling berperan besar dalam mereduksi emisi karbon. Jika penindakan terhadap penjahat hutan terus dibiarkan, maka Janji presiden hanyalah pepesan kosong. Atau jangan-jangan ada pejabat ‘lingkaran Cikeas’ yang memang tengah dilindungi.

Moratorium Hutan Solusi Darurat
    Masa depan rimba nusantara juga ditentukan oleh keberanian menindak korporasi tambang. Perlu kiranya dilakukan pengukuran ulang luas areal tambang. Pasalnya luas antara fakta lapangan dengan kesepakatan izin usaha pertambangan (IUP) telah bergeser. Perusahaan-perusahaan kian binal dengan mencomot kawasan hutan sebagai wilayah komersial.

Apabila bangsa ini enggan kehilangan ‘paru-paru’ dunianya maka segala izin yang menggunakan lahan hutan harus di-stop. Pun demikian terhadap perusahaan-perusahaan tambang raksasa tidak boleh lagi melakukan perluasan areal eksploitasi. Jika dulu pak SBY pernah mengusulkan adanya UU Tindak Pidana Hutan, maka jauh lebih baik ditambahkan dengan  moratorium terhadap izin alih fungsi hutan untuk saat ini.

    Kalau memang benar ada itikad serius menyukseskan revolusi hijau. Maka pemerintah harus berani mengkerangkeng para mafia ‘berplat merah’ yang menjadi pelindung para cukong kayu. Logikanya sederhana saja, sehebat apapun UU Tindak Pidana Hutan bila tidak sampai menyentuh penjahat besarnya, tentu mustahil bisa meredam pembalakan liar. Karena mereka yang tertangkap selama ini hanyalah ikan teri saja. Ikan kakapnya kemana?

 *Penulis bergiat di LPM Lensa Kalijaga
Teguh Indonesia

Tidak ada komentar