Menu
Teguh Indonesia

Melawan Keangkuhan Freeport

image: inilah.com
Oleh: Teguh Estro*

       Bangsa ini memiliki harga diri yang harus dijaga. Kalau Belanda saja bisa terusir dari negeri ini, maka apa sulitnya mengusir sebuah perusahaan asing. PT Freeport Indonesia (PTFI), sebuah korporasi tambang miik Amerika yang menjajah pulau paling timur di Indonesia. Tahun 1967 terjalin kontrak karya pertama kalinya dengan presiden Soeharto sampai dengan tahun 1997. Hanya saja pada tahun 1991 perusahaan pengeruk emas itu berhasil renegosiasi terkait perpanjangan kontrak hingga 30 tahun lagi serta tambahan opsi perpanjangan 2x10 tahun. Artinya mereka masih bisa mengokohkan ‘rezim’nya sampai tahun 2041. Dan bila dihitung-hitung sejak beroperasi tahun 1967 sampai 2041 yang akan datang berarti akan tercatat selama 74 tahun. Andaikata benar-benar kesampaian, maka ‘rekor rezim’ Soharto di negeri ini akan terpecahkan.

    Renegosiasi kepada pihak Freeport harus segera ‘dipaksakan’ sebelum korporasi negeri paman sam itu tambah besar kepala. Semisal pembahasan wilayah pertambangan yang dirasa paling memberatkan. Padahal masa baheula PTFI hanya memiliki izin di atas lahan seluas 10 km saja. Lalu pada tahun 1989 mereka meminta perluasan wilayah sampai 61.000 hektare. Dan tentu saja dengan bertambah luas areal tambang kian membuat parah kerusakan alam. Sekarang saatnya untuk memberikan ‘kartu merah’ kepada mereka atas kerusakan hutan. Tanah subur di daerah Mimika, Fak-fak, Paniai dan Jayawijaya yang telah terkeruk mustahil bisa dilakukan reboisasi. Pasalnya sudah tidak ada lagi humus yang tersisa.

    Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 tahun 2003 berisi tentang royalti barang tambang berupa tembaga sebesar 4%, emas 3,75%, dan perak 3,25%. Namun selama ini perusahaan yang berlokasi di areal tambang Tembagapura itu hanya ‘menyisihkan’ 1% untuk royalti emas dan 1,5% atas tembaga. Mereka berdalih hal tersebut merupakan klausul dari kontrak yang dilakukan pada tahun 1991. Bahkan PTFI dengan kasarnya meminta pemerintah Indonesia agar menghormati pemberian 1% tersebut sesuai kontrak karya yang pernah disepakati dulu. Padahal PP yang dikeluarkan tahun 2003 itu sudah dikuatkan oleh PP nomor 13 tahun 2009 terkait royalti emas sebesar 3,75%. Sebenarnya persentase tersebut sangat kecil tinimbang standar luar negeri yang mencapai 5%. Bahkan di negara Ekuador sudah mencapai 8% dalam pemberian royalti ke pemerintah. Dan kejadian Freeport di Indonesia benar-benar menginjak-injak kepala. Mereka hanya menyetor 1% saja dari keuntungan dan ngotot tidak mau dinaikkan sampai sekarang. Bahkan korporasi tersebut terkesan enggan transparan dalam melaporkan keuntungannya. Wajarlah bila kerap bermasalah ihwal persentase upeti ke pemerintahan pusat.

Mengoyak Amanat UUD 1945 Pasal 33
    “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” demikian bunyi amanat UUD 1945. Perlu dipertegas terdapat kalimat “Dikuasai oleh negara” yang tentu saja dibuat bukan karena iseng. Bahkan terdapat kalimat “Dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” apakah kalimat itu tercantum secara kebetulan saja. Kesemuanya merupakan wujud kedaulatan negeri ini dalam hal pengelolaan alam.

    Indonesia saat ini statusnya bukanlah sebagai pemegang saham mayoritas di PT Freeport. Bahkan korporasi multinasional itu enggan membuka divestasi sahamnya. Sehingga sulit bagi pemerintah membeli saham sampai batas 51%. Hal ini terkait kebijakan masa lalu yang membolehkan PTFI untuk menerima saham asing secara penuh. Walaupun areal tambang yang terletak di Papua merupakan cabang mereka yang paling besar di dunia. Akan tetapi sampai saat ini pemerintah tak kunjung memiliki saham mayoritas di sana.

   Renegosiasi menjadi harga mati untuk dilakukan agar terbukanya divestasi saham. Entah kenapa Freeport begitu keras kepala untuk mengikuti peraturan dalam negeri. Padahal dulu tahun 1991 saat mereka meminta renegosiasi perpajangan kontrak begitu mudah ‘dikabulkan’. Dan sekarang giliran pemerintah yang meminta renegosiasi, PTFI kekeuh tidak bergeming. pemerintah harus terus mendesak mereka sampai berhasil. Seperti kejadian PT Newmont yang sudah bersedia mendivestasikan sahamnya sebesar 51% kepada Indonesia. Bangsa ini memiliki harga diri yang harus dijaga. Kalau Belanda saja bisa terusir dari negeri ini, maka apa sulitnya mengusir sebuah perusahaan asing.

 *Penulis bergiat di LPM Lensa Kalijaga

Teguh Indonesia

Tidak ada komentar