Menu
Teguh Indonesia

Tambal Sulam Program Ekonomi

Oleh: Teguh Estro*



   Indonesia sebagai negara besar seharusnya menjadikan agenda pemerataan kesejahteraan sebagai program mercusuar. Patokannya bukan sekedar pemerataan material lintas pulau namun pemerataan perputaran uang bagi kalangan atas, menengan dan bawah. Hal tersebut akan mudah terjawab apabila konsen pembangunan negara ini semakin memberikan porsi lebih kepada rakyat bawah. Pasalnya pasca krisis moneter 1998 dan badai ekonomi akibat runtuhnya Lehman Brothers di Amerika lalu, seolah perhatian lebih condong pada persoalan ekonomi makro. Alhasil pengayoman konkret pada ekonomi tradisional kian termarginalkan.

      Kebanggaan atas prestasi ekonomi makro seharusnya diselingi dengan kehati-hatian. Tahun 2009 lalu dengan sumringah pemerintah mengkabarkan masuknya Indonesia dalam forum G-20. Bahkan di ASEAN ini barulah Indonesia yang terpilih di sana. Lantas apakah dengan includenya kita dalam ‘mega forum’ ini berdampak pada kesejahteraan 240 juta jiwa penduduk. Ingat, pengangguran masih belum teratasi dan itu harus digenjot dengan program yang menyentuh langsung pada person to person. Signifikansi program KUR (Kredit Usaha Rakyat), PNPM dan sebagainya seharusnya menjadi prioritas untuk dipertanyakan.


Meninggalkan IMF, Muncul MP3EI
    Saat krisis ’98 Indonesia begitu jor-joran menjalankan program-program yang direkomendasikan IMF. Iming-iming kecerahan menghadapi krisis seperti di Korea Selatan, Indonesia malah terpuruk dan berdampak pada kekeruhan politik. Harga sembako melambung menyebabkan perekonomian domestik lumpuh. Entahlah, apakah dalam hal ini IMF menjadi penyebabnya ataukah karena etos pejabat kita yang tidak disiplin terhadap program-program IMF. Karena di Korea Selatan yang mengikut IMF terbilang sukses, sedangkan Malaysia yang menolaknya malah lebih dahulu keluar dari krisis.

Sebagaimana dikatakan Pablo Bustelo dalam bukunya The Asian Financial Crises mengatakan bahwa:
     “….krisis ekonomi yang terjadi di Asia dan lebih khususnya di Indonesia ini tidak sekedar merupakan dampak dari fundamental ekonomi yang lemah yang terkait dengan tanggung jawab fiscal, seperti di Amerika latin pada awal 1980an, atau karena Foreign Financial Panic akibat pertumbuhan ekonomi yang lemah dikarenakan meningkatnya pengangguran seperti di Eropa Barat 1992 – 1993 atau di Meksiko tahun 1994 – 1995, tapi jauh lebih kompleks dari itu semua….”
       Pada 31 Oktober 1997 telah diperoleh kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan IMF secara resmi. Dan ada tiga hal penting yang dianjurkan IMF kepada Soeharto pada saat itu. Pertama, kerangka makro ekonomi yang kuat untuk mencapai penyesuaian dalam external current account. Kedua, Strategi komprehensif dalam merestrukturisasi sektor finansial. Ketiga, tindakan reformasi struktural yang berjangkauan luas untuk meningkatkan pemerintahan, termasuk di dalamnya kebijakan investasi, perdagangan internasional dan privatisasi.

    Ada sebuah kritik terhadap poin kedua mengenai restrukturasi finansial yang pada praktiknya adalah restrukturasi perbankan dan hutang perusahaan. Dalam melikuidasi bank, pemerintah masih menggunakan pisau politik untuk mengeksekusinya. Seperti usaha memerger 4 Bank, BDNI, BDN, BAPINDO dan BANK EXIM menjadi Bank Mandiri. Hal ini sangat kuat motif politiknya karena dianggap untuk menghapus kredit macet yang dilakukan kroni-kroni Soeharto. Dan pada 7 september 2000 Menko Ekuin Dr.Rizal Ramli menyepakati 10 kesepakatan dalam Letter Of Intent (LOI). Dan salah satunya juga disepakati upaya mempercepat restrukturisasi Bank dan perusahaan.

    Kebijakan tersebut mendapat perhatian dari Kwik Kian Gie yang merupakan Menko Ekuin sebelumnya. Ia memberikan catatan yang dianggapnya krusial dalam poin restrukturisasi debitor-debitor macet. Hal tersebut tertulis dalam bukunya Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar:

    “….Kita harus memahami bahwa restrukturisasi ini tidak mudah. Para debitor itu yakin bahwa hampir semua pejabat dapat dibeli. Maka walaupun sudah terang-terangan melanggar banyak ketentuan undang-undang yang terhitung pidana, mereka masih sangat kukuh dan gagah berani dalam sikap pendiriannya. Mengapa? Karena buktinya mereka tidak diapa-apakan…”

     Ini hanyalah sedikit ‘keganjilan’ program IMF yang kurang berhasil diterapkan di Indonesia. Karena sepertinya memang krisis moneter 1997 di Indonesia sudah bercampur aduk dengan akumulasi gejala krisis lainnya, terutama krisis mental manusia. Belumlah lama IMF hendak menjalankan program-programnya ada kasus besar yang sangat mengganggu pada saat itu. Yakni, kasus BLBI yang menyedot dana korupsi triliunan rupiah dan juga Skandal Bank Bali. Bahkan salah satu pengacara Prof Adnan Buyung Nasution yang menangani kasus skandal Bank Bali mengakui sendiri ketidakberesan klien-nya. Prof Adnan Buyung Nasution sang Advokat menceritakan tentang klien-nya Rudy Ramli yang tersandung kasus Bank Bali dalam bukunya Pahit Getir Merintis Demokrasi:

     ….Rudy Ramli ini keterlaluan, membuat langkah-langkah hukum yang ngawur. Dia bikin kronologi yang dibawa ke lawyer lain, disebarluaskan di luar pengetahuan kami, lawyer dia yang resmi….sementara kami sibuk membela dia di Mabes Polri mengenai perkara pelanggaran peraturan perbankan, di tempat lain dia bongkar sebagai perkara korupsi dengan adanya keterlibatan Golkar, BI, BPPN, Menkeu, Ketua DPA, Menteri BUMN, dll. Politis jadinya. Padahal buat saya perkara ini murni soal tagihan piutang Bank Bali….”
     ini salah satu contoh lemahnya mental SDM Indonesia dan terpaksa tertatih-tatih melawan krisis. Padahal sejak era Habibie, Gusdur dan Megawati Indonesia terus membuntut program-program yang ‘katanya hebat’ dari IMF. Barulah pada akhir Agustus 2003 pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengakhiri paket kerjasama khusus dengan IMF, meskipun setelah itu masih tetap menjalankan post-monitoring program.

     Tahun 2004 – 2009, Indonesia mengalami fluktuatif dan masa uji coba yang berlarut-larut. Terdapat pelbagai persoalan yang merupakan buntut dari kondisi ekonomi yang suram di masa sebelumnya. Pertama, memburuknya iklim investasi yang tidak lain adalah imbas dari akumulasi tragedi di tanah air. sebut saja kasus Bank Bali, skandal BLBI, referendum timor leste, bom Bali, tragedi Poso dan rentetan gerakan separatis. Hal itu membuat investor asing berpikir ulang untuk melihat peluang di Indonesia. Kedua, lemahnya kepastian hukum menyebabkan kesimpangsiuran wewenang pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan investasi. Ketiga, Kualitas SDM yang rendah dan kurangnya perhatian pembangunan infrastruktur.

    Dalam hal pemberdayaan UMKM pada masa itu terdapat ketimpangan kuantitas dan kualitas. Secara kuantitas UMKM bisa dikatakan bertumbuh namun secara produktivitasnya tidakah seimbang. Pengusaha lokal tidak memiliki kreativitas dan inovasi produk, mereka lebih mengandalkan proyek-proyek APBN untuk menghidupi perusahaan. Selanjutnya begitu bertele-tele dan panjangnya birokrasi perijinan membuat pengusaha lokal mengalami pembengkakan biaya produksi.

      Berikutnya wajah ketenagakerjaan terus dirundung meningkatnya jumlah pengangguran terbuka. Bahkan sebagian besar pengangguran di usia muda. Banyak pekerja yang bekerja di lahan yang kurang produktif. Pun demikian terkait upah yang masih begitu lebar margin antara pekerja formal dan informal. Oleh karenanya dalam masa ini pemerintah mencoba untuk menarik investasi pada industri-industri yang banyak menyerap tenaga kerja.


     Segala persoalan ini mulai ditarik benang merah terkait gejala-gejalanya. Dan akhirnya pada tahun 2011 Menko Ekonomi Ir Hatta Radjasa mencanangkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Hal tersebut dicanangkan dalam Peraturan Presiden No 32 Tahun 2011 (20 Mei 2011) untuk masa 2011 hingga 2025. Secara garis besar justru program MP3EI lebih menitikberatkan pada pemerataan pembangunan tinimbang pemulihan ekonomi makro.

      Pro kontra mulai muncul dari pihak yang optimis menatap MP3EI dengan serius menerapkannya sampai ke daerah-daerah. Ada yang mencibir dan menganggap program tersebut hanya sekedar wacana tanpa implementasi. Akan tetapi bila ditilik secara anggaran memang sangatlah fantastis, yakni Rp 3.775,9 Triliun. Menurut Tole Sutrisno dalam buku Hatta, Kerja dan Kinerja ia memberikan saran sebagai berikut:

     “…Pengalokasian anggaran yang begitu besar harus digunakan secara linear dan sebanding dengan harapan seluruh lapisan masyarakat. karena itu, dari awal pelaksanaanya, pemerintah pusat harus bersinergi dengan daerah. Jangan sampai Masterplan yang sudah disusun sedemikian rupa akhirnya mentah di jalan hanya karena kurangnya koordinasi antara pusat dan daerah…”
           Mengingat pentingnya koordinasi antara pusat dan daerah mungkin ada benarnya juga jika pemerintah membagi garapannya menjadi 6 koridor. Yakni, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-nusa Tenggara dan Papua-Kepulauan Maluku. Akan tetapi selama tahun 2011 hingga 2012 begitu terasa ketimpangan pembangunan yang masih terpusat di pulau Jawa saja. Sehingga rencananya di tahun 2013 ini pusat perhatian Hatta Radjasa dkk mulai melirik daerah lain. Selain karena memang kurangnya perhatian dari pemerintah pusat, ada dua penyebab lain sehingga koridor di luar jawa tersendat agaknya. Pertama, karena SDM yang belum responsif terhadap akselerasi pembangunan. Maksudnya masih menganggap program ini sebagai ladang untuk bagi-bagi proyek. Kedua, karena belum tertunjangi oleh infrastruktur yang mumpuni.

Persoalan Kunci Pengganjal MP3EI
       Ada berbagai kata kunci dalam program MP3EI ini. Antara lain adanya peluang ekonomi global yang kian cemerlang bagi Indonesia. Adanya peningkatan yang cepat perdagangan south to south, termasuk transaksi antara India-China-Indonesia. Akan tetapi hal ini perlu dikritisi apakah perdagangan Internasional memiliki dampak yang langsung bagi rakyat Indonesia. Mengingat kegiatan ekspor dan Impor hanyalah didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar dan kalangan elite saja. Sedangkan pasar tradisonal belum merasakan effect yang signifikan.

       Program MP3EI hendak memposisikan Indonesia dalam 6 konsentrasi. Yakni, basis ketahanan pangan dunia, pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan, dan sumber daya mineral serta pusat mobilitas logistik global. Dalam hal ini pemerintah masih saja mengandalkan jumlah penduduk yang besar sebagai potensi. Padahal sampai saat ini belum juga ada usaha untuk benar-benar menjadikannya potensi yang menghasikan. Tenaga kerja yang sulit bersaing sehingga berharga sangat murah. Berikutnya sudah sejak lama pemerintah merencanakan adanya ekspor jenis lain selain migas, atau secara umum mengurangi ekspor bahan mentah. Akan tetapi belum juga serius memasok alat-alat produksi yang bisa melakukan efisiensi produksi. Sehingga pengusaha kurang berani melakukan industri pengolahan produk mentah menjadi barang jadi.

    Secara geografis Indonesia merupakan wilayah laut yang paling strategis di dunia. sehingga seharusnya hal ini tidak dipandang remeh dan dikerjakan secara setengah-setengah. Negara ini dikelilingi laut-laut berpotensi ikan terbaik di dunia. sebut saja kawasan laut arafuru, lautan sulu, laut cina selatan, teluk benggala, laut Australia utara dll. Maka sangat diherankan apabila industri perikanan belum didesak untuk melakukan modernisasi. modernisasi berupa Meng-upgride kualitas pelabuhan-pelabuhan strategis serta memasok kapal-kapal besar untuk menambah produktivitas nelayan.

Tidak ada komentar