Menu
Teguh Indonesia

Perjuangan Karier Sang ‘Santan’



http://yoogho.com/yoogho/media/170302.jpg

Oleh: Teguh Estro


            Bagi pembaca yang menjadi penggemar Stand Up Comedy Indonesia pasti mengenali sosok Fico. Pria tambun dengan kelucuan diatas rata-rata. Salah satu ciri khas nya dalam menyampaikan materi comedy dengan cara observasi hal-hal yang bersifat Absurd. Semisal ia pernah membuat geli pendengar saat menceritakan tentang robot. Selanjutnya ia juga memaparkan tentang botol kecap yang membuat penonton kembali terpingkal-pingkal. Sampai-sampai Raditya Dika menuduh Fico menggunakan ilmu hitam dalam melawak. Mungkin sih…


            Adakalanya sesuatu hal yang Absurd justru bisa dengan mudah dicerna oleh kita. Ada ragam pelajaran bernilai dari kejadian-kejadian Absurd di alam raya ini. Salah satunya adalah mengenai Santan. Cairan putih seperti susu yang berasal dari saripati kelapa. Coba kita renungkan ada filosofi luar biasa dari ‘perjalanan karier’ sesosok santan. Sebelum menjadi suskses menjadi sesosok santan, dahulunya ia hanyalah sebuah partikel yang berasal dari kampung ‘antah barantah’. Maklum, biasanya pohon kelapa adanya di kampung-kampung pinggir pantai.


            Seorang petani kelapa sejak pagi telah berniat membawa sebuah golok besar untuk memanjat pohon kelapa. Sesampainya di atas ia melihat gerombolan kelapa yang siap dijadikan mangsa. Mula-mula ia arahkan mata bilah golok tersebut memangkas dahan-dahan kelapa yang mengganggu. Barulah ia bisa menjamah dan mendekati buah kelapa dan memelintir dengan paksa agar buah tersebut putus dari tangkainya. Kelapa tersebut begitu tersiksa ia diputar-putar memusingkan kepala. Sampai akhirnya putus juga tangkai itu, akhirnya ia pasrah jatuh dari ketinggian yang membuat tulang-belulangnya remuk. Ternyata bukan hanya dia, tetapi rekan-rekan sepermainannya juga satu-per satu dijatuhkan dengan paksa.


            Penderitaan belum selesai sampai disitu. Ia dan beberapa temannya diseret oleh petani lainnya menuju tanah lapang untuk dijemur dari pagi hingga senja tiba. Penyiksaan ini membuat ia benar-benar keletihan tanpa tenaga. Barulah setelah lama, ia dibawa ke dalam dapur dan diletakkan begitu saja tanpa perasaan. Pada pagi harinya kelapa ini terbangunkan karena kembali ia diseret ke luar rumah. Dan mereka dibariskan berjejer. Ternyata ini adalah saat yang begitu tragis. Ia melihat teman-temannya dibelah dengan golok dan dikupas kulit-kulitnya juga serabutyang selama ini melindungi ditarik keluar hingga lepas dari lapisan batok kelapa. Hingga sampailah pada gilirannya sang kelapa hanya pasrah menitikkan air mata. Ia dikuliti dengan ganas lalu dilempar bertumpukkan dengan rekan-rekan lainnya. Namun penyiksaan belum usai.

   
         Satu demi satu golok yang menakutkan tersebut mengupas kulit batok kelapa yang keras itu hingga membuat daging-daging putih mereka keluar. Pembantaian ini sangat menyakitkan serasa hidup sudah tiada artinya. Kini mereka sudah tak berkulit lagi, hanya seonggok daging kelapa yang lemah dan tak bertenaga. Seolah belum puas dengan rentetan penyiksaan tersebut, para petani begitu tega membelah tubuh mereka menjadi kepingan-kepingan kecil. sampai akhirnya kepingan-kepingan daging tersebut dikumpulkan bagai benda tak berharga di dalam karung. Namun pesakitan belum berhenti begitu saja.

   
         Sore harinya kepingan-kepingan kelapa itu kembali disiksa secara mengenaskan. Mereka ditumpukkan dalam sebuah ember besar dan dihadapkan pada papan besi penuh dengan paku  tajam di salah satu penampangnya. Ternyata mereka satu per satu diparut hingga habislah daging kelapa itu menjadi serbuk-serbuk kecil. berjam-jam itu dilakukan dengan tak berperasaan. Petani-petani pembunuh itu sedikitpun tak mempedulikan keadaan sang kelapa. Menjadilah serbuk-serbuk putih tersebut dikumpulkan lalu dibagikan dalam beberapa ember-ember kecil. Mereka disiram dengan air panas membuat luka-luka menjadi perih terasa. Sangat pedih. Lama mereka direndam sampai air terasa dingin. 

      Ternyata penyiksaan berlanjut kembali. Serbuk kelapa yang telah bercampur air diperas dengan kedua tangan kekar. Sakit rasanya tercekik begitu kuat hingga pucat-pasi. Tidak begitu lama dari butiran serbuk tadi muncullah cairan putih yang dinamakan santan. Sang santan menggenang memenuhi seisi ember itu sudah dalam puncak keletihannya. Namun tak dinyangka setelah berwujud santan ini ia malah mendapat selembar senyum bahagia dari para petani. Sebuah pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.


            Senyum petani itu begitu mencurigakan, membuat santan merasa tidak enak dibuatnya. Petani tersebut kemudian memasukkan sedikit demi sedikit santan ke dalam bungkus plastik yang terlihat eksotis dan eksklusif. Ternyata sang santan masih menaruh curiga, sampai akhirnya ternyata ia dibawa kepasar untuk diperjual-belikan. Apakah ini perdagangan illegal? Di dalam batin sang santan terus bertanya-tanya.

          
       Akhirnya dibalik senyum manis sang petani, barulah ia tahu kalau ia hendak dijual kepada manusia lainnya. Namun anehnya sang pembeli juga terlihat tersenyum melakukan tawar-menawar. Santan tetap seksama mengamati percakapan tersebut. Rupanya benar, ia akan segera dibawa oleh pemilik baru ke rumahnya. Di perjalanan ia hanya diam dan berpikir mau diapakan lagi setelah ini. Ia juga mengingat-ingat kembali penyiksaan demi penyiksaan yang ia alami beberapa hari terakhir dan sungguh perjalan yang melelahkan. *Cukup Ceritanya.


            Nah, pembaca tahukah betapa pentingya santan dalam racikan bumbu masakan. Kita sudah mengetahui betapa berat perjuangan santan. Bahkan perannya sangatlah vital dalam membuat masakan menjadi enak. Apa jadinya bila membuat rendang yang konon telah menjadi masakan terlezat sedunia bila tanpa disertai santan di dalamnya. Begitu pun masakan opor yang memanjakan lidah begitu enaknya, tdak lepas dari peran vital santan. Namun, apa yang terjadi setelah ia berjuang begitu keras seperti itu. Orang-orang sedikitpun tidak memperdulikan eksistensinya. Tidak ada satupun orang yang memuji enaknya makanan karena santan. Tapi untungnya santan yang sudah matang dalam mengarungi kesulitan hidup itu justru berjiwa besar. Ia tidak mempedulikan orang-orang yang tidak mempedulikannya. Karena ia tidak mengejar popularitas. 


Biarlah daging, telur dan sayur mayor yang dikenal banyak orang. Ia cukup bekerja dan bekerja melakukan yang terbaik dalam hidupnya dan memberikan banyak manfaat. Santan akhirnya mulai belajar untuk ikhlas dalam bekerja. Ia harus terus berbuat semaksimal melalui penderitaan dan penyiksaan untuk berhasil, meskipun jauh dari popularitas.

Tidak ada komentar