Menu
Teguh Indonesia

Dahulu Terjajah, Sekarang Apa?

oleh:
Teguh Estro


Apabila ditilik masa jajahan lalu seakan begitu ramainya tokoh-tokoh bangsa yang diklaim oleh sejarah sebagai sosok pemimpin. Seolah kondisi badai penyiksaan menjadi akselerator yang membentuk karakter kebangsaan kaum muda menjadi lebih laju. Sebab kekurangan materi itulah menghantarkan aktivis-aktivis muda menjadi lebih cepat belajar, lekas dewasa dan mengerti sepaham-pahamnya arti keberanian. Kondisi itu menjadikan heroisme sebagai aktivitas lumrah di sana-sini.

Andaikata ada satu saja rakyat di era tanam paksa seketika hidup kembali lalu ia bercerita bagaimana pedihnya disiksa oleh bayaran-bayaran Van den Bosch. Tentulah manusia-manusia modern akan ramai-ramai berkumpul disekitarnya penuh decak kagum mengira ia pahlawan. Kesakitan-kesakitan di masa cultuurstelsel itu berlipat-lipat pedihnya. Sebagaimana Ir. Soekarno bercerita:

“….Cultuurstelsel ini sudah diakui jahatnya oleh hampir setiap kaum yang mengalaminya dan oleh kaum terpelajar yang mempelajari riwayatnya….“

Selanjutnya dalam buku Indonesia Menggugat, Soekarno Presiden pertama kalinya itu mengutip sebuah cerita dari Prof. Gronggrijp tentang kejamnya kondisi zaman tanam paksa:

“ orang laki-laki dari beberapa desa dipaksa mengerjakan kebun-kebun nila. Tujuh bulan lamanya penuh, jauh dari rumahnya; dan selama itu mereka harus mencari makanan sendiri…… seringkali terjadi perempuan yang hamil melahirkan anak waktu sedang bekerja keras…. Pukulan dengan pentung dan dengan cambuk terjadi setiap hari dan di berbagai lading nila biasanya orang melihat tiang-tiang untuk menyiksa orang…”

Inilah wong cilik yang mengalami pesakitan di masa lalu. Sehebat-hebatnya pesakitan fisik saat ini tidaklah lebih pedih dibanding cambuk-cambuk Belanda di kebun nila. Sehingga wajarlah pada masa itu heroisme menjadi jiwa yang lumrah. Karena siapapun yang tak berbahan bakar heroisme di dalam dirinya tamatlah ia, lebih parahnya tamatlah jiwanya menjadi ‘kacung-kacung’ penjajah meludahi rakyatnya sendiri. Hanya ada dua pilihan hidup ketika itu. Pertama hidupnya jiwa dengan berjuang ataukah matinya jiwa karena kepengecutan. Tidak ada pilihan ruang abu-abu atau loyalitas nan separuh-separuh seperti dunia Indonesia saat ini.

Kisah-kisah ini pastinya membuat manusia-manusia modern mencibir ketidak-adilan. Mulailah membanding-bandingkan keuntungan bilamana hidup di masa itu. Betapa kurang nyamannya menjalani masa modern diliputi kemunafikan, kepengecutan pada bangsa asing serta kelunturan spirit heroisme. Kenapa kita semua tidak hidup saja pada masa cultuurstelsel?

Jawaban yang tepat untuk pertanyaan atau keresahan itu tidak lain dengan membuka lebar-lebar kelopak matanya agar betul-betul lekas melihat kebenaran yang senyatanya. Kelemahan setiap kaum yang labil yakni tidak bisa memilah manakah masalah yang paling utama. Kaum yang labil justru menganggap segala hal menjadi masalah. Padahal senyatanya satu saja dari sekian banyak kenampakan itu yang berupa masalah. Selebihnya lagi dari semua bagian itu bisa jadi merupakan karunia besar, potensi cemerlang bahkan barokah kesempurnaan.

Satu saja yang senyatanya kunci berhasil kehidupan pemimpin di masa lampau. Mereka berjuang dalam kondisi yang memaksa jiwa serta fisik untuk menjadi pejuang. Sejenak terawangilah bagaimana Jenderal Soeharto saat masih sebagai pejuang penuh keterdesakan perang bernama “Serangan Umum Satu Maret”. Ia sungguh gagah dipuja semangat patriotiknya. Namun saat ‘keterdesakan’ itu lenyap, menjadilah ia penguasa yang serupa Belanda. Oleh karenanya harga suatu keterdesakan sangatlah mahal rupanya. Sikap merasa terdesak akan menghasilkan sikap antusias mencari solusi, kewaspadaan dan disiplin.

Ada dua muara dari manusia yang mengalami atau yang mempelajari filosofi penjajahan. Pertama, mereka yang relung jiwanya terdominasi oleh kelalaian. Baginya penjajahan itu murni suatu penyiksaan semata. Maka yang ia pikirkan hanyalah suatu cara agar terbebas dari belenggu dalam masa singkat. Sepeninggal itu ia hidup biasa lagi menjadi manusia rata-rata kembali. Sekaligus ditambah pula rasa trauma hidupnya. Bertmbah pula sikap inferiornya bilamana melihat kaum asing. Itulah kemunduran karakter bangsa. Dan parahnya itu menjadi perbincangannya kepada anak-anaknya turun temurun. Inilah kemunduran yang dikarenakan penjajahan. Sebagaimana Ir. Soekarno menuliskan dalam bukunya Indonesia Merdeka ;

“….Suatu kemunduran yang karena imperialisme, suatu kemunduran bikinan, suatu kemunduran ‘cekokan’, suatu kemunduran injeksian yang berabad-abad….”

Kedua, mereka yang pikiran serta jiwanya cerdas. Golongan ini menjadikan keterdesakan sebagai momentum mempercepat terciptanya karakter hidup. Mereka hidup dalam kondisi pesakitan yang berlipat-lipat daripada biasanya. Mereka berliat-lipat menampakkan antusias mencari solusi dalam tempo secepatnya. Akan tetapi tidak hanya berhenti sampai disana. Ruang dan waktu saat tersebut mereka pelajari sejadi-jadinya. Mereka mencari titik sebab suatu antusias dapat muncul. yakni saat adanya kejelasan sedetail-detailnya tentang tujuan sebuah perjuangan. Dan teriring juga adanya target waktu yang terbatas untuk pecahkan masalah. Sehingga golongan semacam ini bisa tetap gagah hidupnya, baik itu di masa penjajahan ataupun tidak sama sekali. Bahkan sanggup merekayasa suatu keterdesakan diri, sehingga mampu menghidupkan antusiasme ‘menggila’ kapan saja mereka mau.

Tidak ada komentar