Menu
Teguh Indonesia

Indonesia Kian Lekang oleh Kelalaian


oleh: Teguh Estro


Setelah merdeka semakin bertambah tahun, hanyalah menambah kelahiran generasi-generasi lalai. Mereka yang sehabis mengusir penjajah, terusir juga rasa waspadanya. Mereka yang setiadanya Belanda, tiada pula Antusias perjuangannya. Dan mereka yang selepas memproklamasikan kemerdekaan justru dimaknai dengan proklamasi kelalaian dari sebentuk masalah-masalah yang akan timbul esok hari. Berikut akan tergambarkan senyatanya kelalaian segolongan besar manusia Indonesia hingga 67 tahun usianya ini.

Perihal pendidikan menjadilah berlarut-larut kualitas manusia Indonesia. Sistem pendidikan nasional berubah-ubah setiap tahunnya. Alhasil Hanya menghambur-hamburkan rupiah saja. Karena tidak lain ini hanyalah permainan proyek dari mafia-mafia pendidikan. Di sisi lain karena buramnya sistem nasional membuat sekolah-sekolah di daerah terlantarkan berjuang dengan sendirinya. Baik itu sekolah elite ataupun sekolah yang hampir ‘pailit’ kesemuanya mengalami kecemasan yang serupa. Inilah kelalaian manusia Indonesia yang paling fatal. Ketika wadah pendidikan tidak terbentengi dari praktik-praktik busuk para mafia. Seharusnya bagian ini dikelola oleh manusia-manusia terbaik di republik ini. Terbaik dalam hal patriotiknya, terbaik dalam hal kewaspadaannya serta terbaik dalam hal antusias mencari solusi. Kelalaian yang sistemik seperti ini pasti bermula dari kelalaian individu pada mulanya.

Urusan pemerintahan yang tidak bersih karena tercoreng oleh korupsi. Segala petinggi-petinggi politik terjerat kasus memalukan. Padahal partai politik selama ini menjadi salah satu wadah utama penghasil pemimpin-pemimpin bangsa. Salah satu kelemahan sistem politik saat ini adalah begitu tinggi melangitnya ongkos politik. Baik di tingkatan nasional begitu juga di daerah-daerah. Parpol-parpol besar saja yang memiliki kekayaan Triliunan rupiah masih bekerja ekstra memenuhi pundi-pundi partainya. Ada yang memang benar-benar berbisnis hebat namun ada pula yang menjadi tikus-tikus di pemerintahan, inilah yang paling dominan. Mengenai ini ada sebuah ungkapan menarik dari bang Fahri Hamzah dari bukunya Demokrasi Transisi Korupsi:

“….Akibat ganas korupsi bukan hanya menggerus anggaran pendidikan atau kesehatan rakyat, tetapi seluruh tata pemerintahan dan etos pejabatnya juga menjadi hancur….”

Dalam persoalan ekonomi nasional, kita sangat meremehkan pasar lokal. Aneh rasanya di negara yang banyak jumlah penduduknya justru menjadikan ekonomi makro sebagai indikator keberhasilan. Padahal selama ini kian tersohornya ekonomi makro kita justru tidak menyentuh persoalan mendasar terkait kesejahteraan rakyat. Justru ekonomi mikro yang menjadi penopang di kala krisis. semisal berbasis pada pasar-pasar rakyat, usaha-usaha mikro juga ranah entrepreneur malah bisa menampung lapangan kerja. Untuk menyindir hal ini Prof. Kwik Kian Gie mengatakan dalam bukunya Kebijakan Ekonomi Politik dan hilangnya Nalar:

“….Maka, yang dikejar hanyalah pertumbuhan ekonomi tanpa peduli apakah pertumbuhan itu lebih memperkaya yang sudah kaya dan lebih menyengsarakan yang sudah miskin….”


      Ini suatu kelalaian dalam membaca relasi kebijakan ekonomi terhadap peningkatan kemakmuran rakyat. baik itu kebijakan fiskal ataupun moneter tidaklah sepenuhnya dibaca secara hitam putih dengan angka-angka statistik. Ada pengaruh politik, kondisi psikologis pasar, keamanan suatu daerah dan yang terpenting adalah seberapa jauh keberpihakan pemerintah pada rakyat.

Tidak ada komentar