Menu
Teguh Indonesia

Melawan 'Abadi' Hidan ala Ferry 'Shikamaru' Irwandi

Oleh : Teguh Estro
(Bapak-bapak Muda) 

"Dalam pertarungan, yang terlemah adalah orang yang tidak menyadari kelemahan sendiri."- Shikamaru Nara
Dalam dunia ninja Konoha, Hidan adalah metafora sempurna untuk musuh yang tak bisa mati—sebuah personifikasi dari fanatisme buta dan kekerasan yang berulang. 

Di Indonesia, korupsi adalah ‘Hidan’ kita: sebuah sistem yang seolah abadi, kebal terhadap berbagai upaya pemberantasan, dan terus menyedot kehidupan bangsa. Namun, baik di alam fiksi maupun nyata, selalu lahir strategis ulung yang tidak mengandalkan kekuatan kasar, tetapi pada kecerdasan, kesabaran, dan taktik yang jitu. Shikamaru Nara dan Ferry Irwandi adalah dua tokoh dari dunia yang berbeda, tetapi dengan playbook strategi yang sangat mirip dalam menghadapi raksasa yang abadi tersebut.

Bab 1. Musuh yang ‘Abadi’ dan Medan Tempur yang Berbeda 

"Aku tidak peduli dengan takdir. Aku akan menciptakan takdirku sendiri."- Neji Hyuga

Korupsi di Indonesia, seperti Hidan, sering kali terasa tak terkalahkan. Ia memiliki ‘ritual’nya sendiri—jaringan yang kompleks, sistem yang melindungi, dan kemampuan untuk ‘bangkit’ kembali bahkan setelah ditangani. Melawannya dengan kekuatan konvensional seringkali gagal. Seperti para ninja yang gagal melawan Hidan dengan jutsu konvensional, upaya lama memberantas korupsi kerap hanya memotong kepala yang tumbuh kembali.

Dalam teori Political Opportunity Structure Menurut Peter K.Eisinger, kesuksesan gerakan sosial ditentukan oleh struktur kesempatan politik yang tersedia. Korupsi di Indonesia tumbuh subur dalam struktur yang memberikan kesempatan terbatas bagi partisipasi publik. 

Sistem yang tertutup dan hierarkis menciptakan closed opportunity structure, dimana akses untuk mempengaruhi kebijakan anti-korupsi sangat terbatas. Shikamaru memahami ini—dia tidak menyerang frontal kekuatan Hidan, tetapi menciptakan kesempatan baru melalui strateginya.

Shikamaru menyadari hal ini. "Aku bukan seperti orang lain. Aku tidak bisa melakukan semuanya sendirian. Tapi aku bisa melakukan hal yang tidak bisa dilakukan orang lain." Dia tahu mustahil mengalahkan Hidan dengan jurus ninja biasa. 


Ferry Irwandi juga memahami ini. Melawan korupsi hanya dengan protes dan kemarahan di media sosial tidak akan cukup. Keduanya lalu memindahkan medan tempur, menciptakan takdir mereka sendiri di lapangan yang mereka kuasai.

Pertama, Shikamaru memancing Hidan keluar dari area terbuka dan masuk ke hutan yang telah dipenuhi dengan ratusan perangkap dan persiapannya. Itu adalah wilayah kekuasaannya, di mana dia memegang kendali mutlak. "Permainan catur sudah dimulai," gumannya, mengubah hutan menjadi papan catur raksasa. 

Kedua, Ferry Irwandi membawa pertarungan melawan korupsi dan ketidakjelasan informasi ke medan yang ia kuasai: platform media sosial dan kanal YouTube MALAKA. Di sana, dialah yang mengendalikan narasi. Daripada berteriak di jalanan, ia membongkar masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) melalui video-video investigasi yang detail, data-driven, dan disajikan dengan gaya bercerita yang renyah dan mudah dicerna generasi muda.

Bab 2. Senjata Intelijen: Membongkar ‘Ritual’ dengan Data dan Logika 

"Kelemahan adalah sesuatu yang harus kamu akui untuk menjadi kuat."- Itachi Uchiha

Kekuatan utama Hidan terletak pada ritual Jashin-nya yang misterius dan menakutkan. Kekuatan korupsi terletak pada kompleksitas dan kesamarannya. Untuk mengalahkannya, Anda harus membongkar mekanismenya hingga ke akar-akarnya, mengakui kelemahannya untuk kemudian menyerangnya.

Meminjam Kajian Kritis teori Democracy Deliberatif , Ferry Irwandi menerapkan prinsip demokrasi deliberatif melalui konten-kontennya. Menurut teori ini, kualitas demokrasi ditentukan oleh partisipasi publik dalam diskursus rasional. 

Ferry tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi menciptakan ruang deliberasi dimana publik dapat terlibat dalam pembahasan kompleksitas korupsi melalui format konten yang engaging.

Pertama, Strategi Shikamaru: Dia tidak langsung menyerang. "Tiga langkah... setidaknya aku selalu tiga langkah lebih depan." Dia menghabiskan waktu untuk mengamati, menganalisis, dan bahkan mengorbankan lengan kecilnya untuk mengambil sampel darah Hidan. Setiap gerakan Hidan dicatat, setiap syarat ritual dipelajari. Intelijen adalah senjatanya. 

Kedua, Strategi Ferry Irwandi: Ini persis yang dilakukan Ferry dengan konten-konten investigasinya. Seperti seorang detektif, ia mengumpulkan data, melacak dokumen, menghubungkan titik-titik, dan membongkar ‘ritual’ korupsi yang rumit menjadi sebuah narasi yang mudah dipahami. Video-video seperti “Mafia BUMN” atau yang membongkar kasus korupsi tertentu adalah bentuk modern dari pengumpulan intelijen Shikamaru. Ferry tidak sekadar menuduh; ia memaparkan evidence, mengungkap kelemahan dari monster yang tampak tak terbendung.

Bab 3. Masterpiece of Misdirection: The Final Blow

 "Taktik yang sempurna tidak memiliki celah."- Shikamaru Nara

Puncak dari genius Shikamaru adalah ketika ia menggunakan ‘darah palsu’ (darah babi) untuk menipu ritual Hidan. Dia menggunakan kelemahan terbesar Hidan—keyakinan buta pada ritualnya—untuk menjebaknya. Sebuah taktik tanpa celah yang memanfaatkan kepercayaan buta lawan sebagai senjata untuk mengalahkannya.

Mengingat narasi dalam teori Political Opportunity Structure sejatinya Ferry menciptakan "new political opportunity" dengan memanfaatkan celah dalam sistem media. Ketika akses ke institusi formal tertutup, dia membuka front baru melalui media sosial, mengubah closed opportunity structure menjadi open opportunity structure melalui kreativitas konten.

Ferry Irwandi melakukan misdirection yang sama cerdiknya, meski dalam bentuk yang berbeda. Darah palsu-nya adalah konten yang kreatif dan engaging.

1. Mengubah yang Kompleks menjadi Menarik: Korupsi adalah topik yang berat dan seringkali membosankan. Ferry membungkusnya dengan animasi, storytelling yang dramatis, dan humor yang cerdas. Ini adalah cara untuk ‘memancing’ anak muda (yang mungkin tidak tertarik pada berita korupsi) untuk masuk ke dalam ‘hutan’ persoalan ini.


2. Memberikan ‘Senjata’ kepada Publik: Dengan membuat informasi yang rumit menjadi mudah dicerna, Ferry pada dasarnya sedang mempersenjatai netizen muda dengan pengetahuan. Pengetahuan inilah yang akan membuat mereka tidak mudah dibodohi, tidak mudah dipecah belah, dan akhirnya menjadi kekuatan penekan untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas. Ini setara dengan Shikamaru yang mempersiapkan seluruh hutan sebagai senjatanya, dimana setiap pohon dan bayangan adalah bagian dari rencananya.

Bab 4. Bukan Sekadar Mengalahkan, Tapi Mengubur 

"Cara ninja untuk menang bukanlah dengan menghindari kematian, tapi dengan menerima kematian dan berdiri tegak."- Jiraiya

Mengalahkan Hidan tidak cukup; karena dia abadi. Shikamaru harus menguburnya dalam lubang yang dalam, menjebaknya dalam kegelapan abadi agar tidak bisa lagi menyakiti siapapun. Ini adalah penerimaan bahwa musuh seperti ini tidak bisa dihapuskan selamanya, tapi bisa dikubur dan dinetralisir dampaknya untuk selama mungkin.


Beberapa perspektif dalam kajian Democracy Deliberatif Pendekatan Ferry sesuai dengan prinsip demokrasi deliberatif yang menekankan transformasi budaya politik melalui pendidikan dan dialog. Dengan mengubah mindset generasi muda, dia menciptakan fondasi budaya anti-korupsi yang berkelanjutan, bukan sekadar penindakan kasus per kasus.

Tujuan Ferry Irwandi juga bukan sekadar membuat video viral. Tujuannya adalah untuk ‘mengubur’ budaya korupsi dengan cara mengubah mindset generasi muda. Setiap video yang edukatif, setiap investigasi yang terbuka, adalah sekop yang menggali lubang lebih dalam untuk mengubur praktik KKN. Ia berjuang melawan ‘keabadian’ korupsi dengan menciptakan generasi yang lebih melek hukum, melek data, dan intoleran terhadap ketidaktransparanan. Ia menerima bahwa perjuangannya panjang, tetapi tetap berdiri tegak melayaninya.

Bab Final. The Strategic General of The Digital Age 

"Generasi yang akan datang harus melampaui yang sebelumnya. Itulah arti evolusi."- Orochimaru

Shikamaru Nara adalah seorang genius strategi yang mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Ferry Irwandi, dalam konteks Indonesia modern, adalah arketipe yang sama.

Kajian Kritis Terintegrasi: Berdasarkan teori Eisinger,kesuksesan Ferry menunjukkan bagaimana aktor sosial dapat menciptakan political opportunity baru ketika struktur formal tertutup. Sementara menurut teori demokrasi deliberatif, konten-kontennya berfungsi sebagai ruang publik baru untuk deliberasi rasional tentang isu korupsi.


Dia adalah The Strategic General of The Digital Age. Medan perangnya adalah timeline media sosial, senjatanya adalah data dan kreativitas, dan pasukannya adalah netizen muda yang ia edukasi. Melawan korupsi membutuhkan lebih dari sekadar niat baik; ia membutuhkan strategi yang cerdik, persiapan yang matang, dan kesabaran untuk memenangkan pertempuran lewat kecerdasan, bukan sekadar kekuatan.

Perjuangan mereka berdua membuktikan satu hal: untuk mengalahkan monster yang ‘abadi’, Anda tidak bisa menjadi pahlawan yang hanya mengandalkan kekuatan. Anda harus menjadi seorang strategis yang, seperti kata Shikamaru, “bergerak tiga langkah lebih depan dari lawan.” 

Ferry Irwandi sedang melakukan persis itu, dan kita membutuhkan lebih banyak ‘Shikamaru’ seperti dia untuk evolusi bangsa ini.

Teguh Indonesia

Oleh : Teguh Estro (Bapak-bapak Muda)  "Dalam pertarungan, yang terlemah adalah orang yang tidak menyadari kelemahan sendiri."- Sh...
Teguh Estro Sabtu, 13 September 2025
Teguh Indonesia

H.O.S Tjokroaminoto Hadapi Cipta Kondisi Demonstrasi Garut 1919. Korban nyawa 21 Jiwa trengginas.


Oleh: Teguh Estro (Bapak-Bapak Muda)

Sejarah sering berulang, bukan sebagai tragedi, tetapi sebagai sebuah pola yang menunjukkan bahwa pertarungan kekuasaan, kepentingan, dan narasi memiliki playbook yang nyaris serupa. Lebih dari seabad yang lalu, seorang H.O.S Tjokroaminoto sudah mengalami apa yang kini kita sebut sebagai perang buzzer, cipta kondisi, dan demonstrasi yang ditunggangi. Kisahnya adalah cermin yang sangat jernih untuk melihat Indonesia hari ini.

Tjokroaminoto, Zelfbestuur, dan Ancaman bagi Status Quo

H.O.S Tjokroaminoto, sang "Raja Jawa Tanpa Mahkota", bukanlah sekadar orator ulung. Ia adalah pemikir strategis yang memperjuangkan Zelfbestuur (pemerintahan sendiri) bagi rakyat Hindia Belanda di forum Volksraad (Dewan Rakyat). Gagasannya yang vokal dan frontal tentang kemandirian ekonomi dan politik adalah ancaman eksistensial bagi pemerintahan kolonial Belanda dan para kapitalisnya, terutama "Mafia Gula"—konglomerasi perkebunan gula yang menguasai perekonomian dan menyengsarakan rakyat melalui sistem sewa tanah yang merugikan.

Perjuangannya melalui Sarekat Islam (SI) begitu massif, membuat Belanda kalang kabut. SI bukan hanya organisasi, tetapi adalah gerakan rakyat yang menyatukan kesadaran agama, nasionalisme, dan perlawanan ekonomi.

Serangan Buzzer Era Kolonial: Menjegal SI dengan Proxy War

Menyadari SI tidak bisa dilawan secara frontal, Belanda dan para mafia gula melancarkan perang urat saraf. Strateginya adalah mendirikan atau mendanai organisasi "buzzer" untuk melemahkan SI dari dalam dan merusak reputasinya.

Pertama, Buzzer Lokal: Di Cianjur dan Sumedang muncul Sarekat Hedjo, di Cimahi ada Sarekat Pompa, dan di Tasikmalaya ada TBTO (Tolak Bala Towil Oemoer). Organisasi ini seringkali bertindak radikal dan anarkis, lalu citra buruknya dialamatkan kepada SI pusat untuk menggambarkan SI sebagai organisasi liar dan berbahaya.
Kedua, Buzzer Berbasis Identitas: Organisasi seperti Jamiatul Hasanah dan Jamiatul Matiin yang bercorak Arab didirikan untuk memecah belah basis massa muslim SI. Ini adalah taktik klasik divide et impera (adu domba) dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan.

Tujuannya jelas: menciptakan chaos dan kerancuan di tengah masyarakat. Masyarakat dibuat bingung mana SI yang benar dan mana yang palsu, sehingga melemahkan kekuatan kolektif mereka. Ini adalah proxy war atau perang proksi di mana Belanda berperang tanpa harus tampak di depan.

Pemogokan dan Kerusuhan: Mengkambinghitamkan SI

Puncaknya adalah berbagai kerusuhan, seperti pemogokan buruh di Toli-Toli (1919) dan peristiwa adalah insiden Garut (Juli 1919) yang berujung pada tewasnya 21 orang akibat demonstrasi besar-besaran. Pemerintah Kolonial dengan cepat—dan tanpa bukti kuat—menyalahkan dan menyebarkan narasi bahwa Sarekat Islam-lah dalang dari semua kekacauan ini.


Padahal, akar masalahnya adalah kesengsaraan ekonomi. Pada masa paceklik, permintaan setoran hasil panen dari Belanda tetap tinggi, memicu kemarahan rakyat yang sudah tertindas. SI hanyalah saluran dari kemarahan yang sudah menggelegak itu. Namun, narasi yang dibangun oleh intelijen Belanda adalah SI sebagai troublemaker, bukan pemerintah kolonial sebagai troublemaker.

Mencermati Kini dengan Pisau Analisis Teori Konflik

Apa yang terjadi pada 1919 dan apa yang terjadi dalam demonstrasi akhir Agustus 2025 memiliki kemiripan yang mencolok. Untuk memahami pola ini, kita dapat menggunakan Teori Konflik dari Karl Marx dan Ralf Dahrendorf.

Teori ini melihat masyarakat bukan sebagai tempat yang harmonis, tetapi sebagai medan pertempuran antara kelompok yang berkuasa (elit penguasa/pemilik modal) dengan kelompok yang dikuasai (rakyat). Elit menggunakan segala cara—termasuk hukum, politik, dan media—untuk mempertahankan dominasi dan sumber dayanya.

1. Akar Konflik yang Sama: Ekonomi!
Dahulu: Kenaikan setoran panen di masa paceklik oleh Belanda. Dan Kini Kenaikan berbagai jenis pajak dan tarif (PPN, listrik, dll) di tengah beban ekonomi rakyat yang masih berat pasca-pandemi.


Analisis Teori Konflik: Kebijakan ekonomi adalah alat kelompok berkuasa. Kenaikan pajak yang dirasakan tidak adil memicu konflik kepentingan antara negara (yang butuh pendapatan) dengan rakyat (yang merasa diperas). Kemarahan ini adalah "bahan bakar" yang siap meledak.

2. Strategi Penguasa yang Serupa: Demonisasi dan Buzzer
Lihatlah Dahulu Belanda menciptakan Sarekat Hedjo, TBTO, dan Jamiatul Hasanah untuk memecah belah dan mendelegitimasi SI. Terulang lagi saat ini Maraknya organisasi massa dan akun-akun buzzer yang diduga ditunggangi untuk menciptakan narasi simpang siur, menyerang kelompok demonstran yang damai, dan menyebarkan ujaran kebencian. Tujuannya sama: mengalihkan isu dari substansi ekonomi menjadi chaos identitas dan kekerasan.
Dalam Analisis Teori Konflik, Kelompok berkuasa menggunakan "aparatus ideologi" (media, buzzer) untuk mengontrol pemikiran masyarakat. Dengan mendemonisasi demonstran sebagai "anonim", "dibayar", atau "perusuh", perhatian publik dialihkan dari tuntutan reformasi pajak yang adil.

3. Respons Negara: Represi dan Kambing Hitam
Hal ini pun sama Dulu Pemerintah Kolonial menyalahkan SI untuk setiap kerusuhan dan melakukan tindakan represif terhadap anggota SI. Kita melihat pula saat insiden Demonstrasi Akhir agustus 2025 kemarin. Aparat melakukan tindakan represif terhadap demonstran yang berujung pada 10 jiwa melayang. Narasi yang muncul seringkali menyudutkan demonstran dan mengabaikan akar masalahnya.

Apabila kita Analisis menggunakan Teori Konflik (Dahrendorf): Negara memiliki monopoli kekerasan yang sah. Namun, ketika kekerasan ini digunakan untuk melindungi status quo dan menekan kelompok yang berkonflik, itu justru memperdalam ketidakpercayaan dan membuktikan bahwa negara berpihak pada elit, bukan rakyat. Tindakan represif adalah bukti nyata dari pertarungan kekuasaan tersebut.

Refleksi: Pelajaran dari Sang Guru Bangsa

Perjuangan Tjokroaminoto mengajarkan kita bahwa musuh terbesar bukanlah orang yang berseberangan, melainkan kebingungan dan perpecahan. Taktik tua "cipta kondisi" dan "proxy war" masih efektif karena kita sering terjebak dalam euforia konflik horizontal, sementara akar masalahnya—ketidakadilan ekonomi—terlupakan.

Mempelajari sejarah bukan untuk menyamakan secara persis, tetapi untuk mengenali pola. Jika kita mampu melihat bahwa permainan buzzer, demonisasi, dan represi adalah pola lama yang digunakan untuk melindungi kepentingan berkuasa, maka kita akan lebih bijak dalam menyikapi setiap peristiwa. Kita akan fokus pada substansi tuntutan, bukan terprovokasi oleh chaos yang diciptakan.

Tjokroaminoto berhasil membangun kesadaran kolektif melawan penjajah. Tantangan kita hari ini mungkin lebih rumit: melawan musuh yang tidak selalu terlihat, tetapi menggunakan playbook yang sama. Kesadaran itulah yang akan menentukan, apakah kita akan terpecah belah seperti yang diinginkan mereka, atau bersatu memperjuangkan keadilan yang sesungguhnya.

Oleh: Teguh Estro (Bapak-Bapak Muda) Sejarah sering berulang, bukan sebagai tragedi, tetapi sebagai sebuah pola yang menunjukkan bahwa perta...
Teguh Estro Senin, 08 September 2025
Teguh Indonesia

Retaknya Relasi Manusia dan Alam Sebagai Keluarga


Oleh: Teguh Estro
(Penikmat Tumis Rebung)

    Bayangkan alam planet ini sebagai sebuah keluarga besar yang harmonis. Ibu Pertiwi telah memberikan segalanya dengan cuma-cuma: udara untuk bernapas, air untuk minum, makanan untuk disantap, dan rumah untuk bernaung.

Selama ribuan tahun, manusia hidup sebagai anak yang bersyukur, bersama saudara-saudaranya yang lain: hutan, sungai, hewan, dan tumbuhan. Namun, suatu ketika, anak manusia mulai berubah. Ia merasa diri paling istimewa, menganggap semua yang ada adalah miliknya, dan lupa bahwa ia hanya satu dari sekian banyak anggota keluarga.

"Bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi bukan keserakahan setiap orang." - Mahatma Gandhi

Anak Manusia yang Berubah Menjadi Raja Kecil

Suatu hari, anak manusia mulai membaca buku-buku yang membuatnya merasa spesial. Ia pun memakai mahkota imajiner dan bersikap seperti raja kecil di rumah sendiri. Segala sesuatu hanya dianggap berharga jika berguna untuknya. Ibu Pertiwi yang dulu dihormati, kini hanya dilihat sebagai gudang persediaan dan tempat pembuangan.

Dengan rakus, ia mulai mengambil semua yang diinginkannya. Gudang Pangan (hutan dunia) dibongkar untuk dibangun villa mewah. Kebun sayur yang subur diganti dengan tanaman industri yang seragam dan membosankan. Ia membangun pabrik dan jalan raya di tengah rumah, mengganggu ketenangan saudara-saudaranya yang lain.

Perilaku ini seperti anak remaja yang tiba-tiba merasa paling penting di rumah. Ia menyebut filosofinya "antroposentrisme"—segala sesuatu harus berpusat padanya.

Ia dan teman-teman konglomeratnya berpesta setiap hari, menghabiskan persediaan tanpa memedulikan masa depan. Mereka menyembah dewa bernama "Pertumbuhan Ekonomi" yang serakah. Asap pesta mereka mengotori udara rumah, sampah mereka menumpuk di setiap sudut, dan kebisingan mereka mengganggu seluruh penghuni.

"Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat Anda gunakan untuk mengubah dunia." - Nelson Mandela

Pertanyaan Reflektif: Berapa lama lagi kita akan terus menjadi anak manja yang hanya tahu meminta? Tidak sadarkah kita bahwa Ibu Pertiwi semakin lelah dan saudara-saudara kita semakin menderita?

Keluarga Besar "Mother Earth" dengan Peran yang Saling Melengkapi

Sebelum anak manusia bertingkah (ber-evolusi), rumah besar ini dijalankan dengan sistem yang sempurna. Setiap anggota keluarga memiliki tugasnya masing-masing, seperti sebuah tim yang kompak.

Pohon-pohon besar berperan sebagai atap yang melindungi dari panas dan hujan. Pohon-pohon muda menjadi dinding yang mengatur udara. Jamur dan bakteri adalah petugas kebersihan yang mengubah sampah menjadi pupuk baru. Setiap pohon adalah sebuah rumah kecil yang menampung puluhan keluarga: burung-burung, serangga, mamalia kecil, jamur, dan lumut.

Menebang satu pohon sama dengan menghancurkan satu apartemen—ratusan makhluk kehilangan tempat tinggal dalam sekejap.

Sungai berperan sebagai saluran air minum dan transportasi yang menghubungkan berbagai ruangan. Terumbu karang adalah kamar bayi bagi kehidupan laut. Padang sabana adalah lapangan bermain yang dijaga oleh sang penjaga (predator puncak). Semua terhubung dalam sebuah jaring keluarga yang saling membutuhkan.

"Look deep into nature, and then you will understand everything better." - Albert Einstein

Cara Kerja Keluarga vs Cara Kerja Manusia: Keluarga alam bekerja dengan prinsip daur ulang: tidak ada yang terbuang, semua dipakai kembali. Sementara manusia bekerja dengan prinsip pakai-buang: mengambil sumber daya, memakainya sebentar, lalu membuangnya menjadi sampah.

Ibu Pertiwi "Mother Earth" Mulai Lelah dan Sakit

Alam tidak marah. Ia hanya bereaksi sesuai dengan aturan rumah yang telah dilanggar. Setiap pelanggaran mendapatkan konsekuensinya.

1. Banjir Bandang, Ketika anak manusia menebang pohon-pohon pelindung di lantai atas rumah, tidak ada lagi yang menahan air hujan. Air yang seharusnya diserap tanah kini langsung meluncur ke bawah, menerjang segala sesuatu di jalurnya. Ini bukan kemarahan, ini konsekuensi logis dari merusak sistem drainase rumah.

2. Krisis Makanan, Ketika anak manusia menyemprot racun serangga yang membunuh para penyerbuk (lebah dan kawanannya), proses penyerbukan tanaman terhambat. Hasilnya? Persediaan makanan di rumah semakin menipis. Kita meracuni para pekerja yang justru menyediakan makanan untuk kita sendiri.

Fakta Unik, Hutan Amazon adalah "paru-paru" rumah kita yang menghasilkan 20% oksigen. Tugasnya yang lebih penting adalah menyaring udara kotor yang kita hasilkan.

Suhu rumah semakin panas—naik 1,1°C sejak revolusi industri. Es di kutub mencair seperti AC yang rusak. Terumbu karang memutih seperti dinding yang mulai keropos. Rumah kita semakin tidak nyaman untuk ditinggali.

Renungan Sebagai Anggota Keluarga Mother Earth Kita berteriak"Selamatkan Bumi!" seolah-olah kita adalah pahlawan dari luar. Padahal, kita adalah bagian dari keluarga ini. Ibu Pertiwi tidak perlu diselamatkan—dia akan pulih dengan sendirinya dalam waktu lama. Yang terancam adalah kita sendiri, anak manusia, yang mungkin tidak akan lagi diizinkan tinggal di rumah ini.

Pertanyaannya bukan "bagaimana menyelamatkan bumi?" tetapi "bagaimana kita kembali menjadi anak yang baik dalam keluarga besar ini?"

Mungkin sudah waktunya kita melepas mahkota khayalan, membersihkan kekacauan yang kita buat, dan kembali hidup harmonis dengan semua saudara kita di rumah besar Ibu Pertiwi.

Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro (Penikmat Tumis Rebung)      Bayangkan alam planet ini sebagai sebuah keluarga besar yang harmonis. Ibu Pertiwi telah memb...
Teguh Estro Kamis, 04 September 2025
Teguh Indonesia

Jenderal An Lushan "Dalang" Pemberontakan Dinasti Tang, Refleksi Demonstrasi Berdarah Akhir Agustus 2025.

Oleh: Teguh Estro
(Bapak-bapak Muda)

    Ada yang berdarah-darah di jalanan. Asap membubung dari gedung-gedung yang dibakar. Suara teriakan dan ratapan bersahutan. Ibukota porak-poranda. Perekonomian lumpuh. 36 Juta nyawa manusia hilang dan banjir darah.  Itulah yang terjadi di Chang’an, ibu kota Dinasti Tang, pada abad ke-8, ketika sosok bernama An Lushan memimpin pemberontakan. Dan itu pulalah yang (dalam skala dan konteks yang tentu berbeda) kita saksikan gejalanya dalam kerusuhan demonstrasi di Jakarta dan kota-kota lainnya, Akhir Agustus 2025.

Kekerasan massa selalu punya pola yang mirip: ia memakan korban jiwa, melumpuhkan kehidupan, dan meninggalkan luka yang dalam. Tapi kekerasan bukanlah monumen yang tiba-tba jatuh dari langit. Ia adalah anak kandung dari salah urus kekuasaan.

Pemberontakan An Lushan, yang menghancurkan salah satu dinasti terbesar dalam sejarah Tiongkok, bermula dari akumulasi kesalahan yang dibiarkan membusuk. Hari ini, kita bisa melihatnya sebagai cermin yang memantulkan potret buram kita sendiri.

A. Gejala-Gejala yang Menggerogoti

Tokoh An Lushan bukanlah pemberontak yang muncul tiba-tiba. Ia adalah produk dari sistem yang sakit. Dinasti Tang, di puncak keemasannya, justru mengandung benih-benih kehancuran.

Pertama, kekuatan militer yang otonom. Sebagai seorang Jiedushi atau gubernur militer, An Lushan menguasai tiga wilayah sekaligus dengan pasukan profesionalnya sendiri. Ia membangun kerajaan dalam kerajaan, dengan tentara yang loyal padanya, bukan pada kaisar. Ini terjadi karena kebijakan luar negeri Tang yang ofensif butuh pasukan perbatasan kuat, tapi diabaikanlah kontrol dari pusat.

Kelalaian pusat dalam mengayomi daerah terutama perbatasan bisa menjadi bom waktu. Apalagi dibumbui oleh Kekaisaran yang selalu memperalat wilayah perbatasan untuk menghadang pasukan barbar dari luar. Sedangkan di dalam istana justru pejabat berfoya-foya dengan banyak selir.

Tidakkah kita melihat pola yang sama hari ini? Ketika kekuatan-kekuatan di daerah merasa diabaikan, sementara pusat sibuk dengan gemerlapnya sendiri, bukankah ini resep untuk bencana? Apabila pemerintahan rapuh maka pilihan untuk membuat regulasi yang memperbesar wewenang militer adalah sama seperti menggali kuburan sendiri.

Kedua, krisis fiskal dan pajak yang mencekik. Sistem bagi hasil pertanian equal-field yang adil telah runtuh. Tanah terkonsentrasi di tangan elite Dinasti Tang. Pemerintah, yang butuh uang untuk biaya perang dan kemewahan istana, memeras rakyat dengan pajak yang berat. Petani menjerit. 

Mereka yang tak sanggup melarikan diri atau menjual diri menjadi budak. Inilah yang dalam teori sosial Karl Marx disebut sebagai “perjuangan kelas”: ketika ketimpangan ekonomi mencapai titik nadir khususnya bagi rakyat yang berbatasan dengan Kerajaan Tibet, ledakan sosial adalah konsekuensi yang hampir tak terelakkan. Akhirnya masyarakat miskin perbatasan terpancing untuk menghabisi kemewahan ibu kota Chang'an. 

Apakah kita tidak belajar dari sejarah? Ketika pajak menjadi alat penindasan bukan keadilan, ketika yang kaya makin kaya dan yang miskin makin terjepit, bukankah kita sedang menabur benih kemarahan? Kita melihat jelas pada penolakan keras ribuan warga PATI, Jawa Tengah terhadap kenaikan pajak 250%.

Ketiga, kesenjangan sosial dan sentimen etnis. An Lushan adalah golongan etnis minoritas orang non-Han, Jenderal ini berasal dari etnis Sogdian-Turk. Ia dan pasukannya sering dipandang rendah oleh elite Han di istana. Perdana Menteri Yang Guozhong, yang arogan dan korup, terus memprovokasi dan merendahkannya. Di perbatasan, rakyat merasa dieksploitasi oleh pusat yang jauh dan tak peduli. Mereka mudah dihasut untuk membenci ibu kota.


Lagi-lagi kisah ini menjadi pelajaran buat kita saat ini di Indonesia. Bukankah politik identitas dan arogansi kekuasaan masih menjadi penyakit kita sampai hari ini? Ketika perbedaan dijadikan alat pecah belah, dan suara rakyat kecil dianggap tak penting, bukankah kita sedang membangun tembok permusuhan?

Keempat, inkompetensi pejabat. Kaisar Xuanzong, yang tua dan lalim, lebih sibuk dengan selirnya Yang Guifei daripada urusan negara. Istana dipenuhi intrik dan korupsi. Kebijakan dibuat bukan untuk rakyat, tetapi untuk melayani nafsu segelintir orang.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil? Ketika pemimpin lalim dan korup, ketika kebijakan hanya untuk kepentingan segelintir orang, bukankah kehancuran hanya menunggu waktu?

B. BENCANA KEMANUSIAAN PUN TERJADI

    Pemberontakan An Lushan bukanlah aksi spontan. Ia direncanakan dengan cermat. Sebagai Jiedushi (Gubernur Militer), ia memanfaatkan kedekatannya dengan pejabat istana untuk mengetahui kelemahan pemerintah. Ia membangun dukungan rakyat dengan menjadi “jagoan” bagi mereka yang tertindas. Lalu, ia menyerang di musim dingin, ketika pasukan pemerintah lengah. Dan yang paling penting: ia menyerbu ibukota justru ketika keretakan di istana sedang paling parah.

Mirip dengan Demonstrasi Akhir Agustus Lalu, jelas: kekerasan massa hampir selalu ada dalang dan skenarionya. Akhirnya, Kematian driver OJOL Affan Kurniawan menjadi daftar kelam kerusuhan berdarah di Indonesia. Bukan hanya Affan Kurniawan di Jakarta namun masih ada 6 korban lainnya di kota Jogja, Solo dan Makassar yang juga turut meregang nyawa. Puncaknya ketika terjadi penjarahan rumah 4 orang pejabat yang diduga ditunggangi oleh oknum yang tak bertanggungjawab. Aksi vandalisme dan pembakaran aset pribadi tersebut didesain seolah kemarahan rakyat. Kemarahan Masyarakat yang menyuarakan protesnya dibayar mahal dengan nyawa mereka. Apakah ia murni luapan amarah rakyat, atau sudah ditunggangi kepentingan politik? Sejarah An Lushan pada abad ke-8 M mengingatkan: ketika negara lemah dan rakyat marah, pintu bagi ambisi orang-orang seperti An Lushan terbuka lebar.

Dannn, Pertanyaan penting untuk kita renungkan: Sudahkah kita membedakan mana suara rakyat yang murni dan mana yang sudah dibajak kepentingan? Atau jangan-jangan kita semua sedang dimanfaatkan dalam skenario besar perebutan kekuasaan?

C. Dinasti Tang Menjadi Negara Lumpuh

Pemberontakan An Lushan bukan hanya soal pergantian kekuasaan. Ia adalah bencana kemanusiaan yang luar biasa. Ekonomi lumpuh total. Sistem pajak kacau balau. Yang paling mengerikan: 36 juta jiwa tewas (seperenam dari populasi dunia saat itu) Pengungsian terjadi di mana-mana. Dinasti Tang nyaris runtuh dan tidak pernah benar-benar pulih.

Inilah harga yang harus dibayar ketika “kontrak sosial” antara penguasa dan rakyat—sebuah teori yang digagas Rousseau—putus sama sekali. Pemerintah gagal menjalankan tugasnya: melindungi, mensejahterakan, dan berlaku adil. Sebaliknya, mereka menjadi predator. Rakyat, yang sudah tidak percaya, memilih jalan kekerasan sebagai satu-satunya bahasa yang dimengerti oleh penguasa.

Mau sampai kapan kita terus mengulangi kesalahan yang sama? Ketika penguasa lupa bahwa kekuasaan adalah amanah, ketika rakyat dipaksa memilih antara diam atau meledak, bukankah kita semua yang akan menjadi korban?

D. JAS MERAH

Dari Chang’an ke Jakarta, dari abad ke-8 hingga abad ke-21, pelajaran sejarah ini adalah tamparan. kekerasan adalah buah dari penguasa yang tuli. Jenderal An Lushan mungkin hanya nama di buku tua, tapi rohnya bisa hidup di mana saja, di setiap negara dimana elite mengorbankan rakyat untuk kekuasaan dan harta.

Kita tidak perlu menjadi Marxis untuk mengerti bahwa kesenjangan adalah bahan peledak. Kita juga tidak perlu menjadi Rousseau untuk paham bahwa pemimpin adalah wakil rakyat, bukan majikan mereka. Demonstrasi dan kerusuhan adalah gejala. Penyakitnya adalah ketidakadilan.

Pertanyaan terakhir yang paling menggelisahkan: Apakah kita harus menunggu sampai segala sesuatunya hancur berantakan seperti di Chang'an dulu, baru kita menyadari bahwa yang kita pertaruhkan adalah masa depan bersama?

Jika kita tidak belajar dari sejarah, kita akan dikutuk untuk mengulanginya. Dan seperti kata pepatah Tiongkok kuno: “Dengan mata terbuka, kita menyaksikan roda pedati yang sama menggilas orang-orang yang sama.” Mari jangan jadi orang-orang yang sama itu.
Teguh Indonesia
Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro (Bapak-bapak Muda)      Ada yang berdarah-darah di jalanan. Asap membubung dari gedung-gedung yang dibakar. Suara teriakan...
Teguh Estro Selasa, 02 September 2025
Teguh Indonesia

KEMATIAN ABIMANYU



Duryudana dan para Kurawa sudah sewenang-wenang. Bahkan Destarastra, Raja Hastinapura cuma bisa menonton kesewenang-wenangan sang Putra Mahkota pada anak-anak Pandhu. Begawan Bisma dan Guru Durna yang dikenal bijaksana hanya diam cari aman.

Dewi Kunthi menangis, Drupadi dilucuti Dan para Pandawa terusir dari istana. Pada akhirnya setelah lama ditindas, Pandawa Lima melawan juga. Namun beberapa kali perlawanan Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa ditahan oleh pasukan kurawa.

Dan..., semua berubah saat "Abimanyu", Putra Arjuna Mati. Ia pemuda belasan tahun dikeroyok dan terlindas Cakrabyuha pasukan Kurawa. Mengetahui Abimanyu anaknya mati, membuat ARJUNA "ngamok". Arjuna yang sedang berperang melawan Raja Susarma memang tak Sempat melindungi Abimanyu. Karena lokasi yang terlalu jauh. Dan saat pulang, ia hanya melihat senyum terakhir Abimanyu. 

Salah satu peraturan Perang Mahabharata adalah tidak boleh mengeroyok Kesatria saat Tarung Satu lawan Satu. Namun yang terjadi adalah ABIMANYU dikeroyok oleh Kurawa atas hasutan Sengkuni. Terutama Abimanyu gugur karena serangan Si JAYADRATA, Raja Shindu dari sekutu Kurawa yang memang dikenal licik dan selalu melanggar aturan perang. 

ARJUNA NGAMOK

Kemarahan Arjuna tak terbendung. Setelah melihat jenazah anaknya, ia bersumpah untuk membalas dendam pada Jayadrata. Tanpa pikir panjang malam itu juga Arjuna berjalan sendiri menuju perkemahan Kurawa. Semua Kesatria Kurawa termasuk Guru Dorna tak mampu menghentikan Amukan Arjuna yang terkenal Sakti Mandraguna. 

Namun Amukan Arjuna terhenti oleh sang Kakak, YUDHISTIRA yang menyusul dan membujuknya untuk tenang. Yudhistira menasehatinya bahwa Menyerang saat malam hari adalah Pelanggaran dalam Bharatayuda. 

ARJUNA SANGAT KESAL PADA KAKAKNYA YANG NAIF ITU. DISATU SISI, KURAWA SUDAH BERKALI-KALI LICIK MELANGGAR DAN MENGUBAH ATURAN, NAMUN KENAPA PASUKAN PANDAWA SELALU DIMINTA PATUH PADA ATURAN. Niat menghabisi Jayadrata pun tertunda, memendam bara dendam di dada Arjuna. 

Sejak saat itu, Arjuna Bersumpah akan membunuh Jayadrata dalam peperangan. "WAHAI JAYADRATA BESOK AKAN ADA DUA TEMPAT PEMAKAMAN MAYAT, Satu tempat untuk makam ABIMANYU anakku. Dan Satu lagi PEMAKAMAN untuk KAU JAYADRATA"

Benar saja esok pagi saat Bharatayudha dimulai. Arjuna melangkah maju menghabisi semua pasukan Kuru. Bahkan Guru Durna dan Raja Karna tak bisa menahan kesaktian Arjuna. Dengan bantuan Cakra SUDARSANA milik Prabu Kresna membuat semua strategi licik Sengkuni takluk. Panah PASOPATI milik Arjuna tanpa ampun membunuh JAYADRATA. Mati Koen...

Teguh Indonesia

Duryudana dan para Kurawa sudah sewenang-wenang. Bahkan Destarastra, Raja Hastinapura cuma bisa menonton kesewenang-wenangan sang Putra Mahk...
Teguh Estro Sabtu, 30 Agustus 2025
Teguh Indonesia

Generasi yang Terluka di Kabupaten PALI


Oleh : Teguh Estro
(Direktur RESEI) 

"Anak-anak adalah lentera yang meneruskan cahaya peradaban. Tapi bagaimana jika lentera itu ditiup angin kencang sebelum sempat menerangi bumi serepat serasan?"

Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) di Sumatera Selatan telah berusia hampir 12 tahun. Usia yang cukup untuk mengevaluasi generasi pertamanya. Namun, yang terjadi justru pengabaian. 

Kita hanya melihat gejala: buta huruf yang mengganjal, disorientasi seksual yang mengkhawatirkan, pergaulan menyimpang yang merajalela, dan perkawinan dini yang melahirkan orang tua prematur.  

Muskilat pertama, Efek Domino Pernikahan "Belarian"

Sebagaimana kita tahu dalam masyarakat kita terdapat penyakit masyarakat yang disebut 'Belarian'. Yakni menikah dengan konsep terpaksa dilarikan karena faktor 'Married by Accident' (MBA).


Bahkan di beberapa lokasi pihak lelaki masih SMA dan pihak Perempuan masih di bangku SMP. Sialnya Biasanya mereka sudah dalam kondisi hamil.

Apakah mereka punya kesadaran pentingnya menjaga anak sejak masa kehamilan. Mengertikah mereka bahwa Seorang ibu hamil harus terjaga asupan nutrisinya, pengendalian stress yang baik. ini baru pertanyaan dasar untuk mendeteksi kualitas calon generasi kabupaten PALI.
"Pelaku nikah belarian ini belum selesai dengan diri mereka sendiri: mental labil, ekonomi lemah, literasi rendah"

Akhirnya kita bertanya-tanya dengan kegelisahan. Bagaimana mungkin para orang tua prematur ini bisa menerapkan pola asuh positif? 

Sedangkan mereka saja sebagai orang tua masih berusia belasan tahun sedang bermasalah dalam hal mental, ekonomi dan sosial. Sudah bisa kita tebak Kualitas Gen-Z dan Gen-Alpha kita akan merosot. Karena mereka diasuh oleh orang tua prematur. 

Padahal Gen-Z dan Gen-Alpha adalah tipe yang suka dengan kejujuran, komunikasi blak-blakan dan melek digital. Apakah mereka bisa diasuh dan dibesarkan oleh para orang tua prematur ini.

Hal ini diperparah dengan rendahnya literasi terkait pengetahuan parenting. Para pelaku nikah Belarian ini bahkan tidak berniat untuk mengasuh anaknya. 

Kejadian di beberapa daerah banyak orang tua muda yang menitipkan anak-anak nya pada sang Nenek. Disinilah bencana dimulai yakni miskonsepsi terkait pola asuh yang diakibatkan 'gap generation'. Para puguk dan Kajut dari generasi boomer harus menerapkan pola asuh kepada sang Cucu dari generasi Z. 

Bagaimana generasi 'boomers' menerapkan pola asuh kolonial yang kaku, satu arah dan over protektif kepada Gen-Z dan Gen Alpha. 

Bagi Gen-Z dibentak dan diancam sama halnya dengan memulai perang. Bagi Gen-Z dan Gen Alpha, sikap orang tua yang mudah berpura-pura dan menunda-nunda adalah penyelewengan. 

Karena Gen-Z apalagi Generasi Alpha hampir tak bisa dibohongi. Mereka mudah mengakses informasi dan pengetahuan dengan cepat meskipun kerap tercampur dengan hoax. Mereka kritis dalam banyak hal. Meskipun tidak diungkapkan, setidaknya mereka bertanya-tanya dalam hati. 

Bahkan R. D. Asti dalam buku Parenting 4.0, Mendidik Anak era Digital mengungkapkan
"Kesabaran adalah seni yang hilang pada generasi Z"
Asti menambahkan bahwa generasi Z senantiasa bertindak serba cepat untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan agar tidak dikalahkan orang lain. 

Penulis sangat khawatir kedepan akan muncul generasi yang tak terkendali atas aturan positif. Terbiasa memberontak dan asal melawan karena diasuh oleh kultur feodal warisan generasi boomer.

Malpraktek pola asuh terhadap Gen-Z ini bisa dihindari Kalaulah Nikah belarian tidak terjadi atau dibiarkan terjadi. 

Pernikahan yang benar-benar dilandasi kesiapan lahir dan batin. Mereka dengan sadar membesarkan anak-anaknya, bukan hanya dititipkan pada neneknya sepanjang hari. Pernikahan yang matang bertanggungjawab untuk menerapkan pola komunikasi yang sesuai dengan gaya khas Gen-Z dan gen Alpha. 

"Berapa banyak lagi anak-anak PALI yang harus menjadi korban belarian sebelum kita menyadari ini adalah darurat sosial?"

Bisakah kita berharap pada orang tua berusia 15-17 tahun—yang sendiri masih butuh bimbingan—untuk membesarkan generasi berkualitas? Ketika seorang ibu remaja tak paham nutrisi dasar untuk janinnya, bagaimana mungkin kita berharap anak itu tumbuh tanpa gangguan mental?

Masalah Kedua, Disorientasi Seksual dan Krisis Identitas
  
Ada yang lebih menggelisahkan: anak-anak laki-laki yang menyerupai perempuan bukan karena pilihan, tetapi karena ketiadaan figur identitas yang sehat. 

Dra. Nur’aeni dalam buku "Intervensi Dini bagi Anak Bermasalah" menegaskan: 
"Perkembangan seseorang sangat bergantung pada pengalaman yang pernah diperoleh dari lingkungannya."
Di PALI, pola asuh yang salah—entah terlalu keras atau terlalu abai—menciptakan self-esteem yang rapuh. Pola asuh orang tua yang penuh ancaman, mengungkit-ungkit kesalahan anak, menakut-nakuti bahkan banyak orang tua yang menjadi pendengar yang buruk alias egois. 

Rumah bukanlah tempat kembali yang nyaman. Anak-anak mencari pelarian di dunia luar yang mau mendengar kegalauanya. Akhirnya Mereka akan berkumpul pada komunitas yang tak pernah mengungkit kesalahan masa lalunya. Dan kebetulan di beberapa daerah komunitas yang terindikasi disorientasi seksual ini kerap merangkul anak-anak yang tersakiti di rumahnya. 

Bahkan di beberapa daerah terdapat komunitas disorientasi seksual yang memberikan modal usaha. Kelompok tersebut sangat mengayomi dengan komunikasi yang sangat lembut. Berbeda sekali kondisinya dengan verbal kasar di rumah orang tuanya.

"Jika anak-anak hanya meniru apa yang mereka lihat, lalu mengapa kita kaget ketika mereka tumbuh dengan disorientasi seksual di tengah lingkungan yang tidak memberi contoh sehat? "

Berapa banyak lagi anak laki-laki di PALI yang harus berperilaku feminin bukan karena identitas, tetapi karena ketiadaan figur ayah yang stabil dalam hidup mereka?

3. Sekolah yang Gagal Menjadi Tempat Aman
  
Sebaiknya kita tak perlu lagi menutupi bahwa sekolah justru menjadi medan perang: senioritas yang menindas, guru yang tidak peka, kelas kosong yang menjadi ajang bullying.  

Generasi Z dan Alpha—yang menurut Dr. Muhammad Faisal dalam "Generasi Phi" adalah "generasi yang menuntut transparansi dan keadilan"—tidak tahan dengan sistem feodal ala boomer. Mereka memberontak karena dibohongi. Mereka mengadu karena tidak mau ditindas. 
"Tapi sayang, orang tua mereka sibuk bekerja, sementara guru-guru masih berkutat dengan metode mengajar abad ke-19."
Bila analisa terkait generasi ini mau dilanjutkan maka kekhawatiran kita juga muncul di sekolah. Generasi yang saat ini berusia 8 tahun s.d 16 tahun tidak benar-benar aman di sekolahnya. 

Para guru, orang tua dan masyarakat tak pernah serius terhadap isu yang muncul di sekolah. Bagaimana anak-anak kita bertahan dengan anak nakal yang menerornya, biasanya dari kakak kelas yang lebih senior. 

Seringkali anak-anak justru cemas saat kelas sedang kosong tak ada guru. Artinya anak-anak nakal akan mulai mendominasi suasana kelas. Bahkan di beberapa daerah justru anak-anak alumni yang nakal masih kerap berbaur dengan adik-adik kelas. 
"Ada semacam penyakit untuk mendominasi kepada adik kelas atau teman sekolah yang lebih lemah."
Sebagaimana kita tahu bahwa gen-Z dan generasi Alpha sangat sensitif berhati helo kiti. Mereka mudah tersinggung saat ditegur karena makan di kelas. Mereka mudah mengadu ke orang tua hanya karena guru yang terlalu ikut campur. 

Generasi saat ini cukup unik, memunculkan siswa-siswi yang suka mengadu. Dan diperparah aduan tersebut didengar oleh para orang tua yang overthinking karena terlalu sibuk bekerja. Maka muncullah kasus-kasus saling adu polisi guru dan orang tua akhir-akhir ini.

Ketika anak-anak lebih takut pada senior yang nakal daripada bersemangat belajar, masih pantaskah kita menyebut ini "sekolah"?

4. Kekerasan Seksual dan Luka yang Tak Sembuh

Inilah tragedi paling kelam: anak-anak PALI yang menjadi korban kekerasan seksual. Seorang siswi SD digagahi pamannya sendiri. Siswi SMA dijual online oleh temannya. 

Dr. Abu Huraerah mencatat: "Korban kekerasan seksual akan membawa trauma seumur hidup—mulai dari depresi, putus sekolah, hingga kecenderungan balas dendam ketika dewasa." 

Budaya patriarki, kemiskinan, dan narkoba menjadi lingkaran setan. Anak perempuan dianggap "pelampiasan" yang bisa diperlakukan semena-mena. Dan ketika mereka mencoba melawan, masyarakat justru menyalahkan mereka. 

Berapa banyak lagi siswi SD di PALI yang harus diperkosa predator seks sebelum masyarakat berani bicara?
"Ketika seorang ayah tiri bisa memperkosa anak perempuannya, lalu apa artinya keluarga di kabupaten ini?"

 

5. Menyongsong Bonus Demografi atau Bencana Generasi?

Bonus demografi seharusnya jadi berkah. Tapi jika generasi muda PALI terus terjerat dalam perkawinan belarian, buta huruf, dan kekerasan seksual, yang muncul bukanlah golden age, melainkan lost generation.  

Dua Wajah Bonus Demografi di PALI.  
Di satu sisi, Kabupaten paling tengah di Sumsel ini akan memasuki puncak bonus demografi pada 2030-2040: 70% penduduk usia produktif (15-64 tahun). Di sisi lain, apa artinya bonus jika generasi muda PALI justru terbelit buta huruf, nikah dini, dan trauma kekerasan?

Sementara dunia kerja bergerak cepat menciptakan profesi seperti:  
- Teknisi Energi Terbarukan (matahari/angin)  
- Spesialis Kecerdasan Buatan (analis data, software developer)  
- Penyembuh Digital (telesurgeon, konselor rehabilitasi kecanduan gawai)  
- Arsitek Peradaban Baru (smart building designer, insinyur nanoteknologi)  

Lalu, di mana posisi generasi PALI yang hari ini masih berkutat dengan masalah baca-tulis dan identitas diri?  

Refleksi terhadap 3 Jurang Besar yang Harus Diseberangi  

Pertama, Jurang Literasi Digital vs Buta Aksara Konvensional. 
"Faktanya Masih ada siswa SMA di PALI yang belum lancar membaca. Padahal challenge buat generasi kita 10 tahun terakhir ini adalah. Pekerjaan masa depan seperti data analyst atau AI trainer membutuhkan literasi matematika, logika, dan bahasa pemrograman."
Kita harus wujudkan Revolusi metode belajar. Sekolah harus beralih dari hafalan ke pemecahan masalah. Pelatihan coding dasar sejak SD menggunakan alat sederhana seperti Scratch

Kedua, Jurang Kesehatan Mental vs Tuntutan Kreativitas. Kita tahuBanyak remaja PALI tumbuh dengan pola asuh keras, memicu rendahnya problem-solving skill.  
Padahal di masa depan saat mereka masuk usia angkatan kerja. Pekerjaan seperti augmented reality designer atau cyborg engineer membutuhkan kreativitas dan ketahanan mental.  

Penulis hanya berandai-andai jika terdapat Program "Sekolah Ramah Trauma" untuk korban kekerasan  dan "Pelatihan mindfulness" Untuk membiasakan berpikir kreatif.  

Ketiga, Ketimpangan Sosial vs Peluang Global. Penulis masih kerap menjumpai Anak-anak PALI di desa terpencil mungkin belum pernah melihat komputer. Bahkan menghidupkan komputer pun masih takut meledak. 

Bila menilik perkembangan teknologi, Pekerjaan seperti drone pilot atau weather control engineer memerlukan akses teknologi tinggi. Bila kita diam saja, maka selamanya generasi muda PALI tak akan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak di masa depan. Karena Gap Teknologi yang terlalu jauh ini menjadi kendalanya. 
"Sebenarnya penulis gregetan punya gagasan dengan program Mobile Tech Lab — bus keliling berisi peralatan VR, drone, dan alat energi terbarukan untuk mengenalkan teknologi ke pelosok"
Bila memungkinkan Beasiswa khusus anak untuk belajar di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Math).

Orang tua zaman now harus melek digital, tetapi juga melek psikologi anak. Sayangnya, di PALI, banyak orang tua bahkan belum melek huruf.Jangan tutup mata. Setiap anak yang terluka adalah tanggung jawab kita bersama.  

KITA MASIH PUNYA WAKTU. TAPI TIDAK LAMA.

___________________________


Referensi :
1. Buku "TEMANI ANAKKU MENGHADAPI SEKOLAH" ditulis oleh Siswa Dewantara. 

2. Buku "Mengapa Anak Saya Suka Melawan dan Susah diatur" ditulis oleh Edy Wiyono. 

3. Buku "Parenting 4.0 mendidik anak era digital" ditulis oleh R. D. Asti. 

4. Buku "Intervensi Dini bagi Anak Bermasalah" ditulis oleh Dra. Nur'aeni., MA. 

5. Buku "Generasi Phi (Pengubah Indonesia) Memahami Milenial Pengubah Indonesia" ditulis oleh Dr. Muhammad Faisal. 

6. Buku "Kekerasan Terhadap Anak" ditulis oleh Dr. Abu Hurairah, M. Si. 

Teguh Indonesia

Oleh : Teguh Estro (Direktur RESEI)  " Anak-anak adalah lentera yang meneruskan cahaya peradaban. Tapi bagaimana jika lentera itu ditiu...
Teguh Estro Minggu, 30 Maret 2025
Teguh Indonesia

PALI Bukan Lahan Tak Bertuan

Oleh : Teguh Estro
(Direktur RESEI) 

Menelisik fenomena Di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Provinsi Sumatera Selatan, cerita tentang konflik, sampah, dan banjir adalah narasi yang tak pernah usai. 

Seperti sebuah drama yang terus berulang, masalah-masalah ini muncul silih berganti, meninggalkan jejak kerusakan dan keputusasaan. Tapi di balik semua itu, ada cerita tentang manusia, alam, dan kebijakan yang seringkali gagal menjembatani keduanya.

Pelbagai pihak kerap terlalu dominan memposisikan dirinya saat bertuan di lahan kabupaten PALI. Saat mereka telah membayar pundi-pundi operasional, malah pihak tersebut  berubah menjadi monster di atas bumi serepat serasan. Menggaruk bumi seenaknya, hingga abai terhadap tuan rumah. Seperti Hewan setempat, sungai setempat dan pemukiman setempat. 

Konflik Lahan: Ketika Gajah dan Manusia Diadu domba.

Di Desa Semangus, konflik antara PT. Musi Hutan Persada (MHP), koloni gajah, dan warga setempat adalah potret nyata bagaimana industrialisasi berbasis ekstraksi sumber daya alam mengganggu keseimbangan ekologi dan sosial. Dulu, gajah-gajah itu datang dengan tenang, seolah mereka adalah bagian dari keluarga. Tapi sekarang, mereka datang dengan gelisah, seperti tamu yang tak diundang. 

PT. MHP, dengan izin konsesi yang dikeluarkan oleh negara, telah mengubah lanskap ekologi dan sosial. Hutan yang dulu menjadi rumah bagi gajah-gajah itu kini menjadi pabrik kayu. Dan warga, yang dulu hidup damai dengan satwa liar, kini terjepit di antara kepentingan perusahaan dan desakan alam.

Herman Hidayat dalam bukunya Deforestasi dan Ketahanan Sosial (2020) menjelaskan bahwa "Rusaknya Siklus Ekosistem (hutan) secara berkelanjutan mengakibatkan kepunahan spesies lainnya" Hal ini terlihat jelas di PALI, di mana pembukaan lahan untuk industri kayu oleh PT. MHP telah memicu konflik antara manusia dan satwa liar, serta merusak hubungan harmonis yang sebelumnya terjalin antara warga dan koloni gajah.

Mungkin sudah waktunya untuk berpikir ulang tentang model pembangunan kita. Apakah kita harus terus mengorbankan hutan dan satwa liar demi keuntungan ekonomi? Ataukah ada cara lain, di mana kita bisa hidup berdampingan dengan alam tanpa harus merusaknya?

Sebuah pemetaan partisipatif yang melibatkan warga, ahli ekologi, dan perusahaan bisa menjadi langkah awal. Tapi yang lebih penting adalah keberanian negara untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak masyarakat adat.

"Tambang Binal" PT. PEB: Longsor dan Ketimpangan yang Menyedihkan

Di desa Panta Dewa dekat lokasi tambang PT. PEB, seorang ibu bercerita tentang bagaimana tanah di belakang rumahnya tiba-tiba ambles. "Seperti ditelan bumi," katanya. Tapi yang lebih menyedihkan adalah ketimpangan yang ia lihat setiap hari. Di satu sisi, truk-truk besar terus mengangkut hasil tambang. Di sisi lain, anak-anak di desanya masih kesulitan mendapatkan air bersih.

Aktivitas pertambangan PT. PEB adalah contoh nyata dari apa yang disebut sebagai "kutukan sumber daya alam." Sumber daya yang seharusnya menjadi berkah justru menjadi bencana bagi masyarakat sekitar. Longsor yang terjadi adalah dampak langsung dari eksploitasi yang tidak terkontrol. Tapi yang lebih parah adalah ketimpangan ekonomi yang semakin melebar. Perusahaan menikmati keuntungan besar, sementara warga hidup dalam kemiskinan.

Paulus Wirutomo dalam Imajinasi Sosiologi: Pembangunan Sosial (2012) menegaskan bahwa "Pendekatan pembangunan berorientasi pertumbuhan (ekonomi semata) yang telah menghasilkan tiga krisis besar : Kekerasan, Kemiskinan dan Kehancuran Lingkungan." Di PALI, kebebasan itu justru direnggut oleh aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan dan memperlebar ketimpangan. 

Wirutomo menambahkan bahwa "ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi di sekitar wilayah tambang seringkali menjadi pemicu konflik horizontal yang berkepanjangan."

Mungkin sudah saatnya kita memikirkan model ekonomi yang lebih adil. CSR (Corporate Social Responsibility) yang selama ini dijalankan oleh perusahaan seringkali hanya menjadi alat pencitraan.

Apa yang kita butuhkan adalah kebijakan yang memastikan bahwa keuntungan dari tambang benar-benar dinikmati oleh masyarakat sekitar. Pajak ekologis bisa menjadi salah satu solusi. Tapi yang lebih penting adalah transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam.

Sampah dan Narkoba: Dua Wajah Desa Tempirai dan Air Itam

Di Desa Tempirai, tumpukan sampah menggunung di pinggir jalan. Bau busuk menyengat, tapi warga seolah sudah terbiasa. "Sudah bertahun-tahun seperti ini," kata seorang pemuda. Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah persoalan narkoba. Banyak pemuda di desa ini yang terjebak dalam lingkaran setan narkoba. "Mereka kehilangan harapan," kata seorang aktivis sosial.

Sampah dan narkoba adalah dua sisi dari mata uang yang sama: kegagalan negara dalam menyediakan layanan dasar dan menciptakan harapan bagi warganya.

Tumpukan sampah yang tidak terkelola adalah simbol dari ketidakpedulian kita terhadap lingkungan. Sementara narkoba adalah cermin dari kegagalan kita dalam menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi muda.

A. Sony Keraf dalam Ekonomi Sirkuler: Solusi Krisis Bumi (2021) menawarkan solusi bahwa "pengelolaan sampah harus diubah dari model linier (buang dan lupakan) menjadi model sirkuler (daur ulang dan manfaatkan)." Keraf menekankan bahwa "sistem ekonomi sirkuler tidak hanya mengurangi limbah, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat." 

Sementara itu, Dr. Kartini Kartono dalam Patologi Sosial (2009) mengingatkan bahwa "narkoba adalah gejala dari kegagalan sistem sosial dalam memberikan harapan dan masa depan bagi generasi muda." Kartono menambahkan bahwa "penyalahgunaan narkoba seringkali terjadi di daerah-daerah yang miskin dan terpinggirkan, di mana akses terhadap pendidikan dan lapangan kerja sangat terbatas."

Kita perlu pendekatan yang holistik. Untuk masalah sampah, kita butuh sistem pengelolaan yang terintegrasi, mulai dari pengumpulan, pengolahan, hingga daur ulang. Tapi yang lebih penting adalah edukasi dan partisipasi masyarakat.

Untuk narkoba, kita butuh program rehabilitasi yang komprehensif, tapi juga lapangan kerja dan kegiatan kreatif yang bisa mengalihkan perhatian pemuda dari narkoba.

Banjir di Sungai Lematang: Cerita yang Tak Kunjung Usai

Di Desa Curup, banjir adalah tamu yang datang setiap tahun. Warga sudah terbiasa melihat rumah-rumah mereka terendam air. Tapi yang membuat mereka frustrasi adalah janji-janji relokasi yang tak kunjung terealisasi. "Sudah puluhan tahun kami menunggu," kata seorang warga.

Banjir di Sungai Lematang adalah cerita lama yang tak kunjung usai. Perubahan aliran sungai, deforestasi, dan kurangnya perencanaan tata ruang adalah penyebab utamanya. Tapi yang lebih menyedihkan adalah ketidakmampuan negara untuk memberikan solusi yang konkret. 

Relokasi warga yang terus-menerus dijanjikan tapi tak kunjung terealisasi adalah bukti dari kegagalan kita dalam mengelola risiko bencana.

Hunggul Y. S. H. Nugroho dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) & Konservasi Tanah dan Air (2018) menekankan bahwa "restorasi ekosistem DAS adalah kunci untuk mengurangi risiko banjir dan erosi." Nugroho menjelaskan bahwa "tanpa restorasi ekosistem, upaya penanggulangan banjir hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah." 

Sementara Prof. Mudrajad Kuncoro dalam Perencanaan Pembangunan Daerah (2016) menegaskan bahwa "perencanaan tata ruang yang baik harus mempertimbangkan aspek ekologi dan sosial." Kuncoro menambahkan bahwa "tanpa perencanaan yang matang, pembangunan justru akan menciptakan masalah baru yang lebih kompleks."

Kita butuh tindakan yang cepat dan terencana. Relokasi warga ke daerah yang lebih aman harus segera dilakukan. Tapi yang lebih penting adalah restorasi ekosistem di sepanjang sungai. Menanam kembali vegetasi di sepanjang sungai bisa mengurangi erosi dan banjir. Tapi yang paling penting adalah komitmen politik untuk mengatasi masalah ini secara serius.


Kabupaten PALI adalah potret mini dari masalah-masalah yang dihadapi oleh banyak daerah di Indonesia. Konflik lahan, kerusakan lingkungan, sampah, narkoba, dan banjir adalah masalah-masalah yang saling terkait dan memerlukan solusi yang holistik. Tapi yang lebih penting adalah keberanian kita untuk mengakui kegagalan dan mengambil langkah-langkah konkret untuk memperbaikinya.

---

Referensi:
- Keraf, A. Sony. (2021). Ekonomi Sirkuler: Solusi Krisis Bumi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.  
- Nugroho, Hunggul Y. S. H. (2018). Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) & Konservasi Tanah dan Air. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.  
- Wirutomo, Paulus. (2012). Imajinasi Sosiologi: Pembangunan Sosial. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.  
- Kartono, Kartini. (2009). Patologi Sosial. Bandung: Penerbit Alumni.  
- Kuncoro, Mudrajad. (2016). Perencanaan Pembangunan Daerah. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.  
- Hidayat, Herman. (2020). Deforestasi dan Ketahanan Sosial. Jakarta: Penerbit LP3ES.  


Teguh Indonesia

Oleh : Teguh Estro (Direktur RESEI)  Menelisik fenomena Di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Provinsi Sumatera Selatan, cerita te...
Teguh Estro Minggu, 23 Maret 2025
Teguh Indonesia

Sang Koruptor Raja Di Xin, Refleksi Sistem Koruptif Dinasti Shang


Penulis : Teguh Estro
(Direktur RESEI)

Sesekali kita belajar dari negeri Tiongkok. Terutama terkait muskilat yang sedang relevan saat ini. Pemerintah yang buruk, Koruptif, Proyek-proyek kepentingan pribadi dan Rakus pada salah satu DInasti di negeri Tirai Bambu.

Dinasti Shang (1600–1046 SM) adalah salah satu dinasti paling awal dalam sejarah Tiongkok yang meninggalkan jejak melalui tulisan pada tulang oracle dan artefak arkeologis. Ia adalah sebuah peradaban yang berkembang, dengan sistem tulisan, budaya, dan struktur politik yang kompleks. Tapi, seperti banyak kerajaan besar lainnya, ia akhirnya runtuh. Dan keruntuhannya, seperti yang sering terjadi, dimulai dari dalam.  

Di Xin, raja terakhir Shang, adalah sosok yang menarik. Ia digambarkan sebagai penguasa yang awalnya cakap, tapi kemudian berubah menjadi lalim dan kejam. Catatan sejarah seperti Bamboo Annals dan Records of the Grand Historian (Shiji) karya Sima Qian menyebutnya sebagai seorang yang boros, kejam, dan korup. Tapi, benarkah ia satu-satunya penyebab kehancuran? Atau, seperti yang sering terjadi, ia hanyalah puncak gunung es dari sistem yang sudah rapuh?

Raja Di Xin membangun istana ibu kota nan megah, menghabiskan kekayaan negara untuk proyek-proyek pribadi, dan mengabaikan nasihat bijak dari pejabat-pejabat yang setia. Ia lebih memilih untuk mendengarkan para penjilat, para pejabat korup yang hanya mencari keuntungan pribadi. Dalam Klasik Sejarah (Shujing), ada prinsip bahwa seorang penguasa harus memerintah dengan kebajikan (de) dan keadilan. Di Xin melanggar prinsip ini.  

Tapi, mari kita berhenti sejenak. Apakah kejatuhan Shang hanya tentang Di Xin? Atau, seperti yang sering terjadi dalam sejarah, ia hanyalah simbol dari sistem yang sudah bobrok? Pejabat-pejabat korup, yang memanfaatkan kekuasaan untuk menindas rakyat dan mengumpulkan kekayaan, adalah bagian dari masalah yang lebih besar. Mereka adalah cermin dari tata negara yang gagal.  

Dalam sejarah hukum tata negara Tiongkok kuno, ada konsep "Mandat Langit" (Tianming). Seorang penguasa dianggap sah selama ia memerintah dengan kebajikan dan keadilan. Ketika ia gagal, rakyat berhak memberontak. Di Xin kehilangan mandat ini. Tapi, apakah mandat itu hilang hanya karena kejahatannya? Atau karena sistem yang membiarkan kejahatan itu tumbuh subur?  
Ilustrasi

Sejarah seringkali menyederhanakan cerita. Raja jahat, rakyat menderita, kerajaan runtuh. Tapi, seperti yang ditulis oleh Sima Qian, sejarah adalah cermin. Dan dalam cermin itu, kita melihat bukan hanya satu wajah, tapi banyak wajah. Wajah Di Xin, wajah para pejabat korup, dan wajah sistem yang membiarkan mereka berkuasa.  

Mari kita bandingkan dengan negara lain. Kekaisaran Romawi, misalnya, runtuh bukan hanya karena Nero yang kejam, tapi juga karena korupsi yang merajalela dan sistem politik yang tidak mampu beradaptasi. Nero membunuh para penentangnya, menghabiskan kekayaan negara untuk proyek-proyek pribadi, dan mengabaikan penderitaan rakyat. Tapi, apakah Nero sendirian? Tidak. Ia adalah produk dari sistem yang sudah sakit.  

Atau lihatlah Louis XVI dari Prancis. Ia bukan penguasa yang kejam seperti Di Xin atau Nero, tapi kepemimpinannya yang lemah dan ketidakmampuannya mengatasi korupsi di kalangan pejabat menyebabkan Revolusi Prancis. Di sini, kita melihat pola yang sama: pemimpin yang gagal, pejabat korup, dan sistem yang tidak mampu memperbaiki diri.  

Dan kemudian ada Moctezuma II dari Aztek. Ia adalah penguasa yang percaya bahwa penjajah Spanyol adalah dewa. Ketidakmampuannya memimpin dan ketergantungannya pada takhayul melemahkan perlawanan terhadap penjajah. Tapi, lagi-lagi, apakah ini hanya tentang Moctezuma? Atau tentang sistem yang tidak mampu menghadapi perubahan?  

Keruntuhan Dinasti Shang, seperti keruntuhan Romawi, Prancis, atau Aztek, adalah cerita tentang manusia dan sistem. Di Xin mungkin adalah raja yang jahat, tapi ia juga adalah produk dari sistem yang membiarkan kejahatan itu tumbuh. Pejabat-pejabat korup mungkin adalah pelaku, tapi mereka juga adalah korban dari sistem yang tidak memiliki mekanisme untuk mengoreksi diri.  

Refleksi: Indonesia dan Pelajaran dari Sejarah
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita bisa belajar dari keruntuhan Dinasti Shang dan negara-negara lain yang disebutkan di atas?  

Indonesia, seperti Shang, Romawi, atau Prancis, bukanlah negara yang kebal dari masalah korupsi, kepemimpinan yang lemah, dan sistem yang bobrok. Korupsi masih menjadi masalah serius di negeri ini. Pejabat-pejabat yang seharusnya melayani rakyat justru seringkali terlibat dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mereka, seperti para pejabat korup di zaman Shang, memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.  

Tapi, seperti yang kita lihat dalam sejarah, masalahnya tidak hanya terletak pada individu. Sistem yang tidak transparan, lemahnya penegakan hukum, dan kurangnya partisipasi publik dalam pengawasan pemerintahan adalah akar masalah yang lebih dalam. Jika sistem ini tidak diperbaiki, maka Indonesia bisa saja mengulangi kesalahan yang sama seperti Dinasti Shang atau Romawi.  

Namun, ada harapan. Indonesia memiliki modal sosial yang kuat: masyarakat yang kritis, media yang aktif, dan generasi muda yang peduli. Jika kita bisa memperkuat sistem hukum, meningkatkan transparansi, dan mendorong partisipasi publik, maka kita bisa menghindari nasib yang sama seperti Dinasti Shang.  

Sejarah mengajarkan kita bahwa keruntuhan sebuah negara tidak pernah terjadi dalam ruang hampa. Ia adalah hasil dari kombinasi kepemimpinan yang gagal, sistem yang korup, dan ketidakmampuan untuk beradaptasi. Dan dalam cerita-cerita ini, kita menemukan pelajaran yang tetap relevan hingga hari ini.
Teguh Indonesia

Penulis : Teguh Estro (Direktur RESEI) Sesekali kita belajar dari negeri Tiongkok. Terutama terkait muskilat yang sedang relevan saat ini. P...
Teguh Estro Selasa, 11 Maret 2025