Menu
Teguh Indonesia

H.O.S Tjokroaminoto Hadapi Cipta Kondisi Demonstrasi Garut 1919. Korban nyawa 21 Jiwa trengginas.


Oleh: Teguh Estro (Bapak-Bapak Muda)

Sejarah sering berulang, bukan sebagai tragedi, tetapi sebagai sebuah pola yang menunjukkan bahwa pertarungan kekuasaan, kepentingan, dan narasi memiliki playbook yang nyaris serupa. Lebih dari seabad yang lalu, seorang H.O.S Tjokroaminoto sudah mengalami apa yang kini kita sebut sebagai perang buzzer, cipta kondisi, dan demonstrasi yang ditunggangi. Kisahnya adalah cermin yang sangat jernih untuk melihat Indonesia hari ini.

Tjokroaminoto, Zelfbestuur, dan Ancaman bagi Status Quo

H.O.S Tjokroaminoto, sang "Raja Jawa Tanpa Mahkota", bukanlah sekadar orator ulung. Ia adalah pemikir strategis yang memperjuangkan Zelfbestuur (pemerintahan sendiri) bagi rakyat Hindia Belanda di forum Volksraad (Dewan Rakyat). Gagasannya yang vokal dan frontal tentang kemandirian ekonomi dan politik adalah ancaman eksistensial bagi pemerintahan kolonial Belanda dan para kapitalisnya, terutama "Mafia Gula"—konglomerasi perkebunan gula yang menguasai perekonomian dan menyengsarakan rakyat melalui sistem sewa tanah yang merugikan.

Perjuangannya melalui Sarekat Islam (SI) begitu massif, membuat Belanda kalang kabut. SI bukan hanya organisasi, tetapi adalah gerakan rakyat yang menyatukan kesadaran agama, nasionalisme, dan perlawanan ekonomi.

Serangan Buzzer Era Kolonial: Menjegal SI dengan Proxy War

Menyadari SI tidak bisa dilawan secara frontal, Belanda dan para mafia gula melancarkan perang urat saraf. Strateginya adalah mendirikan atau mendanai organisasi "buzzer" untuk melemahkan SI dari dalam dan merusak reputasinya.

Pertama, Buzzer Lokal: Di Cianjur dan Sumedang muncul Sarekat Hedjo, di Cimahi ada Sarekat Pompa, dan di Tasikmalaya ada TBTO (Tolak Bala Towil Oemoer). Organisasi ini seringkali bertindak radikal dan anarkis, lalu citra buruknya dialamatkan kepada SI pusat untuk menggambarkan SI sebagai organisasi liar dan berbahaya.
Kedua, Buzzer Berbasis Identitas: Organisasi seperti Jamiatul Hasanah dan Jamiatul Matiin yang bercorak Arab didirikan untuk memecah belah basis massa muslim SI. Ini adalah taktik klasik divide et impera (adu domba) dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan.

Tujuannya jelas: menciptakan chaos dan kerancuan di tengah masyarakat. Masyarakat dibuat bingung mana SI yang benar dan mana yang palsu, sehingga melemahkan kekuatan kolektif mereka. Ini adalah proxy war atau perang proksi di mana Belanda berperang tanpa harus tampak di depan.

Pemogokan dan Kerusuhan: Mengkambinghitamkan SI

Puncaknya adalah berbagai kerusuhan, seperti pemogokan buruh di Toli-Toli (1919) dan peristiwa adalah insiden Garut (Juli 1919) yang berujung pada tewasnya 21 orang akibat demonstrasi besar-besaran. Pemerintah Kolonial dengan cepat—dan tanpa bukti kuat—menyalahkan dan menyebarkan narasi bahwa Sarekat Islam-lah dalang dari semua kekacauan ini.


Padahal, akar masalahnya adalah kesengsaraan ekonomi. Pada masa paceklik, permintaan setoran hasil panen dari Belanda tetap tinggi, memicu kemarahan rakyat yang sudah tertindas. SI hanyalah saluran dari kemarahan yang sudah menggelegak itu. Namun, narasi yang dibangun oleh intelijen Belanda adalah SI sebagai troublemaker, bukan pemerintah kolonial sebagai troublemaker.

Mencermati Kini dengan Pisau Analisis Teori Konflik

Apa yang terjadi pada 1919 dan apa yang terjadi dalam demonstrasi akhir Agustus 2025 memiliki kemiripan yang mencolok. Untuk memahami pola ini, kita dapat menggunakan Teori Konflik dari Karl Marx dan Ralf Dahrendorf.

Teori ini melihat masyarakat bukan sebagai tempat yang harmonis, tetapi sebagai medan pertempuran antara kelompok yang berkuasa (elit penguasa/pemilik modal) dengan kelompok yang dikuasai (rakyat). Elit menggunakan segala cara—termasuk hukum, politik, dan media—untuk mempertahankan dominasi dan sumber dayanya.

1. Akar Konflik yang Sama: Ekonomi!
Dahulu: Kenaikan setoran panen di masa paceklik oleh Belanda. Dan Kini Kenaikan berbagai jenis pajak dan tarif (PPN, listrik, dll) di tengah beban ekonomi rakyat yang masih berat pasca-pandemi.


Analisis Teori Konflik: Kebijakan ekonomi adalah alat kelompok berkuasa. Kenaikan pajak yang dirasakan tidak adil memicu konflik kepentingan antara negara (yang butuh pendapatan) dengan rakyat (yang merasa diperas). Kemarahan ini adalah "bahan bakar" yang siap meledak.

2. Strategi Penguasa yang Serupa: Demonisasi dan Buzzer
Lihatlah Dahulu Belanda menciptakan Sarekat Hedjo, TBTO, dan Jamiatul Hasanah untuk memecah belah dan mendelegitimasi SI. Terulang lagi saat ini Maraknya organisasi massa dan akun-akun buzzer yang diduga ditunggangi untuk menciptakan narasi simpang siur, menyerang kelompok demonstran yang damai, dan menyebarkan ujaran kebencian. Tujuannya sama: mengalihkan isu dari substansi ekonomi menjadi chaos identitas dan kekerasan.
Dalam Analisis Teori Konflik, Kelompok berkuasa menggunakan "aparatus ideologi" (media, buzzer) untuk mengontrol pemikiran masyarakat. Dengan mendemonisasi demonstran sebagai "anonim", "dibayar", atau "perusuh", perhatian publik dialihkan dari tuntutan reformasi pajak yang adil.

3. Respons Negara: Represi dan Kambing Hitam
Hal ini pun sama Dulu Pemerintah Kolonial menyalahkan SI untuk setiap kerusuhan dan melakukan tindakan represif terhadap anggota SI. Kita melihat pula saat insiden Demonstrasi Akhir agustus 2025 kemarin. Aparat melakukan tindakan represif terhadap demonstran yang berujung pada 10 jiwa melayang. Narasi yang muncul seringkali menyudutkan demonstran dan mengabaikan akar masalahnya.

Apabila kita Analisis menggunakan Teori Konflik (Dahrendorf): Negara memiliki monopoli kekerasan yang sah. Namun, ketika kekerasan ini digunakan untuk melindungi status quo dan menekan kelompok yang berkonflik, itu justru memperdalam ketidakpercayaan dan membuktikan bahwa negara berpihak pada elit, bukan rakyat. Tindakan represif adalah bukti nyata dari pertarungan kekuasaan tersebut.

Refleksi: Pelajaran dari Sang Guru Bangsa

Perjuangan Tjokroaminoto mengajarkan kita bahwa musuh terbesar bukanlah orang yang berseberangan, melainkan kebingungan dan perpecahan. Taktik tua "cipta kondisi" dan "proxy war" masih efektif karena kita sering terjebak dalam euforia konflik horizontal, sementara akar masalahnya—ketidakadilan ekonomi—terlupakan.

Mempelajari sejarah bukan untuk menyamakan secara persis, tetapi untuk mengenali pola. Jika kita mampu melihat bahwa permainan buzzer, demonisasi, dan represi adalah pola lama yang digunakan untuk melindungi kepentingan berkuasa, maka kita akan lebih bijak dalam menyikapi setiap peristiwa. Kita akan fokus pada substansi tuntutan, bukan terprovokasi oleh chaos yang diciptakan.

Tjokroaminoto berhasil membangun kesadaran kolektif melawan penjajah. Tantangan kita hari ini mungkin lebih rumit: melawan musuh yang tidak selalu terlihat, tetapi menggunakan playbook yang sama. Kesadaran itulah yang akan menentukan, apakah kita akan terpecah belah seperti yang diinginkan mereka, atau bersatu memperjuangkan keadilan yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar