Oleh : Teguh Estro
(Bapak-bapak Muda)
"Dalam pertarungan, yang terlemah adalah orang yang tidak menyadari kelemahan sendiri."- Shikamaru Nara
Dalam dunia ninja Konoha, Hidan adalah metafora sempurna untuk musuh yang tak bisa mati—sebuah personifikasi dari fanatisme buta dan kekerasan yang berulang.
Di Indonesia, korupsi adalah ‘Hidan’ kita: sebuah sistem yang seolah abadi, kebal terhadap berbagai upaya pemberantasan, dan terus menyedot kehidupan bangsa. Namun, baik di alam fiksi maupun nyata, selalu lahir strategis ulung yang tidak mengandalkan kekuatan kasar, tetapi pada kecerdasan, kesabaran, dan taktik yang jitu. Shikamaru Nara dan Ferry Irwandi adalah dua tokoh dari dunia yang berbeda, tetapi dengan playbook strategi yang sangat mirip dalam menghadapi raksasa yang abadi tersebut.
Bab 1. Musuh yang ‘Abadi’ dan Medan Tempur yang Berbeda
"Aku tidak peduli dengan takdir. Aku akan menciptakan takdirku sendiri."- Neji Hyuga
Korupsi di Indonesia, seperti Hidan, sering kali terasa tak terkalahkan. Ia memiliki ‘ritual’nya sendiri—jaringan yang kompleks, sistem yang melindungi, dan kemampuan untuk ‘bangkit’ kembali bahkan setelah ditangani. Melawannya dengan kekuatan konvensional seringkali gagal. Seperti para ninja yang gagal melawan Hidan dengan jutsu konvensional, upaya lama memberantas korupsi kerap hanya memotong kepala yang tumbuh kembali.
Dalam teori Political Opportunity Structure Menurut Peter K.Eisinger, kesuksesan gerakan sosial ditentukan oleh struktur kesempatan politik yang tersedia. Korupsi di Indonesia tumbuh subur dalam struktur yang memberikan kesempatan terbatas bagi partisipasi publik.
Sistem yang tertutup dan hierarkis menciptakan closed opportunity structure, dimana akses untuk mempengaruhi kebijakan anti-korupsi sangat terbatas. Shikamaru memahami ini—dia tidak menyerang frontal kekuatan Hidan, tetapi menciptakan kesempatan baru melalui strateginya.
Shikamaru menyadari hal ini. "Aku bukan seperti orang lain. Aku tidak bisa melakukan semuanya sendirian. Tapi aku bisa melakukan hal yang tidak bisa dilakukan orang lain." Dia tahu mustahil mengalahkan Hidan dengan jurus ninja biasa.
Ferry Irwandi juga memahami ini. Melawan korupsi hanya dengan protes dan kemarahan di media sosial tidak akan cukup. Keduanya lalu memindahkan medan tempur, menciptakan takdir mereka sendiri di lapangan yang mereka kuasai.
Pertama, Shikamaru memancing Hidan keluar dari area terbuka dan masuk ke hutan yang telah dipenuhi dengan ratusan perangkap dan persiapannya. Itu adalah wilayah kekuasaannya, di mana dia memegang kendali mutlak. "Permainan catur sudah dimulai," gumannya, mengubah hutan menjadi papan catur raksasa.
Kedua, Ferry Irwandi membawa pertarungan melawan korupsi dan ketidakjelasan informasi ke medan yang ia kuasai: platform media sosial dan kanal YouTube MALAKA. Di sana, dialah yang mengendalikan narasi. Daripada berteriak di jalanan, ia membongkar masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) melalui video-video investigasi yang detail, data-driven, dan disajikan dengan gaya bercerita yang renyah dan mudah dicerna generasi muda.
Bab 2. Senjata Intelijen: Membongkar ‘Ritual’ dengan Data dan Logika
"Kelemahan adalah sesuatu yang harus kamu akui untuk menjadi kuat."- Itachi Uchiha
Kekuatan utama Hidan terletak pada ritual Jashin-nya yang misterius dan menakutkan. Kekuatan korupsi terletak pada kompleksitas dan kesamarannya. Untuk mengalahkannya, Anda harus membongkar mekanismenya hingga ke akar-akarnya, mengakui kelemahannya untuk kemudian menyerangnya.
Meminjam Kajian Kritis teori Democracy Deliberatif , Ferry Irwandi menerapkan prinsip demokrasi deliberatif melalui konten-kontennya. Menurut teori ini, kualitas demokrasi ditentukan oleh partisipasi publik dalam diskursus rasional.
Ferry tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi menciptakan ruang deliberasi dimana publik dapat terlibat dalam pembahasan kompleksitas korupsi melalui format konten yang engaging.
Pertama, Strategi Shikamaru: Dia tidak langsung menyerang. "Tiga langkah... setidaknya aku selalu tiga langkah lebih depan." Dia menghabiskan waktu untuk mengamati, menganalisis, dan bahkan mengorbankan lengan kecilnya untuk mengambil sampel darah Hidan. Setiap gerakan Hidan dicatat, setiap syarat ritual dipelajari. Intelijen adalah senjatanya.
Kedua, Strategi Ferry Irwandi: Ini persis yang dilakukan Ferry dengan konten-konten investigasinya. Seperti seorang detektif, ia mengumpulkan data, melacak dokumen, menghubungkan titik-titik, dan membongkar ‘ritual’ korupsi yang rumit menjadi sebuah narasi yang mudah dipahami. Video-video seperti “Mafia BUMN” atau yang membongkar kasus korupsi tertentu adalah bentuk modern dari pengumpulan intelijen Shikamaru. Ferry tidak sekadar menuduh; ia memaparkan evidence, mengungkap kelemahan dari monster yang tampak tak terbendung.
Bab 3. Masterpiece of Misdirection: The Final Blow
"Taktik yang sempurna tidak memiliki celah."- Shikamaru Nara
Puncak dari genius Shikamaru adalah ketika ia menggunakan ‘darah palsu’ (darah babi) untuk menipu ritual Hidan. Dia menggunakan kelemahan terbesar Hidan—keyakinan buta pada ritualnya—untuk menjebaknya. Sebuah taktik tanpa celah yang memanfaatkan kepercayaan buta lawan sebagai senjata untuk mengalahkannya.
Mengingat narasi dalam teori Political Opportunity Structure sejatinya Ferry menciptakan "new political opportunity" dengan memanfaatkan celah dalam sistem media. Ketika akses ke institusi formal tertutup, dia membuka front baru melalui media sosial, mengubah closed opportunity structure menjadi open opportunity structure melalui kreativitas konten.
Ferry Irwandi melakukan misdirection yang sama cerdiknya, meski dalam bentuk yang berbeda. Darah palsu-nya adalah konten yang kreatif dan engaging.
1. Mengubah yang Kompleks menjadi Menarik: Korupsi adalah topik yang berat dan seringkali membosankan. Ferry membungkusnya dengan animasi, storytelling yang dramatis, dan humor yang cerdas. Ini adalah cara untuk ‘memancing’ anak muda (yang mungkin tidak tertarik pada berita korupsi) untuk masuk ke dalam ‘hutan’ persoalan ini.
2. Memberikan ‘Senjata’ kepada Publik: Dengan membuat informasi yang rumit menjadi mudah dicerna, Ferry pada dasarnya sedang mempersenjatai netizen muda dengan pengetahuan. Pengetahuan inilah yang akan membuat mereka tidak mudah dibodohi, tidak mudah dipecah belah, dan akhirnya menjadi kekuatan penekan untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas. Ini setara dengan Shikamaru yang mempersiapkan seluruh hutan sebagai senjatanya, dimana setiap pohon dan bayangan adalah bagian dari rencananya.
Bab 4. Bukan Sekadar Mengalahkan, Tapi Mengubur
"Cara ninja untuk menang bukanlah dengan menghindari kematian, tapi dengan menerima kematian dan berdiri tegak."- Jiraiya
Mengalahkan Hidan tidak cukup; karena dia abadi. Shikamaru harus menguburnya dalam lubang yang dalam, menjebaknya dalam kegelapan abadi agar tidak bisa lagi menyakiti siapapun. Ini adalah penerimaan bahwa musuh seperti ini tidak bisa dihapuskan selamanya, tapi bisa dikubur dan dinetralisir dampaknya untuk selama mungkin.
Beberapa perspektif dalam kajian Democracy Deliberatif Pendekatan Ferry sesuai dengan prinsip demokrasi deliberatif yang menekankan transformasi budaya politik melalui pendidikan dan dialog. Dengan mengubah mindset generasi muda, dia menciptakan fondasi budaya anti-korupsi yang berkelanjutan, bukan sekadar penindakan kasus per kasus.
Tujuan Ferry Irwandi juga bukan sekadar membuat video viral. Tujuannya adalah untuk ‘mengubur’ budaya korupsi dengan cara mengubah mindset generasi muda. Setiap video yang edukatif, setiap investigasi yang terbuka, adalah sekop yang menggali lubang lebih dalam untuk mengubur praktik KKN. Ia berjuang melawan ‘keabadian’ korupsi dengan menciptakan generasi yang lebih melek hukum, melek data, dan intoleran terhadap ketidaktransparanan. Ia menerima bahwa perjuangannya panjang, tetapi tetap berdiri tegak melayaninya.
Bab Final. The Strategic General of The Digital Age
"Generasi yang akan datang harus melampaui yang sebelumnya. Itulah arti evolusi."- Orochimaru
Shikamaru Nara adalah seorang genius strategi yang mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Ferry Irwandi, dalam konteks Indonesia modern, adalah arketipe yang sama.
Kajian Kritis Terintegrasi: Berdasarkan teori Eisinger,kesuksesan Ferry menunjukkan bagaimana aktor sosial dapat menciptakan political opportunity baru ketika struktur formal tertutup. Sementara menurut teori demokrasi deliberatif, konten-kontennya berfungsi sebagai ruang publik baru untuk deliberasi rasional tentang isu korupsi.
Dia adalah The Strategic General of The Digital Age. Medan perangnya adalah timeline media sosial, senjatanya adalah data dan kreativitas, dan pasukannya adalah netizen muda yang ia edukasi. Melawan korupsi membutuhkan lebih dari sekadar niat baik; ia membutuhkan strategi yang cerdik, persiapan yang matang, dan kesabaran untuk memenangkan pertempuran lewat kecerdasan, bukan sekadar kekuatan.
Perjuangan mereka berdua membuktikan satu hal: untuk mengalahkan monster yang ‘abadi’, Anda tidak bisa menjadi pahlawan yang hanya mengandalkan kekuatan. Anda harus menjadi seorang strategis yang, seperti kata Shikamaru, “bergerak tiga langkah lebih depan dari lawan.”
Ferry Irwandi sedang melakukan persis itu, dan kita membutuhkan lebih banyak ‘Shikamaru’ seperti dia untuk evolusi bangsa ini.
Tidak ada komentar