Menu
Teguh Indonesia

Melawan 'Abadi' Hidan ala Ferry 'Shikamaru' Irwandi

Oleh : Teguh Estro
(Bapak-bapak Muda) 

"Dalam pertarungan, yang terlemah adalah orang yang tidak menyadari kelemahan sendiri."- Shikamaru Nara
Dalam dunia ninja Konoha, Hidan adalah metafora sempurna untuk musuh yang tak bisa mati—sebuah personifikasi dari fanatisme buta dan kekerasan yang berulang. 

Di Indonesia, korupsi adalah ‘Hidan’ kita: sebuah sistem yang seolah abadi, kebal terhadap berbagai upaya pemberantasan, dan terus menyedot kehidupan bangsa. Namun, baik di alam fiksi maupun nyata, selalu lahir strategis ulung yang tidak mengandalkan kekuatan kasar, tetapi pada kecerdasan, kesabaran, dan taktik yang jitu. Shikamaru Nara dan Ferry Irwandi adalah dua tokoh dari dunia yang berbeda, tetapi dengan playbook strategi yang sangat mirip dalam menghadapi raksasa yang abadi tersebut.

Bab 1. Musuh yang ‘Abadi’ dan Medan Tempur yang Berbeda 

"Aku tidak peduli dengan takdir. Aku akan menciptakan takdirku sendiri."- Neji Hyuga

Korupsi di Indonesia, seperti Hidan, sering kali terasa tak terkalahkan. Ia memiliki ‘ritual’nya sendiri—jaringan yang kompleks, sistem yang melindungi, dan kemampuan untuk ‘bangkit’ kembali bahkan setelah ditangani. Melawannya dengan kekuatan konvensional seringkali gagal. Seperti para ninja yang gagal melawan Hidan dengan jutsu konvensional, upaya lama memberantas korupsi kerap hanya memotong kepala yang tumbuh kembali.

Dalam teori Political Opportunity Structure Menurut Peter K.Eisinger, kesuksesan gerakan sosial ditentukan oleh struktur kesempatan politik yang tersedia. Korupsi di Indonesia tumbuh subur dalam struktur yang memberikan kesempatan terbatas bagi partisipasi publik. 

Sistem yang tertutup dan hierarkis menciptakan closed opportunity structure, dimana akses untuk mempengaruhi kebijakan anti-korupsi sangat terbatas. Shikamaru memahami ini—dia tidak menyerang frontal kekuatan Hidan, tetapi menciptakan kesempatan baru melalui strateginya.

Shikamaru menyadari hal ini. "Aku bukan seperti orang lain. Aku tidak bisa melakukan semuanya sendirian. Tapi aku bisa melakukan hal yang tidak bisa dilakukan orang lain." Dia tahu mustahil mengalahkan Hidan dengan jurus ninja biasa. 


Ferry Irwandi juga memahami ini. Melawan korupsi hanya dengan protes dan kemarahan di media sosial tidak akan cukup. Keduanya lalu memindahkan medan tempur, menciptakan takdir mereka sendiri di lapangan yang mereka kuasai.

Pertama, Shikamaru memancing Hidan keluar dari area terbuka dan masuk ke hutan yang telah dipenuhi dengan ratusan perangkap dan persiapannya. Itu adalah wilayah kekuasaannya, di mana dia memegang kendali mutlak. "Permainan catur sudah dimulai," gumannya, mengubah hutan menjadi papan catur raksasa. 

Kedua, Ferry Irwandi membawa pertarungan melawan korupsi dan ketidakjelasan informasi ke medan yang ia kuasai: platform media sosial dan kanal YouTube MALAKA. Di sana, dialah yang mengendalikan narasi. Daripada berteriak di jalanan, ia membongkar masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) melalui video-video investigasi yang detail, data-driven, dan disajikan dengan gaya bercerita yang renyah dan mudah dicerna generasi muda.

Bab 2. Senjata Intelijen: Membongkar ‘Ritual’ dengan Data dan Logika 

"Kelemahan adalah sesuatu yang harus kamu akui untuk menjadi kuat."- Itachi Uchiha

Kekuatan utama Hidan terletak pada ritual Jashin-nya yang misterius dan menakutkan. Kekuatan korupsi terletak pada kompleksitas dan kesamarannya. Untuk mengalahkannya, Anda harus membongkar mekanismenya hingga ke akar-akarnya, mengakui kelemahannya untuk kemudian menyerangnya.

Meminjam Kajian Kritis teori Democracy Deliberatif , Ferry Irwandi menerapkan prinsip demokrasi deliberatif melalui konten-kontennya. Menurut teori ini, kualitas demokrasi ditentukan oleh partisipasi publik dalam diskursus rasional. 

Ferry tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi menciptakan ruang deliberasi dimana publik dapat terlibat dalam pembahasan kompleksitas korupsi melalui format konten yang engaging.

Pertama, Strategi Shikamaru: Dia tidak langsung menyerang. "Tiga langkah... setidaknya aku selalu tiga langkah lebih depan." Dia menghabiskan waktu untuk mengamati, menganalisis, dan bahkan mengorbankan lengan kecilnya untuk mengambil sampel darah Hidan. Setiap gerakan Hidan dicatat, setiap syarat ritual dipelajari. Intelijen adalah senjatanya. 

Kedua, Strategi Ferry Irwandi: Ini persis yang dilakukan Ferry dengan konten-konten investigasinya. Seperti seorang detektif, ia mengumpulkan data, melacak dokumen, menghubungkan titik-titik, dan membongkar ‘ritual’ korupsi yang rumit menjadi sebuah narasi yang mudah dipahami. Video-video seperti “Mafia BUMN” atau yang membongkar kasus korupsi tertentu adalah bentuk modern dari pengumpulan intelijen Shikamaru. Ferry tidak sekadar menuduh; ia memaparkan evidence, mengungkap kelemahan dari monster yang tampak tak terbendung.

Bab 3. Masterpiece of Misdirection: The Final Blow

 "Taktik yang sempurna tidak memiliki celah."- Shikamaru Nara

Puncak dari genius Shikamaru adalah ketika ia menggunakan ‘darah palsu’ (darah babi) untuk menipu ritual Hidan. Dia menggunakan kelemahan terbesar Hidan—keyakinan buta pada ritualnya—untuk menjebaknya. Sebuah taktik tanpa celah yang memanfaatkan kepercayaan buta lawan sebagai senjata untuk mengalahkannya.

Mengingat narasi dalam teori Political Opportunity Structure sejatinya Ferry menciptakan "new political opportunity" dengan memanfaatkan celah dalam sistem media. Ketika akses ke institusi formal tertutup, dia membuka front baru melalui media sosial, mengubah closed opportunity structure menjadi open opportunity structure melalui kreativitas konten.

Ferry Irwandi melakukan misdirection yang sama cerdiknya, meski dalam bentuk yang berbeda. Darah palsu-nya adalah konten yang kreatif dan engaging.

1. Mengubah yang Kompleks menjadi Menarik: Korupsi adalah topik yang berat dan seringkali membosankan. Ferry membungkusnya dengan animasi, storytelling yang dramatis, dan humor yang cerdas. Ini adalah cara untuk ‘memancing’ anak muda (yang mungkin tidak tertarik pada berita korupsi) untuk masuk ke dalam ‘hutan’ persoalan ini.


2. Memberikan ‘Senjata’ kepada Publik: Dengan membuat informasi yang rumit menjadi mudah dicerna, Ferry pada dasarnya sedang mempersenjatai netizen muda dengan pengetahuan. Pengetahuan inilah yang akan membuat mereka tidak mudah dibodohi, tidak mudah dipecah belah, dan akhirnya menjadi kekuatan penekan untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas. Ini setara dengan Shikamaru yang mempersiapkan seluruh hutan sebagai senjatanya, dimana setiap pohon dan bayangan adalah bagian dari rencananya.

Bab 4. Bukan Sekadar Mengalahkan, Tapi Mengubur 

"Cara ninja untuk menang bukanlah dengan menghindari kematian, tapi dengan menerima kematian dan berdiri tegak."- Jiraiya

Mengalahkan Hidan tidak cukup; karena dia abadi. Shikamaru harus menguburnya dalam lubang yang dalam, menjebaknya dalam kegelapan abadi agar tidak bisa lagi menyakiti siapapun. Ini adalah penerimaan bahwa musuh seperti ini tidak bisa dihapuskan selamanya, tapi bisa dikubur dan dinetralisir dampaknya untuk selama mungkin.


Beberapa perspektif dalam kajian Democracy Deliberatif Pendekatan Ferry sesuai dengan prinsip demokrasi deliberatif yang menekankan transformasi budaya politik melalui pendidikan dan dialog. Dengan mengubah mindset generasi muda, dia menciptakan fondasi budaya anti-korupsi yang berkelanjutan, bukan sekadar penindakan kasus per kasus.

Tujuan Ferry Irwandi juga bukan sekadar membuat video viral. Tujuannya adalah untuk ‘mengubur’ budaya korupsi dengan cara mengubah mindset generasi muda. Setiap video yang edukatif, setiap investigasi yang terbuka, adalah sekop yang menggali lubang lebih dalam untuk mengubur praktik KKN. Ia berjuang melawan ‘keabadian’ korupsi dengan menciptakan generasi yang lebih melek hukum, melek data, dan intoleran terhadap ketidaktransparanan. Ia menerima bahwa perjuangannya panjang, tetapi tetap berdiri tegak melayaninya.

Bab Final. The Strategic General of The Digital Age 

"Generasi yang akan datang harus melampaui yang sebelumnya. Itulah arti evolusi."- Orochimaru

Shikamaru Nara adalah seorang genius strategi yang mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Ferry Irwandi, dalam konteks Indonesia modern, adalah arketipe yang sama.

Kajian Kritis Terintegrasi: Berdasarkan teori Eisinger,kesuksesan Ferry menunjukkan bagaimana aktor sosial dapat menciptakan political opportunity baru ketika struktur formal tertutup. Sementara menurut teori demokrasi deliberatif, konten-kontennya berfungsi sebagai ruang publik baru untuk deliberasi rasional tentang isu korupsi.


Dia adalah The Strategic General of The Digital Age. Medan perangnya adalah timeline media sosial, senjatanya adalah data dan kreativitas, dan pasukannya adalah netizen muda yang ia edukasi. Melawan korupsi membutuhkan lebih dari sekadar niat baik; ia membutuhkan strategi yang cerdik, persiapan yang matang, dan kesabaran untuk memenangkan pertempuran lewat kecerdasan, bukan sekadar kekuatan.

Perjuangan mereka berdua membuktikan satu hal: untuk mengalahkan monster yang ‘abadi’, Anda tidak bisa menjadi pahlawan yang hanya mengandalkan kekuatan. Anda harus menjadi seorang strategis yang, seperti kata Shikamaru, “bergerak tiga langkah lebih depan dari lawan.” 

Ferry Irwandi sedang melakukan persis itu, dan kita membutuhkan lebih banyak ‘Shikamaru’ seperti dia untuk evolusi bangsa ini.

Teguh Indonesia

Oleh : Teguh Estro (Bapak-bapak Muda)  "Dalam pertarungan, yang terlemah adalah orang yang tidak menyadari kelemahan sendiri."- Sh...
Teguh Estro Sabtu, 13 September 2025
Teguh Indonesia

H.O.S Tjokroaminoto Hadapi Cipta Kondisi Demonstrasi Garut 1919. Korban nyawa 21 Jiwa trengginas.


Oleh: Teguh Estro (Bapak-Bapak Muda)

Sejarah sering berulang, bukan sebagai tragedi, tetapi sebagai sebuah pola yang menunjukkan bahwa pertarungan kekuasaan, kepentingan, dan narasi memiliki playbook yang nyaris serupa. Lebih dari seabad yang lalu, seorang H.O.S Tjokroaminoto sudah mengalami apa yang kini kita sebut sebagai perang buzzer, cipta kondisi, dan demonstrasi yang ditunggangi. Kisahnya adalah cermin yang sangat jernih untuk melihat Indonesia hari ini.

Tjokroaminoto, Zelfbestuur, dan Ancaman bagi Status Quo

H.O.S Tjokroaminoto, sang "Raja Jawa Tanpa Mahkota", bukanlah sekadar orator ulung. Ia adalah pemikir strategis yang memperjuangkan Zelfbestuur (pemerintahan sendiri) bagi rakyat Hindia Belanda di forum Volksraad (Dewan Rakyat). Gagasannya yang vokal dan frontal tentang kemandirian ekonomi dan politik adalah ancaman eksistensial bagi pemerintahan kolonial Belanda dan para kapitalisnya, terutama "Mafia Gula"—konglomerasi perkebunan gula yang menguasai perekonomian dan menyengsarakan rakyat melalui sistem sewa tanah yang merugikan.

Perjuangannya melalui Sarekat Islam (SI) begitu massif, membuat Belanda kalang kabut. SI bukan hanya organisasi, tetapi adalah gerakan rakyat yang menyatukan kesadaran agama, nasionalisme, dan perlawanan ekonomi.

Serangan Buzzer Era Kolonial: Menjegal SI dengan Proxy War

Menyadari SI tidak bisa dilawan secara frontal, Belanda dan para mafia gula melancarkan perang urat saraf. Strateginya adalah mendirikan atau mendanai organisasi "buzzer" untuk melemahkan SI dari dalam dan merusak reputasinya.

Pertama, Buzzer Lokal: Di Cianjur dan Sumedang muncul Sarekat Hedjo, di Cimahi ada Sarekat Pompa, dan di Tasikmalaya ada TBTO (Tolak Bala Towil Oemoer). Organisasi ini seringkali bertindak radikal dan anarkis, lalu citra buruknya dialamatkan kepada SI pusat untuk menggambarkan SI sebagai organisasi liar dan berbahaya.
Kedua, Buzzer Berbasis Identitas: Organisasi seperti Jamiatul Hasanah dan Jamiatul Matiin yang bercorak Arab didirikan untuk memecah belah basis massa muslim SI. Ini adalah taktik klasik divide et impera (adu domba) dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan.

Tujuannya jelas: menciptakan chaos dan kerancuan di tengah masyarakat. Masyarakat dibuat bingung mana SI yang benar dan mana yang palsu, sehingga melemahkan kekuatan kolektif mereka. Ini adalah proxy war atau perang proksi di mana Belanda berperang tanpa harus tampak di depan.

Pemogokan dan Kerusuhan: Mengkambinghitamkan SI

Puncaknya adalah berbagai kerusuhan, seperti pemogokan buruh di Toli-Toli (1919) dan peristiwa adalah insiden Garut (Juli 1919) yang berujung pada tewasnya 21 orang akibat demonstrasi besar-besaran. Pemerintah Kolonial dengan cepat—dan tanpa bukti kuat—menyalahkan dan menyebarkan narasi bahwa Sarekat Islam-lah dalang dari semua kekacauan ini.


Padahal, akar masalahnya adalah kesengsaraan ekonomi. Pada masa paceklik, permintaan setoran hasil panen dari Belanda tetap tinggi, memicu kemarahan rakyat yang sudah tertindas. SI hanyalah saluran dari kemarahan yang sudah menggelegak itu. Namun, narasi yang dibangun oleh intelijen Belanda adalah SI sebagai troublemaker, bukan pemerintah kolonial sebagai troublemaker.

Mencermati Kini dengan Pisau Analisis Teori Konflik

Apa yang terjadi pada 1919 dan apa yang terjadi dalam demonstrasi akhir Agustus 2025 memiliki kemiripan yang mencolok. Untuk memahami pola ini, kita dapat menggunakan Teori Konflik dari Karl Marx dan Ralf Dahrendorf.

Teori ini melihat masyarakat bukan sebagai tempat yang harmonis, tetapi sebagai medan pertempuran antara kelompok yang berkuasa (elit penguasa/pemilik modal) dengan kelompok yang dikuasai (rakyat). Elit menggunakan segala cara—termasuk hukum, politik, dan media—untuk mempertahankan dominasi dan sumber dayanya.

1. Akar Konflik yang Sama: Ekonomi!
Dahulu: Kenaikan setoran panen di masa paceklik oleh Belanda. Dan Kini Kenaikan berbagai jenis pajak dan tarif (PPN, listrik, dll) di tengah beban ekonomi rakyat yang masih berat pasca-pandemi.


Analisis Teori Konflik: Kebijakan ekonomi adalah alat kelompok berkuasa. Kenaikan pajak yang dirasakan tidak adil memicu konflik kepentingan antara negara (yang butuh pendapatan) dengan rakyat (yang merasa diperas). Kemarahan ini adalah "bahan bakar" yang siap meledak.

2. Strategi Penguasa yang Serupa: Demonisasi dan Buzzer
Lihatlah Dahulu Belanda menciptakan Sarekat Hedjo, TBTO, dan Jamiatul Hasanah untuk memecah belah dan mendelegitimasi SI. Terulang lagi saat ini Maraknya organisasi massa dan akun-akun buzzer yang diduga ditunggangi untuk menciptakan narasi simpang siur, menyerang kelompok demonstran yang damai, dan menyebarkan ujaran kebencian. Tujuannya sama: mengalihkan isu dari substansi ekonomi menjadi chaos identitas dan kekerasan.
Dalam Analisis Teori Konflik, Kelompok berkuasa menggunakan "aparatus ideologi" (media, buzzer) untuk mengontrol pemikiran masyarakat. Dengan mendemonisasi demonstran sebagai "anonim", "dibayar", atau "perusuh", perhatian publik dialihkan dari tuntutan reformasi pajak yang adil.

3. Respons Negara: Represi dan Kambing Hitam
Hal ini pun sama Dulu Pemerintah Kolonial menyalahkan SI untuk setiap kerusuhan dan melakukan tindakan represif terhadap anggota SI. Kita melihat pula saat insiden Demonstrasi Akhir agustus 2025 kemarin. Aparat melakukan tindakan represif terhadap demonstran yang berujung pada 10 jiwa melayang. Narasi yang muncul seringkali menyudutkan demonstran dan mengabaikan akar masalahnya.

Apabila kita Analisis menggunakan Teori Konflik (Dahrendorf): Negara memiliki monopoli kekerasan yang sah. Namun, ketika kekerasan ini digunakan untuk melindungi status quo dan menekan kelompok yang berkonflik, itu justru memperdalam ketidakpercayaan dan membuktikan bahwa negara berpihak pada elit, bukan rakyat. Tindakan represif adalah bukti nyata dari pertarungan kekuasaan tersebut.

Refleksi: Pelajaran dari Sang Guru Bangsa

Perjuangan Tjokroaminoto mengajarkan kita bahwa musuh terbesar bukanlah orang yang berseberangan, melainkan kebingungan dan perpecahan. Taktik tua "cipta kondisi" dan "proxy war" masih efektif karena kita sering terjebak dalam euforia konflik horizontal, sementara akar masalahnya—ketidakadilan ekonomi—terlupakan.

Mempelajari sejarah bukan untuk menyamakan secara persis, tetapi untuk mengenali pola. Jika kita mampu melihat bahwa permainan buzzer, demonisasi, dan represi adalah pola lama yang digunakan untuk melindungi kepentingan berkuasa, maka kita akan lebih bijak dalam menyikapi setiap peristiwa. Kita akan fokus pada substansi tuntutan, bukan terprovokasi oleh chaos yang diciptakan.

Tjokroaminoto berhasil membangun kesadaran kolektif melawan penjajah. Tantangan kita hari ini mungkin lebih rumit: melawan musuh yang tidak selalu terlihat, tetapi menggunakan playbook yang sama. Kesadaran itulah yang akan menentukan, apakah kita akan terpecah belah seperti yang diinginkan mereka, atau bersatu memperjuangkan keadilan yang sesungguhnya.

Oleh: Teguh Estro (Bapak-Bapak Muda) Sejarah sering berulang, bukan sebagai tragedi, tetapi sebagai sebuah pola yang menunjukkan bahwa perta...
Teguh Estro Senin, 08 September 2025
Teguh Indonesia

Retaknya Relasi Manusia dan Alam Sebagai Keluarga


Oleh: Teguh Estro
(Penikmat Tumis Rebung)

    Bayangkan alam planet ini sebagai sebuah keluarga besar yang harmonis. Ibu Pertiwi telah memberikan segalanya dengan cuma-cuma: udara untuk bernapas, air untuk minum, makanan untuk disantap, dan rumah untuk bernaung.

Selama ribuan tahun, manusia hidup sebagai anak yang bersyukur, bersama saudara-saudaranya yang lain: hutan, sungai, hewan, dan tumbuhan. Namun, suatu ketika, anak manusia mulai berubah. Ia merasa diri paling istimewa, menganggap semua yang ada adalah miliknya, dan lupa bahwa ia hanya satu dari sekian banyak anggota keluarga.

"Bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi bukan keserakahan setiap orang." - Mahatma Gandhi

Anak Manusia yang Berubah Menjadi Raja Kecil

Suatu hari, anak manusia mulai membaca buku-buku yang membuatnya merasa spesial. Ia pun memakai mahkota imajiner dan bersikap seperti raja kecil di rumah sendiri. Segala sesuatu hanya dianggap berharga jika berguna untuknya. Ibu Pertiwi yang dulu dihormati, kini hanya dilihat sebagai gudang persediaan dan tempat pembuangan.

Dengan rakus, ia mulai mengambil semua yang diinginkannya. Gudang Pangan (hutan dunia) dibongkar untuk dibangun villa mewah. Kebun sayur yang subur diganti dengan tanaman industri yang seragam dan membosankan. Ia membangun pabrik dan jalan raya di tengah rumah, mengganggu ketenangan saudara-saudaranya yang lain.

Perilaku ini seperti anak remaja yang tiba-tiba merasa paling penting di rumah. Ia menyebut filosofinya "antroposentrisme"—segala sesuatu harus berpusat padanya.

Ia dan teman-teman konglomeratnya berpesta setiap hari, menghabiskan persediaan tanpa memedulikan masa depan. Mereka menyembah dewa bernama "Pertumbuhan Ekonomi" yang serakah. Asap pesta mereka mengotori udara rumah, sampah mereka menumpuk di setiap sudut, dan kebisingan mereka mengganggu seluruh penghuni.

"Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat Anda gunakan untuk mengubah dunia." - Nelson Mandela

Pertanyaan Reflektif: Berapa lama lagi kita akan terus menjadi anak manja yang hanya tahu meminta? Tidak sadarkah kita bahwa Ibu Pertiwi semakin lelah dan saudara-saudara kita semakin menderita?

Keluarga Besar "Mother Earth" dengan Peran yang Saling Melengkapi

Sebelum anak manusia bertingkah (ber-evolusi), rumah besar ini dijalankan dengan sistem yang sempurna. Setiap anggota keluarga memiliki tugasnya masing-masing, seperti sebuah tim yang kompak.

Pohon-pohon besar berperan sebagai atap yang melindungi dari panas dan hujan. Pohon-pohon muda menjadi dinding yang mengatur udara. Jamur dan bakteri adalah petugas kebersihan yang mengubah sampah menjadi pupuk baru. Setiap pohon adalah sebuah rumah kecil yang menampung puluhan keluarga: burung-burung, serangga, mamalia kecil, jamur, dan lumut.

Menebang satu pohon sama dengan menghancurkan satu apartemen—ratusan makhluk kehilangan tempat tinggal dalam sekejap.

Sungai berperan sebagai saluran air minum dan transportasi yang menghubungkan berbagai ruangan. Terumbu karang adalah kamar bayi bagi kehidupan laut. Padang sabana adalah lapangan bermain yang dijaga oleh sang penjaga (predator puncak). Semua terhubung dalam sebuah jaring keluarga yang saling membutuhkan.

"Look deep into nature, and then you will understand everything better." - Albert Einstein

Cara Kerja Keluarga vs Cara Kerja Manusia: Keluarga alam bekerja dengan prinsip daur ulang: tidak ada yang terbuang, semua dipakai kembali. Sementara manusia bekerja dengan prinsip pakai-buang: mengambil sumber daya, memakainya sebentar, lalu membuangnya menjadi sampah.

Ibu Pertiwi "Mother Earth" Mulai Lelah dan Sakit

Alam tidak marah. Ia hanya bereaksi sesuai dengan aturan rumah yang telah dilanggar. Setiap pelanggaran mendapatkan konsekuensinya.

1. Banjir Bandang, Ketika anak manusia menebang pohon-pohon pelindung di lantai atas rumah, tidak ada lagi yang menahan air hujan. Air yang seharusnya diserap tanah kini langsung meluncur ke bawah, menerjang segala sesuatu di jalurnya. Ini bukan kemarahan, ini konsekuensi logis dari merusak sistem drainase rumah.

2. Krisis Makanan, Ketika anak manusia menyemprot racun serangga yang membunuh para penyerbuk (lebah dan kawanannya), proses penyerbukan tanaman terhambat. Hasilnya? Persediaan makanan di rumah semakin menipis. Kita meracuni para pekerja yang justru menyediakan makanan untuk kita sendiri.

Fakta Unik, Hutan Amazon adalah "paru-paru" rumah kita yang menghasilkan 20% oksigen. Tugasnya yang lebih penting adalah menyaring udara kotor yang kita hasilkan.

Suhu rumah semakin panas—naik 1,1°C sejak revolusi industri. Es di kutub mencair seperti AC yang rusak. Terumbu karang memutih seperti dinding yang mulai keropos. Rumah kita semakin tidak nyaman untuk ditinggali.

Renungan Sebagai Anggota Keluarga Mother Earth Kita berteriak"Selamatkan Bumi!" seolah-olah kita adalah pahlawan dari luar. Padahal, kita adalah bagian dari keluarga ini. Ibu Pertiwi tidak perlu diselamatkan—dia akan pulih dengan sendirinya dalam waktu lama. Yang terancam adalah kita sendiri, anak manusia, yang mungkin tidak akan lagi diizinkan tinggal di rumah ini.

Pertanyaannya bukan "bagaimana menyelamatkan bumi?" tetapi "bagaimana kita kembali menjadi anak yang baik dalam keluarga besar ini?"

Mungkin sudah waktunya kita melepas mahkota khayalan, membersihkan kekacauan yang kita buat, dan kembali hidup harmonis dengan semua saudara kita di rumah besar Ibu Pertiwi.

Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro (Penikmat Tumis Rebung)      Bayangkan alam planet ini sebagai sebuah keluarga besar yang harmonis. Ibu Pertiwi telah memb...
Teguh Estro Kamis, 04 September 2025
Teguh Indonesia

Jenderal An Lushan "Dalang" Pemberontakan Dinasti Tang, Refleksi Demonstrasi Berdarah Akhir Agustus 2025.

Oleh: Teguh Estro
(Bapak-bapak Muda)

    Ada yang berdarah-darah di jalanan. Asap membubung dari gedung-gedung yang dibakar. Suara teriakan dan ratapan bersahutan. Ibukota porak-poranda. Perekonomian lumpuh. 36 Juta nyawa manusia hilang dan banjir darah.  Itulah yang terjadi di Chang’an, ibu kota Dinasti Tang, pada abad ke-8, ketika sosok bernama An Lushan memimpin pemberontakan. Dan itu pulalah yang (dalam skala dan konteks yang tentu berbeda) kita saksikan gejalanya dalam kerusuhan demonstrasi di Jakarta dan kota-kota lainnya, Akhir Agustus 2025.

Kekerasan massa selalu punya pola yang mirip: ia memakan korban jiwa, melumpuhkan kehidupan, dan meninggalkan luka yang dalam. Tapi kekerasan bukanlah monumen yang tiba-tba jatuh dari langit. Ia adalah anak kandung dari salah urus kekuasaan.

Pemberontakan An Lushan, yang menghancurkan salah satu dinasti terbesar dalam sejarah Tiongkok, bermula dari akumulasi kesalahan yang dibiarkan membusuk. Hari ini, kita bisa melihatnya sebagai cermin yang memantulkan potret buram kita sendiri.

A. Gejala-Gejala yang Menggerogoti

Tokoh An Lushan bukanlah pemberontak yang muncul tiba-tiba. Ia adalah produk dari sistem yang sakit. Dinasti Tang, di puncak keemasannya, justru mengandung benih-benih kehancuran.

Pertama, kekuatan militer yang otonom. Sebagai seorang Jiedushi atau gubernur militer, An Lushan menguasai tiga wilayah sekaligus dengan pasukan profesionalnya sendiri. Ia membangun kerajaan dalam kerajaan, dengan tentara yang loyal padanya, bukan pada kaisar. Ini terjadi karena kebijakan luar negeri Tang yang ofensif butuh pasukan perbatasan kuat, tapi diabaikanlah kontrol dari pusat.

Kelalaian pusat dalam mengayomi daerah terutama perbatasan bisa menjadi bom waktu. Apalagi dibumbui oleh Kekaisaran yang selalu memperalat wilayah perbatasan untuk menghadang pasukan barbar dari luar. Sedangkan di dalam istana justru pejabat berfoya-foya dengan banyak selir.

Tidakkah kita melihat pola yang sama hari ini? Ketika kekuatan-kekuatan di daerah merasa diabaikan, sementara pusat sibuk dengan gemerlapnya sendiri, bukankah ini resep untuk bencana? Apabila pemerintahan rapuh maka pilihan untuk membuat regulasi yang memperbesar wewenang militer adalah sama seperti menggali kuburan sendiri.

Kedua, krisis fiskal dan pajak yang mencekik. Sistem bagi hasil pertanian equal-field yang adil telah runtuh. Tanah terkonsentrasi di tangan elite Dinasti Tang. Pemerintah, yang butuh uang untuk biaya perang dan kemewahan istana, memeras rakyat dengan pajak yang berat. Petani menjerit. 

Mereka yang tak sanggup melarikan diri atau menjual diri menjadi budak. Inilah yang dalam teori sosial Karl Marx disebut sebagai “perjuangan kelas”: ketika ketimpangan ekonomi mencapai titik nadir khususnya bagi rakyat yang berbatasan dengan Kerajaan Tibet, ledakan sosial adalah konsekuensi yang hampir tak terelakkan. Akhirnya masyarakat miskin perbatasan terpancing untuk menghabisi kemewahan ibu kota Chang'an. 

Apakah kita tidak belajar dari sejarah? Ketika pajak menjadi alat penindasan bukan keadilan, ketika yang kaya makin kaya dan yang miskin makin terjepit, bukankah kita sedang menabur benih kemarahan? Kita melihat jelas pada penolakan keras ribuan warga PATI, Jawa Tengah terhadap kenaikan pajak 250%.

Ketiga, kesenjangan sosial dan sentimen etnis. An Lushan adalah golongan etnis minoritas orang non-Han, Jenderal ini berasal dari etnis Sogdian-Turk. Ia dan pasukannya sering dipandang rendah oleh elite Han di istana. Perdana Menteri Yang Guozhong, yang arogan dan korup, terus memprovokasi dan merendahkannya. Di perbatasan, rakyat merasa dieksploitasi oleh pusat yang jauh dan tak peduli. Mereka mudah dihasut untuk membenci ibu kota.


Lagi-lagi kisah ini menjadi pelajaran buat kita saat ini di Indonesia. Bukankah politik identitas dan arogansi kekuasaan masih menjadi penyakit kita sampai hari ini? Ketika perbedaan dijadikan alat pecah belah, dan suara rakyat kecil dianggap tak penting, bukankah kita sedang membangun tembok permusuhan?

Keempat, inkompetensi pejabat. Kaisar Xuanzong, yang tua dan lalim, lebih sibuk dengan selirnya Yang Guifei daripada urusan negara. Istana dipenuhi intrik dan korupsi. Kebijakan dibuat bukan untuk rakyat, tetapi untuk melayani nafsu segelintir orang.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil? Ketika pemimpin lalim dan korup, ketika kebijakan hanya untuk kepentingan segelintir orang, bukankah kehancuran hanya menunggu waktu?

B. BENCANA KEMANUSIAAN PUN TERJADI

    Pemberontakan An Lushan bukanlah aksi spontan. Ia direncanakan dengan cermat. Sebagai Jiedushi (Gubernur Militer), ia memanfaatkan kedekatannya dengan pejabat istana untuk mengetahui kelemahan pemerintah. Ia membangun dukungan rakyat dengan menjadi “jagoan” bagi mereka yang tertindas. Lalu, ia menyerang di musim dingin, ketika pasukan pemerintah lengah. Dan yang paling penting: ia menyerbu ibukota justru ketika keretakan di istana sedang paling parah.

Mirip dengan Demonstrasi Akhir Agustus Lalu, jelas: kekerasan massa hampir selalu ada dalang dan skenarionya. Akhirnya, Kematian driver OJOL Affan Kurniawan menjadi daftar kelam kerusuhan berdarah di Indonesia. Bukan hanya Affan Kurniawan di Jakarta namun masih ada 6 korban lainnya di kota Jogja, Solo dan Makassar yang juga turut meregang nyawa. Puncaknya ketika terjadi penjarahan rumah 4 orang pejabat yang diduga ditunggangi oleh oknum yang tak bertanggungjawab. Aksi vandalisme dan pembakaran aset pribadi tersebut didesain seolah kemarahan rakyat. Kemarahan Masyarakat yang menyuarakan protesnya dibayar mahal dengan nyawa mereka. Apakah ia murni luapan amarah rakyat, atau sudah ditunggangi kepentingan politik? Sejarah An Lushan pada abad ke-8 M mengingatkan: ketika negara lemah dan rakyat marah, pintu bagi ambisi orang-orang seperti An Lushan terbuka lebar.

Dannn, Pertanyaan penting untuk kita renungkan: Sudahkah kita membedakan mana suara rakyat yang murni dan mana yang sudah dibajak kepentingan? Atau jangan-jangan kita semua sedang dimanfaatkan dalam skenario besar perebutan kekuasaan?

C. Dinasti Tang Menjadi Negara Lumpuh

Pemberontakan An Lushan bukan hanya soal pergantian kekuasaan. Ia adalah bencana kemanusiaan yang luar biasa. Ekonomi lumpuh total. Sistem pajak kacau balau. Yang paling mengerikan: 36 juta jiwa tewas (seperenam dari populasi dunia saat itu) Pengungsian terjadi di mana-mana. Dinasti Tang nyaris runtuh dan tidak pernah benar-benar pulih.

Inilah harga yang harus dibayar ketika “kontrak sosial” antara penguasa dan rakyat—sebuah teori yang digagas Rousseau—putus sama sekali. Pemerintah gagal menjalankan tugasnya: melindungi, mensejahterakan, dan berlaku adil. Sebaliknya, mereka menjadi predator. Rakyat, yang sudah tidak percaya, memilih jalan kekerasan sebagai satu-satunya bahasa yang dimengerti oleh penguasa.

Mau sampai kapan kita terus mengulangi kesalahan yang sama? Ketika penguasa lupa bahwa kekuasaan adalah amanah, ketika rakyat dipaksa memilih antara diam atau meledak, bukankah kita semua yang akan menjadi korban?

D. JAS MERAH

Dari Chang’an ke Jakarta, dari abad ke-8 hingga abad ke-21, pelajaran sejarah ini adalah tamparan. kekerasan adalah buah dari penguasa yang tuli. Jenderal An Lushan mungkin hanya nama di buku tua, tapi rohnya bisa hidup di mana saja, di setiap negara dimana elite mengorbankan rakyat untuk kekuasaan dan harta.

Kita tidak perlu menjadi Marxis untuk mengerti bahwa kesenjangan adalah bahan peledak. Kita juga tidak perlu menjadi Rousseau untuk paham bahwa pemimpin adalah wakil rakyat, bukan majikan mereka. Demonstrasi dan kerusuhan adalah gejala. Penyakitnya adalah ketidakadilan.

Pertanyaan terakhir yang paling menggelisahkan: Apakah kita harus menunggu sampai segala sesuatunya hancur berantakan seperti di Chang'an dulu, baru kita menyadari bahwa yang kita pertaruhkan adalah masa depan bersama?

Jika kita tidak belajar dari sejarah, kita akan dikutuk untuk mengulanginya. Dan seperti kata pepatah Tiongkok kuno: “Dengan mata terbuka, kita menyaksikan roda pedati yang sama menggilas orang-orang yang sama.” Mari jangan jadi orang-orang yang sama itu.
Teguh Indonesia
Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro (Bapak-bapak Muda)      Ada yang berdarah-darah di jalanan. Asap membubung dari gedung-gedung yang dibakar. Suara teriakan...
Teguh Estro Selasa, 02 September 2025