Menu
Teguh Indonesia

Berharap Aceh Damai (Amin)

Oleh: Teguh Estro*

    Pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam saat ini cukup memprihatinkan. kisruh di kalangan elit politik lokal mengakibatkan waktu pelaksanaan pesta rakyat itu terpaksa diundur lagi. Kondisi politik nan kian memanas akhirnya merambat luas menjadi aksi teror bahkan kekerasan fisik. Semisal salah satu calon yang mendaftar sebagai calon pemimpin daerah mengalami teror penembakan di rumahnya sendiri. Untungnya pihak yang bersangkutan tidak sedang di kediamannya. Analisisnya bisa dikarenakan kepentingan politik antara incumbent dan pesaing-pesaingnya. Ataukah masih ada serangkaian infiltrasi dari para separatis di negeri serambi mekah tersebut.

    Secara historis provinsi Nangroe Aceh Darussalam memang memiliki tempat istimewa dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Sebuah daerah yang pernah melahirkan pahlawan kharismatik sekelas Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Dan provinsi Indonesia paling barat ini pernah mendukung gerakan R.M. Kartosuwiryo dalam mendirikan Negara Islam Indonesia. Pada saat itu basis wilayah Aceh di bawah sosok tokoh sentral Daud Beureuh. Hingga akhirnya Presiden Soekarno berdialog dengan menjanjikan kepada ‘sang Teungku’ bahwa Aceh akan menjadi daerah yang diterapkan syari’at Islam. Masyarakat Aceh memang terkenal ‘ganas’ saat melawan para penjajah. Dan sebaliknya mereka justru santun dan mau berdialog terhadap sesama bangsa seperti yang ditunjukkan oleh Daud Beureuh. Asyiddaa-u ‘Alal-Kuffar wa-ruhamaa-u baynahum.

    Kembali kita menilik sebuah polemik PEMILUKADA di provinsi beribu kota Banda Aceh tersebut. Penembakan, kekerasan juga teror yang terjadi beberapa waktu lalu bisa dianalisis kembali. Salah satunya dengan tersumbatnya pintu dialog antara pemerintah dengan tokoh lokal Nangroe Aceh Darussalam. Sehingga terjadi deviasi dalam penyelesaian konflik dengan cara destruktif. Keberanian membuka dialog adalah sebuah opsi penyelesaian yang memiliki efek jangka panjang. Jika saat ini kisruh PEMILUKADA telah ditengahi oleh Mahkamah Konstitusi, hal tersebut hanyalah solusi jangka pendek. Toh, dengan ikut sertanya Partai Rakyat Aceh dengan mengusung pasangan Zaini Abdullah – Muzakkir Manaf bukan berarti masalah otomatis selesai. Bayangkan saja Calon Incumbent –Irwandi Yusuf- yang pernah berjuang bersama-sama dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), masih belum bisa diterima oleh Partai Rakyat Aceh sebagai partai yang dibentuk mantan anggota GAM juga. Dengan kalimat lain seolah ada beberapa kepentingan yang belum tuntas untuk dirembuk kembali oleh para elit politik lokal.

    Kebebasan berekspresi di negeri ini memang dibenarkan. Hanya saja, bila kebebasan bisa mengakibatkan ketidaknyamanan rakyat Aceh tentu menjadi salah juga. Alih-alih hendak melaksanakan pesta demokrasi, malah menginjak-injak nilai demokrasi akhirnya. Begitu juga menjadi harga mati PEMILUKADA pada April 2012 nanti harus berjalan damai. Bahkan bisa saja prosesi demokrasi saat ini menjadi batu loncatan dalam sejarah perdamaian di Indonesia.
    Selanjutnya dalam hal menyikapi seteru elit politik antara pimpinan parpol lokal, Mendagri dan juga Mahkamah Konstitusi yang mengakibatkan ditundanya waktu pencontrengan. Salah satu jalannya adalah dengan memberikan kepercayaan kepada Komisi Independen Pemilu (KIP) Aceh. Pasalnya setelah MK memutuskan agar PEMILUKADA diundur sampai April 2012, tentunya ada sedikit pihak yang keberatan. Jangan sampai hal tersebut mengakibatkan kekecewaan yang kembali berujung konflik. Sehingga betul-betul semua pihak harus mendukung dan percaya terhadap KIP sebagai penyelenggara pesta rakyat. Dan akhirnya mereka bisa bekerja tanpa ada tekanan atau rasa ketidaknyamanan.

    Peristiwa konflik Aceh saat ini bukanlah kali pertama dialami rakyat Nangroe. Sehingga sudah saatnya penanganan segala sesuatunya bermind-set untuk jangka panjang. Semisal mengusut tuntas penembakan terhadap warga akhir-akhir ini. Tentu saja tidak berhenti sampai batas menemukan pelakunya, tetapi mampu mengurai akar masalahnya. Boleh jadi hal tersebut buntut dari kekecewaan warga lokal terhadap kebijakan yang mengabaikan grassroot. Atau jika memang akar masalahnya terdapat friksi antar kelompok, maka keberanian membuka pintu dialog kudu dijalankan. Dalam diaog itu semua pihak harus bisa terbuka untuk membangun Aceh. Pasalnya tidak bisa dipungkiri konflik GAM belumlah seluruhnya tuntas. Butuh pikiran dingin serta keterbukaan dalam mengurai benang kusut masa depan rakyat serambi mekah.

* Pegiat forum LPM Lensa Kalijaga

Teguh Indonesia

3 komentar

  1. rakyat yang butuh kerja keras, pasang badan, jiwa, pikiran, iman,
    pmerintah cukup dari belakang aja cz gk trllu bisa dihrpin,

    BalasHapus
  2. saya tidak setuju jika dikatakan Aceh hanya sebagai pendukung R.M Kartosuwiryo, Aceh lebih dari itu, bisa dikatakan Aceh salah satu Pelopor dari misi pendirian negara islam indonesia itu sendiri...
    kemudian, partainya GAM itu bukan Partai Rakyat Aceh tapi cukup Partai Aceh saja, karna di Aceh itu ada 6 partai lokal..
    1. Partai Aceh (GAM punya)
    2. Partai Aceh Aman Sejahtera
    3. Pertai Bersatu Aceh
    4. Partai Daulat Aceh
    5. Partai Rakyat Aceh
    6. Partai Suara Independen Rakyat Aceh
    sumber : http://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/04/pengertian-partai-politik-lokal.html

    trima kasih...

    BalasHapus
  3. Terimakasih atas masukannya, setidaknya kita satu orientasi untuk aceh damai...

    BalasHapus