Menu
Teguh Indonesia


Oleh: Teguh Estro*

Great Depression 1930 & lahirnya IMF
             Kejadian ekonomi dunia yang memiliki dampak paling mengerikan adalah Great Depression tahun 1930-an. Kejadian ini membuat trauma satu generasi Amerika dan menyebabkan bangkitnya Nazisme di Jerman dan militerisme di Jepang.
             Ledakan moneter ini dipicu oleh suku bunga yang terus konsisten pada poin rendah. Hal ini mengundang para pialang meminjam saham secara berbondong-bondong dari angka 5 Juta dollar pada tahun 1928 menjadi 850 juta dollar pada September 1929. Khawatir ‘gelembung’’itu akan pecah, Bank Sentral AS berusaha mengekang spekulasi saham dengan menaikkan suku bunga, sehingga kian mahal bagi orang-orang meminjam uang. Namun, naiknya suku bunga mendorong perusahaan-perusahaan untuk mengurangi pengeluaran, produksi dan pekerjaan. Kemudian pada 24 Oktober 1929 jumah saham yang berpindah mencapai rekor. Banyak investor panik untuk menjual saham sebelum harga makin melorot. Menjelang siang hari, pasar bunga di Chicago dan buffalo sudah tutup, dan 11 spekulan melakukan bunuh diri. Pada bulan Juni 1931, 18 Bank di Chicago bangkrut. Pada tahun 1933 sekitar 11.000 dari 25.000 bank Amerika gagal.
            ‘Depresi Besar’ dalam waktu singkat menyambar benua Eropa. Tingkat ketergantungan yang tinggi berakibat depresi cepat menyeberangi Atlantik. Amerika serikat keluar dari perang sebagai pembiaya utama dan sumber pinjaman bagi Eropa. Ketika ekonomi AS jatuh, investasi Amerika dan pinjaman ke Eropa berhenti. Pada Juni 1930 bank raksasa Austria Creditanstalt ambruk. Jerman yang mengalami pesakitan setelah Perang Dunia betul-betul bergantung pada pinjaman Amerika Serikat. Begitupun Inggris yang kudu mengembalikan hutang-hutang selama perang. Setelah kucuran dana dari amerika mengering, Jerman dan Inggris paling menderita akibat great depression. Pada 20 September 1931, Inggrs meninggalkan standar emas, sehingga memicu kepanikan di Eropa ketika bank-bank berusaha menjual pound Inggris karena menduga nilainya akan jatuh. Di Jepang, pasar ekspor negara itu kian menyusut, dan pengangguran bertambah di industri-industri seperti pembuatan sutera.

          Franklin D. Roosevelt, Presiden terpilih AS tahun 1932, berusaha mengakhiri depresi di dalam negeri dengan reformasi ekonomi dan sosial secara kolektif disebut new deal. Depresi bertahan sampai Perang Dunia II ketika kombinasi wajib militer dan defisit anggaran mengakhiri tingginya pengangguran dan meningkatkan produktifitas industri. Pengalaman Depresi Besar mendorong para pemimpin dunia untuk mendirikan lembaga-lembaga ekonomi pada akhir perang dunia II. Usaha ini juga digagas dalam rangka meningkatkan kerjasama dan mengurangi kebijakan mempermiskin negara tetangga.
White (kiri) dan Keynes (kanan)
        Langkah awal dalam membangun tata ekonomi baru diambil dalam Konferensi Moneter dan Keuangan PBB di Bretton Woods, New Hampshire pada Juli 1944. Perwakilan dari 44 negara sepakat untuk mendirikan International Monetery Fund (IMF). Kesepakatan ini merupakan kompromi antara ide-ide ekonom Inggris John Maynard Keynes (1883-1946), yang memimpin delegasi negaranya ke Bretton Woods, dan Harry Dexter White (1892-1948), kepala ekonom Internasional di departemen keuangan AS pada 1942-1944 yang membuat draft blueprint untuk IMF. Keynes menginginkan lembaga independen yang kuat untuk mengimbangi kekuatan ekonomi Amerika, sementara White menginginkan sebuah organisasi yang akan menambah kekuatan ekonomi AS.
Track Record IMF dalam Pemulihan Moneter
Ada dua badai ekonomi yang betul-betul menampakkan peran IMF. Antara lain, krisis ekonomi Asia tahun 1997 dan krisis ekonomi Eropa akhir-akhir ini. Krisis Asia yang diawali dari kejatuhan Bank Finance One, bank terbesar di Thailand. Membuat nilai kurs baht anjlok dan para spekulan berbondong-bondong menjual baht dan memborong dollar AS. Sehingga kekacauan moneter di Bangkok menjalar secara cepat. Malaysia, Korea selatan termasuk Indonesia yang terkena dampak krisis Asia.
Thailand memutuskan menjadi ‘klien’ bagi IMF pada tanggal 18 Agustus 1998. Terdapat delapan Letter of Intent(LoI) yang ditandatangani Perdana Menteri Chuan Leekpai. Perdana  Menteri  Chuan  Leekpai  dari  Thailand yang semula  mengikuti resep  IMF  dan  banyak  dipuji oleh kreditor  akhirnya  justru  'digulingkan'  oleh  rakyat  melalui pemilu  yang  memilih  PM  Thaksin  secara  mutlak. Dengan mandat  kemenangan  yang  besar,  Thaksin  dengan  cepat mengubah  kebijakan  yang  tadinya  pro-IMF menjadi pro rakyat dan ternyata hasilnya sangat  menggembirakan baik dari segi pertumbuhan ekonomi, investasi maupun penciptaan  lapangan  kerja.
Kebijakan ekstrim yang dicanangkan IMF yakni membuka perekonomian negeri seribu pagoda itu dengan cepat bagi modal asing pada 24 Februari 1998. Berikutya hanya untuk mendapat trust dari dunia Internasional, IMF mengusulkan privatisasi perusahaan-perusahaan publik secara cepat. Alhasil, Pemerintah Thailand mendapat banyak tekanan politik. Kaum bisnis memprotes bahwa kebijakan IMF mengabaikan perekonomin riil. Petani-petani, NGO dan para aktifis berargumen bahwa program tersebut hanya rich people oriented.
Cerita serupa dialami oleh Korea Selatan. Mata uang Won Korea jatuh terhadap Dollar AS. November 1997, dari 900 Won per satuan Dollar menjadi 2000 Won per satuan Dollar. Selanjutnya pada tanggal 3 Desember 1997, ‘Negeri Ginseng’ ini akhirnya meminta bantuan IMF. Korea Selatan dalam hal ini, menjadi contoh sukses negara yang berhasil keluar dari krisis dengan gemilang melalui bantuan IMF. Hal ini karena ditunjang oleh etos pemerintah yang berhasil dalam pelaksanaan good governance. Peningkatan transparansi dan efesiensi antara pemerintah, bank dan sektor usaha. Begitupun pemerintah begitu anti terhadap Nepotisme dengan adanya konsistensi mengamputasi dominasi Chaebol (konglomerat) yang telah dimulai sejak tahun 1990-an di masa Presiden Kim Young Sam.
Persinggahan IMF ke Jakarta
Sebelum adanya IMF, Indonesia bukanlah negara yang ‘baru’ bagi kekuatan ekonomi asing. Pada abad ke-17 para pedagang Belanda membentuk Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Sistem prakapitalis itu mencapai puncaknya dalam periode 1830-1870 di Jawa. Mulai pertengahan abad ke-19 sifat perdagangan ekonomi kolonial memunculkan perubahan yang berkembang ke arah perusahaan kapitalis.
Secara garis besar para pemodal pada masa kolonialisme ada kelompok pribumi, kelompok orang Cina dan modal Asing. Antara tahun 1929 dan 1939 telah diinvestasikan 25 juta Gulden dalam industri. 15,5% dari Belanda, 23,5% dari Cina dan Pribumi,  dan 61% dari Inggris. Pengusaha Inggris dan Amerika Serikat memusatkan diri pada perkebunan besar, tambang minyak dan dalam usaha dalam skala besar seperti pabrik perakitan milik General Motor, pabrik karet, ban Goodyear, pabrik semen Padang dan Sabun Unilever.
Pada era bung Karno, tepatnya tahun 1949, pemerintah megambil alih Java Bank (milik Belanda) dan merubahnya menjadi Bank Indonesia. Dalam rangkaian ini dibentuk pula dua bank pemerntah: Bank Industri Negara (BIN) yang membiayai proyek-proyek industri dan Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank devisa dan pembiayaan impor. Akan tetapi pemerintah orde lama tetap menjadikan modal asing dan perusahaan asing sebagai motor pembangunan. Pada tahun 1952, Sjafrudin Prawiranegara (ekonom Masjumi) mengungkapkan bahwa invetasi modal asing harus menjadi komponen yang menentukan sampai kapasitas produksi berdasarkan modal nasional tercapai.
Pada akhir riwayatnya, orde lama melakukan ‘blunder’ dalam penataan ekonomi. Yakni, mental kapitalis sudah menjalar para birokrat yang didominasi oleh militer. Kaum ‘kapitalis birokrat’ ini menduduki perusahaan atau aset lainnya milik negara. Semua perusahaan niliter secara besar-besaran melakukan penyelundupan dan perdagangan gelap, terutama selama konfrontasi dengan Malaysia.
Pada masa pak Harto, pemerintah cenderung lebih banyak ‘bergaul’ secara ekonomi kepada pihak asing. Langkah paling fundamental yang diambil rezim orde baru sesudah tahun 1965 ialah sederhana saja: membuat kondisi agar modal Internasional masuk kembali. Sampai pertengahn 1970-an kaum teknokrat (cendekiawan ekonomi) mengacu pada bentuk pasar bebas.  Ekonomi pintu terbuka yang dianjurkan oleh ekonom liberal ortodoks barat, umumnya dan khususnya oleh IMF, World Bank dan IGGI (Inter-governmental Group on Indonesia ; yang beranggotakan negara-negara industri maju). Peran IMF lebih terasa saat resesi dunia melanda Indonesia akibat lonjakan harga minyak dunia tahun 1980-an. Didalamnya para teknokrat menjadi budak ideologi AS, World Bank (IBRD pada saat itu) ataupun IMF.
IMF dianggap terlalu berlebihan dalam ‘mengobok-obok’ internal ekonomi Indonesia. Sebuah perseteruan antara IMF dan Pertamina begitu kental di tahun 1972. Dr. Ibnu Sutowo, Presiden Direktur Pertamina pada masa itu mencoba mengalihkan sumber modal asing kepada Jepang. Kelompok Pertamina mencoba ‘menjajal’ mitra Internasional baru diluar IMF & IGGI, dalam hal ini Jepang. Di sisi lain Ali Murtopo, kepala Operasi Khusus (OPSUS, semacam Badan Intelijen) sedang giat melakukan kerjasama ‘Poros Segitiga Asia Pasifik’ menghubungkan Jepang, Indonesia dan Australia. Tentu saja hal ini membuat IMF merasa terabaikan. Apalagi Presiden Soeharto mulai mendukung  arus nasionalisme ekonomi arahan Ibnu Sutowo. Akhirnya pada tahun 1972 IMF mendesak dengan kuat bahwa korporasi negara Indonesia dibatasi kapasitasnya dalam melakukan utang luar negeri antara satu sampai 15 tahun.
Akhirnya Ibnu Sutowo mulai mengendur seiring desakan demonstrasi mahasiswa yang menentang kebijakan kebergantungan Indonesia kepada Jepang. Hal ini tidak lain karena pribadi Ibnu Sutowo yang dianggap sebagai Jenderal yang begitu mondominasi Pertamina. Ia dianggap telah banyak melakukan kong-kalikong  dengan jenderal-jenderal lainnya sampai dianggap “raja minyak Indonesia” pada saat itu. Ia hidup begitu borjuis bergelimang harta dan kemewahan. Pada periode berikutnya ekonomi Indonesia digenggam oleh korporat-korporat domestik.
Jatuhnya Orde Baru, IMF Menjadi ‘Ratu’
Sampailah pada akhirnya meletus krisis ekonomi Asia pada tahun 1997. Dan lagi-lagi IMF ‘mengobok-obok’ terlalu dalam kebijakan ekonomi dalam negeri. Pada tanggal 5 November 1997, perjanjian dengan IMF resmi disepakati dengan paket pinjaman US$ 40 Milyar. Namun konsekuensi dari paket IMF ini, pemerintah Indonesia harus mengikuti program-program yang diajukan oleh lembaga yang sekarang dipimpin oleh Christine Lagarde dari Perancis ini. Antara lain, privatisasi, pengurangan subsidi yang diberikan pemerintah dan liberalisasi keuangan.
Pada 31 Oktober 1997 akhirnya disepakati Letter of Intent (LoI) pertama berisi perjanjian selama 3 tahun untuk bantuan dana sebesar 7,3 Milyar Dollar AS. Pada awal tahun 1998, Indeks Harga konsumen meningkat disertai dengan depresiasi Rupiah dan membuat harga bahan pokok naik. Permasalahan mendasar adalah seringkali IMF menerapkan kebijakan yang sama pada semua negara tanpa melihat karakteristik perekonomian dan kondisi sosial politik tiap negara.
IMF melalui serangkaian Memorandum of Understanding (MoU) dan Letter of Intents (LoI) telah memaksa terjadinya liberalisasi finansial maupun perusahaan. Privatisasi BUMN Strategis seperti Telkom berikut penghapusan subsidi BBM. Jatuhnya tampuk kuasa Jenderal Soharto bukan berarti IMF turut pergi. Justru Habibie memperpanjang kontrak dengan lembaga dunia yang bermarkas di Washington D.C ini. Kedekatan hubungan antara Habibie dengan Hurbert Neiss, direktur IMF untuk Asia Pasifik menjadi awal mulusnya usaha IMF. Pada LoI bulan juni-November 1998 IMF mendesak adanya pengetatan anggaran, pembatalan proyek-proyek infrastruktur.
Pada masa kepemimpinan Gus dur, pemerintah telah mempersiapkan privatisasi BUMN-BUMN besar antara lain PT Telkom yang telah dirancang sebelumnya, PT. Indosat, PT. Pupuk Kaltim, PT. Indofrma dan Perusahaan Konsesi bandara Soekarno-Hatta. Kendati demikian IMF kerap menunda pencairan dana dengan alasan kegagalan kabinet Gus dur dalam memenuhi target-target ekonomi yang diajukan IMF. Setelah berbulan-bulan mengalami periode ketidakpastian dalam era Abdurrahman Wachid ini akhirnya berujung pemecatan Presiden dalam Sidang Istimewa MPR RI.
Ketika Megawati menjadi Presiden RI, terdapat pertentangan internal pemerintah terkait apakah diperlukan perpanjangan kontrak paket bantuan IMF. Pertentangan ini terjadi antara ekonom dalam kabinet Megawati dan Ekonom di luar kabinet. Baik Menko, Menkeu dan Gubernur BI bahwa perpanjangan kontrak diperlukan paling tidak satu tahun. Sedangkan tokoh Rizal Ramli menilai otoritas IMF telah menyebabkan ketidakstabilan finansial dan pembebanan APBN.
------------------
Daftar Pustaka:
W. Masbach, Richard & Kirsten L. Rafferty. 2012. Pengantar Politik Global. Bandung ; Nusamedia.
Syamsul Hadi dkk. 2004. Strtegi Pembangunan Indonesia Pasca IMF. Jakarta ; Granit
Robinson, Richard. 2012. Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Jakarta; Komunitas Bambu.

Oleh: Teguh Estro* Great Depression  1930 & lahirnya IMF              Kejadian ekonomi dunia yang memiliki dampak paling meng...
Teguh Estro Minggu, 11 November 2012
Teguh Indonesia


oleh: Teguh Estro*

   Dalam kenyataan sejarah, perhatian orang Romawi terhadap bahasa sangat dipengaruhi bahkan meneruskan pemikiran-pemikiran para filsuf Yunani. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa pemikiran-pemikiran filsuf Yunani sangat mewarnai konsep-konsep orang Romawi. Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-se­gi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator­-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.

Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena di­besarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang mem­berinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang ber­pidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.

Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, "Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang per­tama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh keme­nangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena se­sungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi".

Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:

“…Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara keras kelemahan lawan - yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab; dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang badainya membahana…”

Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui pena­nya, bahasa mengalir dengan deras tetapi indah.

Marcus Tulius  Cicero, Ia begitu termasyhur karena bukunya berjudul “de Oratore” dan karena penampilannya sebagai seorang orator. Cicero mempunyai suara yang bervolume berat dan berirama mengun, pada suatu saat keras menggema di saat lain halus memelas, kadang disertai cucuran air mata.
       
     Buku de Oratore yang telah ditulis Cicero terdiri atas tiga jilid. Jilid I menguraikan pelajaran yang diperlukan oleh seorang orator, jilid II menjelaskan hal pengaruh, dan jilid III  menerangkan bentuk-bentuk pidatonya. Sebagai pemuka retorika, Cicero mengembangkan kecakapan retorika menjadi ilmu. Menurutnya, sistematika retorika mencakup dua tujuan pokok yang bersifat “suasio” (anjuran) dan “dissuasio” (penolakan).
         
Panduan dari kedua sifat itu seringkali dijumpai dalam pidato-pidato peradilan di muka senat Romawi di Roma. Pada saat itu tujuan pidato di hadapan pengadilan adalah untuk menyadarkan public tentang hal-hal yang menyangkut keentingan rakyat. perundang-undangan negara, dan keputusan-keputusan yang akan diambil. Hali ini, menurut Cicero hanya dapat dicapai dengan menggunakan teknik dissuasio, apabila terdapat kekeliruan atau pelanggaran dalam hubungannya dengan undang-undang. Atau suasio jika akan mengajak masyarakat untuk mematuhi undang-undang dan keadilan.

            Orator termasyhur itu menyatakan bahwa ketika mempengaruhi khalayak seorang orator harus meyakinkan mereka dengan mencerminkan kebenaran dan kesusilaan. Retorika gaya Cicero meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
     
       A.    Investio
Investio berarti mencari bahan dan tema yang akan dibahas. Bahan yang telah diperoleh disertai bukti-bukti pada tahap ini dibahas secara singkat dengan menjurus kepada upaya-upaya :
     1)      Mendidik
     2)      Membangkitkan kepercayaan
     3)      Menggerakkan perasaan

     B.     Ordo Collocatio
Ordo Collocatio, berarti penyusunan pidato. Disini sang orator dituntut kecakapan mengolah kata-kata mengenai aspek-aspek tertentu berdasarkan pilihan mana yang terpenting, penting, kurang penting dan tidak penting. Dalam hubungan ini susunan pidato secara sistematis terbagi menjadi :
     1)      Exordium (pendahuluan)
     2)      Narration (Peneguhan)
     3)      Conformatio (peneguhan)
     4)      Reputatio (Pertimbangan)
     5)       Peroratio (Penutup)

Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan se­kolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria:
“…Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan; gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran­-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin.”

Sumber :
1.      Buku Filsafat Bahasa, Masalah dan Perkembangannya karya Drs. Kaelan, M.S.
2.      Buku Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek karya Prof. Drs. Onong Uchjana, M.A.
3.      Buku Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi karya Prof. Drs. Onong Uchjana, M.A.  

oleh: Teguh Estro*    Dalam kenyataan sejarah, perhatian orang Romawi terhadap bahasa sangat dipengaruhi bahkan meneruskan pemikiran...
Teguh Estro Sabtu, 27 Oktober 2012
Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro*

image: http://putracenter.net
Sistem ekonomi dunia adalah sebuah rumah kartu
(Richard W. Mansbach)

Baht Anjlok, Ringgit pun Merosot
    John Maynard Keynes menolak gagasan klasik yang menyatakan bahwa sistem kapitalis akan melakukan penyesuaian sendiri dalam jangka panjang. ia beranggapan kapitalisme itu tidak stabil, karenanya dapat mandek terus-menerus pada berbagai tingkat. Keynes menyalahkan penyebab ketidakstabilan kapitalisme pada investor yang buruk. Intelektual ekonomi jebolan Cambridge University ini mengeluhkan “semangat kebinatangan” yang dangkal dan irasional dari spekulator yang membuang saham untuk mendapatkan likuiditas pada masa krisis. Hal ini benar-benar jelas terasa pada saat krisis Asia tahun 1997.

Pada tanggal 2 Juli 1997, Finance one perusahaan keuangan terbesar di Thailand jatuh bangkrut. Banyak spekulan meninggakan mata uang baht karena menduga nilainya akan turun. Sebaliknya Dollar AS terus menguat seiring para investor berbondong-bondong membeli dollar Amerika Serikat. Nilai baht turun drastis nyaris 20 persen hanya dalam hitungan jam. Kehancuran moneter di negeri ‘gajah putih’ ini menjadi pemicu terjadinya krisis Asia. Dalam beberapa hari, para spekulan mulai menjual mata uang Asia lainnya, termasuk mata uang ringgit. Malaysia menderita dampak Devaluasi baht beberapa hari kemudian ditandai merosotnya nilai tukar ringgit terhadap dollar AS di pasaran. Indeks gabungan di Kuala Lumpur Stock Exchange pun jatuh dari sekitar 1300 menjadi mendekati 400 poin.

    Kemerosotan nilai ringgit memaksa Bank Negara Malaysia (Central Bank) melancarkan intervensi agresif terhadap pasar uang. Akan tetapi intervensi melalui penjualan Dollar AS dan menaikkan suku bunga deposito ringgit tidak berhasil, malah nilai ringgit terjun bebas. Hingga akhirnya Bank Negara menyerahkannya kepada pasar. Nilai ringgit anjlok dari 2,49 per dollar AS sebelum krisis hingga mencapai angka 4,80 per dollar AS.

    Dampak dari keguncangan moneter ini sudah tertebak mengakibatkan efek domino terhadap perekonomian domestik. Malaysia yang baru setahun sebelumnya menduduki peringkat dua dalam negara-negara industri baru, mendadak jatuh miskin dan di ambang kebangkrutan. Utang luar negeri membumbung akibat perbedaan nilai tukar, yakni dari 98,8 milyar dollar AS pada tahun 1997 menjadi 166,2 milyar dollar AS pada tahun yang sama. Lalu berkembang menjadi 171,8 milyar dollar AS pada tahun 1998.

Mahathir, ‘Rezim’ yang berhasil
    Pada 26 Juli 1997, Mahathir tampil di muka publik dan menuding secara keras spekulan valuta asing (valas) sebagai penyebab krisis moneter Asia. Pada 20 september 1997. Politikus dari UMNO itu mengejutkan forum pertemuan IMF-World Bank di Hongkong. Ia menyebutkan bahwa krisis ekonomi Asia sebagai suatu krisis ekonomi yang dimanipulasi (a manipulated economic crisis). Menurut Mahathir, jual beli mata uang seharusnya hanya untuk membiayai perdagangan internasional dan bukan untuk mendapatkan keuntungan, karena uang bukanlah komoditas. Perdana Menteri Malaysia ke-4 ini termasuk salah satu pemimpin Asia yang menganggap bahwa dibalik krisis moneter Asia, terdapat konspirasi kapitalisme global yang didukung Barat-Yahudi melawan Asia-Islam-Konfusius. Krisis ekonomi Asia oleh Mahathir dilihat sebagai alat yang dimanfaatkan oleh kekuatan ekonomi negara-negara industri maju. Negara barat mencoba menghentikan laju negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara yang sedang secara bertahap hendak menjadi kekuatan dunia.

    Mahathir Muhammad begitu kekeuh dengan prinsip look east policy­­ yang ia terapkan. Negara-negara timur khususnya Asia bukan saatnya lagi dianggap sebelah mata. Ia mencontohkan bagaimana kemajuan yang dialami oleh India di bidang IPTEK karena sentuhan pemerintah yang tepat. Sehingga saat Asia mengalami krisis sekalipun, jangan sampai pemimpin-pemimpin Asia begitu mendewa-dewakan resep ekonomi dari IMF yang dikenal dengan ‘konsensus Washington’ itu. Bahkan Wakil Perdana Menteri, Anwar Ibrahim sampai didepak oleh Mahathir dari jabatannya hanya karena menerapkan resep ekonomi a la  IMF dalam mengatasi krisis.

Anwar Ibrahim yang juga merangkap menteri keuangan pada saat itu melakukan ‘kudeta ekonomi’ dengan melakukan rapat kabinet tanpa dihadiri Mahathir. Dan kebijakan yang dihasilkan pada waktu itu dikenal dengan ‘Paket 5 desember 1997’. Politisi muda yang pernah memimpin Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) itu justru mengadopsi strategi pengetatan ekonomi mirip dengan rekomendasi IMF yang juga dipakai Thailand dan Indonesia. Strategi ini menekankan pengurangan belanja negara dan penghentian proyek-proyek infrastruktur hingga kembali normal. Anwar Ibrahim mengumumkan penundaan sejumlah pembangunan megaproyek. kendatipun Anwar menuai pujian dari Presiden Bank Dunia James Wolfensohn pada saat itu, Mahathir tetap saja menolak kebijakan tersebut. Mantan Menteri Pelajaran dalam pemerintahan kabinet Tun abdul Razaq itu mengumumkan bahwa proyek pembangunam kereta api dan pipa air minum senilai 2,7 milyar dolar AS tidak termasuk proyek yang dihentikan.

Beberapa langkah Anwar Ibrahim yang begitu kontras terhadap prinsip ekonomi Mahathir Muhammad ada dua hal. Pertama, memperketat belanja pemerintah federal sebesar 18%. Kedua, menghentikan mega proyek yang tidak strategis dan esensial. Tercatat pembangunan besar-besaran yang dilakukan Mahathir antara lain :
-    Jalur Utara-Selatan yang dapat mempercepat setengah waktu perjalanan di pesisir selatan Malaysia.
-    Pelabuhan Tanjung Pelepas.
-    Kemegahan Bandara Internsaional Kuala Lumpur (KLIA) di Sepang yang berdekatan dengan sirkuit Formula 1.
-    Bakun Dam, sebagai penyalur semua kebutuhan elektronik di Malaysia bagian timur, yaitu Serawak dan Saba serta mempunyai kapasitas yang cukup untuk kekuatan ekspor ke Brunei.
-    Stadiun Berkelas Olimpiade Bukit Jalil.
-    Menara kembar Petronas, menara tertinggi di dunia pada tahun 1997-2003, yang merupakan simbol dari Malaysia modern.

Kebijakan pemulihan ekonomi a la IMF –sebagai pilihan kebijakan Anwar- ternyata gagal. Kebijakan tersebut tak mampu menghentikan ketidakstabilan nilai tukar ringgit terhadap dollar AS. Karena pengetatan anggaran dan suku bunga tinggi, masalah pengangguran belum tertangani. Setelah menyaksikan memburuknya perekonomian karena paket-paket ekonomi pengetatan yang diterapkan Anwar, pada juli 1998 Mahathir mengumumkan paket ekonomi baru yang disebut Rancangan Pemulihan Ekonomi Nasional (RPEN). Paket ekonomi tersebut direkomendasikan oleh Majelis Tindakan Ekonomi Negara (MTEN), badan khusus penanganan krisis yang dibentuk Mahathir sejak Januari 1998, dan diketuai oleh Daim Zainuddin.

Menyusul pemberlakuan RPEN, Daim praktis mengambil alih kewenangan Anwar sebagai menteri keuangan. Daim selanjutnya menjadi pendukung penuh kebijakan ekonomi nasionalistik Mahathir. Tentu saja termasuk dukungan terhadap kebijakan menyelamatkan perusahaan-perusahaan besar Malaysia yang berada di ambang kebangkrutan. Begitu juga menyokong keberlanjutan mega proyek yang telah digagas sejak tahun 1980-an. Mahathir berargumen bahwa justru dalam kondisi krisis ekonomi maka pembangunan mega proyek harus dipertahankan agar aktivitas ekonomi riil Malaysia terus berjalan dan tidak menambah jumlah pengangguran.

Pakar Ekonomi dari Universitas Malaya Kuala Lumpur, Sadono Sukirno, mengungkapkan, Malaysia sudah memiliki sejumlah keunggulan dalam menghadapi krisis. Pertama, jauh hari sebelum krisis ekonomi, Malaysia telah memiliki infrastruktur, seperti jalan raya, listrik, telepon, air bersih, dan pelabuhan yang handal menghubungkan kawasan industry, perkebunan, objek wisata dan lokasi lain yang berpotensi ekonomi tinggi. Kedua, pemerintah Malaysia konsisten dalam bekerja. Setiap kebijakan pembangunan, baik jangka pendek, menengah maupun jangka panjang yang telah diputuskan, dilaksanakan dengan konsisten. Semuat target diwujudkan secara maksimal. Pergantian kepemimpinan bukan berarti mengganti kebijakan.

Ketiga, saat terjadi krisis pengangguran hanya berkisar tiga sampai empat persen dari 23 juta jiwa penduduk pada saat itu. Keempat, Malaysia memiliki stabilitas politik yang terjaga sehingga proses pemulihan krisis ekonomi berjalan efektif. Bagi orang asing, mereka menilai dominasi UMNO tidak demokratis. Tetapi sistem politik tersebut terbukti mampu memberikan stabilitas di Malaysia.


-------------------------------------
Buku rujukan:
1. Dilema Mahathir, Penerbit Tiara Wacana, Penulis Dr. Endi Haryono
2. Malaysia Macan Asia, Penerbit Garasi, Penulis Khoridatul Annisa
3. Pengantar Politik Global, Penerbit Nusamedia, Penulis Richard W. Mansbach, Kirsten L. Rafferty
4. Wacana Publik Asia Tenggara, Penerbit Kanisius, Penulis Dr. Niels Mulder.
5. Sejarah Pemikiran Ekonomi Sang Maestro Teori Teori Ekonomi Modern, Penerbit Kencana, penulis  Mark Skousen

Oleh: Teguh Estro* image: http://putracenter.net “ Sistem ekonomi dunia adalah sebuah rumah kartu ” (Richard W. Mansbach) Baht...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

State, Definition Without Final Meaning
Oeh: Teguh Estro*

“If there are no rules, there being no state….”
(Ernest Gellner)
image: id.wikipedia.org

Definition of a state always develop follow epoch’s and circumstance change. That also form of state always being development from Tribal’s state until union state like nowadays. In its history mankind was lived in all development stage of state. Before mankind recognize modern state, they was passed tribal stage. Such as Indian people in Latina’s America, Aborigin in Australia continent and Mongolian in Asian. They are live in small organization from people to people and in simple communication. And then next epoch arise monarchi as a state’s form. Such as Spain, Britain, France, Ottoman or Japan. At the world war II epoch, existency of monarchi very obvios covering all world issue.

Axiomatic : Human is zoon politicon
Human is politic according to his character. Human have basic necessary in his life. Such as food necessary, home, literacy and sexual’s necessary. For attempt his necessary, human must need entire instruments. For an example, food necessary there are not being without farming sector or industrial’s machine. So, very reasonable if human attempt his nature like a forest to be farming location. That also very reasonable if human dig in the earth look for iron mineral for machine’s industrial. Then who is managing if all sector have growth develop in society. Ofcourse, society need one people or one team to manage their necessaries. This is a reason why one people can not ‘live’ without the others, specially nowadays, while one country and other’s tied in trade agreement. That just first stage from human live sirculation. Mankind has passed through fundamental stages in its history : the pre agrarian- Agrarian – and the industrial.
In brief, state is an organization that can being human necessary, surely within social contract. But in its development, people need additional live necessary. In fact number of people always growth eventhogh domestic necessary was limited. That is brief reason, why one tribal attack the other place beside security factor. In this condition, state’s function was developed from being primary necessary to occupate the other place. So, people will use military’s policy naturally. Transition from tribal state to monarchi state is beginning while military unsure was entered. Lord character change drastic more to order politic affair than domestic affair.

Monarchy’s Manifest to Modern State
Character of Monarchy’s state model is while power legitimacy handle by family clan. But in its development, many of empire that’s manage his people with good managing of governance. Such as ottoman kingdom, Spain kingdom and Britain kingdom. They are recognizing kind position in governance. As we know there are ministry, prime ministry, military affairs etc. so, surely modern state just the modification of monarchy’s model. Basicly nothing difference among them. Even nowadays, monarchys model still exist in several countries.


* Activist of 'Lensa Kalijaga' Student press.
** bahan bacaan :
- Muqaddimah author ibn Khaldun
- Nation and Nationalism author Ernest Gellner

State, Definition Without Final Meaning Oeh: Teguh Estro* “If there are no rules, there being no state….” (Ernest Gellner) image: i...
Teguh Estro Jumat, 28 September 2012
Teguh Indonesia

Rekonstruksi Peradaban Indonesia
Oleh: Teguh Estro*
 image:wakalanusantara.com
            Perjalanan 67 tahun Indonesia merdeka kian terjal penuh himpitan. 67 tahun, dalam tolok ukur umur manusia tentu Indonesia bisa dikatakan telah berusia senja. Namun bila perbandingannya sebagai umur suatu peradaban, maka NKRI barulah seumur jagung. Lihat saja, kerajaan Tarumanegara berlangsung selama 2 Abad, Sri-vhidjaya lebih dari 7 abad lamanya atau peradaban Islam yang sempat mendunia dalam kurun hampir 8 Abad. Sehingga hakikatnya Indonesia kudu betul-betul belajar keras untuk menyambung usia peradabannya.
            Setiap peradaban memiliki siklusnya masing-masing. Indonesia telah melalui siklus badawiyah[1]nya. Sebuah fase perjuangan untuk memproklamirkan diri sebagai bangsa yang utuh dan merdeka. Banyak yang berpendapat bahwa nusantara terjajah selama 350 tahun. Itu salah…! Justru dalam rentang 350 tahun itu merupakan waktu susah-payah nya bagi para penjajah merebut jengkal demi jengkal tanah Indonesia. Sehingga secara definitif Indonesia dijajah Belanda hanyalah selama 40 tahun saja. Hal tersebut tertandai dengan adanya struktur administrasi satu garis mulai dari desa, kadipaten, provinsi hingga garis tertinggi adalah kerajaan Holland. Dan saat itu dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Itu pun tidak lama setelah Belanda dan Perancis ditaklukan Inggris dalam perang Eropa. Sehingga kekuasaan Kerajaan Belanda diambil alih ole sir Thomas Stamford Raffles dari kerajaan Inggris selama lima tahun.
            Fase sebuah peradaban terus bergulir dalam setiap negara beriring perubahan karakter manusianya. Begitupun Indonesia saat ini yang dituntut mampu mengisi kemerdekaan. Kapankah masa keemasan Indonesia? Banyak yang berpendapat, masa Soekarno atau Soeharto itulah era kejayaan NKRI. Itu salah…! Karena orde-lama dan orde-baru adalah masa peletakan pondasi negara. Sedangkan di  era reformasi ini merupakan masa transisi yang sangat vital dalam sebuah peradaban. Pasalnya, umur panjang sebuah negara ditentukan saat ia bisa dengan cepat menemukan kematangan bernegara di masa transisi. Apalagi Indonesia yang memiliki territorial begitu luas ditambah ragam perbedaan di dalamnya. Perbedaan suku, kawasan, kepercayaan bahkan perbedaan kepentingan. Boleh jadi masa keemasan Indonesia masih 50 atau 100 tahun ke depan. Hal ini mengingat negara kepulauan terbesar ini belum kaya pengalaman dalam rangka mengisi kemerdekaan. Buktinya saat ini dalam membangun di era reformasi saja masih banyak yang ‘memaksakan’ membanding-bandingkan dengan perjuangan para pahlawan kemerdekaan. Padahal sudah berbeda zaman, psikologis masyarakat bahkan berbeda kondisi perpolitikan pada kedua masa. Seharusnya Indonesia lebih banyak belajar justru ‘tehnik’ membangun a la sokarno, Soeharto ataupun pemimpin-pemimpin pada masa reformasi. Bahkan jangan sampai muncul arogansi meremehkan keberhasilan negara-negara jiran. Indonesia harus mau belajar dari mereka.

Menuju Kematangan Demokrasi
            Dalam pidatonya di hadapan ASEAN 100 Leadership Forum, Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan tiga agenda besar dalam rangka tranformasi bangsa. Satu, pendidikan, untuk memperbaiki sumber daya manusia. Kedua, tata kelola pemerintah yang baik dengan menyediakan administrasi yang responsif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dan terakhir, upaya untuk memperkokoh toleransi, keselarasan, dan kesatuan dalam negara yang majemuk. Tiga poin, pendidikan, good governance dan kesatuan bangsa.
image:skalanews.com
            Pasca kemerdekaan seolah Indonesia melakukan blunder dalam rangka bangkit dari keterpurukan. Yakni, begitu fokus melakukan perbaikan ekonomi dengan mengabaikan sektor pendidikan. Sehingga SDM yang membangun ekonomi bangsa ini bukanlah manusia yang berkarakter kuat. Para pendahulu tidak memulai dengan tradisi menghragai ilmu pengetahuan, menghormati para guru dan bergotong-royong memenuhi fasilitas pendidikan. Parahnya saat ini, karakter bangsa yang lemah sudah menjalar hingga ke struktur pemerintahan. KKN, tindak asusila dan kurang disiplin menjadi penyakit laten berpuluh-puluh tahun lamanya. Pemberantasan penyakit yang telah mengakar tidak bisa dimatikan dalam tempo 1 – 2 tahun. Dibutuhkan keseriusan dalam mendidik mulai dari generasi muda. Salah satu kesalahan paradigma para guru saat ini menyangka bahwa menanamkan karakter unggul hanya bisa dilakukan dengan teori semata. Padahal dibutuhkan kerja keras dalam memberikan tauladan, menyediakan lingkungan yang tepat bahkan asupan yang bernutrisi.
            Good governance, menjadi momok yang menakutkan bila tidak serius dibersihkan. Baik oknumnya ataupun tradisi kotor di dalamnya. Keterbukaan informasi publik salah satu ‘tehnik’ baru untuk menghakimi transparansi kinerja pejabat. Dan untungnya Indonesia menjadikan demokrasi (dan semngat demokratis tentunya) menjadi pilihan. Sebab iklim demokrasi membuat adanya check and balance antar lembaga pemerintahan. Hal tersebut yang membuat setiap institusi pemerintahan terus terpaksa belajar dari tahun ke tahunnya. Begitu keterbukaan informasi publik kian mempersempit ruang para koruptor melanggengkan kroni-kroninya.
            Persoalan pokok ketiga dari bangsa ini adalah spirit sebagai negara kesatuan. Selama ini pendahulu kita terjebak dalam perspektif yang salah. Mereka masih bernostalgia dengan cara lama, yakni prinsip "bangsa hanya bisa bersatu apabila ada serangan dari aggressor luar". Padahal itu adalah ‘mantra’ kuno yang dipakai oleh Jenderal Soedirman dkk. Akan tetapi dalam rangka mengisi pembangunan harus ada komitmen baru dalam melandasi alasan bersatunya bangsa ini. Tidak lain dan tidak bukan, persatuan NKRI didasarkan pada komitmen bersama untuk membangun manusia yang unggul. Dan hal ini sangat relevan mengingat SDM Indinesia yang tidak pernah memuncaki berbagai tolok ukur indek kualitas manusia. 36 juta jumlah pengangguran, pengakses situs porno nomor dua sedunia dan catatan buruk lainnya terkait kualitas manusia. maka dari itu, mewujudkan bangsa yang unggul adalah cita-cita bangsa yang jauh lebih unggul tinimbang gagasan negara merdeka Soekarno atau Kesejahteraan a la Soeharto. Dan kesemuanya kudu diperjuangkan dengan perbaikan pendidikan, good governance serta spirit kesatuan bangsa.



[1] Badawiyah istilah yang digunakan Ibn Khadun untuk menyebut fase awal suatu negara. Suatu fase saat para rakyat memiliki kebiasan orang-orang gurun, berperang dan piawai mempertahankan diri. Mereka mampu merebut kemerdekaan ataupun melepaskan diri sebagai separatis dari negara induk dengan usaha fisik.

*penulis adalah aktivis LPM Lensa Sunan Kalijaga
**bahan bacaan:
--> Negara-Negara di Nusantara karya:Samodra Wibawa
--> Indonesia Unggul karya: Susilo Bambang Yudhoyono
--> Demokrasi, Transisi dan Korupsi karya: Fahri Hamzah

Rekonstruksi Peradaban Indonesia Oleh: Teguh Estro*  image:wakalanusantara.com             Perjalanan 67 tahun Indonesia merdek...
Teguh Estro Sabtu, 22 September 2012
Teguh Indonesia

Reformasi dan Sisi yang Terlupa
Oleh: Teguh Estro*
image: http://foto.detik.com
    32 tahun rezim orde baru mewariskan luka panjang bagi bangsa ini. Bukan saja kerugian sebab korupsi besar-besaran, tetapi mental bangsa Indonesia turut jatuh di berbagai bidang. Sehingga krisis multidimensi menjadi hambatan terjal era trnasisi bangsa ini. Krisis moneter berdampak pada kehancuran ekonomi telah mengawali catatan di era reformasi. Nilai tukar rupiah terus melemah, harga SEMBAKO melilit rakyat bawah hingga ketakutan masyarakat akan kenaikan harga BBM. Begitupun ledakan-ledakan separatism di tiap daerah cukup mengkhawatirkan pengelolaan HANKAM di republik ini. Sebut saja Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Repubik Maluku Selatan (RMS). Tentu saja yang telah memisahkan diri provinsi Timor Leste yang menjadi pukulan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Hal yang jarang tersadari adalah mustahilnya ‘menyembuhkan’ krisis multidimensi ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Musababnya yakni begitu banyak dan kompleksnya musykilat yang dihadapi. Akan tetapi mental manusia yang memikul beban reformasi ini tengah rapuh di berbagai lapisan. Sangatlah tidak fair bila kita membandingkan kebangkitan Jepang dengan reformasi di Indonesia. Negeri ‘matahai terbit’ tersebut pernah mengalami kehancuran hebat dengan ledakan bom di Hiroshima dan Nagasaki (dua daerah lumbung pangan mereka). Jepang menyerah tanpa syarat dan bertekad membenahi bangsanya dengan cepat. Banyak pertanyaan kenapa Jepang begitu cepat mereform negerinya. Sedangkan Indonesia terus berpredikat sebagai negara berkembang sampai sekarang. Perlu ada pendekatan yang fair  terhadap kondisi bangsa Jepang sebelum ledakan tersebut. Mereka sebelumnya adalah imperialis di Asia. Tentu saja mental sebagai bangsa besar dan berpendidikan menjadi modal bagi mereka. Apalagi scope wilayah yang tidak seluas Indonesia serta persoalan internal yang tentu tidak serumit Indonesia pula. Sebaliknya kita tengok kondisi real Indonesia saat terjadi keterpurukan. Mental serta kultur yang rendah menghadapi persoalan njelimet dari Sabang sampai Merauke.

    Pendekatan dalam membaca reformasi haruslah sampai finish. Indonesia tengah menghadapi tekanan baik dari dalam maupun desakan kepentingan dari bangsa luar. Yang paling jelas adalah negara-negara pasifik barat yang begitu terasa kepentingan mereka kepada Indonesia. Sebut saja sang ‘polisi dunia’ Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, Australia, Rusia, China, Jepang, Korea Utara, Korea Selatan dan negara-negara ASEAN. Mereka semua jelas melihat bumi nusantara sebagai ‘sasaran empuk’ terhadap kepentinganya.
image: http://infopublik.kominfo.go.id

    Semisal Amerika Serikat yang memiliki sejuta kepentingan di Indonesia. Bukan saat ini saja, sejak masa Soekarno negeri Paman Sam itu telah mencengkeramkan pengaruhnya. Dalam hal kepentingan Ideologi, Amerika begitu aktif mendekati negara-negara yang tengah terjangkiti pengaruh komunis. Bahkan Partai Masyumi pernah mendapat bantuan dari Amerika US$ 1 Juta dalam rangka pemberantasan komunisme di Indonesia (pada masa presiden Eisenhower). Begitu juga dalam hal kepentingan HANKAM. Amerika begitu mengawasi perkembangan Nuklir di Korea. Bahkan dengan meningkatnya perhatian pemerintah China terhadap belanja militer membuat Amerika betul-betul membutuhkan Indonesia menjadi partner di kawasan Asia Pasifik. Bukankah berlepasnya negeri Lorosae (Timor Leste) sebagai salah satu hasrat Amerika hendak mendirikan pangkalan Militer di kawasan Asia Pasifik melalui tangan Australia.

    Pasca tragedi WTC 11 september 2011, kebijakan luar negeri Amerika Serikat drastis berubah. Mereka dengan 'tergopoh-gopoh' mencari kambing hitam yang kemudian teralamatkan kepada Osama bin Laden. Akan tetapi belakangan, negara super power tersebut kerap meng-general-isir terorisme yang distereotipkan pada Islam. Dan itu telah menjadi perspektif umum negara-negara barat. Sehingga dengan ‘rajin’nya jaringan teroris bergiat di Indonesia membuat Amerika kudu mengambil peran ‘lagi’.

    Selain Amerika, negara lain yang kerap banyak campur tangan dalam banyak urusan di Indnesia adalah Jepang. Pada tahun 1995, negeri para samurai ini menguasai 90% pasar otomotif di Indonesia (saya harus bilang “wow”) walaupun saat ini telah memiliki saingan baik dari korea, China, India maupun Eropa. Akan tetapi catatan besarnya penduduk Indonesia cukup menggiurkan bagi pengusaha otomotif mereka. Sehingga bergabung Jepang dalam organisasi APEC sejatinya tidak lain sebagai pencaharian bahan mentah dari Indonesia sekaligus pemasaran industri otomotif mereka.

    Pada masa reformasi ini, Indonesia dihadapkan pada dua persoalan sulit. Yakni kemelut di dalam negeri dan desakan kepentingan negara luar. Sehingga dibutuhkan beberapa ‘senjata’ untuk mengatasinya. Pertama, kapasitas mengelola perekonomian (terutama ekonomi mikro), kedua, mengakarnya jiwa persatuan dan ketiga, kemampuan pergaulan Internasional. Dan perwujudan ketiga hal tersebut secara mengakar diwujudkan dengan pendidikan. Sehingga bisa dimiliki oleh semua (tanpa terkecuali) oleh rakyat Indonesia khususnya di daerah.

Mengawali dari Pembenahan Pendidikan
    Bangsa besar adalah bangsa pembelajar. Kaisar Hirohito menjadikan para guru sebagai tiang pancang kebangkitan bangsa Jepang. Hal serupa yang dilakukan oleh Turki yang begitu prioritas dalam hal pendidikan. Di negeri separuh Eropa-separuh Asia tersebut orang-orang kaya wajib menyisihkan dana untuk pendidikan. Hanya saja ketika pembenahan pendidikan di Indonesia memang harus benar-benar lebih serius tinimbang negara-negara lainnya.

    Pertama, dalam menyukseskan reformasi harus meakukan diagnosa permasalahan secara detail dan kompleks. Dan salah satu inti dari keruwetan benang kusut ini adalah pendidikan. Bukan sekedar mendidik dalam lembaga formal, akan tetapi mendidik juga mengajarkan nilai moral kepada masyarakat.
    Kedua, masyarakat yang masih terbelakang di Indonesia begitu banyak jumlahnya. Sehingga peningkatan kualitas SDM bukanlah hal mudah yang bisa tuntas dalam hitungan 1 – 2 tahun. Tentu saja membutuhkan rencana bertahap dengan anggaran yang besar. Akan tetapi yang menjadi titik tekan adalah perasaan ‘sadar’ bahwa mendidik manusia Indonesia adalah hal yang terpenting dan segala-galanya. Apresiasi terhadap guru semsetinya menjadi tradisi bagi bangsa yang bercita-cita bangkit dari keterpurukan.


*penulis adalah Pegiat LPM Lensa Kalijaga
Bahan bacaan ;
1)    Reformasi Indonesia karya Widoyo Alfandi.
2)    Awakening the Giant (membangunkan negeri raksasa yang tertidur) karya Munawar Fuad.
3)    Transisi Menuju Indonesia Baru karya Sjahrir.
4)    NASIONAL.IS.ME karya Pandji Pragiwaksono

Reformasi dan Sisi yang Terlupa Oleh: Teguh Estro* image: http://foto.detik.com     32 tahun rezim orde baru mewariskan luka panjang ...
Teguh Estro Sabtu, 15 September 2012