Menu
Teguh Indonesia

oleh: Teguh Estro*


     BBM subsidi terus terwacanakan akan naik harga. Secara halus pemerintah mengatakan dengan bahasa ‘penyesuaian harga’ ataupun adjusment. Pasalnya kuota pemakaian yang terus melampaui kuota membuat APBN terus terbebani. Di sisi lain harga minyak dunia selalu fluktuatif karena krisis timur tengah yang belum kunjung reda. Hal ini membuat kondisi fiskal semakin tersudut menanggung beban subsidi.

    Apabila lifting minyak berkisar 982 ribu barel/hari dengan asumsi harga minyak dunia US$
106,34 per barel dan nilai tukar rupiah Rp.9500 per dollar AS. Maka, harga rata-rata minyak bisa mencapai kisaran Rp.9000 per liter. Dan artinya pemerintah menalangi sekitar Rp.4500 per-liternya. Apabila trend ini terus berlangsung maka akan terjadi pembengkakan defisit APBN. Subsidi APBN 2013 sangat fantastis yakni Rp 312,74 Triliun. Naik 29,4 % dari APBN-P 2012 Rp 245,1 Triliun. Dan inipun masih ada perkiraan menambah lagi sekitar 30 Triliun. Pasalnya ada lonjakan konsumsi BBM bersubsidi. Apabila tahun lalu pemakaian kuota berkisar 45 Kiloliter, maka tahun ini pemerintah memperkirakan aka nada tambahan 6 kiloliter lagi. Tentu saja semua pihak tidak menginginkan adanya jebol anggaran yang jor-joran. Entah kenapa kedisiplinan fiskal seolah menjadi hal yang sulit di negeri ini.
 
    Prof. Dr. Anwar Nasution pernah memberikan kata pengantar dalam buku yang ditulis oleh Dr. A.A Baramuli. SH. Judulnya Pemikiran tentang Pembangunan Ekonomi dan Politik Masa Orde Baru. Prof Anwar menyatakan sebagai berikut:

    
“ Salah satu senjata ampuh Pemerintah Orde Baru untuk dapat keluar kemelut ekonomi orde lama adalah dengan menegakkan disiplin fiskal. Tindakan pertama yang dilakukan oleh pemerintah Orde baru adalah untuk mengkonsolidasikan dan mengkoordinir anggaran pendapatan dan belanja berbagai departemen dan instansi pemerintah serta unit-unitnya yang diwarisi dari pemerintah sebelumnya…. Penegakkan disipin fiskal juga dilakukan secara vertical. Semua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) wajib melaporkan kegiatan dan anggarannya pada departemen keuangan yang bertindak sebagai wakil pemegang saham….”

   Sepertinya sejak Kementrian ekonomi ditangani oleh Sri Mulyani, seolah-olah kebijakan ekonomi sangat mendewa-dewakan kebijakan fiskal. Padahal jelas harus ada koordinasi moneter dan khususnya lagi koordinasi pada ekonomi riil. Persoalan BBM tidak bisa diatasi dengan perhitungan matematis belaka. Karena kejadian di lapangan  begitu banyak kendala yang kadang berada jauh diluar perkiraan APBN. Semisal jumlah kuota yang bisa saja bertambah sekian kiloliter lagi karena persoalan konektivitas daerah yang terhambat. Atau ada mafia minyak yang menimbun di kios-kios. Belum lagi ada lonjakan jumlah kendaraan bermotor baik roda dua ataupun roda empat yang berimbas pada pembengkakan penggunaan BBM Subsidi. pun dampak ekonomi global akibat isue perang Korea.

    Sebuah pertanyaan, apakah jebolnya ketahanan fiskal hanya persoalan subsidi BBM saja? Bisa iya, bisa tidak. Kondisi semacam ini memang karena sejak lama ada ketidakberesan manajemen fiskal negara ini. Begitu banyak pemborosan-pemborosan anggaran keuangan. Semisal pembangunan gedung DPR, biaya perjalanan dinas dengan personil yang berlebihan, biaya rapat-rapat yang sangat mahal dlsb.

   Apabila good & clean government menjadi usual di republik ini, maka biaya birokrasi juga bisa dipotong. Tentu saja harus ada kesiapan mental bagi para PNS karena lahan tambahan pendapatan mereka akan dipotong juga. Bila ditilik secara general ternyata persoalannya bukan karena dana subsidi BBM semata. Sehingga disayangkan bila akhir-akhir ini saat kondisi mepet barulah mengarahkan pada opsi-opsi yang ‘mengkambing-hitamkan’ BBM. 

    Terlebih lagi saat ini bangsa kita begitu mengandalkan minyak mentah impor yang tentu saja akan mengikut pada harga minyak dunia. Begitupun bila menilik pengelolaan sumur minyak di dalam negeri bahkan banyak dikelola oleh perusahaan asing jua. Pada era Abdurrahman Wahid saja ada 92% dari pengelola di dalam negeri adalah pihak asing. Memang beberapa perusahaan memberikan kontrak persenan sebanyak 85% untuk Indonesia dan 15 % untuk perusahaan asing. Akan tetapi di luar itu pemerintah juga harus membayar lagi dana recovery kepada perusahaan yang tak kalah mahal tergantung tingkat kesulitan eksplorasi dan ekspoitasi lahan. Tentu saja akan berbeda cerita bilamana sumur-sumur minyak di Indonesia bisa berdaulat. Sebagaimana bung Karno dahulu pernah bilang, “…Kita Simpan di tanah sendiri sampai para insinyur kita mampu menggarap sendiri…”

 
(Bila) BBM Naik, Inflasi Naik
    Indonesia adalah salah satu negara dengan harga energi termurah di dunia setelah Arab Saudi dan Venezuela. Tentu saja wajar kedua negara tersebut menjual harga energi secara terjangkau karena sebagai negara penghasil minyak. Sehingga mereka tidak membayar biaya impor, biaya transportasi bahkan biaya lifting. Karena di Indonesia masih terbatas perusahaan pengilangan yang mampu mengolah minyak mentah menjadi minyak siap pakai.

    Pada saat ini pemerintah mengalami dilemma yang sama-sama sulit. Apabila subsidi BBM dilanjutkan maka akan terjadi jebolnya anggaran. Di sisi lain, bila opsi menaikkan harga maka sudah bisa dipastikan akan terjadi kenaikan inflasi, bahkan bisa tembus hingga 7%. Hal ini belum lagi dikhawatirkan adanya inflasi ganda dikarenakan sebelumnya sudah terjadi inflasi dengan naiknya bahan pangan pokok seperti cabai dan bawang. Pro dan kontra terus terjadi ada yang sepakat ada yang menolaknya.

Seorang dosen Universitas Brawijaya Malang, Fadillah Putra mengatakan dalam bukunya Kebijakan Tidak untuk Publik ! ;

“Bila subsidi BBM terus diberlakukan maka Indonesia akan terancam krisis energi. Mismanajemen subsidi energy yang dilakukan pemerintah saat ini menghadapkan Indonesia pada ancaman krisis energy dalam waktu yang tak lama lagi. Pemerintah hanya mensubsidi BBM, akibatnya sumber energy di luar BBM tidak berkembang karena kalah secara harga…”
 
    Ada suatu wacana berbeda terkait alasan mengurangi subsidi BBM. Suatu kekhawatiran adanya krisis energi yang melanda dikarena kian minimnya cadangan energy minyak. Apabila dalam waktu singkat hendak mengalihkan dari BBM ke BBG (bahan bakar gas) akankah efektif? Mengingat Bahan bakar gas yang kalah bersaing harga dengan BBM. Begitupun secara penggunaan BBG masih kurang praktis. Padahal pengguna energi terbesar adalah kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat. Maka perlu diserius-kan rekayasa teknologi yang mengkonversikan gas menjadi praktis digunakan oleh kendaraan bermotor. Mengutip ucapan Fatih Birol, kepala ekonom International energy Agency, “ kita harus meninggalkan minyak sebelum minyak meninggalkan kita…”

    Dalam sebuah buku Nation in Trap, Ir Effendi Sirajuddin menuliskan mengenai kelangkaan minyak akhir-akhir ini :

    “ Minyak impor tidak tersedia dalam kurun 5 -10 tahun ke depan karena yang diperdagangkan  saat ini berkisar 40 juta barrel per hari dari 90 juta barrel perhari produksi dunia. sepuluh tahun ke depan konsumsi meningkat 20% atau 18 juta barel, produksi juga menurun  20% sehingga kekurangan pasokan dunia sekitar 36 juta barrel. Jadi dapat dikatakan sepuluh tahun ke depan minyak tidak tersedia lagi, namun gejalanya sudah terasa sekarang…”

    Melihat fenomena ini kalaupun harga BBM subsidi dinaikkan, maka salah satu pertimbangan yang terbesar adalah bukan karena kebutuhan keseimbangan neraca APBN an sich melainkan ada keterdesakan energi yang harus dikejar. Yakni kelangkaan minyak yang sudah di depan mata. Apabila rakyat Indonesia terus menerus disuguhi habit  pemborosan minyak maka peluang adanya energi alternatif kian buntu. Karena tentu saja rakyat akan memilih energi yang paling murah, dan BBG ke laut aje.

    Berikutnya inflasi. Tentu saja akan ada spekulasi apabila suatu kebijakan sudah dipastikan dihantui kemungkinan inflasi. Apabila BBM naik maka yang pasti Harga transportasi naik, Sembako melangit dan Listrik ikut merangkak tinggi. Akhirnya inflasi akan naik dan lagi-lagi dibutuhkan stimulus fiskal sebagai solusi jangka pendek. Ini baru pertimbangan level pertama. Berikutnya akan ada kelesuan ekonomi karena konektivitas perdagangan terhambat. Pegiat industri akan mengeluh karena adanya biaya produksi tambahan lantaran BBM naik.  Selanjutnya akan bermunculan demonstrasi dari berbagai pihak, bahkan boleh jadi terjadi PHK di berbagai perusahaan demi efisiensi produksi. Sehingga iklim investasi akan semakin lesu terutama di luar Jawa. Mutlak pemerintah akan bergantung pada program MP3EI (Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) saja dalam pembangunan ekonomi.

    Kesemuanya itu adalah kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dihadapi bilamana BBM benar-benar naik. Maka sedari sekarang biaya subsidi BBM yang mencapai 317,2 Triliun itu sebagian dialihkan untuk biaya kompensasi secara jujur sampai ke bawah. Sampai sekarang tingkat trust rakyat kepada pemerintah sangat kecil jika berhubungan dengan penyaluran dana rakyat. sangat bahaya jika biaya kompensasi ini sampai dikerjakan dengan paradigma proyek. kompensasi tersebut antara lain, kompensasi biaya transportasi agar semua armada tidak menaikkan tariff dan wajib diawasi. Kompensasi sembako bagi warga miskin selama satu tahun sampai inflasi pulih. Kompensasi listrik agar PLN bisa sehat dan tidak menaikkan TDL. Kompensasi pendidikan di daerah-daerah. Kompensasi infrastruktur dalam upaya menemukan memapankan energi gas dan energi alternatif lainnya. Akan tetapi yang dipertanyakan akankah pemerintah bisa menyalurkan secara bersih dan efektif dana kompensasi tersebut?

Ataukah Kepentingan Politik?
    Sudah jamak dimaklumi bahwa issue BBM sudah lekat sebagai komoditas politik. Rumusnya sederhana, bila kepentingan sudah didahulukan maka segala kemungkinan bisa dipertaruhkan. Termasuk salah satunya terkait kebijakan kenaikan harga minyak. Suasana politik yang memanas menjelang PEMILU 2014 membuat langkah menaikkan harga berisiko buat partai pemerintah.

    Partai Demokrat sudah jungkir balik mengalami prahara internalnya. Apabila kebijakan yang kurang populis ini diambil maka citra partai SBY kian merosot. Sepertinya presiden sengaja melempar issue  untuk mengukur partai mana saja yang sekiranya mendukung kebijakan kenaikan BBM dan parpol mana yang menolaknya. Apabila partai-partai besar dan mayoritas mendukung kenaikan BBM maka bisa dipastikan tahun ini akan segera diputuskan. Dan di tahu 2014 adalah masa yang sempurna bagi pemerintah untuk meraup citra atas nama pembagian dana kompensasi BBM kepada rakyat dengan anggaran APBN. Entah bernama BLT kah atau BLSM kah?

    Apabila di tahun ini tak kunjung naik, maka menaikkan harga di tahun 2014 akan sangat beresiko. Karena jeda waktu dengan PEMILU begitu singkat. Begitu juga di tahun 2015, pilihan menaikkan BBM akan menjadi pilihan yang sulit bagi presiden yang baru. Karena ia akan dicibir rakyat, karena baru menjabat sudah menyengsarakan dengan kenaikan BBM. Maka apabila pertimbangannya menggunakan nalar politik maka di tahun 2016 kemungkinan besar baru ada kenaikkan harga.

oleh: Teguh Estro*      BBM subsidi terus terwacanakan akan naik harga. Secara halus pemerintah mengatakan dengan bahasa ‘penyesuaia...
Teguh Estro Senin, 08 April 2013
Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro*



   Indonesia sebagai negara besar seharusnya menjadikan agenda pemerataan kesejahteraan sebagai program mercusuar. Patokannya bukan sekedar pemerataan material lintas pulau namun pemerataan perputaran uang bagi kalangan atas, menengan dan bawah. Hal tersebut akan mudah terjawab apabila konsen pembangunan negara ini semakin memberikan porsi lebih kepada rakyat bawah. Pasalnya pasca krisis moneter 1998 dan badai ekonomi akibat runtuhnya Lehman Brothers di Amerika lalu, seolah perhatian lebih condong pada persoalan ekonomi makro. Alhasil pengayoman konkret pada ekonomi tradisional kian termarginalkan.

      Kebanggaan atas prestasi ekonomi makro seharusnya diselingi dengan kehati-hatian. Tahun 2009 lalu dengan sumringah pemerintah mengkabarkan masuknya Indonesia dalam forum G-20. Bahkan di ASEAN ini barulah Indonesia yang terpilih di sana. Lantas apakah dengan includenya kita dalam ‘mega forum’ ini berdampak pada kesejahteraan 240 juta jiwa penduduk. Ingat, pengangguran masih belum teratasi dan itu harus digenjot dengan program yang menyentuh langsung pada person to person. Signifikansi program KUR (Kredit Usaha Rakyat), PNPM dan sebagainya seharusnya menjadi prioritas untuk dipertanyakan.


Meninggalkan IMF, Muncul MP3EI
    Saat krisis ’98 Indonesia begitu jor-joran menjalankan program-program yang direkomendasikan IMF. Iming-iming kecerahan menghadapi krisis seperti di Korea Selatan, Indonesia malah terpuruk dan berdampak pada kekeruhan politik. Harga sembako melambung menyebabkan perekonomian domestik lumpuh. Entahlah, apakah dalam hal ini IMF menjadi penyebabnya ataukah karena etos pejabat kita yang tidak disiplin terhadap program-program IMF. Karena di Korea Selatan yang mengikut IMF terbilang sukses, sedangkan Malaysia yang menolaknya malah lebih dahulu keluar dari krisis.

Sebagaimana dikatakan Pablo Bustelo dalam bukunya The Asian Financial Crises mengatakan bahwa:
     “….krisis ekonomi yang terjadi di Asia dan lebih khususnya di Indonesia ini tidak sekedar merupakan dampak dari fundamental ekonomi yang lemah yang terkait dengan tanggung jawab fiscal, seperti di Amerika latin pada awal 1980an, atau karena Foreign Financial Panic akibat pertumbuhan ekonomi yang lemah dikarenakan meningkatnya pengangguran seperti di Eropa Barat 1992 – 1993 atau di Meksiko tahun 1994 – 1995, tapi jauh lebih kompleks dari itu semua….”
       Pada 31 Oktober 1997 telah diperoleh kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan IMF secara resmi. Dan ada tiga hal penting yang dianjurkan IMF kepada Soeharto pada saat itu. Pertama, kerangka makro ekonomi yang kuat untuk mencapai penyesuaian dalam external current account. Kedua, Strategi komprehensif dalam merestrukturisasi sektor finansial. Ketiga, tindakan reformasi struktural yang berjangkauan luas untuk meningkatkan pemerintahan, termasuk di dalamnya kebijakan investasi, perdagangan internasional dan privatisasi.

    Ada sebuah kritik terhadap poin kedua mengenai restrukturasi finansial yang pada praktiknya adalah restrukturasi perbankan dan hutang perusahaan. Dalam melikuidasi bank, pemerintah masih menggunakan pisau politik untuk mengeksekusinya. Seperti usaha memerger 4 Bank, BDNI, BDN, BAPINDO dan BANK EXIM menjadi Bank Mandiri. Hal ini sangat kuat motif politiknya karena dianggap untuk menghapus kredit macet yang dilakukan kroni-kroni Soeharto. Dan pada 7 september 2000 Menko Ekuin Dr.Rizal Ramli menyepakati 10 kesepakatan dalam Letter Of Intent (LOI). Dan salah satunya juga disepakati upaya mempercepat restrukturisasi Bank dan perusahaan.

    Kebijakan tersebut mendapat perhatian dari Kwik Kian Gie yang merupakan Menko Ekuin sebelumnya. Ia memberikan catatan yang dianggapnya krusial dalam poin restrukturisasi debitor-debitor macet. Hal tersebut tertulis dalam bukunya Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar:

    “….Kita harus memahami bahwa restrukturisasi ini tidak mudah. Para debitor itu yakin bahwa hampir semua pejabat dapat dibeli. Maka walaupun sudah terang-terangan melanggar banyak ketentuan undang-undang yang terhitung pidana, mereka masih sangat kukuh dan gagah berani dalam sikap pendiriannya. Mengapa? Karena buktinya mereka tidak diapa-apakan…”

     Ini hanyalah sedikit ‘keganjilan’ program IMF yang kurang berhasil diterapkan di Indonesia. Karena sepertinya memang krisis moneter 1997 di Indonesia sudah bercampur aduk dengan akumulasi gejala krisis lainnya, terutama krisis mental manusia. Belumlah lama IMF hendak menjalankan program-programnya ada kasus besar yang sangat mengganggu pada saat itu. Yakni, kasus BLBI yang menyedot dana korupsi triliunan rupiah dan juga Skandal Bank Bali. Bahkan salah satu pengacara Prof Adnan Buyung Nasution yang menangani kasus skandal Bank Bali mengakui sendiri ketidakberesan klien-nya. Prof Adnan Buyung Nasution sang Advokat menceritakan tentang klien-nya Rudy Ramli yang tersandung kasus Bank Bali dalam bukunya Pahit Getir Merintis Demokrasi:

     ….Rudy Ramli ini keterlaluan, membuat langkah-langkah hukum yang ngawur. Dia bikin kronologi yang dibawa ke lawyer lain, disebarluaskan di luar pengetahuan kami, lawyer dia yang resmi….sementara kami sibuk membela dia di Mabes Polri mengenai perkara pelanggaran peraturan perbankan, di tempat lain dia bongkar sebagai perkara korupsi dengan adanya keterlibatan Golkar, BI, BPPN, Menkeu, Ketua DPA, Menteri BUMN, dll. Politis jadinya. Padahal buat saya perkara ini murni soal tagihan piutang Bank Bali….”
     ini salah satu contoh lemahnya mental SDM Indonesia dan terpaksa tertatih-tatih melawan krisis. Padahal sejak era Habibie, Gusdur dan Megawati Indonesia terus membuntut program-program yang ‘katanya hebat’ dari IMF. Barulah pada akhir Agustus 2003 pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengakhiri paket kerjasama khusus dengan IMF, meskipun setelah itu masih tetap menjalankan post-monitoring program.

     Tahun 2004 – 2009, Indonesia mengalami fluktuatif dan masa uji coba yang berlarut-larut. Terdapat pelbagai persoalan yang merupakan buntut dari kondisi ekonomi yang suram di masa sebelumnya. Pertama, memburuknya iklim investasi yang tidak lain adalah imbas dari akumulasi tragedi di tanah air. sebut saja kasus Bank Bali, skandal BLBI, referendum timor leste, bom Bali, tragedi Poso dan rentetan gerakan separatis. Hal itu membuat investor asing berpikir ulang untuk melihat peluang di Indonesia. Kedua, lemahnya kepastian hukum menyebabkan kesimpangsiuran wewenang pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan investasi. Ketiga, Kualitas SDM yang rendah dan kurangnya perhatian pembangunan infrastruktur.

    Dalam hal pemberdayaan UMKM pada masa itu terdapat ketimpangan kuantitas dan kualitas. Secara kuantitas UMKM bisa dikatakan bertumbuh namun secara produktivitasnya tidakah seimbang. Pengusaha lokal tidak memiliki kreativitas dan inovasi produk, mereka lebih mengandalkan proyek-proyek APBN untuk menghidupi perusahaan. Selanjutnya begitu bertele-tele dan panjangnya birokrasi perijinan membuat pengusaha lokal mengalami pembengkakan biaya produksi.

      Berikutnya wajah ketenagakerjaan terus dirundung meningkatnya jumlah pengangguran terbuka. Bahkan sebagian besar pengangguran di usia muda. Banyak pekerja yang bekerja di lahan yang kurang produktif. Pun demikian terkait upah yang masih begitu lebar margin antara pekerja formal dan informal. Oleh karenanya dalam masa ini pemerintah mencoba untuk menarik investasi pada industri-industri yang banyak menyerap tenaga kerja.


     Segala persoalan ini mulai ditarik benang merah terkait gejala-gejalanya. Dan akhirnya pada tahun 2011 Menko Ekonomi Ir Hatta Radjasa mencanangkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Hal tersebut dicanangkan dalam Peraturan Presiden No 32 Tahun 2011 (20 Mei 2011) untuk masa 2011 hingga 2025. Secara garis besar justru program MP3EI lebih menitikberatkan pada pemerataan pembangunan tinimbang pemulihan ekonomi makro.

      Pro kontra mulai muncul dari pihak yang optimis menatap MP3EI dengan serius menerapkannya sampai ke daerah-daerah. Ada yang mencibir dan menganggap program tersebut hanya sekedar wacana tanpa implementasi. Akan tetapi bila ditilik secara anggaran memang sangatlah fantastis, yakni Rp 3.775,9 Triliun. Menurut Tole Sutrisno dalam buku Hatta, Kerja dan Kinerja ia memberikan saran sebagai berikut:

     “…Pengalokasian anggaran yang begitu besar harus digunakan secara linear dan sebanding dengan harapan seluruh lapisan masyarakat. karena itu, dari awal pelaksanaanya, pemerintah pusat harus bersinergi dengan daerah. Jangan sampai Masterplan yang sudah disusun sedemikian rupa akhirnya mentah di jalan hanya karena kurangnya koordinasi antara pusat dan daerah…”
           Mengingat pentingnya koordinasi antara pusat dan daerah mungkin ada benarnya juga jika pemerintah membagi garapannya menjadi 6 koridor. Yakni, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-nusa Tenggara dan Papua-Kepulauan Maluku. Akan tetapi selama tahun 2011 hingga 2012 begitu terasa ketimpangan pembangunan yang masih terpusat di pulau Jawa saja. Sehingga rencananya di tahun 2013 ini pusat perhatian Hatta Radjasa dkk mulai melirik daerah lain. Selain karena memang kurangnya perhatian dari pemerintah pusat, ada dua penyebab lain sehingga koridor di luar jawa tersendat agaknya. Pertama, karena SDM yang belum responsif terhadap akselerasi pembangunan. Maksudnya masih menganggap program ini sebagai ladang untuk bagi-bagi proyek. Kedua, karena belum tertunjangi oleh infrastruktur yang mumpuni.

Persoalan Kunci Pengganjal MP3EI
       Ada berbagai kata kunci dalam program MP3EI ini. Antara lain adanya peluang ekonomi global yang kian cemerlang bagi Indonesia. Adanya peningkatan yang cepat perdagangan south to south, termasuk transaksi antara India-China-Indonesia. Akan tetapi hal ini perlu dikritisi apakah perdagangan Internasional memiliki dampak yang langsung bagi rakyat Indonesia. Mengingat kegiatan ekspor dan Impor hanyalah didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar dan kalangan elite saja. Sedangkan pasar tradisonal belum merasakan effect yang signifikan.

       Program MP3EI hendak memposisikan Indonesia dalam 6 konsentrasi. Yakni, basis ketahanan pangan dunia, pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan, dan sumber daya mineral serta pusat mobilitas logistik global. Dalam hal ini pemerintah masih saja mengandalkan jumlah penduduk yang besar sebagai potensi. Padahal sampai saat ini belum juga ada usaha untuk benar-benar menjadikannya potensi yang menghasikan. Tenaga kerja yang sulit bersaing sehingga berharga sangat murah. Berikutnya sudah sejak lama pemerintah merencanakan adanya ekspor jenis lain selain migas, atau secara umum mengurangi ekspor bahan mentah. Akan tetapi belum juga serius memasok alat-alat produksi yang bisa melakukan efisiensi produksi. Sehingga pengusaha kurang berani melakukan industri pengolahan produk mentah menjadi barang jadi.

    Secara geografis Indonesia merupakan wilayah laut yang paling strategis di dunia. sehingga seharusnya hal ini tidak dipandang remeh dan dikerjakan secara setengah-setengah. Negara ini dikelilingi laut-laut berpotensi ikan terbaik di dunia. sebut saja kawasan laut arafuru, lautan sulu, laut cina selatan, teluk benggala, laut Australia utara dll. Maka sangat diherankan apabila industri perikanan belum didesak untuk melakukan modernisasi. modernisasi berupa Meng-upgride kualitas pelabuhan-pelabuhan strategis serta memasok kapal-kapal besar untuk menambah produktivitas nelayan.

Oleh: Teguh Estro*    Indonesia sebagai negara besar seharusnya menjadikan agenda pemerataan kesejahteraan sebagai program mer...
Teguh Estro Jumat, 05 April 2013
Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro


    Entahlah, dari mana istilah ‘aktivis’ muncul untuk kali pertamanya. Setidaknya kian hari yang kita terima tinggallah makna konotatifnya saja. Oleh karenanya saya pula mengikut arti konotatif dari aktivis sebagai segolongan orang yang memperjuangkan suatu cita-cita sakral   yang bergerak berdasarkan pada metode dan konsep gerakan dari para perintisnya. Jadi pertanyaannya adakah aktivis yang tanpa tujuan? maka jawabnya tidak ada.

    Dalam literatur sejarah, aktivis di Indonesia kerap disemat sesuai masa ia bergerak. Ada yang menamai aktivis angkatan ‘45, angkatan ’66 sampai pada angkatan ’98. Akan tetapi terlepas dari periodisasi tersebut, ada suatu entitas yang sangat mendominasi hidupnya ruh aktivis di Indonesia, yakni gerakan mahasiswa. Semasa masih ada Belanda, para mahasiswa menginduk pada pemikir-pemikir bangsa di masanya. Sebutlah H.O.S Tjokroaminoto, ia mengilhami Soekarno hingga menjadi aktivis mahasiswa di Bandung (sekarang ITB). Berikutnya Haji Agus Salim yang juga menjadi ‘suhu’ para aktivis mahasiswa, menginspirasi ‘Hatta muda’. Jiwa pergerakan politik yang ada menjadikan para mahasiswa mengalami perpaduan ruang alam. Yakni ruang akademisi di satu sisi dan ruang pergolakan anti penjajah yang lebih mendominasi di sisi lain.

    Berangkatnya para pelajar berkuliah ke Belanda menjadi pemoles kematangan para aktivis mahasiswa menjadi aktivis pergerakan nasional. Berbelas-belas tahun menempa ilmu tentu memanfaatkan hidup di eropa untuk mempeajari bangsa-bangsa di Eropa. Bahkan tidak jarang Mohammad Hatta yang juga menjabat ketua Indistjhe Vereninging mengikuti banyak konferensi sosialis di negara-negara Eropa. Begitupun yang dilakukan Tan Malaka yang kenyang mengelilingi Moskow dan kota-kota besar lainnya. Mereka mengisi otak mereka agar berjiwa besar dan tidak canggung mendebatkan solusi kemerdekaan di hadapan Belanda saat kemudian hari.

    Sebagaimana yang diceritakan Dr. Deliar Noer terkait perjalanan Bung Hatta ke Belanda dalam bukunya Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa:

    “ Kematangan Hatta tambah bertumbuh ketika ia belajar di Belanda dari 1921 sampai 1932. Ia belajar dengan tekun di Handels Hogeschool (Sekolah Tinggi Dagang, kemudia economische Hogeschool, Sekolah Tinggi ekonomi) di Rotterdam, tetapi ia tidak semata-mata menjadi mahasiswa “kutu buku”. Ia juga aktif dalam organisasi Indische Vereniging (Perkumpulan Hindia, berdiri tahun 1908)…”

    Begitupun Bung Karno yang dirinya Mahasiswa tetapi jiwa kritis atas penjajahan selalu hidup dalam dirinya. Berikut kutipan percakapan Soekarno dan seorang professor yang dibukukan oleh Cindy Adams  dalam bukunya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat:

    Pada minggu wisuda aku mendiskusikan hal ini dengan rector magnificus dari Sekolah Teknik Tinggi ini, Profesor Ir. G. Klopper M.E.
    “Mengapa kami dijejali dengan pengetahuan-pengetahuan yang hanya berguna untuk mengekalkan dominasi koonialis terhadap kami?” tanyaku.
    “Sekolah Tenik Tinggi ini,” demikian ia menerangkan, “didirikan terutama untukmemajukan politik Den Haag di Hindia. Agar dapat mengikuti kecepatan ekspansi dan eksploitasi, pemerintah kami merasa perlu untuk mendidik lebih banyak insinyur dan pengawas berpengalaman”
    “Dengan kata lain, alasan kaum pribumi diijinkan memasuki perguruan tinggi ini pertama-tama untuk memungkinkan Belanda mengekalkan politik imperialism di sini?” tanyaku.
    “Ya, itu benar,” dia menjawab.

    Mereka para guru bangsa juga pelajar mahasiswa yang disiplin terhadap akademiknya. Tetapi siapa yang meragukan kecintaan bahkan pengorbanannya pada bangsa ini sejak masih di bangku kuliah. Hanya saja kemudian sejarah menampilkan tawaran model aktivis tidak hanya satu atau dua wajah saja. 


    Kita melihat aktivis tahun 60-an yang memiliki jargon anti PKI beserta derivasi komunisme di Indonesia. Bahkan tak jarang aktivis di masa itu di-cap sebagai perongrong orde lama sekaligus memuluskan jalan Soeharto menjadi pengganti Soekarno. Setidaknya aktivis-aktivis Islam yang berseberangan dengan komunisme mendapatkan tempat lapang dari pemerintah Soeharto.

    Pada cerita yang lain aktivis tahun 70-an yang megalami momentum MALARI. Merupakan masa naiknya popularitas aktivis merah yang menjadikan Ibnu Sutowo sebagai sosok kambing hitam. Dialah sang ‘raja minyak’ yang menikmati perselingkuhan BUMN dengan negara Jepang. Akhirnya di kemudian hari mereka menghadapi reepresivitas pada kemuncaknya saat menolak kunjungan Kaisar Jepang ke Indonesia. Gerakan anti Jepang di mana-mana mengingat berduyun-duyunnya produk otomotif Jepang menyerbu pasaran Indonesia. Akhirnya aktivis MALARI banyak yang menjadi korban pihak militer.

    Lain lagi jika membincangkan aktivis ’98 dengan setting peristiwa besar krisis global yang menhancurkan ekonomi di Asia. Kegelisahan terhadap represivitas Soharto kian memuncak bagi banyak kalangan. Dan pada detik-detik yang menentukan, Soeharto memutuskan mengundurkan diri sebagai presiden. Maka kerja-kerja gerakan mahasiswa seolah memiliki tema besar yakni Reformasi, What’s The Next?.

    Benang Merah Gerakan Mahasiswa
    Pada tanggal 22 Februari 2012 saya pada saat itu masih sebagai Kadep Kebijakan Publik KAMMI Daerah Kota Yogyakarta. Berkunjung ke LBH Yogyakarta yang disambut oleh ketuanya langsung Bang Irsyad Thamrin. Awalnya hendak membincangkan advokasi terhadap PKL di jalan Malioboro yang hendak terkena penertiban oleh pemerintah. Akan tetapi beliau justru memberikan wejangan yang masih terngiang hingga saat ini. Bahwasannya suatu Gerakan Mahasiswa jangan sampai terjebak pada rutinitas aktivisme saja. Mereka harus memiliki komitmen. Dan gerakan mahasiswa harus memiliki ‘konstituen’ gerakan yang jelas. Dan seharusnya rakyatah yang menjadi konstituen dari gerakan mahasiswa.

    Kita harus menemukan jati diri seorang aktivis tanpa harus terjebak pada wajah para aktivis masa lalu dari tahun ke tahun. Pertama aktivis harus meyakini kebenaran dari cita-cita luhurnya. Semisal aktivis Islam yang harus memiliki pandangan yang jelas terkait bagaimana Islam mampu menjadi solusi bagi semesta alam. Aktivis kiri yang kekeuh dengan masyarakat sosialis kendatipun itu utopis dan juga gerakan-gerakan lainnya.
     

   Kedua, Suatu gerakan mahasiswa harus memiliki konsep dan metode dalam melakukan pergerakannya. Atau dalam istilah dakwah Islam sering dinamakan manhaj. Dan dengan mengikuti tahap-demi tahap metode itu merupakan bentuk loyalitasnya pada gerakan dan cita-cita luhur yang hendak dibangunnya.
     

   Ketiga, Idealisme akan tetap ada biamana mewujud dalam diri pelakunya.

Oleh: Teguh Estro     Entahlah, dari mana istilah ‘aktivis’ muncul untuk kali pertamanya. Setidaknya kian hari yang kita terim...
Teguh Estro Kamis, 04 April 2013
Teguh Indonesia


Oleh: Teguh Estro
(Sambutan MILAD KAMMI ke-15 KAMDA Kota Yogyakarta)


“….Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan….”
----Pramoedya Anantatoer----

            Kesucian tekad barulah terpadamkan bilamana si empunya tekad melenceng dari tujuannya. Sekelompok muda bangsa yang menamakan diri mereka sebagai Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) benar-benar sehat pikirnya dalam satu tujuan bersama. Tujuan secara sadar itu yakni:
“Menjadi wadah perjuangan permanen yang akan melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara yang Islami.”

            15 tahun yang lalu berarti sama dengan 5.475 hari lamanya organisasi mahasiswa ini terus-menerus hidup bahkan menghidupi bangsa ini.           Dengan modal yakin setinggi-tingginya  bahwa akan ada suatu masa keemasan bangsa ini. Entah 10, 20 atau 30 tahun mendatang maka KAMMI sudah terlalu siap untuk leading membenahi polemik-polemik krusial bangsa ini pada masa itu.

            Rekan-rekan aktivis yang saya banggakan.
            Kenapa harus diwujudkan peringatan-peringatan semacam ini. Tidak lain untuk menyadarkan kita tentang tiga pertanyaan pokok. Pertama darimana organisasi ini berpijak, lalu kedua   sudah sampai mana KAMMI bertegak sekarang. Dan yang ketiga, kemana tujuan akhir dari pergerakan ini.

            Pertama, Darimana organisasi ini berpijak? Suatu pertanyaan yang membuat kita teringat lagi historis heroisme gerakan reformasi. Awalnya lahir dari rahim reformasi tahun 1998 yang penuh dengan gejolak perubahan. 29 Maret 1998 KAMMI menjadi entitas baru dengan massa yang memadati jalan-jalan. Tentu saja kondisi reformasi menjadikan lahirnya organisasi ini benar-benar untuk cita-cita besar, perbaikan Indonesia. Bangsa ini bukanlah daerah yang hanya seluas 685 km2 saja seperti negara tetangga, tapi 2780 kali lipat dari itu. Sehingga membenahi bangsa ini sungguh dibutuhkan manusia-manusia pilihan. Serta negara ini juga bukanlah wadah yang diisi oleh ratusan ribu jiwa saja seperti negara-negara lain, tetapi 240.000.000 jiwa. Oleh karenanya sangatlah mendesak bagi rakyat Indonesia akan lahirnya jiwa-jiwa pemimpin yang sekuat baja. Dan kita sudah sejak awal meyakini dengan berdisiplin mengikuti Manhaj kaderisasi KAMMI merupakan batu loncatan membentuk karakter kepemimpinan.

Kita harus optimis bahwa dari rahim wanita-wanita Indonesia masih mampu melahirkan Soekarno-Sokarno baru seperti kita. Jiwa patriot Tjoet Nyak Dien akan lahir kembali dari sini, dari ruangan ini. Tan Malaka muda, Muhammad Natsir yang relijius dan modern dan sosok pemimpin berkarakter lainnya. Itulah visi besar kita memperbaiki bangsa ini dengan melahirkan kader-kader berjiwa pemimpin. Jangan pernah beranggapan kader-kader aktivis yang ada di ruangan ini tidak akan menjadi siapa-siapa. Mereka inilah orang-orang yang akan memimpin esok hari. Tentu saja dengan menapaki tangga pesakitan demi pesakitan hidup yang mungkin 10 kali lebih sulit ketimbang pemimpin-pemimpin instan di luar sana. Sekali lagi inilah visi besar kita kawan-kawan.

Saudara-saudara aktivis KAMMI yang saya banggakan
Pertanyaan Kedua, Sudah sampai dimana perjalanan kita sekarang? Sudah 15 tahun wadah ini  berproses dan akan terus menanjak tebing-tebing terjal dengan percaya diri. Inilah kondisi dimana kader-kader muda menjadi jembatan penyambung antara ide pendahulu gerakan dengan ide perbaikan bangsa kekinian. Kondisi saat ini KAMMI tengah menghadapi fase pematangan dan uji publik terhadap visi besarnya. Masih relevankah visi tersebut saat ini, masihkah seorang pemimpin dibutuhkan sebagai pemecah solusi sengkarut persoalan bangsa. Sudah saatnya bagi ideolog-ideolog gerakan KAMMI bersatu paham kembali. Dan tentu saja dalam waktu dan ruang saat ini, perlu ada pematangan ideologi gerakan. Karena ideologi bukanlah hanya milik generasi awal saja. Oleh karenanya perlu ada pematangan dengan penambahan ide konstruktif dari ideolog-ideolog KAMMI di masa sekarang.

Selain pematangan saat ini perlu adanya uji publik terhadap kader-kader KAMMI di masa sebelumnya untuk mengambil peran menjadi pemimpin di setiap lini kehidupan. Di Provinsi NTB sudah ada mantan ketua KAMDA periode 98/99 yang bertarung di  PILKADA. Beliau bernama al-akh Suryadi Jaya Purnama dan yang menjadi wakilnya adalah al-akh Johan Rosihan yang merupakan ketua KAMDA NTB periode setelahnya. Inilah masa kader-kader KAMMI melakukan uji publik. Baik ataukah buruknya itu persoalan proses, karena kita memahami bahwa karakter pemimpin tidaklah mewujud dalam masa yang instan.

Kader-kader KAMMI yang saya cintai
Pertanyaan yang terakhir untuk kita renungkan dalam MILAD KAMMI yang ke-15 ini adalah apa tujuan akhir dari pergerakan ini? Apabila merujuk pada visi organisasi maka tertera secara tekstual yakni “mewujudkan bangsa dan negara yang Islami.” Sebuah cita-cita nan luhur yang harus digapai sekumpulan mahasiswa muslim ini.

Ada dua obyek dari visi ini yakni bangsa dan negara. Membenahi bangsa artinya menata kekurangan – kekurangan hidup bermasyarakat sesuai stratifikasi sosial masing-masing. Ada domain budaya, sosial, dan kemajemukan manusia yang perlu digarap dengan konsep yang benar. Maka tugas kita adalah mewujudkan kesemuanya itu menjadi Islami. Berikutnya dalam hal bernegara maknanya mengatur pemerintahan secara hierarkis. Kader KAMMI harus berkapabilitas secara matang untuk mendewasakan pemerintahan negara ini menjadi lebih Islami.

Apabila hendak ditarik benang merah, maka membenahi rakyat dan pemerintah menjadi Islami adalah tugas panjang kita. Dan untuk mewujudkan itu kita tidak akan mampu berjuang sendiri. KAMMI butuh entitas lainnya untuk bekerja sama. Baik itu pihak pemerintahan, militer, akademisi, media, tokoh agama dlsb. Sejak saat inilah, di organisasi inilah, kita harus membiasakan diri menjadi perekat berbagai elemen tersebut. Agar tujuan organisasi ini kian mewujud nyata. Memang perjuangan ini terasa sakit, tapi seiring waktu kita akan menikmati pesakitan itu untuk membangkitkan bangsa ini.

Demikianlah sambutan dari saya
Wassalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh

Oleh: Teguh Estro (Sambutan MILAD KAMMI ke-15 KAMDA Kota Yogyakarta) “….Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa ...
Teguh Estro Sabtu, 30 Maret 2013
Teguh Indonesia


oleh: Teguh Estro
(Khutbah Jum'at di Masjid Baitul Karim Maguwoharjo 29 Maret 2013)


Jama’ah Sholat Jum’at yang dirahmati Allah.
            Barokah di hari jumat ini semoga menghantarkan kita untuk senantiasa bersyukur pada Allah Swt. Karena setiap harinya kita selalu tersibukkan dengan rutinitas-rutinitas pekerjaan. Maka sudah sepantasnya hitungan detik yang kita gunakan dalam ibadah jumat ini, sebagai ekspresi syukur kepada Rabb. Karena ungkapan syukur memiliki makna kepasrahan pada Allah ‘azza wajalla. Kita lekas meyadari bahwa jatah umur yang masih ada sampai saat ini adalah pemberianNya semata. Kita mampu memahami kekuatan serta kecerdasan manusia selama ini tidak lain hanyalah karuniaNya. Itulah esensi syukur, mengembalikan semua yang kita punya pada Allah Swt.

            Selanjutnya Sholawat dan salam kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad Saw. Semoga kesemuanya kita yang berjama’ah di sini mendapatkan syafa’at di hari pembalasan nanti.

            Adapun judul dari khutbah jum’at hari ini adalah “Bersungguh-sungguh dalam berusaha”
            Setiap diri kita memiliki peran masing-masing dalam kehidupan. Dan peran tersebut sudah dan akan kita jalani dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. Apapun profesi kita tentu saja harus bermanfaat bagi manusia lainnya dan bertujuan untuk mendapatkan ridho Allah swt. Usaha yang mulia tidaklah lantas mudah begitu saja tertunaikan. Pasti ada kesulitan yang pelik pada setiap proses usaha manusia. Bahkan tidak jarang  kita merasa sudah tidak sanggup lagi menahan beban hidup ini. Akan tetapi sebagai umat Islam kita harus meyakini adanya pertolongan dari Allah Swt. Sadarilah bahwa kita bisa bertahan kerja keras sampai sejauh ini ini tidak lain karena bantuan kekuatan dari Sang Penguasa. Oleh karena itu sesulit apapun rintangan usaha kita, maka minta lah kepada Allah Swt untuk turut campur tangan mempermudah kerja-kerja kita.

            Hadirin Sidang Jum’at Rahimakumullah
            Dalam menyempurnakan kerja keras kita perlu adanya pemaknaan yang tidak setengah-setengah mengenai konsep kerja-keras dalam Islam. Apa yang dimaksud dengan ikhtiar, lalu kapankah manusia boleh bertawakal serta bagaimana peran do’a dalam segenap usaha manusia.

            Pertama, bagaimana sebaiknya sikap manusia dalam berikhtiar di dunia ini. Suatu ikhtiar kudu dibenahi dengan niat yang bersih untuk Allah Swt. Karena hal ini akan menentukan kedudukan amal tersebut akan memberikah barokah kepada kita atau tidak. Alangkah sangat disayangkan setelah kita berusaha sekeras-kerasnya akan tetapi tidak bernilai ibadah karena tidak menyertakan Allah Swt dalam niatnya. Kendatipun jabatan kita setinggi-tingginya, tetapi bila tidak menujukan niat kepada Allah, maka segalanya tidak dinilai ibadah. Karena yang Allah nilai itu hanyalah niat dari hati yang melakukan.

Artinya: Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr r.a, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia memandangg kepada hati kalian.” (HR Muslim)

            Selanjutnya, setelah benar niat kita maka usaha yang kita lakukan harus dikerjakan semaksimal mungkin. Seperti halnya bunda Siti Hajar berlari-lari sekuat tenaga mencari air untuk puteranya Ismail. Ia berlari mendaki dari satu bukit terjal ke bukit lainnya di tengah panas gurun. Sampai akhirnya Allah Swt memberikan pertolongannya saat kaki mungil Ismail menghentakkan tanah sampai memunculkan air dari perut bumi untuk diminum. Itula usaha yang maksimal. Sebagaimana juga usaha yang maksimal yang dilakukan oleh Asma’ binti Abu Bakar. Seorang wanita yang memaksakan kuat menaiki terjalnya bukit Tsur untuk menghantarkan bekal makanan kepada Ayahnya r.a dan Rasulullah Saw yang dikejar-kejar kafir Quraisy. Bahkan saat Asma’ binti Abu bakar hijrah ke madinah ia tengah dalam kondisi hamil tua menyusuri panas gurun pasir dari Mekkah ke Madinah. Dan sesampainya di Quba ia berjuang melahirkan anaknya dan barulah kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Itulah usaha yang dilakukan secara maksimal ditunjukkan oleh mereka yang niatnya tulus. Begitupun di zaman sekarang saat kita berupaya kuat melaksanakan usaha apapun harus secara maksimal. Keringat bercucuran bukan persoalan, tangan melepuh bahkan menyumbangkan darah dalam pekerjaan demi totalitas berikhtiar.

            Terkadang manusia kerap mengeluh apabila hanya menghadapi panas sedikit. Atau berhenti berusaha ketika baru mengalami sekali kegagalan. Enggan berupaya kuat saat mulai banyak yang menghujat. Mari kita belajar dari seorang Nabi yang begitu sabar dalam berusaha,  dialah nabi Nuh a.s. Beliau menyampaikan risalah tauhid selalu istiqomah kendatipun banyak yang mencemooh bahkan anak dan isterinya meninggalkannya. Beliau mendapatkan hinaan bukan satu atau dua kali saja, akan tetapi beratus-ratus tahun lamanya. Bayangkan bagaimana sungguh terguncang jiwa seorang manusia jika selama beratus-ratus tahun dikucilkan, dihina dan diperlakukan sebagai orang aneh. Akan tetapi beliau tetap tegar berusaha semaksimal mungkin. Walaupun beliau hanya mendapatkan 70 orang pengikut saja selama 900 tahun usianya. Tetapi beliau telah menunjukkan upaya paling totalitas dalam berusaha. Sehingga benarlah bila beberapa ahli sejarah memasukkan beliau sebagai golongan ‘ulul ‘azmi diantara Nabi-nabi yang lainnya. ‘Ulul Azmi artinya golongan yang memiliki tekad yang tinggi.

            Bagi kita seorang muslim berikhtiar bukan sekedar asal-asalan apalagi bermalas-malasan. Karena kita tidak hanya berhenti pada pencapaian dunia saja, ada tujuan jangka panjang yang hendak dicapai. Yakni tujuan mencari ridho Allah Swt. Itulah penggerak utama antusias kita dalam bekerja dalam usaha kesehariannya. Apalagi bila tertnam dalam diri ini sikap merasa diawasi oleh Allah Swt dalam setiap amal yang diperbuat. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam Surah at-Taubah: 105

“ Dan katakanlah, bekerjalah kamu. Maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin….” (Q.S at-Taubah: 105)

Kaum muslimin jama’ah Sholat Jumat rahimakumullah
            Selanjutnya setelah berusaha sekuat jiwa dan raga maka kita sebaiknya bertawakal kepada Allah Swt. Ingat, tawakal itu berserah diri kepada Allah setelah adanya usaha ataupun ikhtiar. Jika belum ada usaha apapun yg diperbuat maka tidak ada yang namanya tawakal. Makna dari berserah diri yakni menyerahkan apapun hasil dari yang dikerjakan kepada Rabb semesta alam. Sebagai umat Islam kita harus ridha terhadap apapun keputusan Allah. Tugas manusia hanyalah berusaha sekuat yang ia punya, dan Allah sajalah yang menentukan hasil. Dan Apapun keputusan tersebut kita wajib meyakini bahwa itulah yang terbaik untuk kita.

            Umat Islam tidak boleh mengingkari adanya campur tangan Alah Swt dalam setiap pekerjaan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Qarun dengan sombongnya menganggap semua harta kekayaannya hanyalah dari peras keringatnya sendiri. Hal tersebut menjadikan Allah murka dan menurunkan azab dengan menenggelamkan segala harta usahanya. Maka dari itu bertawakal adalah puncak dari segala proses kerja keras kita.

            Kemudian hadirin sekalian, kita juga dituntut untuk berdo’a kepada Sang Pencipta. Meminta pertolongan bisa dilakukan kapan saja bahkan sebaiknya di setiap proses usaha kita selalu diiringi dengan do’a. Karena dengan berdo’a bermakna mengakui kelemahan diri  di hadapan Allah Swt untuk kemudian meminta pertolongan kekuatan dari Yang Maha Kuat. Sungguh, hanya kekuatan dari Allah sajalah yang mampu membantu usaha-usaha kita.

oleh: Teguh Estro (Khutbah Jum'at di Masjid Baitul Karim Maguwoharjo 29 Maret 2013) Jama’ah Sholat Jum’at yang dirahmati All...
Teguh Estro
Teguh Indonesia


oleh: Teguh Estro


Setelah merdeka semakin bertambah tahun, hanyalah menambah kelahiran generasi-generasi lalai. Mereka yang sehabis mengusir penjajah, terusir juga rasa waspadanya. Mereka yang setiadanya Belanda, tiada pula Antusias perjuangannya. Dan mereka yang selepas memproklamasikan kemerdekaan justru dimaknai dengan proklamasi kelalaian dari sebentuk masalah-masalah yang akan timbul esok hari. Berikut akan tergambarkan senyatanya kelalaian segolongan besar manusia Indonesia hingga 67 tahun usianya ini.

Perihal pendidikan menjadilah berlarut-larut kualitas manusia Indonesia. Sistem pendidikan nasional berubah-ubah setiap tahunnya. Alhasil Hanya menghambur-hamburkan rupiah saja. Karena tidak lain ini hanyalah permainan proyek dari mafia-mafia pendidikan. Di sisi lain karena buramnya sistem nasional membuat sekolah-sekolah di daerah terlantarkan berjuang dengan sendirinya. Baik itu sekolah elite ataupun sekolah yang hampir ‘pailit’ kesemuanya mengalami kecemasan yang serupa. Inilah kelalaian manusia Indonesia yang paling fatal. Ketika wadah pendidikan tidak terbentengi dari praktik-praktik busuk para mafia. Seharusnya bagian ini dikelola oleh manusia-manusia terbaik di republik ini. Terbaik dalam hal patriotiknya, terbaik dalam hal kewaspadaannya serta terbaik dalam hal antusias mencari solusi. Kelalaian yang sistemik seperti ini pasti bermula dari kelalaian individu pada mulanya.

Urusan pemerintahan yang tidak bersih karena tercoreng oleh korupsi. Segala petinggi-petinggi politik terjerat kasus memalukan. Padahal partai politik selama ini menjadi salah satu wadah utama penghasil pemimpin-pemimpin bangsa. Salah satu kelemahan sistem politik saat ini adalah begitu tinggi melangitnya ongkos politik. Baik di tingkatan nasional begitu juga di daerah-daerah. Parpol-parpol besar saja yang memiliki kekayaan Triliunan rupiah masih bekerja ekstra memenuhi pundi-pundi partainya. Ada yang memang benar-benar berbisnis hebat namun ada pula yang menjadi tikus-tikus di pemerintahan, inilah yang paling dominan. Mengenai ini ada sebuah ungkapan menarik dari bang Fahri Hamzah dari bukunya Demokrasi Transisi Korupsi:

“….Akibat ganas korupsi bukan hanya menggerus anggaran pendidikan atau kesehatan rakyat, tetapi seluruh tata pemerintahan dan etos pejabatnya juga menjadi hancur….”

Dalam persoalan ekonomi nasional, kita sangat meremehkan pasar lokal. Aneh rasanya di negara yang banyak jumlah penduduknya justru menjadikan ekonomi makro sebagai indikator keberhasilan. Padahal selama ini kian tersohornya ekonomi makro kita justru tidak menyentuh persoalan mendasar terkait kesejahteraan rakyat. Justru ekonomi mikro yang menjadi penopang di kala krisis. semisal berbasis pada pasar-pasar rakyat, usaha-usaha mikro juga ranah entrepreneur malah bisa menampung lapangan kerja. Untuk menyindir hal ini Prof. Kwik Kian Gie mengatakan dalam bukunya Kebijakan Ekonomi Politik dan hilangnya Nalar:

“….Maka, yang dikejar hanyalah pertumbuhan ekonomi tanpa peduli apakah pertumbuhan itu lebih memperkaya yang sudah kaya dan lebih menyengsarakan yang sudah miskin….”


      Ini suatu kelalaian dalam membaca relasi kebijakan ekonomi terhadap peningkatan kemakmuran rakyat. baik itu kebijakan fiskal ataupun moneter tidaklah sepenuhnya dibaca secara hitam putih dengan angka-angka statistik. Ada pengaruh politik, kondisi psikologis pasar, keamanan suatu daerah dan yang terpenting adalah seberapa jauh keberpihakan pemerintah pada rakyat.

oleh: Teguh Estro Setelah merdeka semakin bertambah tahun, hanyalah menambah kelahiran generasi-generasi lalai. Mereka yang sehabis ...
Teguh Estro Sabtu, 23 Maret 2013
Teguh Indonesia

oleh:
Teguh Estro


Apabila ditilik masa jajahan lalu seakan begitu ramainya tokoh-tokoh bangsa yang diklaim oleh sejarah sebagai sosok pemimpin. Seolah kondisi badai penyiksaan menjadi akselerator yang membentuk karakter kebangsaan kaum muda menjadi lebih laju. Sebab kekurangan materi itulah menghantarkan aktivis-aktivis muda menjadi lebih cepat belajar, lekas dewasa dan mengerti sepaham-pahamnya arti keberanian. Kondisi itu menjadikan heroisme sebagai aktivitas lumrah di sana-sini.

Andaikata ada satu saja rakyat di era tanam paksa seketika hidup kembali lalu ia bercerita bagaimana pedihnya disiksa oleh bayaran-bayaran Van den Bosch. Tentulah manusia-manusia modern akan ramai-ramai berkumpul disekitarnya penuh decak kagum mengira ia pahlawan. Kesakitan-kesakitan di masa cultuurstelsel itu berlipat-lipat pedihnya. Sebagaimana Ir. Soekarno bercerita:

“….Cultuurstelsel ini sudah diakui jahatnya oleh hampir setiap kaum yang mengalaminya dan oleh kaum terpelajar yang mempelajari riwayatnya….“

Selanjutnya dalam buku Indonesia Menggugat, Soekarno Presiden pertama kalinya itu mengutip sebuah cerita dari Prof. Gronggrijp tentang kejamnya kondisi zaman tanam paksa:

“ orang laki-laki dari beberapa desa dipaksa mengerjakan kebun-kebun nila. Tujuh bulan lamanya penuh, jauh dari rumahnya; dan selama itu mereka harus mencari makanan sendiri…… seringkali terjadi perempuan yang hamil melahirkan anak waktu sedang bekerja keras…. Pukulan dengan pentung dan dengan cambuk terjadi setiap hari dan di berbagai lading nila biasanya orang melihat tiang-tiang untuk menyiksa orang…”

Inilah wong cilik yang mengalami pesakitan di masa lalu. Sehebat-hebatnya pesakitan fisik saat ini tidaklah lebih pedih dibanding cambuk-cambuk Belanda di kebun nila. Sehingga wajarlah pada masa itu heroisme menjadi jiwa yang lumrah. Karena siapapun yang tak berbahan bakar heroisme di dalam dirinya tamatlah ia, lebih parahnya tamatlah jiwanya menjadi ‘kacung-kacung’ penjajah meludahi rakyatnya sendiri. Hanya ada dua pilihan hidup ketika itu. Pertama hidupnya jiwa dengan berjuang ataukah matinya jiwa karena kepengecutan. Tidak ada pilihan ruang abu-abu atau loyalitas nan separuh-separuh seperti dunia Indonesia saat ini.

Kisah-kisah ini pastinya membuat manusia-manusia modern mencibir ketidak-adilan. Mulailah membanding-bandingkan keuntungan bilamana hidup di masa itu. Betapa kurang nyamannya menjalani masa modern diliputi kemunafikan, kepengecutan pada bangsa asing serta kelunturan spirit heroisme. Kenapa kita semua tidak hidup saja pada masa cultuurstelsel?

Jawaban yang tepat untuk pertanyaan atau keresahan itu tidak lain dengan membuka lebar-lebar kelopak matanya agar betul-betul lekas melihat kebenaran yang senyatanya. Kelemahan setiap kaum yang labil yakni tidak bisa memilah manakah masalah yang paling utama. Kaum yang labil justru menganggap segala hal menjadi masalah. Padahal senyatanya satu saja dari sekian banyak kenampakan itu yang berupa masalah. Selebihnya lagi dari semua bagian itu bisa jadi merupakan karunia besar, potensi cemerlang bahkan barokah kesempurnaan.

Satu saja yang senyatanya kunci berhasil kehidupan pemimpin di masa lampau. Mereka berjuang dalam kondisi yang memaksa jiwa serta fisik untuk menjadi pejuang. Sejenak terawangilah bagaimana Jenderal Soeharto saat masih sebagai pejuang penuh keterdesakan perang bernama “Serangan Umum Satu Maret”. Ia sungguh gagah dipuja semangat patriotiknya. Namun saat ‘keterdesakan’ itu lenyap, menjadilah ia penguasa yang serupa Belanda. Oleh karenanya harga suatu keterdesakan sangatlah mahal rupanya. Sikap merasa terdesak akan menghasilkan sikap antusias mencari solusi, kewaspadaan dan disiplin.

Ada dua muara dari manusia yang mengalami atau yang mempelajari filosofi penjajahan. Pertama, mereka yang relung jiwanya terdominasi oleh kelalaian. Baginya penjajahan itu murni suatu penyiksaan semata. Maka yang ia pikirkan hanyalah suatu cara agar terbebas dari belenggu dalam masa singkat. Sepeninggal itu ia hidup biasa lagi menjadi manusia rata-rata kembali. Sekaligus ditambah pula rasa trauma hidupnya. Bertmbah pula sikap inferiornya bilamana melihat kaum asing. Itulah kemunduran karakter bangsa. Dan parahnya itu menjadi perbincangannya kepada anak-anaknya turun temurun. Inilah kemunduran yang dikarenakan penjajahan. Sebagaimana Ir. Soekarno menuliskan dalam bukunya Indonesia Merdeka ;

“….Suatu kemunduran yang karena imperialisme, suatu kemunduran bikinan, suatu kemunduran ‘cekokan’, suatu kemunduran injeksian yang berabad-abad….”

Kedua, mereka yang pikiran serta jiwanya cerdas. Golongan ini menjadikan keterdesakan sebagai momentum mempercepat terciptanya karakter hidup. Mereka hidup dalam kondisi pesakitan yang berlipat-lipat daripada biasanya. Mereka berliat-lipat menampakkan antusias mencari solusi dalam tempo secepatnya. Akan tetapi tidak hanya berhenti sampai disana. Ruang dan waktu saat tersebut mereka pelajari sejadi-jadinya. Mereka mencari titik sebab suatu antusias dapat muncul. yakni saat adanya kejelasan sedetail-detailnya tentang tujuan sebuah perjuangan. Dan teriring juga adanya target waktu yang terbatas untuk pecahkan masalah. Sehingga golongan semacam ini bisa tetap gagah hidupnya, baik itu di masa penjajahan ataupun tidak sama sekali. Bahkan sanggup merekayasa suatu keterdesakan diri, sehingga mampu menghidupkan antusiasme ‘menggila’ kapan saja mereka mau.

oleh: Teguh Estro Apabila ditilik masa jajahan lalu seakan begitu ramainya tokoh-tokoh bangsa yang diklaim oleh sejarah sebagai s...
Teguh Estro Jumat, 22 Maret 2013
Teguh Indonesia



(Sambutan Dalam Agenda Simposium KAMMI Daerah)
Oleh: Teguh Estro


Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh
            Rekan-rekan Aktivis dan Konseptor Gerakan KAMMI yang berbahagia.
            Kita semua di sini tanpa terkecuali laiknya sebuah motor serangan nan siap menggemparkan kesunyian intelektual selama ini. Kemudian masihkah kita mencari-cari alasan untuk diam, padahal lantangnya suara kita begitu diperlukan bangsa ini. Maka hari ini adalah hari dimana kita terbebas mengoyak langit dengan gugatan-gugatan kita sebagai kaum muda. Kendati masyarakat sekitar banyak yang gengsi mendengarnya, mencibir sepenuh hati gagasan-gagasan kita bahkan memusuhi ama-amal kita.

            Dalam simposium ini saya hendak mengajak segenap konseptor-konseptor KAMMI beserta keberanianya sekaligus. Mari kita melihat sedekat-dekatnya apa yang menjadi target atawa Goal perbincangan ini. Bukankah dalam visi KAMMI dicantumkan kalimat yang sangat dahsyat sekaligus menjadi tujuan dari gerakan ini. “Dalam Rangka Mewujudkan Bangsa dan Negara yang Islami”. Bangsa dan Negara yang kita lahir di atasnya, kita bersedih-suka bersamanya, semestinya hal ini selalu menjadi perhatian utama setiap kader-kader KAMMI.

            Sahabat-sahabat seperjuangan…..
            Setiap zaman memiliki caranya tersendiri dalam mencintai bangsa dan negaranya. Meski kita tidak hidup lagi dalam suasana perang fisik, tetapi justru pada saat sesudah kemerdekaan ini bermakna lebh pelik lagi. Sebagaimana Soekarno sudah mewanti-wanti “Perjuanganku lebih mudah karena melawan panjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri”. Dan bapak proklamtor ini tidak main-main berpesan pada generasi penerus. Hingga saat inipun masih dan akan terus terasa imperialisme dan kapitalisme gaya baru menggurita di nusantara. Seperti dalam bahasanya Prof Amien Rais dalam bukunya Selamatkan Indonesia, “Bangsa ini dikuasi oleh Korporat-korporat asing. Bangsa ini adalah negara Korporatokrasi”. Beliau menambahkan korporatokrasi sebagai sebuah sistem atau mesin kekuasaan yang bertujuan untuk mengontrol ekonomi dan politik global yang memiliki 7 unsur: yaitu, korporasi-korporasi besar, kekuatanpolitik pemerintahan tertentu terutama Amerika dan kaki tangannya, Perbankan Internasional, kekuatan militer, media massa, kaum intelektual yang dikooptasi, dan terakhir yang tidak kalah penting adalah elite nasional negara-negara berkembang yang bermental inlander, komprador atau pelayan. Begitula Prof Amien Rais membungkus unsur-unsur suatu negara korporatokarasi yang kesemuanya sudah terdeteksi di dalam negara ini.

Rekan-rekan aktivis dan konseptor gerakan yang saya banggakan….
Mungkin secara awam kita masih bereuforia atas digembar-gemborkannya kemeriahan demokrasi di Indonesia. Bahkan beberapa kala, Negara ini kerap disematkan sebagai negara demokrasi terbesar setelah Amerika dan India. Padahal itu hanyalah demokrasi secara tampak kulit atau dalam bahasa akademik dikatakan demokrasi prosedural. Terlihat suatu pemilihan umum yang Nampak demokratis di sana-sini. Seolah-olah tidak pernah terjadi deal-deal politik antara calon penguasa dengan korporat-korporat asing. Seakan-akan tidak pernah ada bagi-bagi jatah antar partai politik sebelum dan sesudah pemilihan umum. Masihkah kita menutup mata akan hilangnya subtansi demokrasi. Padahal kata kunci dari kata demokrasi adalah kata “rakyat”. suatu pemerintahan “Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.

Bukan sahaja di pentas politik nasional, wabah ini terus meng-endemik di daerah-daerah. Sudah jamak terlihat oleh para aktivis-aktivis akan kejadian di balik layar perpolitikan daerah di seluruh Indonesia. Kepala daerah memperdagangkan aset-aset daerah. Wilayah tambang menjadi komoditas kampanye kepada korporat-korporat kapitalis. Daerah hutan-hutan lindung kian gila dialihfungsikan menjadi kawasan perkebunan diperuntukkan bagi cukong-cukong tak berperasaan. Saudara-saudara! kenapa kita masih diam melihat kesemuanya. Di Kalimantan, para Orang Utan turun protes di perkebunan sawit. Dan nyawa mereka menjadi bulan-bulanan algojo-algojo para cukong. Di Sumatera harimau-harimau turun gunung menuntut hak-hak mereka. Harusnya kita yang hadir di sini yang masih bisa bicara lantang serta mampu bergerak cepat, seyogyanya menjadi pemecah kebuntuan masalah-masalah ini.


Kawan-kawanku para penerus pemimpin-pemimpin bangsa.
Pada awalnya kekhawatiran dari adanya sentralisasi kekuasaan pada masa Soeharto yakni akan mengokohnya kediktatoran pemerintah pusat. Sehingga dengan berbagai macam pertimbangan di sana-sini menjadilah pasca reformasi adanya otonomi daerah. Suatu daerah memiliki otonomi mengeola aset-aset daerahnya. Tentu saja ini akan berujung manis jika dieksekusi oleh manusi-manusia berwatak seperti nabi Yusuf a.s. Pemimpin yang memiliki kapabilitas, megutamakan rakyat serta takut pada Tuhan. Akan tetapi kini kondisi yang terjadi adalah muncul pemimpin-pemimpin daerah yang Gagap dalam memimpin. Sehingga aset daerah yang semsetinya diperuntukkan bagi masyarakat malah disimpangkan ke meja-meja yang lain.

Dengan kondisi ini, maka secara mutlak benar-benar dibutuhkan suatu kontrol terhadap pemimpin-peminpin daerah. Baik itu eksekutif berupa Bupati/walikota, legisatif yakni DPRD, Yudikatif berbentuk kejaksaan, Pimpinan keamanan dan pimpina daerah lainnya. Maka munculnya KAMMI di daerah bukan tanpa alasan. Kita memiliki dalil sekuat-kuatnya untuk berkontribusi pada bangsa ini. Maka dari itu dalam simposium daerah kali ini, harapannya mampu menghasilkan rumusan gagasan. Gagasan yang lama tersimpan dalam brankas-brankas jiwa mahasiswa. Rekan-rekan diharapkan mampu berbagi pemikiran terhebatnya untuk menambah laju dari gerak organisasi ini.
Selamat menyampaikan gagasan, Selamat mendengarkan dan Selamat Pagi.
Wassalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh

(Sambutan Dalam Agenda Simposium KAMMI Daerah) Oleh: Teguh Estro Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh             Rekan...
Teguh Estro Rabu, 13 Maret 2013