Menu
Teguh Indonesia

Tewaskan Khadafi, AMerika Tambah Musuh

Oleh: Teguh Estro*


Kolonel Khadafi tewas mengenaskan. Setelah 42 tahun berkuasa, akhirnya penguasa tiran ini ‘keok’ juga di kota kelahiranya. Bukan persoalan ia telah mati atau masih hidup. Tuhan Maha Kuasa, bisa saja Khadafi dihidupkan lagi atas kehendakNya. Akan tetapi kematian ‘Raja Afrika’ itu harus dibayar terlalu mahal oleh sekutu. Ibarat perjudian, Amerika masih harus berspekulasi pasca pemerintahan transisi ini. Siapa yang benar-benar bisa dijadikan boneka ‘pinokio’ disana. Belum lagi konsekuensi dari penyerangan itu yang membuat banyak pihak mengecam.

Pasca diputuskannya operasi penangkapan Khadafi oleh Dewan Keamanan PBB, tanpa berlama-lama NATO segera beraksi. Walaupun kenyataannya tidak semua anggota organisasi militer sekutu ini sepakat menyerang. Dari 28 negara anggota NATO hanya 7 negara saja yang ambil bagian. Setidaknya telah sedari lama, konflik internal NATO kian tampak pasca ribut-ribut kepemilikan senjata nuklir beberapa tahun lalu. Akan tetapi keputusan ngotot Menhan Perancis Gerard Longuet untuk memimpin operasi membuat negara lain tak bisa berkata banyak. kendati ada beberapa negara besar yang menolak adanya campur tangan NATO pada urusan dalam negeri Libya. Tercatat semisal Rusia, Jerman, Iran dan China sampai detik ini tetap mengutuk serangan NATO tersebut.

Jauh sebelum penyerangan terhadap Moammar Khadafi, Amerika telah lama melalui keputusan-keputusan dilematis. Ketakutan-ketakutan pemerintah gedung putih bisa terlihat dengan mudah. Masih ingat, bagaimana Amerika begitu bersuara keras terhadap negara yang pemilik senjata pemusnah massal. Lalu United States kembali terpojok dengan guncangan ekonomi hingga ia harus bersitegang dengan negara China. Dan kini gelombang penolakan dari pihak-pihak anti wall street turut membuat gugup Obama. Sejumlah demonstran di beberapa belahan dunia menolak dominasi perbankan karena telah menjadi kepanjangan tangan para kapitalis. Akan tetapi Amerika tetaplah Amerika. Negara yang dipimpin oleh anak menteng itu selalu memiliki senjata terakhir jika terdesak. Apalagi jika bukan atas nama demokrasi, kebebasan HAM dan ancaman militernya.

Sejenak kita kembali kepada Libya yang kini menghadapi transisi kepemimpinan. Meskipun NATO didesak untuk segera keluar dari negerinya Omar Mochtar itu, tetap saja mereka kekeuh menetap sampai kondisi benar-benar ‘aman’. Tentu saja maksudnya aman untuk menanamkan pengaruh mereka pada pemimpin anyar di sana. Hal ini karena negeri paman sam itu tidak akan pernah lupa pada tujuan utamanya, yakni minyak.

Libya negeri yang kaya akan minyak. Bahkan kualitas minyak di sana merupakan kualitas unggul. Sehingga tidak heran hanya bermodalkan ‘emas hitam’ tersebut, Libya mampu memiliki pendapatan perkapita hingga 12.000 US. Dollar. Bandingkan dengan Indonesia yang cuma memiliki pendapatan perkapita seperempatnya saja. Sehingga jelas sumber daya energi Libya tersebut begitu menggiurkan bagi Obama yang sangat butuh cadangan bahan bakar.

Kerakusan Amerika inilah yang bisa menyebabkan banyak spekulasi. Jika United States bertindak gegabah, maka mereka akan menjadi musuh bersama rakyat Libya dalam waktu yang tidak lama. Sehingga dengan adanya demokratisasi paska transisi ini, akan menjadi upaya yang panjang dan melelahkan bagi Amerika untuk menjalankan misi oil powering.


*Penulis sedang menulis

Tidak ada komentar