Menu
Teguh Indonesia

Redemarkasi, Menyoal Patokan dan Pasokan

Oleh: Teguh Estro*


Indonesia memiliki 92 pulau yang berbatasan dengan negara-negara jiran. Sehingga tidak heran bila sengketa perbatasan kerap terjadi. Mulai dari persoalan nelayan sampai tarik-menarik kepemilikan pulau. Dan beberapa waktu lalu kejadian tragis di Pontianak, sampai-sampai warga perbatasan mengancam hendak angkat tiang untuk bendera Malaysia. Tidak lain karena melihat rumput tetangga lebih menarik tinimbang lumpur di negeri sendiri.

    Selama ini kita selalu bangga jika melihat luasnya wilayah Indonesia yang memiliki sekitar 17.500 pulau. Karena memang secara deliniasi seolah tidak ada keganjilan. Akan tetapi ketika ditilik secara real, Demarkasi di banyak pulau begitu parah. Miris sekali melihat batas patok negara tak ubahnya ‘makam leluhur’. Dan dengan mudah bisa digeser atau malah bisa saja dibawa pulang oleh para pesinggah alas. Bukan sekedar itu, kesenjangan kesejahteraan antara warga perbatasan dan negara tetangga masih terbilang njomplang.

Kejadian nyata di Desa Mungguk Gelombang, Kecamatan Ketungau Tengah, Kabupaten Sintang beberapa kilometer dari Pontianak. Mereka harus berbagi dan berjuang ekstra untuk mencari pasokan kebutuhan pokok dari kabupaten. Belum lagi jalan yang berupa kubangan lumpur dan tanpa penerangan membuat anak-anak sekolah kesulitan untuk mengakses pendidikan di kabupaten. Dan di malam hari mereka hanya menggunakan genset sekedarnya. Dan bila bensin genset habis, maka kondisi akan bertambah romantis dengan lilin-lilin kecil.

Terbengkalainya daerah perbatasan setidaknya menjadi cermin pembangunan yang hanya tersentral di wilayah-wilayah tertentu saja. Dan sejak berlakunya otonomi daerah, seolah menjadi dalih pemerintah pusat untuk melepas tanggung jawab kesejahteraan pada wilayah perbatasan. Padahal sejatinya setiap daerah yang selama ini tidak pernah tersorot pemerintah merupakan aset-aset yang tertidur. Sehingga bukan sekedar pembenahan patok negara, akan tetapi pasokan kebutuhan juga disuplai ke sana.


Membangun dengan Membangunkan Pulau Indonesia

Bumi pertiwi merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah laut 7.900.000 km, empat kali lebih luas daripada daratannya. Namun anehnya sampai saat ini pembangunan masih berkarakter darat. Sehingga tidak sedikit yang menganggap laut-laut di Indonesia hanyalah pemisah antar pulau. Padahal hakikatnya selat dan laut berperan sebagai penghubung antar pulau. Selanjutnya terkait wawasan kelautan seolah dipendam begitu saja. Bukankah sejarah kerajaan nusantara pada masa lalu adalah sejarah mengenai perdagangan laut dan armada laut. Kini Indonesia sudah tercerabut dari akar sejarahnya. Sehingga wajar saja jika perhatian untuk melakukan pemberdayaan pulau dan perairan masih asal-asalan.

Semisal pelabuhan di Indonesia yang terbengkalai dan tidak memenuhi standar internasional. Padahal banyak pantai di Indonesia yang memiiki pelabuhan dengan penghasilan ikan dalam partai besar. Akan tetapi karena pelabuhannya belum memnuhi standar internasional, mereka belum diperbolehkan melakukan ekspor langsung ke luar negeri. Sehingga tidak jarang para eksportir ikan dibuat jengkel lantaran biaya ekspor harus ditambah dana transit di pelabuhan Singapura. Dan dalam setahun saja, banyak ekspor laut Indonesia menghabiskan uang triliun rupiah hanya untuk membayar upah transit di pelabuhan negara lain.

Berbincang mengenai negara kepulauan, maka tidak pernah lepas dari persoalan pulau itu sendiri. Seperti dikatakan sebelumnya, sejatinya pulau-pulau di Indonesia ialah aset yang tertidur. Dari sekitar 17.500 pulau, tidak sampai 2000 pulau yang telah memiliki nama. Dan yang berpenghuni hanya beberapa ratus saja. Jika hendak memandang jauh ke depan, maka peluang besar ada pada pulau-pulau yang tidak tergarap itu. Sehingga penting dengan adanya pemetaan potensi pulau-pulau di Indonesia. Ada beberapa pulau yang memiliki potensi wisata, potensi perikanan bahkan sampai potensi energi.

*Penulis harus menulis

Tidak ada komentar