Menu
Teguh Indonesia

'Masih' Ekspor Bahan Mentah

Oleh: Teguh Estro*


            Nilai ekspor industri Indonesia sempat jeblok pada tahun 2009 yang hanya berkisar US $ 62 miliar. Lalu melonjak sampai US$ 82 miliar pada tahun 2010. Dan diprediksi di tahun 2011 ini akan terus meninggi hingga US$ 97 miliar. Meningkatnya nilai ekspor ini menjadi angin segar di dunia perdagangan dalam negeri. Dan harapannya para pegiat industri lokal terus menemukan kreatiftas baru. Terutama mengubah tradisi ekspor bahan mentah menuju ekspor bahan olahan bahkan berbentuk barang jadi.
            Sejak masa kerajaan-kerajaan nusantara bahkan, tradisi ekspor bahan mentah sudah terjadi. Sebut saja kerajaan Ternate dan Tidore yang menjadi lumbung Cengkih. Bahkan awalnya nenek moyang kita tidak mengetahui nilai mahal cengkih yang tumbuh liar di tanah surga ini. Barulah setelah bangsa Portugis datang, mereka terkejut ternyata cengkih menjadi dagangan mahal di Eropa. Begitupun kerajaan Sriwijaya yang sukses dengan komoditi Lada. Bahkan puncaknya pada tahun 1670 telah memproduksi Lada hingga 8000 ton.
            Di era sekarang ini, Indonesia ternyata masih mewarisi tradisi ekspor bahan mentah. Komoditi andalan negeri ini adalah minyak dan gas (migas). Selebihnya di dominasi oleh kelapa sawit, karet sampai komoditi dari hutan baik kayu maupun non kayu. Hampir sebagian besar barang jualan bangsa ini berupa bahan mentah. Dan tentu saja Indonesia menjadi incaran menggiurkan bagi negara-negara industri yang haus akan bahan baku.
            Hutan khatulistiwa ini telah menghasilkan karet yang melimpah. Akan tetapi ban mobil saja kita masih sering impor dengan harga berlipat-lipat. Begitupun dengan persenjataan militer, yang harus membeli dari luar negeri. Padahal jika mau, Indonesia bisa saja membuat sendiri senjata berbahan emas sekalipun.

Wajah Buram Industri Lokal
            Kegemaran ekspor bahan mentah, setidaknya memiliki ragam alasan yang kudu dikupas. Mulai dari persoalan hulu hingga ke hilirnya pasti ada celah masalah. Semisal matinya industri lokal karena minimnya mesin-mesin produksi pengolah bahan mentah. Selanjutnya lemahnya pemahaman terkait promosi produk kepada negara lain. Dan yang tidak kalah pentingnya yakni terganjalnya komunikasi efektif antar eksportir dengan negara pemesan. Harus ada posisi tawar yang kuat dari Indonesia kepada negara tujuan. Semisal sempat terjadi penolakan barang mebel Dari Jawa Tengah ke beberapa negara Eropa. Begitupun dengan tuduhan Indonesia melakukan dumping terhadap ekspor produk kaca ke Australia.
            Berkembangnya dunia ekspor Indonesia harus terus di dukung oleh semua pihak. Dari pemerintah sendiri bisa bekerjasama dengan KADIN untuk memuluskan industri-industri barang jadi. Begitupun dengan pengawalan sampai menembus kebijakan dalam negeri di negara lain. Selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah negara tujuan ekspor seperti Eropa dan Amerika yang tengah mengalami penurunan daya beli dikarenakan terpuruknya ekonomi global. Sehingga harus terus melakukan penetrasi ke kawasan-kawasan alternatif. Semisal Afrika, Timur Tengah, bahkan Amerika Selatan yang belum banyak terjamah eksportir-eksportir Indonesia.

*        Penulis Sedikit [-sedikit] menulis.

Tidak ada komentar