Menu
Teguh Indonesia

Fabel Politik Indonesia

oleh: Teguh Estro*


Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, fabel adalah karya sastra berupa cerita dengan hewan sebagai tokohnya. Ada peran baik, jahat, licik, cerdik dan ada juga peran menggemaskan di sana. Tampaknya gambaran itu pula yang terjadi dalam opera perpolitikan Indonesia. Wajah media kini dihiasi oleh binatang-binatang lucu sebagai simbol geliat politik nasional. Sebut saja seteru cicak versus buaya pada waktu lalu. Cicak melambangkan KPK sebagai institusi yang gemar mengintai kebusukan di tubuh pejabat negara. Sedangkan buaya adalah simbol dari lembaga kepolisian yang mengeksekusi kasus. Cicak dan buaya awalnya adalah tokoh yang berteman baik. Setiap ada kejanggalan hukum di tubuh pemerintahan mereka saling mengisi satu sama lain dalam penyelesaiannya. Namun di tengah cerita, mereka seolah termakan badai fitnah yang datangnya dari kakek tua ‘Aggodo Wijoyo’. Dan akhirnya terjadi aksi saling sikut di lembaga peradilan.

Beberapa pekan berlalu muncul jenis hewan baru, kali ini gurita dari Cikeas. Isu gurita begitu memancing perhatian istana negara. Pasalnya, RI-1 dituduh oleh George Aditjondro sebagai ‘penikmat’ aliran dana Century. Karakter gurita adalah hewan yang memiliki banyak tentakel untuk mempermudah geraknya. Wajar saja jika presiden kebakaran jenggot jika dirinya dikabarkan memiliki jejaring ‘kotor’ layaknya tentakel gurita.

Keberlangsungan peran ‘hewan’ dalam kancah politik tak cukup hanya sampai disana. Kalau dulu koruptor diidentikkan dengan tikus, kini peran tersebut mulai dimainkan oleh aktor yang lebih beragam lagi. Ada kerbau ‘Si BuYa’ yang sempat popular saat aksi massal 28 Januari lalu. Dengan tubuhnya yang khas, kerbau ditafsirkan sebagai sosok yang gemuk, malas dan bodoh. Atau mungkin maksudnya sebagai tokoh yang ramah dan suka menolong. Karena di negeri agraris ini, kerbau adalah sahabat para petani dalam menyelesaikan pekerjaannya. Parahnya saat ini muncul lagi peran kambing, monyet, ayam dan hewan-hewan lainnya. Sungguh republik ini tak ubahnya dunia fabel di suaka margasatwa.

Dalam konteks komunikasi antar budaya, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki budaya simbol. Sejak dulu nenek moyang bumi nusantara ini hobi bermain wayang sebagai simbol-simbol kehidupan. Ada wayang kulit, wayang golek ataupun wayang orang. Sehinga wajar sekiranya kultur tersebut kembali diperankan di dunia politik saat ini. Mungkin bisa saja akan muncul tokoh kancil ‘si pencuri timun’, gajah, kuda nil atau apapun.

Dunia simbol di Indonesia memang unik. Karena selain dipublishkan dengan cara yang ‘nyentrik’, simbolisasi ini juga merupakan akumulasi jeritan-jeritan rakyat. Ternyata saat ini rakyat lebih percaya menyampaikan aspirasinya melalui simbol-simbol ‘hewan’ tatkala aksi demonstrasi ketimbang lewat anggota dewan. Sekiranya hal ini menjadi kritik bagi wakil rakyat yang mulai kehilangan kredibilitas di mata rakyat.

Simbolisasi politik di Indonesia semakin marak saja lantaran adanya media yang terus ‘mengompori’. Bahkan berita yang termunculkan saat ini seolah asyik menampilkan hal kontroversi dari hewan-hewan tersebut. Semisal konflik Cicak versus buaya yang jelas-jelas ‘direkayasa’ media. Pun kehadiran kerbau ‘Si BuYa’ yang dibuat pro-kontra dengan pernyataan presiden saat di Cipanas. Kondisi semacam ini kian menguatkan Indonesia sebagai negeri seribu simbol. Dan saat ini adalah musimnya simbol-simbol hewan naik panggung politik.

Sebenarnya Indonesia memiliki simbol yang luhur, itulah burung garuda. Sebagai ‘penguasa cakrawala’, garuda memiliki filosofi sosok yang berwawasan luas. Sorotan matanya yang awas memiliki sudut pandang jauh ke depan terhadap apa yang dilihat. Seharusnya filosofi garuda tersebut bisa menjadi jati diri masyarakat Indonesia. Dalam pendekatan psikologi masyarakat, simbolisasi positif tentu akan menanamkan kepribadian masyarakat yang baik. Demikian simbolisasi yang buruk justru kian memanjakan degradasi kepribadian bangsa Indonesia. Kini saatnya filosofi burung garuda tersebut diimplementasikan olah kader-kader bangsa. Pun demikian dengan ribuan simbol positif lainnya di tanah air agar menjadi aset berharga sebagai simbol implementatif.

Tidak ada komentar