Menu
Teguh Indonesia

Menimbang-nimbang KPK

oleh : Teguh Estro


Indonesia negeri sejuta mitos. Masyarakat nusantara sudah lama terdoktrin dengan legenda-legenda manusia sakti. Seolah-olah problem di dunia ini akan selesai dengan sendirinya seiring munculnya sang pahlawan. Sebut saja legenda Arjuna, sang ‘ratu adil’, bahkan sampai kesaktian ‘si pitung’ yang kebal peluru. Masih banyak lagi sosok ‘manusia langit’ yang dipercaya akan turun menuntaskan kegalauan bangsa ini. Mau bagaimana lagi, inilah watak masyarakat kita. Mereka begitu mudah mendewa-dewakan sosok yang dianggap penyelamat bangsa ini. Dan celakanya hal demikian dilakukan secara membabi-buta dengan ‘pemujaan’ seratus persen. seolah siapapun yang mampu menyelesaikan polemik bangsa, maka ia layak dipuja.

    Salah satu persoalan bangsa yang tak pernah berujung yakni korupsi. Wabah penyakit korupsi kian mengakar di negeri ini. Tak perlu menyalahkan pemerintah, praktek korup kecil-kecilan saja sudah menjadi habit di masyarakat grashroot. Sehingga jangan heran jika munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat masyarakat heran. Seolah ada hal baru yang diluar kebiasaan sehari-hari. Apalagi saat pimpinan KPK dicekel oleh Antasari Azhar, ia meringkus pejabat-pejabat besar tanpa takut. Kejadian tersebut membuat masyarakat kian percaya bahwa institusi yang kini dipimpin pak Busyro adalah harapan. Dan lagi-lagi dukungan yang berlebihan langsung diarahkan pada KPK ‘sang penyelamat’.

Apakah benar KPK adalah sang ratu adil seperti yang dikatakan mitos. Atau jangan-jangan hanyalah institusi yang dirancang untuk menjatuhkan saingan politik para elit. Telah menjadi jumhur aktivis, bahwa oknum yang mengisi tubuh KPK juga tak lain ‘penyamun’. Layakkah institusi ini dipercaya untuk menggebuk maling-maling kelas kakap. Maka dari itu perlu kiranya menggunakan timbangan maslahat dan Mafsadat. Bukanlah dengan pertimbangan manusia sakti atau tidak.

   Dalam kaidah fiqh disebutkan daf’ul mafasidu muqaddamu ‘ala jalbu almashalih. Artinya menolak mafsadat jauh lebih diutamakan tinimbang melakukan maslahat. Dalam hal ini jika dikaitkan dengan fungsi KPK sebagai pemberantas korupsi. Maka ia bisa dikategorikan sebagai daafi’ul mafasid. Apalagi lembaga yang berusia Sembilan tahun ini berani mengungkapkan kasus-kasus besar yang tidak pernah dilakukan oleh institusi lain.

Sedangkan di sisi lain, institusi kepolisian dan kejaksaan yang dianggap gagal kian terkerdilkan. Sehingga sistem ketata-negaraan di negeri ini kian tidak sehat jika kedua institusi tersebut lumpuh. Maka, dengan pembubaran KPK juga memberikan maslahat pada sistem demokrasi bangsa ini. Bukankah sistem demokrasi akan lebih sehat jika pemberantasan korupsi diemban ‘lagi’ oleh institusi kepolisian dan kejaksaan. Apalagi mereka memiliki cabang hingga ke kabupaten-kota. Tentu akan lebih efektif dalam penuntasan korupsi hingga ke akar-akarnya.

Ada dua hal yang harus dipilh dalam hal ini. Antara mendesaknya agenda pemberantasan korupsi di negeri ini. Ataukah mengutamakan kesehatan ketata-negaraan dengan pembubaran KPK. Tentu saja jika kita melihat dua pilihan tersebut, ia sama-sama memiliki kemaslahatan. Sehingga kita bisa melakukan ikhtiyar al-ashlah min al ashlah. Artinya kita mengambil yang lebih bermaslahat besar.

Penulis dalam hal ini lebih memilih mendukung KPK untuk terus memberantas korupsi. Karena perannya yang urgen dalam menegakkan salah satu maqashidu asy-Syari’ah yakni hifzhul mal. Saat ini memang lembaga pimpinan pak busyro ini tengah menjalani hambatan yang rumit. Mulai dari masalah SDM hingga persoalan koordinasi antar institusi penegak hukum yang pelik. Dalam hal ini terdapat kaidah fiqh yang bisa kita ambil. “Ma laa yudroku kulluhu laa yutroku kulluhu.” Artinya apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya.

Akan tetapi bukan berarti kepolisian dan kejaksaan dikerdilkan begitu saja. KPK justru harus berbagi peran terhadap kasus-kasus yang ada. Semisal kasus-kasus kecil diserahkan pada kejaksaan dan kepolisian sedangkan kasus-kasus besar dituntaskan oleh KPK. Skandal Bank Century, wisma atlet atau kasus MENAKERTRANS, tentu saja menjadi tugas utama KPK. Sedangkan kasus-kasus di eselon rendah hingga ke daerah kabupaten-kota diselesaikan oleh kepolisian dan kejaksaan.

KPK, Kepolisian dan Kejaksaan bukanlah saling hantam. Akan tetapi mereka saling bersinergi. Bahkan ketiga lembaga ini kudu disupport oleh APBN. Sebagaimana Umar bin Khatab mengatakan bahwa salah satu orang yang berhak menerima harta adalah ar-rajulu wa ghina’uhu. Yakni siapapun yang karena kegunaannya, ia berhak mendapatkan harta.

*Penulis bukan penulis

Tidak ada komentar