Menu
Teguh Indonesia

Transisi Kaum Cendekia

“Dunia Kampus tak Sekedar Peralihan Pendidikan”
Oleh: Teguh Estro*

Bergerak adalah keniscayaan bagi dinamisnya keadaan. Pun bagaimana perjalanan hidup manusia sebagai insan pendidikan yang selalu bergerak. Setidaknya anak-cucu Adam ini harus terus melakukan move-move untuk menjaga dinamisasi dirinya. Pun naik jenjang menuju kampus tiada lain sebagai pernyataan diri sebagai insan yang dinamis. Hal ini salah satu alasan banyak pelajar yang tertarik untuk mencicipi status mahasiswa. Karena status itu bukan sekedar peralihan dari Sekolah menengah/madrasah menuju pendidikan tinggi saja. Ada aura peralihan, perubahan dan perbaikan yang dahsyat di sana.
Sejarah mencatat tidak sedikit perubahan besar dimulai dari peralihan-peralihan keadaan. Sebut saja perjuangan Rasulullah Saw baru terasa ‘nendang’ ketika beliau beralih (baca: hijrah) dari Makkah menuju Madinah. Hal yang luar biasa juga terjadi pada Albert Einstein ketika ia melakukan peralihan dari tanah Europe menuju United States of America, ia menjadi ilmuwan yang tak akan pernah dihapus sejarah. Hal yang mencengangkan juga terjadi pada Jenderal Ahmad Yani saat ia mengikuti akademi militer angkatan darat di negeri Paman Sam. Ahmad Yani muda berhasil menjadi sosok jenderal yang luar biasa setelah peralihan pendidikan tersebut. Singkat kata, hampir tidak ada perubahan besar tanpa didahului peralihan-peralihan yang menentukan.
Dunia kampus, dunianya kaum pendidikan yang terus bergerak, dinamis dan beralih. Peradaban dunia mulai mengalami keemasan tidak lain karena faktor pendidikan menjadi penunjang. Semisal kampus al-Azhar di Mesir, kampus oxford di Eropa, kampus Nizamiyah di Baghdad dan lainnya merupakan kampus bersejarah yang menjadi penentu jalannya peradaban dunia pada masanya. Sulit untuk dibantah bahwa pasang surut kemajuan pendidikan berimbas dengan kualitas peradaban manusia. Itulah pendidikan dan itulah kampus. Namun kita jangan sampai melupakan siapa aktor terpenting di dalam sebuah universitas. Merekalah para mahasiswa yang konsisten bergerak.
Kepada mahasiswa yang dinamis jangan terkejut jika suatu saat menjadi orang besar dalam sejarah. Hal ini karena para mahasiswa telah memasuki zona peralihan yang sangat menentukan bernama kampus. Hal ini pernah terjadi pada guru bangsa kita yang mengalami perubahan besar saat berkenalan dengan dunia kampus. Bukankah Soekarno pernah hijrah dari Surabaya menuju kampus di Bandung, Technische Hoge School (sekarang ITB). Di sana beliau banyak berdialektika dalam dunia idealisme kebangsaan bersama mahasiswa lainnya. Bung Hatta pun belajar hingga ke negeri bule, kampus Handels Hoge School di Rotterdam, Belanda.
Sukarno, Hatta dan Sutan Syahrir adalah manusia biasa, nyaris tak ada beda dengan kita. Dan penting untuk diingat, salah satu langkah hidup mereka adalah berhijrah menuju kampus. Namun sayang mahasiswa kini seolah melupakan proses transisi ini. Tidak sedikit pegiat akademik yang melangkahkan kakinya menuju kampus hanya karena tuntutan trend. Padahal telah dimaklumi akan posisi mahasiswa sebagai agent of change (Agen perubahan). Sebuah sematan yang lebih daripada prestise semata. Agen perubahan adalah amanah mahasiswa terhadap bangsa ini. Hingga tidak heran jika keberadaan mahasiswa sebagai aktor intelektual senantiasa ditunggu-tunggu kontribusinya.
B. Amr bin Luhay Berhijrah Untuk Kesesatan
Pemimpin Bani Khuza’ah yang suka berbuat bajik, rajin bershadaqah, singkat kata dia adalah kiayi nya bangsa arab pada masanya (masa sebelum nabi). Ketika Amr bin Luhay mengadakan perjalanan ke Syam, ia melihat penduduk Syam menyembah berhala sebagai kebiasaan di negeri para Rasul itu. Kesimpulannya ia memutuskan menyembah berhala adalah kebaikan. Parahnya kultur tersebut ditransfer juga ke tanah Mekah. Hingga muncul berhala Hubal, Latta dan Uzza di sekeliling Ka’bah. Masyarakat Mekah pun hanya ‘manut’ saja pada sang kiayi. Sungguh keluguan Amr bin Luhay saat melakukan perjalanan menjadi penyebab malapetaka di Mekkah.
Amr bin Luhay mungkin telah lama tiada, namun keluguannya masih terwarisis di zaman sekarang. Tidak sedikit pelajar dari daerah yang datang ke Yogyakarta membawa keluguannya. Pelajar lugu ini pun melihat hal baru yang berbau modern (baca:pemikiran liberal) sebagai hal yang biasa. Hingga akhirnya kultur tersebut mereka bawa ke kampungnya dan menghipnotis masyarakat menjadi liberal. Tidak sedikit lulusan mahasiswa yang berdebat usil dengan ustadz dan kiayi di kampung hanya karena guru-gurunya tersebut dianggap kolot dan tidak modern. Na’udzubillah…

*Penulis adalah Mahasiswa KPI Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga. Pemuda Rohis asal SUMSEL ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Partai PAS wilayah Fakultas Dakwah.

Tidak ada komentar