Menu
Teguh Indonesia

Ledakan atau ‘Ledekan’…?

(tulisan lama)
Oleh: Teguh Estro
Belum sembuh luka korban bom di kawasan Legian, Kuta Bali 2002 silam. Pun belum kering air mata keluarga korban bom Marriott enam tahun lalu. Begitu juga sejumlah ledakan di depan Kedubes Australia beberapa waktu lalu. Juga ledakan-ledakan di Poso, Aceh, Jakarta dan di wilayah Indonesia lainnya. Lebih dari 190 kasus teror peledakan Bom dari berbagai penjuru tanah air telah terjadi. Pelaku teroris pun tak mau ketinggalan zaman. Mereka kian professional saja membuat ‘kejutan’ yang meresahkan warga. Walhasil, daar..! pukul 07.45 pagi terjadi ledakan untuk kedua kalinya di depan hotel JW. Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli Jumat lalu. Tentu saja publik bertanya-tanya ada apa gerangan.? Apakah hanya karena ‘mbah Fergusson’ Cs hendak menginap di Indonesia? Ataukah disebabkan ketidakpuasan terhadap hasil PILPRES 2009…? Ataukah ini ulah iseng para teroris yang terus menebar ancaman?
Para penggemar Manchester United (MU) di tanah air tentu begitu geram. Mimpi ingin bertemu Ronney dkk secara langsung pupus sudah. The Dream Team yang telah disusun PSSI pun pulang kampung. Tiket Stadion Gelora Bung Karno yang habis terjual terpaksa dikembalikan lagi. Kesemuanya ini tentu saja erat kaitannya dengan ledakan bom di Mega Kuningan tersebut. Mungkinkah kedatangan juara Premier League itu cukup berpengaruh bagi Indonesia sehingga harus dihadang dengan bom. Ya, mungkin saja jika nalar yang digunakan adalah MU sebagai klub yang berbau kapitalis. Kedatangan mereka yang dinilai sebagai simbol mulai merapatnya Indonesia pada kepentingan kapitalis. Lantas kenapa sejak dulu Freeport, Exxon, dan Simbol kapitalis lainnya masih aman-aman saja? Padahal perusahaan-perusahaan multinasional tersebut jelas-jelas berbau barat. Anehnya kenapa warga pribumi yang menjadi tumbalnya?
Skenario lain berpendapat bahwa bom mega kuningan ini sebuah ekspresi kekecewaan terhadap hasil Pilpres. Pasalnya seluruh kontestan Pilpres yang masih berbau militer itu bukanlah tokoh yang saling ‘bersahabat’. Dan tentunya mereka bukanlah orang yang asing akan dunia rakit-merakit bom. Apalagi PEMILU kali ini diikuti oleh para mantan jenderal. Lokasi bom yang ada di ibukota pun mengindikasikan setidaknya ada unsur politik di dalamnya. Hal ini mengingat bahwa Jakarta merupakan pusat pemerintahan NKRI dimana segala sesuatunya diukur dengan kacamata politik. Akan tetapi analisis ini dengan mudah dibantah oleh semua kontestan Pilpres. Bahkan tidak ada saling tuduh antar mereka.
Pendapat yang paling masyhur atas tragedi ini adalah adanya pemain lama yang –lagi-lagi- dihubungkan kepada kelompok Jama’ah Islamiyah (JI). Mereka adalah pelaku atas sejumlah aksi teror di tanah air. Sebut saja Nurdin M Top kini kembali populer di kalangan POLRI. Buronan nomor wahid itu tak bosan-bosannya mengusik tidur banyak orang. Dengan berdalih jihad, M. Top berhasil melakukan “Brain Wash” terhadap kader-kader militan untuk melakukan bom bunuh diri. Uniknya, para gembong teroris ini merasa benar sekaligus bangga atas kelakuannya.
Hal yang menyakitkan adalah kian terpojoknya wajah Islam dengan tuduhan sebagai produsen kekacauan umat. tragedi bom ini seolah menutupi bagaimana umat Islam Indonesia baru saja menyelenggarakan hajatan PEMILU damai. Ledakan bom ini sekaligus ledekan bagi bangsa Indonesia yang dulu sempat tersohor sebagai bangsa yang ramah-tamah.
Ceritera yang menggelikan lagi ketika pemerintah Indonesia harus menuntaskan terorisme ini sendirian. Lihat saja bagaimana Amerika Serikat sempat kecolongan pada 11 Sepember 2001 silam. Negeri yang selalu pamer kekuatan militer itu harus bersusah payah menyelesaikan kasus terorisme yang tak kunjung selesai. Apalagi Indonesia yang punya reputasi buruk di bidang pertahanan dalam negeri. Namun akankah bangsa Indonesia hanya pasrah menunggu bom-bom berikutnya. Setidaknya harus ada upaya pencegahan yang serius dan berelanjutan dari POLRI.
Tahap pertama adalah pemulihan Traumatic Shyndrome rakyat Indonesia terhadap lokasi-lokasi keramaian yang selalu menjadi sasaran ledakan. Hal tersebut harus diiringi dengan jaminan keamanan yang betul-betul safe. Tujuannya bukan sekedar terapi psikologi pasca bom semata. Namun lebih pada adanya jaminan keamanan yang bisa menunjang sektor lainnya. Sebut saja sektor pariwisata dan ekonomi yang langsung terkena imbasnya.
Tahap kedua, mulai saat ini POLRI jangan sedikitpun merasa sungkan untuk menggandeng masyarakat menuntaskan tragedi bom Marriot ini. Kini POLRI dan rakyat memiliki musuh bersama. Adalah mereka para pelaku bom apapun motifnya merupakan buronan polisi sekaligus buronan rakyat. Jika masyarakat dan aparat telah satu frame maka nyaris tak ada lubang persembunyian bagi pelaku peledakan untuk melarikan diri. Mungkin masih ingat bagaimana peristiwa G-30S/PKI yang binasa oleh kekuatan TNI (ABRI pada saat itu) yang saling berjibaku bersama rakyat.
Tahap ketiga, eksekusi operasi penuntasan kasus teroris secara total. Mulai dari aspek kognitif, hukum dan keagamaan hingga pada aspek praksis-militeris. Aspek kognitif dengan pembelajaran anti terorisme dalam pelajaran tambahan bagi pelajar. Pun dengan digagasnya UU anti terorisme secara baku. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah memainkan kembali peran agama sebagai sumber ajaran perdamaian. Tahap selanjutnya adalah dengan penindaklanjutan secara kontinu terhadap tragedi bom di Indonesia, terutama JW Marriott dan Ritz Carlton.

Tidak ada komentar